Puisi-Puisi Afrizal Malna
museum bayangan kipas angin
(aku ingin kita juga tahu
seperti kipas angin di atas peta
berjalan sendiri — malam di luar kamera
mengganti nama-nama)
terkadang kita tinggal bersama om dan tante
makan malam dikelilingi hantu bank tagihan hutang
gunung salak meletus — kaos kaki banjir ciliwung
suara keroncong, jangkrik dan kodok
jongos dan babu menari topeng the queen of the east
(inlander, europeen, tiko, vreemde-oosterlingen, pribumi)
“selamat malam, tante”
pesta nasi goreng dan ikan teri sambal ijo
bangsat di dalam kata – racun di dalam identitas
sinyo-sinyo dari indo europe verbond
sinyo-sinyo dari national socialistische beweging
antara tuan, jongos dan kecoa ras
membungkus birahi, seperti roti dalam mulut kebencian
(“uang tidak berseri” untuk batavia)
mari berpesta:
mentega, manisan, anggur dan arak mooi indie
sinar lampu gas, lilin-lilin gantung, lampion shanghai
cahaya lantai dansa, gadis-gadis, kain brokat, satin sutra
dan tiang gantungan
dan tiang gantungan
noni-noni bersama kalung koloni yang berduri
aku geser kursi untuk om dan tante
mencari definisi tentang duduk dan menduduki:
lampu venesia, permadani persia, mebel mewah eropa
karangan bunga tropis, tumis kangkung dan diare
(voc supermewah, korupsi di bawah administrasi hindia)
kapal-kapal sekarat membawa budak dan lada
ular, buaya, harimau dalam hiasan dinding
asap cerutu menjilat wajahmu
ciuman berlendir dan malam tak terduga
krakatau meletus
langit eropa gelap
(lukisan the scream dari edvard munch)
keluar masuk antara jeritan dan letusan
ratu adil lahir dari tanah-tanah partikelir
pajak, penguasaan lahan petani
wabah ternak dan kiamat
para kyai berontak di cilegon
gerakan samin boikot pajak di blora
(di kertosono, kereta berhenti
bau pecel dan sambal tumpang dari tempe busuk)
sebelum krawang bekasi
puisi plagiat dari the young dead soldiers
aku kembali menghadap tembok
kapsul waktu, ledakan bunga-bunga
rawa-rawa malaria dan punahnya badak
kekayaan yang bergetar di tanah-tanah koloni
bisakah aku kembali ke sana, duduk dan berkata
“bawakan aku segelas bir tanpa kapal perang”:
patung gubernur jenderal jan pieterszoon coen
di lapangan banteng — tumbang oleh jepun
patung gubernur jenderal jan pieterszoon coen
di alun-alun kota hoorn, di kampungnya sendiri
tumbang oleh petugas kebersihan kota
“om dan tante”
kipas angin masuk ke dalam narasi sejarah
lampu gas dan lilin berganti listrik dan tv
tutor-tutor digital dan tagihan internet
aku ingin duduk di tempatmu pernah berdiri
memandang keluar kipas angin:
kunci berdiri dalam bayangan pintu
gerakan black lives matter dari kematian george floyd
menunggangi kapsul waktu dan toxic rasis
patung john macdonald — sang rasis
dirobohkan di montreal
patung pedagang budak, edward colston
dibuang ke pelabuhan bristol
patung leopold II terjungkal di brussel
patung winston churchill yang rasis, dijaga ketat di london
patung abraham lincoln, patung ratu victoria
patung cecil rhodes di oriel college
monumen melville untuk henry dundas
pedagang budak di edinburgh
(suatu hari
ketika waktu
adalah kipas angin
ketika kunci mencari definisi pintu)
bau waktu menyengat
narasi berbalik menatap kita:
patung robert milligan, pedagang budak
diturunkan dari halaman museum london
patung christopher columbus tersungkur
diinjak-injak di minnesota
australia mengganti nama king leopold ranges
pada deretan perbukitan kimberley
patung indro montanelli di kota milan
pembunuh suku maori
patung john hamilton di selandia baru
patung hans egede di new york
patung theodore roosevelt diturunkan
patung kapten james cook di sydney
kepala patung cecil rhodes, tumbang
di lereng table mountain, cape town
revolusi Indonesië di rijks museum
polemik sejarah “bersiap” dan film “de oost”
(raymond westerling masih terseyum
— kenangan gelap dalam bayangan suharto)
kereta berhenti di stasiun kassel
memesan bratwurst
sosis goreng dan bau seni kontemporer di kota tua
documenta dan panik anti-semit
patung-patung keluar masuk meminjam bajuku
patung-patung keluar masuk meminjam tubuhku
patung-patung keluar masuk melebeli wajahku
(masih tersenyum dalam bilboard-bilboard pemilihan umum
iklan masadepan di sorga
rasisme dan pandemi sejarah)
konstruksi patung
patah (putus) lepas (jatuh) tumbang
seperti raksasa mencium bumi
mengubah struktur dan bentuk narasi
i saw her standing there dari the beatles
terdengar di sebuah akun instagram
(apa itu?
suara apa itu?)
kipas angin dalam gelombang listrik
mengetuk kunci di luar tutup dan buka
melawan kekalahan melawan kemenangan
“chinese whispers”
(rani pramesti)
ia mengumpulkan kata pengungsi
dari seluruh bahasa
(seperti mencuci tangan berkali-kali)
“apakah kita seorang minoritas, mama?”
