Puisi-Puisi Eddy Pranata PNP
Ketika Setiap Keramaian Adalah Kesunyian
Ketika setiap keramaian adalah kesunyian; aku tak pernah
bersedih. Begitu pula luka seperih apa pun; akan kunikmati
Kepergian orang terkasih; melancarkan alir darah. Aku
akan menjelma manusia paling tabah. Menerima duka lara
dengan bahagia. Sepanjang selasar waktu dan usia. Walau
sepercik cahaya. Sekelebat cahaya!
Aku tidak tahu pasti kenapa aku tertawa. Dalam dugaanku
mungkin karena seseorang yang membenturkan kepalanya
ke kepalaku. Atau seseorang yang berjalan terhuyung jatuh
ke dadaku. Akh, atau seseorang yang melahap bubur tanpa
sendok. Atau seseorang yang berteriak karena kandas cintanya
: “Nasib dan takdir, o, amatlah anyir!”
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku menangis. Dugaanku,
aku menangis karena seseorang telah memelukku dengan hati-
jiwanya yang mawar. Seseorang memberiku pelangi dan rintik
hujan. Menaburkan serbuk edelweis ke tubuhku. Membisikkan
seribu puisi laut ke telingaku. Aku menangis dan mabuk kata-kata!
: “Ini tubuh penuh rajah. Tapi tak pernah menyerah!”
Aku tidak bisa membedakan kapan aku harus tertawa
dan menangis. Karena aku telah larut dilambung ombak
dan gelombang. Dibentur-benturkan karang. Diremuk-
redamkan garis nasib. Aku sekarang hanya mau mata hati
penyair. Aku ingin menjelma puisi berkali-kali. O, puisi!
: “Zikir. Zikirlah yang paling wangi!”
Jaspinka, 4 Juni 2024
Di Teras Depan, Satu Meter Persis di Hadapanku
Di teras depan, satu meter persis di hadapanku, gemericik
air mengalir deras dari hulu Baturaden. Suaranya serupa
rintih panjang tentang hidup yang malang. Sepanjang
ingatan. Entah akan bermuara di mana. Misteri hidup.
Kabut pagi. Dingin senyap. Hanya cericit burung liar
di kejauhan.
Aku memaknai suara gemericik air sebagai catatan
pertanyaan mendebarkan. Apakah masih tersisa ampunan
dan harapan? Mengapa turun kabut begitu lama? Dan
mungkinkah langkah berikutnya adalah ayunan
kebahagiaan? Tuhan, beri aku satu puisi saja ini pagi.
Agar aku tidak gila!
Gemericik air. Kabut mengapung. Hutan pinus. Belantara.
Juga bisik embun. Di bagian mana maut sembunyi? Atau
mungkin di sela-sela batu berlumut? Aku ingin mengenangmu,
mengingatmu seluruh. Kekasih, jangan peluk aku. Jangan!
Baturaden, 25 Mei 2024
Sesakit Apa pun Tak Ingin Meniup Luka
Sesakit apa pun engkau, tak ingin aku meniup luka
sebab dari sakitmu mematangkan hidup. Menyempurnakan
cinta yang bergeriap di selasar waktu. Aku rengkuh seluruh
duri yang tumbuh di ranting pohon mawar. Aku gugurkan
seluruh kelopak bunganya. Aku ingin melihat engkau menjelma
orang paling mulia, menyerahkan percik ombak pada
keheningan bongkah karang. Lalu bergulingan di sepanjang
pasir pantai seraya terus zikir. Maha suci.
Walau akhirnya rasa bencimu tawar. Tak ada lagi harapan
kelopak mawar telah gugur. Percik ombak menghempas
sepanjang pasir pantai. Maha nyeri. Tak ingin aku meniup luka
hening karang serupa rindu. Diam. Namun memelihara duka
Aku sering ingin bertemu denganmu sekadar merenda
kenangan yang robek lalu berperahu membelah selat
melarungkan sajak-sajak yang tak usai.
Jaspinka, 21 Mei 2024
Aku Lewati Jalan Sunyi– Rak-rak Pot-pot Bunga
aku lewati jalan sunyi– rak-rak pot-pot bunga di sebelah kiri, ruang-ruang
cahaya di sebelah kanan, aku bimbang menentukan arah kiblat, nyaris
terjebak ke dalam selasar serupa labirin: “tuhan, aku tidak mengharap
aneh-aneh dari-Mu, beri aku berkah paling mulia: Puisi!” aku sujud,
aku ingin terus sujud di hadapan Puisi!
usai subuh, aku melihat engkau senantiasa bertarung dengan kabut
membelah-belah garis hidup yang berliku, sorot matamu berbinar;
“hanya kepada Allah aku bersandar, sepahit-getir apa pun
cintaku hanya untuk-Mu!” hanya untuk-Mu yang maha menguasai
langit dan bumi usai subuh aku membersamai dengan doa dan zikir;
“kekasih beri aku seribu bulan dan matahari agar cintaku pada-Nya
senantiasa terjaga!”
