Semula untuk Rakyat, Kemudian untuk Hantu

Pameran Seni Rupa Berbagai Era – Bagian 2

Oleh Agus Dermawan T.

Ragam cara memperkenalkan karya seni rupa ke publik. TIM dan Balai Budaya pernah menjadi model. Ada suatu masa yang menyulap ruang pameran jadi sunyi senyap.

—————

BAGIAN pertama tulisan ini menceritakan bahwa pameran seni rupa Indonesia pada awalnya dibekuk dalam ruang tertutup, seperti yang diselenggarakan oleh aneka kunstkring. Sifat pameran itu kemudian bergerak ke paradigma merakyat, yang ditandai oleh gelora seni zaman Jepang dan Hendra Gunawan – pameran yang seolah membawa seni ke tengah keluasan tanah lapang. Sebelum akhirnya kembali dipeluk oleh swasta, institusi yang meringkus balik semuanya ke jaring eksklusivitas. Sehingga karya seni rupa relatif tak bisa dinikmati masyarakat luas.

Namun tak berarti paradigma merakyat ala Jepang dan Hendra Gunawan tersebut begitu saja meredup. Pada 1969 para seniman Yogyakarta mencoba melanjutkan semangat itu. Mereka bikin pameran di trotoar Malioboro. Pada 1972 dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “Asri” berpameran di pasar malam sekaten di alun-alun Yogyakarta, yang ditonton (sekaligus dicoleki) pengunjung yang datang berduyun. Tahun 1974 perupa Institut Teknologi Bandung memamerkan karyanya dalam bazaar seni di sepanjang Jalan Ganesha, Bandung. Pelukis Ahmad Sadali, AD Pirous, pematung Rita Widagdo ikut dalam pameran khalayak itu. Satu kegiatan yang menginspirasi Ir Ciputra untuk membuat Pasar Seni Ancol pada 1975.

Dullah, mantan Pelukis Istana Presiden Sukarno, juga terpikat pameran kerakyatan ini. Ia dan anak didiknya di Sanggar Pejeng, Bali, bikin pameran lukisan di sepanjang dinding yang mengitari sanggar. “Agar orang-orang kampung bisa menonton,” kata Dullah. Hasrat itu kemudian dilanjutkan dengan pameran besar di Gedung Agung (Istana Presiden Yogyakarta), yang gerbangnya sengaja dibuka untuk siapa saja. Sehingga rakyat – dari bakul batik sampai penjual akik – ramai-ramai datang. Ketika paket lukisan itu dibawa ke Jakarta tahun 1979, Dullah memilih pameran di Aldiron Plaza, Blok M. Bukan di tempat pameran resmi.

Aldiron Plaza, Blok M, Jakarta. Tempat Dullah dan Sanggar Pejeng menggelar pameran terbuka. (Sumber: Agus Dermawan T).

Pameran 400 Lukisan Realistik Perang Kemerdekaan di Aldiron Plaza, 1979. Untuk rakyat. (Sumber: Agus Dermawan T).

Berkibarnya Taman Ismail Marzuki

Pada 10 November 1968 di Jakarta resmi berdiri TIM atau Taman Ismail Marzuki, di Jalan Cikini Raya. Di dalam TIM ada galeri pemamer seni rupa, yang dalam kerja dikawal oleh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Ajip Rosidi, Zaini dan Mustika berhasil menerapkan pilihannya secara tegas, yakni seni rupa “tinggi” dan “jauh dari pasar”. Pilihan ini populer, sehingga sampai tahun 1980 pameran TIM dianggap sebagai barometer kualitas pameran seni rupa di Indonesia. 

Patung Ismail Marzuki di Taman Ismail Marzuki, tempat berbagai pameran seni rupa digelar. (Sumber: Kartono Riyadi, Kompas).

Tapi sejauh itu, setidaknya sampai 1980-an, TIM tidak memberikan tuntunan apresiasi literatif. Karena yang ada dalam katalogus atau brosur hanya sambutan pengurus lembaga yang sifatnya formal. Sehingga bisa dikata, eksistensi galeri TIM hanya sebagai penyodor fenomena. 

