Perupa Indonesia 2024 : IN MEMORIAM
Oleh Agus Dermawan T.*
PRIYANSHU SINGH, komposer dan bintang film India masa sekarang, berkata filosofis: “Satu-satunya yang kita bawa saat kita mati, adalah segala yang telah kita berikan ketika kita hidup”.
Ungkapan apik itu layak untuk menyelimuti para perupa mendiang yang gugur pada sepanjang tahun 2024 ini. Karena para perupa ini nyata telah memberikan banyak hal kepada kita, ketika mereka berkarya dalam bentangan hidupnya.
Berikut adalah para perupa yang layak kita kenang dengan rasa bangga, meski sekaligus dengan rasa kehilangan tiada terkira.
*
Amrus Natalsya
(1933 – 31 Januari 2024)
Amrus Natalsya kelahiran Natal, Sumatera Utara, 21 Oktober 1933, meninggal di Cibinong, Jawa Barat, pada 31 Januari 2024. Ia seniman legendaris yang menggeluti sejumlah pekerjaan seni. Ia menyair, melukis, dan membuat patung. Kedekatannya dengan dunia seni ini mendorongnya merantau ke Yogyakarta, dan masuk ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia).
Pada 1961 Amrus Natalsya bersama Misbach Tamrin dan lain-lain mendirikan SBT (Sanggar Bumi Tarung) di Yogyakarta. Karena cocok dalam visi, SBT direkrut untuk berafiliasi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang tercatat sebagai onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada 1965 Gerakan 30 September meletus. PKI dianggap dalangnya. Semua organisasi yang berafiliasi dengan PKI dibubarkan, dan para anggotanya ditangkap dan dipenjarakan tanpa pengadilan. Amrus pun mendekam sebagai tapol (tahanan politik) selama bertahun-tahun.
Tahun 1973 Amrus keluar dari penjara. Menjelang 1980 ia membuka kios di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Lantaran ia mantan tapol, nyaris tak ada orang berani membeli lukisannya. Ia pun terpuruk. Dalam kemiskinan itu ia menemukan lembar-lembar kayu buangan di belakang kios. Lembar-lembar kayu itu ia cungkil sehingga menghadirkan relief, yang lantas dibubuhi cat berwarna. Jadilah pahat kayu berlukis khas Amrus.
Beberapa tahun sebelum wafat ia menyelenggarakan pameran yang diklaim “terakhir”. Namun ia bertahan, sehingga tergelar pameran “terakhir” dan “terakhir” yang lain. Sampai akhirnya penerima berbagai penghargaan tinggi ini gugur dalam usia 91 tahun.
*
A.D. Pirous
(1932 – 16 April 2024)
Abdul Djalil Pirous dilahirkan di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932. Setelah agak lama menderita sakit tua, ia wafat dengan tenang di Rumah Sakit Borromeus, Bandung, pada 16 April 2024. Amat banyak warisan visual dan spiritual yang ditinggalkan. Beratus-ratus lukisan religiusnya tertebar di museum, rumah kolektor dan galeri Serambi Pirous. Banyak buku yang mengabadikan pikiran-pikiran cemerlangnya.
Pirous dan saya suka bersenda dan berkorespondensi. Dahulu sebelum ada handphone, ia acap menulis di kertas surat. Apabila surat itu pendek, ia menulis di kartupos. Ketika SMS (Short Message Servive) dan WA (WhatsApp) menjadi dominan dalam kehidupan, ia menuliskan suratnya di handphone. Bisa pendek, tapi bisa panjang lebar. Maka pada suatu kali saya bertanya, mengapa ia suka menulis surat. Ia menjawab bahwa itu adalah nuansa dari kesukaan dirinya menulis khat (tulisan indah beraksara Arab). Ketika saya tanya mengapa ia suka menulis khat dalam lukisan-lukisannya, ia menjawab : “Di situ saya punya kesempatan mengingat ayat Al Qur’an.”