sesunyi apa pun senyeri apa pun– jangan lupakan kenangan jingga
: “kupu-kupu bersayap pelangi terbang merendah dari bukit pinus
ke lembah; mendendangkan luka!” pertarungan waktu dan musim
kemarau memanjang, au, kupu-kupu itu luruh menjelma kepompong
lagi tak bisa memahami dan menulis puisi tak bisa merasakan
nikmatnya bercinta tak bisa mengenali wajah dan suara kekasihnya
aaa… telah mati rasa!
setelah isi gelas sepenuh puisi, di mana sunyi? tafakur: menaiki
tangga menuju langit saksikan api yang menyala, di sebelahnya
taman surga: “aku ingin mabuk hingga Kau peluk aku!” aku terus
bertafakur: laillahailallah…
Jaspinka, 2024
Aku Takjub Melihat Engkau Menanam Pohon Kebaikan
aku takjub melihat engkau senantiasa menanam pohon kebaikan
di ceruk-ceruk kampung dengan ikhlas dan sungguh tanpa pamrih,
perempuan embun; engkau rela berbagi walau dalam kondisi
sangat sulit: “tidak, tidak, samasekali aku tidak mau memakan
bangkai orang lain, apalagi bangkai saudara sendiri!” jeritmu
dengan mata berkaca-kaca, au, pohon-pohon itu tumbuh, rimbun—
bercabang-cabang cahaya kebaikan, aku takjub pada seluruh
tingkah dan pesona perempuan embun..
kalau engkau masih melihat matahari pagi, jangan rindukan
sesuatu yang mustahil: “cinta-Nya hanya untuk orang baik.
Orang yang selalu bersyukur ketika disakiti. Ketika dirampas
apa yang dimiliki. Dihina dicaci padahal tidak menggangu
makhluk lain…” au, apakah engkau masih melihat matahari pagi?
merunduklah sehabis-habis merunduk, menyerahlah pada
kedalaman laut dan gemuruh-Nya agar menjadi orang baik
dan selalu bersyukur walau disakiti, dihina, dicaci…
seperti debu di atas bongkahan batu– tertiup angin; terbang tidak
berdaya, engkau tersungkur di jalan rindu pada kasih-Nya, pada
segala yang bernama cinta dan lapar-hausmu membuat tubuh
bercahaya : “aku debu, aku debu, di atas bongkahan batu, zikir
sepanjang waktu menggapai ma’rifat dan ruang luas surga-Nya.”
kalau engkau mengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi,
kejarlah sepuasnya tapi ingat, ada yang lebih menyenangkan
: akhirat, maka bergulinganlah setiap hari di atas sajadah
teteskan air mata, lepas doa sebanyak-banyaknya : “ya Allah,
beri aku duri yang tidak menusuk, pisau yang tidak mengiris,
api yang tidak membakar, gelombang yang tidak menelan,
kecantikan yang tidak memabukkan, harta yang tidak menjadi
kesombongan, dan anak-cucu yang selalu rendah hati dan segala
kebaikan untuk sesama..” zikir; au, ya Allah, ya Rahman…
Jaspinka, 2024
Aku Ingin Menjelma Pengembara yang Diam-diam
aku ingin menjelma pengembara yang diam-diam menyingkirkan
duri di tengah jalan kecil di sebuah kampung yang diam-diam
membantu kesulitan orang lain seraya menyembunyikan sebelah
tangan dan serta-merta mengulurkan hati kepada kondisi pahit getir
di sekitar: “ini hidup hanya serupa meneguk air di warung kopi
pinggir jalan– sangat sementara; aku mau sekecil apa pun adalah
hal-hal baik yang menyenangkan orang lain, yang membuat cahaya
surga!” aku ingin menghabiskan waktu untuk zikir; Allah, Allah,
Allah…
aku ingin menembus langit ketujuh; bermuka-muka dengan-Mu
bahwa puisi-puisiku, hidup dan matiku hanya untuk-Mu
: “karena aku hanya sebutir debu, ampun aku, atas segala salah-dosa
izinkan aku meniti jalan ke surga, jalan lurus di atas harum cahaya
subhanallah…” tetapi aku tak sampai-sampai ke langit ketujuh
aku masih di sini di atas selembar sajadah dengan tubuh gemetar
dan berlinang air mata, au…
atas nama pagi yang gerimis; beri aku kekuatan, keindahan dan
kebahagiaan– sebentar lagi kutempuh ratusan kilometer menuju
rumah kecil pinggir kali: “bismillah, jalan lurus, jalan menikung
menjadi penuh rahmat-Mu, zikir ini, zikir musafir fakir…”
au, aku milik-Mu!
sumur dalam diri: gali, gali, hingga dasar paling nyeri: “di dasar
diri; aku mencari-Mu sungguh berlinang air mata, au, beri aku
rahmat-Mu paling sederhana: cinta!” sumur dalam diri; nyeri,
nyeri, hingga ruang paling sunyi: cahaya!
Jaspinka, 2024
—
Eddy Pranata PNP— adalah founder of Jaspinka (Jaringan Sastra Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat.. Puisinya juga disiarkan di Majalah Sastra Horison, koran Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Indopos, Kompas.id, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Haluan, Singgalang, Minggu Pagi, Mludus.com, Asyik.asyik.com., dll. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Improvisasi Sunyi (1997), Sajak-sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (2015), Ombak Menjilat Runcing Karang (2016), Abadi dalam Puisi (2017), Jejak Matahari Ombak Cahaya (2019), Tembilang (2021).