Puisi-Puisi Emi Suy
PERCAKAPAN INVISIBLE
ada yang berdesir
tapi bukan angin pesisir
sebuah ingatan
menyapu butir-butir pasir
membelai jejak peristiwa
getir di bibir
waktu bergemuruh
riuh di kepala
aku berbincang dengan bayang
yang menyaru malaikat
dengan wangi bunga kasturi
PERBINCANGAN HANGAT
bayangan siapa yang tersesat
dalam cermin di dalamlabirin
di antara dinding jarak dan waktu,
ada doa yang kerap mendekatkan
perbincangan itu,
sejauh apapun jarak berderak
dan jejak berpindah,
kau tetaplah arti rumah —
tempat ia pulang
menimang sedih dan senang,
menata hati di ruang paling tenang,
merebahkan jiwa — meraba kenang
di waktu kini
dan musim-musim mendatang
: hingga memutih usia di kepala
— kita tumbuh tua bersama
LUKA KEMARAU
cuma sedikit jejak matahari senja
dari rasa yang besar setelah petang usai pesta
tak ada yang ditakar apalagi ditukar
sejak embun subuh yang diam-diam pergi
hingga hatimu menyala lalu pucat pasi
perjalanan boleh redup
tapi harapan tetap hidup
kalau gelap kerap menimang kesedihan
di dekapmu sepasang lengan yang cidera
mungkin kau pernah rapuh di deru waktu yang
detiknya berdetak — di dinding retak
sunyi yang ia rawat di dada kiri terlahir dari rahim sepi
sesuatu yang lebih hidup dari kehidupan
suka – duka mengalir di jantung berdegup,
kerap menganga — memompa
mengatup di deru mesin waktu
yang dituhankan manusia
tapi ditahan atau dihentikan oleh tuhan
luka tetap luka sepenggal kisah musim yang terkoyak
— terjepit mulut pintu yang berderit-derit
kenangan bercakap-cakap
memanggil hujan membasahi luka di tubuh kemarau
KOTA RENTA
kita merawat ingatan di kota tua
yang tumbuh menjelma
tembok-tembok rapuh
di antara tualang angin kemarau
di bawah terik matahari menyengat
rindu semakin merambat
sesekali sepi di kota tua
merebahkan tubuh lunglai di denyar dada senja
ingin bangkit dari lelah yang abadi,
tapi jarak rindu dan hasrat
semakin berderak-derak
lebih kerap menggali kedalaman sunyi,
hingga suara itu terdengar lebih nyaring
hatiku tertinggal di sana
di sudut bangunan tua kota lama
entahlah aku ingin kembali ke sana
hanya untuk napak tilas jejakmu yang wangi
lalu kurangkai menjadi sajak
sebelum senja hilang saga
kata-kata yang kupungut di bangunan tua,
gedung-gedung kosong jejak belanda
kenangan masih tertinggal di sudut tubuh kota
sunyi kerap berbunyi
di kepala menjadi pasar
kota tua menyimpan peristiwa
kata-kata yang diawetkan musim
jika kenangan berumur panjang —
apakah hanya sepanjang usia
atau sepanjang ingatan
sebelum datang pikun?
aku tak peduli,
yang kutahu kata-kata bisa hilang
namun tulisan tidak
setidaknya semesta mencatatkan
dan waktu mengantarkan
kita membaca dunia
dari celah jendela masa lampau
pada celah jendela tua
saksi sejarah sejuta makna
— di kota tua
dari lampu kota lama yang mulai pucat
sejak orang-orang tak lagi mengenal rupa
dari balik kaca jendela,
berjuta makna kita gali setiap jengkal,
berharap terjaga di pusara semesta
BELAJAR MELUPAKAN
di tanah masa silam
kenangan ditanam dalam-dalam
agar yang tumbuh hanya masa depan
meski kelak tertulis di batu nisan
hari ini sebagian mimpi dijalani
melewati pemberhentian
tanjakan kelokan tajam jurang curam
dari siang yang ditelan malam
AKUT
Pagi-pagi digigit puisi.