Pirous bukan saja figur penting seni lukis alumni Institut Teknologi Bandung, ia juga tokoh besar seni lukis indonesia. Ia adalah penggubah seni lukis Islami yang belum ada duanya.
*
Jansen Jasien
(1974 – 14 Mei 2024)
Warga Jawa Timur, lebih tepatnya warga Kota Sidoarjo, pada 14 Mei 2024 kehilangan pelukis kebanggaannya. Dia adalah Mohamad Yasin, yang dikenal dengan Jansen Jasien, atau biasa dipanggil singkatannya : JJ.
JJ, kelahiran Gresik 15 April 1974, adalah pelukis otodidak. Kehidupan keseniannya yang ulet selalu diimbuhi dengan filosofi dan hal-hal yang magis dan mistik. Karena baginya melukis bukan sekadar kegiatan mengolah estetika, tetapi juga menjalani kehidupan suci lahiriah dan batiniah. Dari situ ia menghayati seni sebagai wujud nilai-nilai misterius. Itu sebabnya pamerannya acap mengumandangkan tema “berat”. Seperti “Jelajah Peradaban Leluhur” yang digelar dalam rangka Hari Pers Nasional 2024 di Surabaya.
JJ tak hanya melukis. Ia juga membangun sejumlah monumen. Di antaranya adalah Monumen Tebu Mas di Pabrik Gula Ngadirejo, Kediri. Ia juga suka arkeologi, sehingga bisa menemukan situs candi peninggalan Majapahit di Desa Terung, Kecamatan Krian, Sidoarjo. Jansen Jasien telah berpameran tunggal lima kali sejak 2007.
*
Mulyadi W.
(1938 – 7 Agustus 2024)
Mulyadi W, atau Wilhelmus Mulyadi, dikenal sebagai penggerak perkumpulan seni. Pada tahun 1959 ia bersama Soenarto Pr, Danarto, dan kawan-kawan mendirikan Sanggarbambu di Yogyakarta. Sebuah sanggar yang melawan arus, karena menyatakan diri tidak berpolitik. Padahal kala itu berbagai sanggar di Indonesia selalu berafiliasi di bawah organisasi politik. “Sanggarbambu itu sangat independen, tidak di bawah bendera apa pun, kecuali merah-putih. Itu sebabnya Goenawan Mohamad, yang kemudian terkenal sebagai budayawan, pernah intens belajar melukis di sini,” kata Mulyadi.
Dari Sanggarbambu ini lahir karya-karya dekoratif yang unik, dengan membawakan ciri khas visual Indonesia. Karya-karya Mulyadi sendiri juga membawakan aura dekoratif, dengan sentuhan sangat personal. Dengan karya seperti itu namanya dikenal sangat luas. Berbagai pameran di Indonesia dan mancanegara diikutinya, sejak tahun 1967.
Mulyadi, yang ternobatkan sebagai tokoh besar seni lukis dekoratif modern Indonesia, wafat pada 7 Agustus 2024. Ia meninggal karena usia tua. O ya, ia dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, 22 Agustrus 1938. Pada 1950 sampai 1960 ia menempuh pendidikan di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Lukisannya memenangkan sejumlah penghargaan lukisan terbaik, di antaranya Indofood Art Award 2002.
*
Adrianus Gumelar Demokrasno
(1943 – 25 Agustus 2024)
Ketika seni lukis Djoko Pekik digelar di Galeri Nasional Indonesia pada 2013, Adrianus Gumelar Demokrasno atau Gumelar, tampak masih berjalan gagah di ruang pameran. Topi baretnya dengan setia menaungi langkahnya. Namun ketika menghadiri pameran seni rupa “Sampai Batas Tarung” pada Juni 2024, ia telah menggunakan kursi roda, yang dengan telaten dibimbing oleh isterinya, Sarah. Namun demikian, topi baretnya tetap anggun bertengger di kepalanya.