Namun TIM memiliki cara lain untuk menutupi kekurangan ini, yakni dengan menyelenggarakan diskusi di tengah atau di ujung acara pameran. Seringkali diskusi ini lebih menarik ketimbang pameran yang digelar. Kalimat yang berceletukan di forum lebih aksentuatif dari noktah di patung dan lukisan. Baru tahun 1990-an kekurangan ihwal literasi ini disadari. TIM lantas getol menerbitkan kitab apresiatif untuk mengiringi pamerannya, yang digelar di Galeri Cipta 1, Galeri Cipta 2, serta galeri kecil di sebelah bioskop Cineplex 21, yang disebut Galeri TIM21. 

Sebagai tempat terbuka yang dikelola pemerintah, TIM menerima siapa saja sebagai pengunjungnya. Dari mereka yang berpendidikan sampai mereka yang tak punya sekolahan. Dari yang berpakaian necis sampai yang berbusana nyentrik dan ugal-ugalan. Boleh bawa bir, asal tidak mabuk. Boleh merokok, asal mau berbagi barang sebatang. Bahkan pengunjung boleh seharian di sana, dari pagi sampai malam. Apalagi di TIM banyak warung yang mempersilakan siapa pun untuk nongkrong. 

Berbagai warung tempat nongkrong di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1980. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Atas konsep yang mengutamakan keriuh-rendahan pengunjung ini Rusli, pelukis dan pemikir Dewan Kesenian Jakarta, sempat-sempatnya berfilsafat. 

Semua itu berkait dengan phanomenologie, katanya. Ia mengutip perkataan Georg Wilhem Friedrich Hegel, bahwa semua benda seni, apa pun bentuk dan coraknya, adalah “the knowing subject”, sehingga memiliki obyektivitas. Dan obyektivitas itu bisa dicapai apabila benda seni sanggup mempertunjukkan dan mengkomunikasikan ke-Ada-an dirinya secara demonstratif kepada semua orang yang datang. Apalagi fine art (seni murni) yang disuguhkan di TIM sejatinya memiliki kedekatan dengan publik, lantaran ciptaan itu adalah bentuk upaya seniman untuk membawa keindahan alam raya ke ranah budaya. 

Rektor Institut Kesenian Jakarta Slamet Danusudirdjo sedang mengamati patung dalam pameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. (Sumber: Taman Ismail Marzuki)

Memasuki dekade pertama tahun 2000 kharisma pameran TIM mulai surut. Itu berketerusan dalam tempo lama. Pada Juli 2022 TIM selesai direnovasi oleh Gubernur Anies Baswedan. Beriring dengan terbentuknya kompleks baru yang ruwet planologi dan denahnya, pameran di TIM jadi tidak populer. TIM pun, khusus untuk perhelatan seni rupa, ditinggalkan. 

Pola hidup TIM (di masa jaya) banyak dicontoh oleh pengampu seni rupa di kota besar. Mereka menggunakan institusi Dewan Kesenian kota bersangkutan sebagai pengelolanya. Seperti Dewan Kesenian Surabaya, yang bermarkas di gedung Balai Pemuda. Adanya ruang seni Dewan Kesenian menstimulasi lahirnya institusi pendamping, seperti Taman Budaya di berbagai daerah. Gaya hidup ruang kesenian itu sama: terbuka untuk umum dengan disiplin yang “pemerintah banget”. Sayang berbagai institusi ini banyak yang surut karena persoalan klasik, yakni kekurangan biaya.

Gedung Balai Pemuda, Surabaya, yang dijadikan markas seniman dan tempat pameran seni rupa. (Sumber: Pemda Surabaya).

Ramainya Balai Budaja

Jauh hari sebelum TIM berkiprah, di Jalan Gererja Theresia, Jakarta, telah berjaya Balai Budaja (baca: Budaya). Gedung yang didirikan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional ini diresmikan pemakaiannya oleh R. Gaos Hardjasoemantri pada 14 April 1954. Pada mulanya gedung ini tempat berkumpulnya para seniman berbagai bidang. Namun pada tahun 1970-an gedung ini (seolah) jadi milik para perupa.

Balai Budaja juga sangat terbuka. Menjelang tengah malam sejumlah seniman yang “tuna wisma” boleh tidur di situ. Pada siang hari sampai selepas senja ruangan digunakan untuk pameran. Bahkan seniman yang berpameran di Balai Budaja boleh tinggal atau “berkemah” di sudut ruang selama hari-hari  penyelenggaraan. 