Ada kenangan yang membengkak.
Di tengahnya nyala api sunyi
yang hanya bisa dipadamkan oleh temu.
HALAMAN KOSONG
halaman tetaplah halaman,
jika ada rumah tanpa penghuni
seperti kota mati
yang ditinggalkan penghuni —
seperti sebuah hati
yang tidak lagi peduli
pada cinta yang tiada
OLAHRASA
dekap lengan matahari
hangat kecup pertama
:di kening pagi
di tanahku kemarau merantu
rindu pada gerimis
penantian terlalu panjang
desah angin resah
diam-diam menyelinap
di reruntuhan tembok tua
usia terkikis waktu
kenangan makin renta
dari rasa yang betapa,
hanya dikuatkan oleh niscaya
— gelap yang diterangkan cahaya
akankah nisbi tersembunyi
dari sunyi yang berbunyi
KARMA BAIK
ada yang tumbuh
dari sisa usia
yang telah patah
ada yang tinggal
dari yang telah tanggal
dibawa pergi
deru mesiu
tak ada ruang tunggu
waktu melesat
tulusnya laku
ditulis lengan kanan
untuk timbangan
KISAH SEORANG BOCAH
“adakah yang lebih perih dari ini?”
bocah kecil bertanya pada patahan ranting,
tubuhnya dibelah waktu
rindunya berjarak pagi berderak-derak —
hening daun-daun di pucuk malam
“tuhan memang beri luka
tapi juga beri obatnya, bila hari-hari pedih —
mungkin saja tuhan
sedang menyiapkan .
bahagia di akhir cerita”,
pak tua merangkul bocah kecil
sepanjang hidupnya dikutuk rindu
ayah ibunya di peluk usia
abadi hidup di alam kesunyian
“di sini orang-orang
sedang mengubur masa lampau,
sedang kau sibuk merawat ingat
di sepanjang jalan kenangan”,
pak tua mengusap matanya berembun
si bocah perlahan
mengetuk pintu dan jendela
di dalam tubuhnya
“jarak boleh berserak –
waktu boleh berlari
tapi hati yang erat menempuhnya,
biarlah pekat biarlah lesat –
lekat tak terlihat”.
kau betul nak,
almanak berlari — musim berganti
“pejamkan matamu sebentar,
kau akan sampai padaNya”
bisiknya amat lirih,
dibukanya mata bocah itu
dan si kakek lenyap ditelan angin
HAIKU SIKLUS WAKTU
bulan separuh
bias cahaya jatuh
ke dalam kolam
malam meluruh
gelapnya menyelimuti
tubuh semesta
waktu berlari
di putaran jarum jam
menembus kelam
pengujung tahun
katak-katak menari
membaca mantra
memanggil hujan
yang terlambat mengecup
benih bertunas
datang gerimis
menyembulkan petrichor
di basah tanah
masih berlari
menembus hutan hujan
bertemu engkau
segala arah
di balik pohon-pohon,
kau mengikuti
mengikut arah
awan-awan di langit
kaki berlari
di pucuk pinus
ketinggian bukitmu
tubuh melayang
kian mengecil
mengerut jadi debu
rengkuh jiwaku
di lembar daun
helai usia gugur
tugas selesai
*Emi Suy, lahir di Magetan, Jawa Timur, adalah seorang penyair perempuan Indonesia, aktivis kemanusiaan dan lingkungan hidup, serta pendiri Komunitas Jejak Langkah yang bergerak di bidang literasi, seni, budaya, dan kemanusiaan. Ia telah menerbitkan lima buku puisi tunggal, termasuk trilogi Sunyi dan menjadi penulis libretto untuk Opera “I’m Not For Sale,” dengan karyanya dipublikasikan di lebih dari 200 buku dan berbagai media nasional maupun internasional.