Gumelar, kelahiran Subang 1943, memang seniman yang rajin mengikuti kegiatan seni rupa. “Itu dunia saya yang akan saya kunjungi sampai akhir hayat,” katanya. Dan semua itu diawali sejak 1960, ketika ia mulai menempuh pendidikan di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Di ASRI ia menemukan komunitas yang sepikiran, seperti SBT (Sanggar Bumi Tarung).
Pada ujung tahun 1965 meletus kudeta Gerakan 30 September. PKI dianggap sebagai dalangnya. Lekra dihujat, dan anggota perkumpulan yang berafliasi dengan Lekra, seperti SBT, diancam secara politik. Gumelar (bersama M. Gultom) buru-buru kabur ke Jakarta. Namun setahun kemudian ia ditangkap, dan dimasukkan penjara selama bertahun-tahun. Setelah bebas ia terus berkarya, berpameran di mana-mana, sampai ia pamitan pada 25 Agustus 2024.
*
Godod Sutejo
(1953 – 29 Agustus 2024)
Meski dikenal sebagai pelukis Yogyakarta, dan ternama sebagai seniman Pasar Seni Ancol Jakarta, sesungguhnya ia berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah. Godod – yang sehari-harinya gemar tampil seperti dukun – lahir pada 12 Januari 1953. Ia menempuh pendidikan di STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) “Asri” Yogyakarta.
Godod pada mulanya melukis dalam corak realis. Namun ketika disentuh oleh atmosfir Pasar Seni Ancol era 1975, ia menemukan pemikiran baru. “Di tengah Pasar Seni Ancol yang selalu dikerumuni keramaian, suasana sepi dan sunyi harus ditampilkan. Agar kehidupan seimbang,” katanya. Lalu ia pun mencipta karya yang merujuk kepada dunia hening itu. Kertas dan kanvasnya selalu menghadirkan segala sesuatu dalam keadaan ada dan tiada. Menurutnya, gambaran itu merujuk kepada filsafat Jawa : Sing ono iku ora ono. Sing ora ono iku ono. (Yang ada itu sebenarnya tidak ada. Sementara yang tidak ada sesungguhnya ada).
Selain aktif di Pasar Seni Ancol, Godod juga acap pameran di berbagai tempat. Dari Mitra Budaya sampai Lembaga Indonesia Amerika. Pada Agustus 2024 ia menggelar pameran tunggal berjudul “Manjing”, di Kiniko Art Room, Yogyakarta. (Manjing dalam bahasa Jawa artinya: memasuki tempat asalnya.) Dalam persiapan pameran ia sakit berat. Dalam acara pembukaan yang dilakukan oleh pelukis Subroto S.M, Godod pun tidak bisa hadir. Pada 29 Agustus Godod “sang dukun” wafat, ketika pamerannya sedang berlangsung.
*
S.Yadi K.
(1958 – 12 September 2024)
Supriyadi Kusnun, atau S.Yadi K, lahir di Banyuwangi. Bakat seninya diungkit di Banyuwangi, dipupuk di Banyuwangi, dikembangkan di Banyuwangi, dan diprofesionalkan di Banyuwangi. “Saya tidak akan ke mana-mana. Saya akan menaruh diri saya untuk Banyuwangi, tumpah darah,” katanya. Namun jiwa kesenimanannya yang bergelora menggoda dirinya untuk tidak berdiam di kampung halamannya saja. Ia pun memberanikan diri merantau ke Jakarta.
Pada suatu kali di bulan Mei 1978, ketika sedang magang di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Garajas) Bulungan, Jakarta, ia membaca berita bahwa di Ubud, Bali, ada upacara ngaben yang luar biasa. Bahkan upacara yang diperuntukkan bagi I Gusti Nyoman Lempad (pelukis kampiun 131 tahun) itu dihadiri oleh Paloma Picasso, putri Pablo Picasso, sang raja seni rupa dunia. Yadi sungguh terpana dengan kenyataan itu
Yadi pun ke Bali, untuk kemudian lama tinggal di sana. Di Pulau Dewata ini ia mencari uang untuk membangun kediamannya di Banyuwangi. Sampai akhirnya seniman kelahiran 6 Agustus 1958 ini berhasil membangun rumahnya yang besar, dengan pendopo Galeri Kawitan Omah Seni, yang dipergunakan untuk latihan dan pentas tari anak-anak dan remaja. Mereka yang menari sering jadi obyek lukisannya yang amat khas. Yadi wafat pada 12 September 2024, saat buku monografinya yang ditulis Henri Nurcahyo dan kawan-kawan sedang dipersiapkan.