Balai Budaya, Jalan Gereja Theresia, Jakarta. Siapa pun boleh pameran di sini. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Di Balai Budaja sering pula datang pula figur-figur unik untuk berbuat sesuatu. Pada suatu masa muncul Loe Ping Kian, seorang dokter internis yang berpraktik di rumah sakit Yang Seng Ie (kini RS Husada). Dokter Loe selalu membawa alat-alat pemeriksa kesehatan, untuk mendeteksi penyakit para seniman. Suatu hal yang menyebabkan Nashar – penghuni setia Balai Budaya – lari ke luar kota lantaran takut dioperasi, setelah “dituduh” berpenyakit gawat yang bikin mati. Pelukis Otto Djaya yang terkenal pada 1950-1960 itu sering pula datang ke balai ini. Ia selalu menenteng dan memamerkan foto-foto bintang jasa dan kliping dokumen perangnya di era kemerdekaan. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah pejuang.

Di Balai Budaja siapa pun boleh berpameran, dengan bayar sewa sekadarnya. Dari pelukis anak-anak dari kampung nun jauh, sampai seniman legendaris Affandi dan komikus Jan Mintaraga. Dari perkumpulan pemula, sampai sanggar profesional yang dipimpin pelukis Siauw Tik Kwie (pencipta komik legendaris Sie Djin Koei di majalah Star Weekly 1954-1961, penerjemah buku filsafat Ki Ageng Suryomentaram). Menariknya, pameran di sini selalu disertai perangkat pameran yang representatif. Poster dan katalogus pameran dibikin edisi bagus oleh seniman dan panitia penyewa ruang. 

Apabila di Taman Ismail Marzuki pameran tidak secara eksplisit melakukan penjualan, Balai Budaja justru sebaliknya. Pemamer di sini hampir selalu menyediakan daftar harga atas karya seni yang dipajang. Bahkan tak jarang yang menuliskan harga di lembar label judul karya seni yang dipajang di dinding. Banyak seniman yang bilang, gedung ini hongsuinya bagus. Sehingga balai yang gedungnya kuno, sederhana, dan acap bocor atapnya, sampai sekarang masih percaya diri berdiri. (Ah, kita jadi diingatkan semangat seniman Tisna Sanjaya yang berpameran di gedung biskop Dian yang sudah reyot, di Jalan Balonggede, Bandung).

Label judul pameran dengan catatan harga di bagian belakangnya.(Sumber: Agus Dermawan T.)

Pameran di Balai Budaya yang beratap bengkah dan bolong. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Mungkin karena posisinya berada di pinggir jalan besar ramai, dan pintunya sangat lebar, siapa pun punya kesempatan untuk menyelinap dan terlibat. Terutama pada acara pembukaan pameran yang menyediakan konsumsi. 

Pameran mengenang Jenderal Polisi Jujur Jenderal Hoegeng Iman Santoso di Balai Budaya, Jakarta, 2024. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Saya pernah berusul kepada politikus cum kolektor Jusuf Wanandi dan konglomerat Sofjan Wanandi, agar membeli Balai Budaja, untuk dibangun menjadi baru. Bikin berlantai-lantai, dengan lantai paling bawah tetap sebagai Balai Budaja. Mereka mengatakan bahwa gedung itu statusnya tidak terlampau jelas, sehingga ruwet untuk diurus! 

Tak jauh dari Balai Budaja ada Mitra Budaya, di Jalan Tanjung. Lembaga yang dikelola swasta ini sifatnya setengah terbuka. Tak ada seleksi ketat dalam penyelenggaraan pameran. Namun lantaran gedungnya adalah bekas rumah pembesar, maka yang terundang secara khusus adalah orang-orang khusus. Walau siapa pun boleh saja bertandang. 

Kemunculan Mitra Budaya ini diimbuh uar-uar Soedarmadji Jean Henry Damais, budayawan keturunan Prancis. Sehingga lantas mengilhami pusat kebudayaan asing untuk semakin menghidupkan ruang khusus untuk pameran. Seperti Alliance Francaise (milik pusat kebudayaan Prancis), Gothe Institut (Jerman), LIA (Lembaga Indonesia Amerika), Erasmus Huis (Belanda). Keaktifan ruang pameran pusat kebudayaan asing ini meramaikan suasana. 