(di antara 7,7 miliar penduduk bumi
1,4 miliar penduduk tiongkok di belakangnya)
bahasa mulai berubah, berganti
— dalam koper ibunya
bayangan berlapis pohon oak yang purba
garis-garis cahaya hutan konifer: jejak empat musim
mata rusa yang manis dalam padang rumput alpine
gunung meili
menyimpan salju dalam mantelmu
tatapan abadi puncak kawagarbo yang suci
angin muson dan gletser melumpuhkan para pendaki
“aku sakit perut, mama”
di depannya kisah-kisah manusia
dalam antrian panjang pencari suaka
pintu gerbang kota dan “kita harus pergi lagi”
benda-benda bertabrakan
mencari jatuh dan berat
mengelilingi telur kosmis
18.000 tahun berputar
bias sejarah antara baskom dan isinya
telur kosmis pecah
mahluk pangu keluar
— antara langit dan bumi
antara yin dan yang
kau pergi ketika serigala menyalak
dan kembali ketika beton-beton berjalan di beijing
kau memanggilku
ketika jalan melayang-layang di langit shanghai
ketika lelaki disihir jadi pantat babi
“peluklah aku, mama”
di antara puisi-puisi to fu dan ezra pound
kitab tao dan buku merah mao zedong
bau mesiu dalam kaligrafi cai guo-qiang
seekor cicak menunggu mangsa
ekornya bergerak-gerak
— dinding menyimpan diam
lidahnya seperti luka yang tak pernah sembuh
(suara pertengkaran suami-istri
anak-anak menangis) – bau babi panggang
dan makan malam di wangfujing
bayangan dinasti ming dalam hujan kembang api
mall beijing, gereja santo yosef
putusnya senar guzheng pada petikan terakhir
lapisan salju pada pegunungan tanggula tibet
foto keluarga — angin dingin di bawah kawat berduri
sinar matahari sore, kuning keemasan di atas yangtze
tiga tebing kembar membentuk leher sungai
melahirkan kota-kota kuno
— battle of red cliffs
(kuil dan cerobong pabrik di wuhan)
mengangkut jutaan ton lumpur, polutan dan banjir
“aku ingin menggambar kapas dan gandum, mama,
untuk bantal tidurku.”
tangan kesedihan yang mengusap kening
sejarah itu siapa?
luka itu siapa?
kenapa kita bungkam?
suara ketukan-ketukan kecil di meja
(lalu patahan ujung pensil)
sebuah novel digital
“chinese whispers” dari rani pramesti
mengetuk pintu jendela
dalam instalasi labirin melbourne
kakiku tergenang suara bisikan
dan mencekikku: apakah aku seorang rasis?
seseorang berdiri meninggalkan bayangannya
dari balik kata pengungsi
sebuah pintu — siapa yang masuk dan keluar
tentang:
china benteng dan sisa-sisa mantsu di cisadane
kapten oey panko – batavia yang meradang
melepas bebek-bebek di sungai
seperti melepas bahasa dari nasib buruk
bunga-bunga meihua mulai mekar
mengantar pergantian musim
segenggam pasir di telapak tangan (menahan lupa)
reformasi 100 hari dari kang youwei dan guangxu
dalam kudeta ibu permaisuri
angin berhembus dari teluk tonkin
kapal-kapal pengintai, candu dan mesin cetak
larangan kaki seroja yang mencekik perempuan
distorsi sejarah lelaki
sun yat-sen dan 30 tahun untuk jatuhnya qing
berdiri di atas pemberontakan taiping, boxer, dan wuchang
ia menatap lagi kata pengungsi dari seluruh bahasa
koper ibunya berpindah-pindah dari kereta ke kereta
indochina dan pandemi sejarah
suatu hari di madiun – sukarno yang menangis
dan genosida komunis melayu
rendang babi dan pembekuan identitas
arah sejarah selalu berbau masakan dan nama-nama yang hilang
(koran pertama liem koen hian di batavia
charles cramer di sidoarjo dalam lingkaran merah
leendert reeser dan tan ling jie di surabaya
semaun di jombang — pelarian 30 tahun
dari belanda ke uni sovyet
sekolah pahoa, wayang orang ang hien hoo
pajak babi dan babi haram
triad, sinshe, teh pahit dan akupuntur
glodok dan hujan panjang di malam imlek)
ia tidak pernah lupa bau minyak kayu putih
kuli-kuli perkebunan, lorong-lorong tambang batu bara
nafas ayahnya dalam bayangan seribu lelaki yang tabah
interval antara data dan imajinasi
majikan yang berganti-ganti di meja makan dan pos jaga
makan malam dan sendok mulai bertaring
tidur malam dan bantal mulai bertaring
pintu dan suara langkah kaki mulai bertaring
bayangan panjang menyeret badai
“1740
1912
1965
1965
1965
1998
1998
1998
1998
1998”
philadelphia
los angeles
melbourne
shanghai
singapura
bali
gelombang pengungsi dan pasir dalam genggaman
pada batas takut dan marah
para penculik, pembunuh dan pemerkosa
(bau hangus di dalam selimut)
masih berkeliaran di luar dan di dalam rumahmu
di sana
suara korban adalah suara ibumu
ibuku — labirin di luar rumah
yang berliku, menekuk, menikung
dalam memandang diri sendiri
pagar-pagar berdiri:
relik
remintasi
menganyam lagi peta bumi sebagai rumah bersama
*Afrizal Malna, penyair dan esais.