*
Y. Eka Suprihadi
(1943 – 9 Oktober 2024)
Yohanes Eka Suprihadi adalah pelukis dan grafikus lulusan STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) “Asri” Yogyakarta. Isterinya, Nunung Nurdjanti, juga perupa dan intelektual seni rupa. Eko, begitu panggilannya, tercatat sebagai seniman yang pandai menggabungkan tehnik lukisan dengan seni grafis. Itu sebabnya karya-karyanya acap mendapat sorotan khusus.
Pada tahun 1995 lukisannya, Hidup Damai Bersama Habitat, menenangi kompetisi nasional Indonesia Philip Morris Art Award. Dalam katalogus, dewan juri (yang diketuai Gregorius Sidharta) menulis : “Karya Eko berkutat kepada keasyikan menggarap garis dan bidang sebagai kekuatan ekspresinya. Warnanya monokrom, padat, nyaris tanpa ruang yang dbiarkan kosong. Ritmenya dinamis. Teknik cetak datar (sablon) ditambah dengan sapuan kwas, nyata menghasilkan keunikan yang tak terduga.”
Eko dilahirkan di Yogyakarta 22 Oktober 1943. Selama puluhan tahun mengajar di STSRI ”Asri”. Ketika perguruan ini melebur jadi ISI (Institut Seni Indonesia), Eko juga tetap sebagai dosen, sampai purna tugas pada 2008. Karya-karya Eko telah dipamerkan di Taiwan, Korea Selatan, negara-negara Asia Tenggara. Ia wafat pada 9 Oktober 2024.
*
I Ketut Sana
(1952 – November 2024)
Pelopor seni lukis yang berukuran 5 cm sampai 30 cm itu adalah I Ketut Sana, kelahiran 1952, seorang buruh tani. Sana, seorang warga Dusun Keliki Kawan, Desa Ubud, semula adalah pekerja buruh tani. Di desa itu ia mengenal tokoh besar seni lukis Bali I Gusti Nyoman Lempad dan putera Lempad, I Gusti Nyoman Sudara Lempad. Sore-sore seusai bertani, Sana kerap melihat Sudara melukis di atas kertas. Bermula dari hanya mengamati, Sana lalu belajar melukis kepada Sudara,yang dilanjutkan kepada I Genjing dan I Gerudug.
Lalu setiap pulang ke dusun, Sana membawa sobekan-sobekan kertas sisa dari Sudara, yang lebarnya sekitar separuh kartupos. Di atas sobekan kertas itulah ia melukis dengan tinta dan cat air seadanya. Hasil lukisan Sana lalu ditunjukkan ke Sudara. Lukisan itu oleh Sudara lantas dipasarkan di Pasar Ubud, dan ternyata laku.
Sana tak lagi jadi buruh tani. Ia mencoba pekerjaan baru dengan bekerja di toko seni. Wawasan visual Sana semakin berkembang tatkala ia mendapat pekerjaan di art shop Dewata, di Desa Batuan. Di sini ia bersua dengan lukisan I Wayan Rajin yang detil, rumit, dan sebagian berukuran kecil-kecil. Sana segera saja “mencuri” spirit Rajin. Sementara dalam corak, gaya Batuan juga ia “curi” untuk kemudian diasimilasikan dengan gaya Ubud. Perjumpaan dan “pencurian” itu menguatkan hasrat Sana (bersama pelukis I Made Astawa) untuk mentradisikan melukis dalam ukuran kecil di Dusun Keliki. Ketut Sana wafat pada November 2024.
