Soal Pembreidelan Pameran Yos
Oleh Nindityo Adipurnomo*
Medan Sosial Seni Rupa bukan Medan Sosial Hukum RI, ceblang-ceblung komentar: pendapat, baik yang berbentuk dukungan penolakan, umpatan dan pujian maupun sekedar berbagai ungkapan rasa dan pemikiran yang sangat beragam datang dari sudut pemahaman netizen dalam medan sosial seni rupa Indonesia mengenai PEMBREDELAN pameran Tunggal pelukis Yos Suprapto di Galeri Nasional; dalam hemat saya memang patut kita rayakan. Inilah perayaan demokrasi yang selama sepuluh tahun terakhir, warga negara bangsa ini terpuruk jatuh oleh rezim pembodohan ala Mulyono.
Saya pribadi setuju untuk mempergunakan terma ‘bredel’, … PEMBREDELAN oleh Galeri Nasional, dimana Galeri sebagai lembaga negara, yang dalam kasus ini pengumumannya luas disebar di media sosial, pernyataan Galeri Nasional seakan hendak membungkus ‘niatan membredel’ dengan cara memperdayai makna terma ‘menunda’. Argumen saya satu: jika benar Galeri nasional hendak menunda pameran tersebut, maka selayaknya lembaga ini menindaklanjuti langsung dengan menentukan tanggal kepastian dibukanya kembali pameran tunggal Yos Suprapto. Pengambilan Keputusan yang demikian itu tadi akan mampu menunjukkan sikap netral negara sebelum memasuki ranah-ranah subyektif mengenai justifiksi artistik karya-karya Yos; memberikan tenggat waktu yang jelas mengenai upaya dan disiplin kerja organisasi oleh para baik itu seniman maupun kuratornya adalah sikap profesionalisme manajemen lembaga seni. Galeri Nasional yang budget operasional dikelola negara dengan memeras pajak warganya, nyatanya tidak melakukan itu. Lebih jauh, saya akan mengelaborasi singkat argumen saya.
Saya mempergunakan tiga alternatif cara dimana nilai-nilai kesenian bermunculan satu sama lain pada karya seni. Sepintas kilas, ketiga cara ini bisa saling tidak berkaitan, tidak tergantung satu sama lain dan sangat arbiter sifatnya. Merujuk pada kuliah Estetika yang disampaikan secara bersambung sebagai kuliah Filsafat dasar Universitas Parahyangan Bandung, oleh Baambang Sugiharto yang diunggah di youtube.
Kesenian dan nilai-nilai sosial filosofisnya pada dasarnya masih relevan ditengarai dari tiga sumber dasar. Yang pertama adalah nilai-nilai intrinksik yang terdapat pada karya-karya seni ‘aan sich’, dalam konteks seni rupa misalnya ada pada kondisi obyek fisikal karya itu sendiri. Tentu saja, kita bisa berbicara tentang persepsi-persepsi pribadi dan persepsi kolektif maupun umum. Yang kedua, yang masih sering berkaitan dengan ini adalah nilai-nilai yang berbentuk gagasan, konsep, oleh senimannya; mengenai karya seninya. Maka kita akan berbicara mengenai nilai yang relatif mutlak bersumber dari isi kepala sang seniman, bisa jadi masih terkait pada kondisi fisikal obyeknya, bisa juga tidak. Pelopor gerakan Dadaisme seperti Marchel Duchamp pada karya-karyanya misalnya banyak menunjukkan fenomena demikian. Kemudian yang terakhir bisa kita jumpai adalah: nilai sosial filosofis kesenian yang datang dari campur tangan lembaga, baik itu berbentuk sesederhana sebagai galeri, museum, dan dari event penyelenggara forum-forum dan peristiwa kesenian seperti biennale dan trienale dan seterusnya.
Membaca kronologis kasus karya-karya Yos Suprapto, kita paham bahwa nilai-nilai yang pertama dan kedua nampaknya tidak menemukan kejanggalan persepsi. Coba jika kita bayangkan Yos Suprapto mengambil inisiatif untuk membuat pamerannya sendiri, memilih dan menentukan karya-karyanya dan membayar sendiri sewa tempatnya, sewa studio sendiri untuk menggelar pameran karya-karyanya; di sana akan terbayang oleh kita dialog petemuan nilai-nilai pertama dan kedua. Lain persoalan ketika Yos mulai mempergunakan kurator, … campur tangan lembaga dalam hal ini, sekalipun seorang kurator yang bisa mengkalim dirinya sebagai ‘kurator independen’, maka kedua belah pihak harus benar-benar siap. Saya pribadi sebagai seniman, makin sering merenungi percaturan nilai sosial begini di dalam medan sosial kesenian kita akhir-akhir ini. Di satu sisi adalah campur tangan lembaga yang semakin kuat dan menonjol, baik dalam segi pendanaan, sumbang sih hasil-hasil penelitian, pencanggihan manajemennya, dan kekuasaannya itu semua makin menunjukkan kekuasaan/otoritas lembaga kesenian sebagai otoritas produksi karya seni sekaligus. Seniman apalagi otoritas berkeseniannya semakin terpojok kalau tidak ingin tersingkir. Fenomena ini bisa kita tandai dari misalnya pengakuan akan penilaian estetik kerja seni para seniman, acapkali sembarangan dilakukan hanya terhadap pengalamannya mengikut pameran (CV) pada banyak forum-forum pameran secara institusional.
Pada saatnya maka, tidaklah mengherankan jika kemudian seniman tidaklah bisa diterima sebagai seniman dengan karyanya, jika tidak memiliki reputasi institusionalnya pada CV nya.
Dalam persoalan ini yang terjadi pada pameran Tunggal Yos Suprapto ini, kurator yang bertindak sebagai tangan lembaga kesenian resmi negara (Galeri Nasional), terlihat belum menemukan kesepakatan pengumpulan/penyatuan nilai-nilai yang dimaksud, guna selanjutnya mengangkat karya Yos Suprapto ke ranah nilai-nilai sosial kesenian kelembagaan. Pada ranah demikian ini, maka tidaklah selayaknya negara, sekalipun itu adalah direktur Galeri Nasional bahkan setingkat Menteri sekalipun, turut campur dengan memberikan statement justifikasi artistik dan estetik pada karya-karya Yos secara publik; yang apalagi kemudian mengaitkannya dengan alasan “menunda” secara tak terbatas. Selayaknya, negara memberikan pengayoman tersembunyi pada upaya pembelajaran dan penguatan eksponen para pekerja seninya; sebagaimana negara ini mau mencerdaskan bangsanya. Bukankah Pemerintahan Negara ini tidak ingin dilihat sebagai pemerintahan Supra Otoriter?
—-
Amsterdam 21 Desember 2024
*Nindityo Adipurnomo, perupa.