Pameran Etnofotografi Edy Utama Membingkai Perubahan Budaya
Oleh Nasrul Azwar
Pameran etnofotografi karya foto Edy Utama bertema “Minangkabau Cultural Landscape” yang dibuka secara resmi oleh Wakil Gubernur Sumatra Barat Audy Joinaldy, pada Sabtu (28/8/2021) lalu di Galeri Taman Budaya Sumatra Barat hingga hari ini masih berlangsung sampai tanggal 7 September 2021.
Foto-foto yang dipamerkan Edy Utama dengan basis dan fokusnya pada etnofotografi dengan lanskap alam budaya Minangkabau membawa tawaran pemikiran alternatif di tengah merosotnya wacana-wacana konseptual kebudayaan seiring pegebluk Covid-19 yang memporakporandakan semua sisi kehidupan manusia di muka Bumi.
75 karya foto dipotret Edy Utama dalam rentang 25 tahun terakhir lalu dipajang dengan konsep etnofotografi lanskap budaya alam Minangkabau merupakan perjalanan panjang yang di dalam bingkai foto “mencatatkan” peristiwa budaya, perubahan rentang alam (lanskap), kondisi sosial, yang sekaligus sebagai warisan budaya.
Etnofotografi bagian dari pendekatan antropologi visual atau etnografi visual yang sudah cukup lama berkembang di dunia. Foto bukan semata dimaknai sebagai karya seni tetapi sekaligus dijadikan objek kajian budaya.
Begitu benang merah yang terurai dalam tanggapan dan respons apresiatif kritis itu diterima penulis secara tertulis terhadap 75 foto etnofotografi “Minangkabau Cultural Landscape” yang pamerannya berlangsung dari tanggal 28 Agustus hingga 7 September 2021.
Respons dan tanggapan datang dari Hilmar Farid (Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), Garin Nugroho (sutradara film dan budayawan), Fasli Jalal, Sp.Gk, Ph.D (Rektor Universitas Yarsi-Mantan Ketua Umum Gebu Minang), dan Prof. Ir. Yonariza, MSc, PhD (Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas).
Mereka memberikan tanggapannya karena apa yang diemban pameran etnofotografi karya Edy Utama dengan fokus bentangan alam budaya Minangkabua dinilai cukup penting dalam perjalanan dan proses perubahan yang tengah melanda alam, landskap dan kebudayaan Nusantara, termasuk Minangkabau, yang dikesankan dapat dijadikan bahan pemikiran dan perdebatan positif untuk pemajuan kebudayaan.
Menurut Hilmar Farid, falsafah adat Minangkabau yang menyebutkan Alam Terkembang Jadi Guru perlu dipegang kuat sebagai penunjuk jalan pada waktu melakukan pengamatan, kajian, dan perenungan.
“Di dalam pameran ini kita akan melihat bagaimana Edy Utama mempraktikkan falsafah tersebut. Pameran Lanskap Budaya Minangkabau mengingatkan kita untuk terus memelihara warisan budaya di tengah perubahan masyarakat yang begitu cepat,” kata Hilmar Farid.
Dijelaskannya, saat ini UNESCO telah menjadikan lanskap budaya sebagai kategori warisan dunia setelah melalui perdebatan panjang dan tampaknya perdebatan tersebut belum selesai.
Lanskap budaya merupakan bagian dari warisan budaya Indonesia yang penting dan perlu dipahami lebih mendalam. Pemahaman sebuah lanskap budaya dari sudut pandang para pelaku budaya yang terlibat di dalamnya masih sangat perlu diperkenalkan lebih masif.
“Itulah sebabnya, pameran foto lanskap budaya karya Edy Utama, pelaku budaya dan juga pengamat kebudayaan Minangkabau, menjadi sangat penting. Dialog antara apa yang terlihat secara obyektif dan apa yang terekam secara subyektif akan menjadi bahan yang menarik untuk membincangkan lanskap budaya, menambah dalam pemahaman kita,” jelas Dirjen Kebudayaan ini.
Ia melanjutkan, akan menarik untuk membincangkan pemaknaan dan penilaian terhadap ekspresi budaya – ataupun impresi budaya atas keunikan alam – dalam rangka memperlihatkan sudut pandang pelaku budaya yang terkait, bukan untuk menghasilkan rumusan-rumusan baru tentang makna dan nilai, melainkan untuk memperkaya wawasan kita.
“Kiranya rumusan makna dan nilai yang diperlakukan sebagai ketetapan perlu kita hindari, karena akan menyulitkan generasi mendatang pada saat akan melahirkan ekspresi dan impresi budaya yang baru,” urainya.
Sementara Garin Nugroho menilai, melihat lalu membaca foto-foto karya Edy Utama, terasa benar kita sedang berada dalam ungkapan “alam membentang menjadi guru.”
“Beragam aspek kehidupan dalam satu frame sebagai sebuah pengalaman virtual dalam pembekuan yang hidup. Sebuah peristiwa budaya yang dipadatkan dalam satu frame yang membawa beragam cerita tentang manusia dan tanah Minangkabau yang menjadi bagian hidup Edy Utama sekaligus pengalaman dan perjalanannya dalam keelokan alam budaya Minangkabau,” kata sutradara film ini.
Oleh karena itu, menurutnya, mengulas sebuah foto adalah membaca relasi keterampilan , estetika sekaligus pengalaman serta pengetahuan atas subyek serta diri fotografernya.
Fasli Jalal, salah seorang tokoh Minangkabau yang menaruh perhitan serius terhadap Sumatra Barat menguraikan lebih jauh terkait dengan tema pameran etnofotografi Edy Utama ini.