*
Djaja Tjandra Kirana
(1944 – 24 November 2024)
Djaja Tjandra Kirana, yang biasa dipanggil Koh Atjeng, lahir di Denpasar, Bali 1944. Mulai melukis tahun 1963. Selain melukis ia juga mendalami fotografi. Bahkan kemudian menjadi fotografer profesional, dengan menyandang banyak gelar. Ia ikut mendirikan Semarang Photo Club pada 1976 dan Perhimpunan Fotografer Bali, 1984.
Dalam seni lukis ia bergabung dengan Sanggar Kamboja-Bali yang didirikan oleh pelukis Huang Fong dan kawan-kawan. Sejak itu ia sering berpameran di berbagai kota, dengan karya yang memiliki ciri khas. Obyeknya Bali, dengan aroma dekoratif yang mengambil unsur-unsur ornamentasi Bali. Karya-karyanya telah dikelilingkan ke sejumlah negara. Pada Juli 2023 ia mendapat penghargaan “Bali Bhuwana Nata Kerthi Nugraha” dari Institut Seni Indonesia, Denpasar. Anugerah diberikan langsung oleh rektor Prof. Dr.Wayan “Kun” Adnyana.
Selain melukis dan mengerjakan fotografi, Djaja juga pengusaha. Ia membuka resto di kediamannya, Jalan Teuku Umar, Denpasar. Di situ ia selalu promosi : “Eh, bubur ayam di sini sangat enak. Bli harus coba, ya!” Dan memang nikmat! Ia wafat pada 24 November 2024 di RS Kasih Ibu, Denpasar. Kepergian Djaja diantar banyak orang. Termasuk keluarga Konsul Jenderal China di Denpasar, Zhang Zhisheng, yang datang ke rumah duka.
*
Pramono
(1942 – 1 Desember 2024)
Pada 5 Desember 2024 Pramono R. Pramoedjo, kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, akan genap berusia 82. Ia berusaha sehat sampai pada ulang tahun yang akan dirayakan meriah itu. Namun pada 1 Desember ia wafat.
Pramono, atau Pram, panggilannya, di dunia seni rupa Indonesia dikenal sebagai karikaturis koran Sinar Harapan sejak 1967, dengan maskotnya yang kritis, Si Keong. Ia bekerja di situ sampai koran tersebut tutup, pada 1986. Untuk mengisi kegiatan, ia membentuk paguyuban kartunis dan karikaturis Indonesia, dengan membuka Kedai Senyum di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Pada suatu tahun Sinar Harapan menjelma jadi Suara Pembaruan. Pram pun kembali bekerja di sana sampai 1998. Ketika tahun 2001 Sinar Harapan muncul lagi, Pram berkarikatur lagi di koran itu sampai 2001. Karya-karya Pram yang jeli dan estetik banyak mendapat penghargaan pers. Bahkan kartun bebasnya pernah memenangkan kompetisi International Cartoon Contest di Yomiuri Shimbun, Tokyo.
Pram pada mulanya adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi dan sekaligus Fakultas Hukum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun kedua ia mendadak pindah ke ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Pada tahun 1965 ia ditugaskan oleh para dosennya untuk membuat diorama di Monumen Nasional di Jakarta. Bersama ratusan seniman muda ia ditempatkan di satu rumah besar di Jalan Agus Salim. Presiden Sukarno kadang berkunjung ke permukiman seniman itu. Lantaran terkesan, Sukarno lalu mengajak para pemimpin redaksi untuk mengunjungi. Satu di antaranya adalah Soebagyo PR, pemimpin redaksi Sinar Harapan. Di situlah Pram dan Soebagyo ketemu hati. Pram pun lantas ditarik sebagai ilustrator dan karikaturis.
*
Sadikin Pard
(1966 – 2 Desember 2024)
Sadikin Pard meninggal pada 2 Desember 2024 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusuno, Jakarta, setelah mendapat serangan penyakit jantung, dalam usia 58 tahun. Pelukis tunadaksa ini konon kelelahan setelah ia mempersiapkan pameran lukisannya di Taman Ismail Marzuki, untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional, yang jatuh pada 3 Desember 2024.