Salah satu sudut tempat pameran Erasmus Huis, Jakarta, milik Pusat Kebudayaan Belanda. (Sumber: Agus Dermawan T).

Tontonan para hantu

Berbagai pameran seni rupa terselenggara di mana-mana. Indonesia pun terasa berseni rupa. Tapi, memasuki tahun 2005 atmosfir itu berubah. Kegiatan pameran yang diadakan menggebu itu “mendadak” kurang direspon masyarakat. Tidak cuma pameran yang diselenggarakan institusi pemerintah saja, yang memang dikenal agak enggan berpromosi. Tetapi juga ruang pamer yang digarap oleh swasta. 

Mari kita baca laporan pameran yang ditulis Arum (alias Yusuf Susilo Hartono) dalam majalah Visual Arts edisi Desember 2010, tentang pagelaran “Passage to the Future : Art from New Generation in Japan”.

…..“Siang itu ruang Galeri Salihara sepi. Seorang penjaga buku tamu asyik main HP. Yang satunya buru-buru bangkit dari kursi, buru-buru menyalakan lampu ruangan yang berdinding melingkar. Klik klik klik, ruangan berangsur terang…….Dan ketika kami usai menonton lalu keluar ruangan, pet pet pet. Ruangan kembali gelap dan senyap.”…..

Laporan itu menggambarkan betapa pameran di Galeri Salihara yang biasanya seru dikunjungi anak muda, pada kurun itu serta merta sepi adanya. Meski kemudian ramai lagi pada tahun-tahun berikutnya. Jika Galeri Salihara milik budayawan terkenal Goenawan Mohamad saja sepi, bagaimana nasib galeri-galeri kecil yang mertanggung namanya? Pada kurun itu Bentara Budaya, rumah seni prestisius milik harian Kompas, juga menderita kesunyian. Acara di sini hanya meriah kala resepsi pembukaan.

Contoh lain. Di mal Grand Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta, terdapat ruang pamer JAD (Jakarta Art District) yang diisi 10 galeri yang selalu tampil sangat apik. JAD ada di antara toko elite Ranch Market dan toko kelas satu Harvey Nichol. Bila melihat mal dan toko-toko pendukungnya, pameran di sini pasti ramai pengunjung. Benarkah demikian? Teryata tidak! Orang yang datang ke JAD sangatlah minimnya. Padahal JAD sudah didesain sebagai galeri yang terbuka alias galeri tanpa pintu. 

Pameran seni rupa di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia (kecuali Yogyakarta) pada tengah dekade pertama 2000 memang senyap. Padahal konon seni rupa Indonesia masa itu ramai dalam wacana, dan ilmiah dalam aspek kuratorialnya, sehingga heboh di majalah dan koran.

GNI atau Galeri Nasional Indonesia, institusi pameran nomer satu milik pemerintah di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, pada 2010 merilis  laporan resmi jumlah penonton setiap pameran yang diselenggarakan. Dalam laporan itu disebut ada pameran yang berlangsung 7 hari hanya dihadiri 117 orang, sesuai dengan yang tercatat di buku tamu. Aha, apabila pembukaan pameran ini dihadiri 50 tamu, maka pada hari-hari selanjutnya pameran ditonton oleh 67 orang. 

Jika setelah pembukaan masih ada 6 hari, maka dalam sehari pameran ditonton 11,2 orang. Bila diasumsikan bahwa pengunjung yang tidak mencatatkan namanya di buku tamu ada 30%, maka dalam sehari hanya ada pengunjung 14 orang! Alhasil ruang pameran itu sehari-harinya seperti rumah seni para hantu. Padahal display pameran kadang dipersiapkan selama 3-5 hari, dengan karya dan perabot yang harus diangkut truk besar, dengan melibatkan banyak tukang. Sayang benar! 

Ada yang bilang ini akibat dari krisis ekonomi global yang menggejala tahun 2006, kemudian merepresi ekonomi dunia dan Indonesia 2008 sampai 2012. Sehingga semua anggaran kebudayaan dipangkas, yang mengakibatkan insfrastruktur dan suprastruktur seni rupa jadi super lemas. Benarkah begitu? Sampai sekarang, banyak yang masih bertanya kepada rumput yang bergoyang-goyang. ***

 

*Agus Dermawan T. Pengamat seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.