Menurutnya, gambaran visual 75 foto yang dipamerkan dengan objek aktivitas sosial-budaya dan alam Minangkabau adalah potret yang bernilai sangat penting sekaligus sebagai obat kerinduan anak rantau, yang sebagian hidupnya dijalani di kampung kelahirannnya di ranang Minangkabau.
“Karya etnofotografi Edy Utama ini mampu “mengobati” dan sekaligus menjaga alam Minangkabau tetap elok dan indah. Memori kolektif orang Minangkabau yang hidup di perantauan dan semasa kecilnya dilalui di kampungnya, melihat foto-foto yang dipamerkan tentu akan merekonstruksi hubungan batin orang Minang dengan kampungnya, yang sekaligus akan berupaya merawatnya untuk dikisahkan ke anak-cucunya,” urai Fasli Jalal.
Manajemen Lanskap Minangkabau
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas Yonariza membaca pemeran etnofotografi Edy Utama dari aspek manajemen dan tata kelola ruang. Ia menyebutnya dengan manajemen lanskap Minangkabau.
Menurutnya, dilihat dari proses evolusi, lanskap Minangkabau sudah mencapai tahap finalnya dan itu sudah dipertahankan sejak berabad-abad yang lalu. Ini dikenal dengan sustainable lanscape.
“Begitu juga dengan lanskap pemukiman atau kampung di Minangkabau yang sudah terbangun sejak lama kerena orang Minangkabau tidak lagi nomaden. Nagari Minangkabau merupakan lanskap budaya yang sudah maju. Kemajuan ini akan tampak jelas bila dibandingkan langskap yang sedang berkembang pada desa-desa hasil program transmingrasi,” jelas Yonariza.
Namun demikian, tambahnya, kini lanskap budaya Minangkabau seperti hamparan sawah mengalami ancaman seperti konversi lahan sawah. BPS mencatat, luas lahan sawah di Provinsi Sumatra Barat pada tahun 2019 adalah 194.282 ha. Luas sawah itu susut 14 ribu ha selama 10 tahun terakhir.
“Oleh sebab itu manajemen lanskap memerlukan sudut pandang lain untuk memberikan dasar pijakan dan bertindak. Manajemen lanskap Minangkabau yang dimaksud di sini adalah pentingnya valuasi ekonomi lanskap, pentingnya perlindungan lanskap dan perlunya pemasaran lanskap budaya Minangkabau,” sebut Guru Besar Unand ini.
Dalam hal ini, lebih jauh dikatakannya, lanskap budaya Minangkabau yang ingin digambarkan adalah sebagian besar dari wilayah Provinsi Sumatra Barat yang dihuni suku Minangkabau. Ciri utama langskap Minangkabau ini adalah bentang lahan yang diperkaya dengam perkampungan, lahan pertanian berupa persawahan dan parak.
“Di latar belakangnya galibnya terdapat lanskap alami seperti pegunungan dan perbukitan,” terangnya.
Edy Utama mengatakan, kalau dilihat dari tema-tema pameran yang dilakukan sebelumnya, misalnya yang digelar di Gallery East_West Centre, Honolulu, berjudul Minangkabau Procession of Sumatra, sebetulnya adalah sebuah pameran dengan pendekatan etnografi visual (etnofotografi) dengan sub-sub tema yang beragam.
“Ide dasar pameran di Gallery East-West Centre yang berlangsung antara 27 Februari sampai 29 April 2012 lalu mengungkapkan tradisi budaya masyarakat Minangkabau melalui arak-arakan dalam bentuk prosesi, seperti perkawinan, pengangkatan penghulu, Maulid Nabi, silat ulu ambek (seni), serta prosesi dalam upacara kematian yang disebut dengan Manyaratuih Hari,” jelas Edy Utama.
“Nah pamerena sekarang saya tema tunggal, yaitu ingin memamerkan karya budaya nenek-moyang orang Minangkabau dalam meneroka alam berbasiskan kearifan lokal Alam Takambang Jadi Guru, yang secara umum dikenal dengan cultural landscape. Artinya temanya lebih fokus, yang saya lebeli pameran ini dengan istilah etnofotografi,” tambahnya.
Pembukaan pameran etnofotografi karya foto Edy Utama bertema “Minangkabau Cultural Landscape” dirayakan dengan menghadirkan peristiwa seni (happening art) “Manggaro” karya Susasrita Lora Vianti, doktor penciptaan seni tari dari ISI Padang Panjang, yang sekaligus sebagai penarinya yang diiringan dengan dendang dan rabab pasisie seniman Hasanawi dari Komunutas Langkok Padang.
Kolaborasi ini berkisah tentang kehidupan nenek-moyang orang Minangkabau “manaruko“, dan membangun nagari serta adat-istiadatnya yang telah diwariskan melalui narasi tradisi lisan bakaba.
Terlihat hadir saat pembukaan antara lain Kepala Dinas Kebudayaan Sumatra Barat Gemala Ranti, Rektor ISI Padang Panjang Novesar Jamarun, Hasril Chaniago (wartawan senior), Sukri Saad (mantan aktivis dan pendiri Walhi), dari kalangan seniman dan budayawan Yusrizal KW, Suhendri, Esha Tegar Putra, Mahatma Muhammad, Hermawan, Yeyen Kiram, Eddie MNS Soemanto, Dedi Navis, Musra Dahrizal Katik, Rizal Tanjung, Noni Sukmawati, Lilik Zurmailis, Yusril Katil, Wannofri Samry, Tommy Iskandar, Zelfeni Wimra bersama istri, dan lain sebagainya. Dari akademisi tampak Zaiyardam Zubir, Muhammad Taufik, Israr Iskandar, Yudhi Andoni, Firdaus Diezo, dan masyarakat pencinta seni di Sumatra Barat dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat. ***
*Nasrul Azwar adalah penulis dan jurnalis