“Bapak berangkat dari Malang ke Jakarta sejak tanggal 30 November. Keberangkatannya dipenuhi rasa antusias, karena pameran yang diikuti diselenggarakan secara spesial,” kata Edo, putera Sadikin.
Sadikin Pard mulai melukis secara profesional pada 1989, ketika ia diterima sebagai anggota Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) yang berpusat di Swiss. Karya lukisnya yang dicipta dengan kakinya menarik perhatian, sehingga ia sering diundang peragaan melukis di luar negeri. Suatu hal yang menyebabkan mundur sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang. Karya Sadikin kerap jadi ilustrasi kartu pos dan kalender terbitan AMFPA.
*
Sri Warso Wahono
(1948 – 4 Desember 2024)
Sri Warso Wahono lahir pada 17 Juni 1948. Suka melukis sejak belia. Karena itu ia lalu masuk IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) jurusan seni rupa. “Agar jika susah jadi pelukis, ya jadi guru melukis,” katanya. Itu sebabnya ia lantas menjadi pengasuh workshop seni lukis di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah, Solo. Matang di sana, ia lalu mendirikan Dewan Kesenian Surakarta bersama teman-temannya.
Pada tahun 1976 ia hijrah ke Jakarta. “Ingin ngetop secara nasional,” ujarnya. Di Jakarta ia lantas hidup selamanya. Karirnya terus meningkat, baik dalam seni lukis maupun dalam organisasi. Sambil melukis dan pameran, ia menjadi pengurus berbagai perkumpulan, bahkan kemudian menjadi petinggi di Museum Sejarah dan Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta. Juga jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Warso dikenal sebagai pelukis yang baik hatinya. Ia banyak memberi kesempatan kepada para pelukis muda untuk maju. Sebagai tokoh seni rupa, ia pernah melakukan orientasi seni rupa di Belanda, Jerman, Brazil dan Amerika Serikat. Acap pameran tunggal dengan karya yang relatif serba besar. Lukisannya kadang menyembulkan lambang-lambang Kristiani, dengan idiom dan adegan wayang seperti rampogan. Sri Warso Wahono sesungguhnya telah sakit berat sejak terkena Covid-19 pada 2020. Ia bertahan, dan wafat pada 4 Desember 2024 di Jakarta.
*
Toto Sunu
(1961 – 19 Desember 2024)
Toto Sunu, kelahiran 1961, warga Gunung Mulya, Kecamatan Drajat, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon. Apabila seniman lain melukis di kanvas, ia memilih melukis di lembar kaca. Sehingga ia dijunjung sebagai ikon pelukis kaca mashab Cirebon, mendampingi nama terkenal lain seperti Rastika, Raharyadi W, Kusdono Rastika. Presiden Republik Indonesia Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono acap membeli lukisannya untuk souvenir negara atau koleksi pribadi. Pada awalnya Toto mengusung tema-tema wayang dan tema religius keislaman. Namun pada periode berikutnya ia melukis tema bebas, bahkan melukis foto dalam gaya realis fotografis.
“Yang paling mengesankan adalah pilihan Pak Harto pada 1988. Tema lukisan saya yang dipilih bertema delapan dewa, yang diyakini bisa membimbing jalan sejarah bangsa Indonesia. Lukisan itu konon disimpan sebagai jimat,” kata Toto.
Toto Sunu, bernama lengkap Sumbar Priyanto Sunu, wafat pada 19 Desember 2024. Menariknya, ia ternyata berasal dari Purwokerto. Bukan Cirebon!
*
Ujung kalam, kita lalu teringat apa yang dtuturkan George Eliot alias Mary Anne (1819-1880), sastrawati dan wartawati Inggris : “Orang-orang yang sudah mati sesungguhnya tidak pernah mati, kecuali apabila kita melupakan mereka.” Saya meyakini kebenaran kata-katanya!
***
*Agus Dermawan T. Kritikus. Penulis buku-buku budaya dan seni.