Nasib Murung BUMI TARUNG
Oleh Agus Dermawan T.
INI SEPOTONG sejarah. Pada tahun 1961 di Yogyakarta berdiri perkumpulan seni Sanggar Bumi Tarung, atau SBT. Sanggar yang didirikan oleh Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Misbach Tamrin dan kawan-kawannya ini memiliki temperamen yang populer pada masanya, yakni sikap revolusioner dan merakyat.
Karakter yang tegas dan terang-terangan politis itu diberangkatkan dari kepercayaan anggota sanggar kepada Teori 1-5-1. Sebuah pedoman yang dipetik dari rumusan Nyoto yang dilontarkan dalam Kongres Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Kita tahu : Lekra adalah organisasi kebudayaan yang berafiliasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Teori 1-5-1 bisa diuraikan begini. Angka 1 pertama untuk menegaskan bahwa “Politik adalah Panglima”. Dengan begitu, kesenian apa pun bentuknya harus mengikuti jalan kebenaran politik pada suatu masa.
Prinsip pertama ini menjadi dasar pijak bagi pelaksanaan 5 kombinasi kerja kesenian yang harus dilakoni. Yakni : (1) memadukan kreativitas individu dengan kearifan massa ; (2) mengelola kesenian dengan gerak yang meluas dan meninggi ; (3) menyebarkan karya seni dengan ekspansi yang melebar dan melambar ; (4) memelihara mutu tinggi seni dengan tetap mengusung ideologi politik bangsa pada suatu masa ; (5) memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner di dalam karya seni.
Sedangkan 1 yang terakhir adalah : Turba atau turun ke bawah. Yang artinya : mendekatkan proses penciptaan kepada ilham-ilham yang datang dari rakyat jelata, dan memperuntukkan spirit dan konten hasil kesenian untuk kepentingan rakyat bawah.
Dengan panduan Teori 1-5-1 tersebut para seniman SBT mencipta karya seni rupa, untuk kemudian disosialisasikan ke mana-mana. Suatu jalan kesenian yang apik, meski tidak istimewa. Lantaran sesungguhnya sebagian besar ayat dari Teori 1-5-1 itu juga dipercaya oleh para anggota Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan. Jauh tahun sebelum Nyoto mengumandangkan 1-5-1 itu dalam kongres.
Eh, apa mau dikata Gerakan 30 September meletus pada 1965. PKI dituduh sebagai dalangnya. Maka PKI pun dibrangus habis. Dengan begitu segenap organisasi afiliasinya juga diringkus oleh pemerintah (yang disebut) Orde Baru. Di antaranya adalah Lekra dan segenap adik perkumpulannya, seperti SBT. Maka sejak di penghujung tahun 1965 itu SBT dianggap sebagai musuh negara. Tidak tanggung-tanggung, sepanjang tahun 1966 sampai 1968 semua pendiri dan anggota SBT diburu, ditangkap dan lantas dimasukkan dalam penjara.
“Itu mungkin takdir kami sebagai seniman yang lahir di tengah politik. Meski kami hanya seniman, mahluk yang berusaha menciptakan kesenangan bagi banyak orang. Meski kami hanya pelukis yang berusaha ikut mengisi jiwa bangsa, dengan cara sebisanya,” kata Misbach Tamrin, yang dimasukkan sel tahanan politik di Banjarmasin.
“Penangkapan dan pemenjaraan itu agaknya niscaya dalam dunia politik. Karena memang begitu situasinya. Oleh sebab itu kami hanya pasrah, sambil mencoba terus bertahan. Kami tak mendendam kepada keadaan, karena kami berprinsip sing wis yo wis. Yang sudah ya, sudahlah. Tapi bahwa kami akan terus melukiskan kenangan pahit, itulah adalah hak kami sebagai seniman,” kata Djoko Pekik, yang lama menikmati penjara tahanan politik di Yogyakarta.
Uniknya, meski orang-orang perkumpulan itu diterungku, Pemerintah Orde Baru lupa membubarkan Sanggar Bumi Tarung. Sehingga dengan begitu SBT secara formal bukanlah perkumpulan terlarang. Oleh karena itu ketika pemerintahan Orde Baru berakhir pada Mei 1998, para pendiri dan anggota SBT gelisah. Mereka berpikir : mengapa SBT yang tak pernah dilarang itu tidak diaktifkan lagi? Toh sebagian besar dari mereka masih gagah berkarya, meski hidupnya acap terbantun-bantun oleh trauma?
Lima kali berpameran
SBT akhirnya segar kembali dari kehidupan yang mati suri. Figur-figur yang menderita dan terpencar tinggalnya itu lantas berkumpul-hati dan pameran bersama. Pameran yang ke-5 diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia pada 21 Juni sampai 12 Juli 2024, dalam juluk “Sampai Batas Tarung”. Di sisi hadir lukisan Djoko Pekik, Amrus Natalsya, Isa Hasanda, Suhardjijo Pudjanadi, Ng Sembiring, Puji Tarigan, Muryono, yang semuanya sudah almarhum. Karya Misbach Tamrin yang sosoknya masih gesit serta lukisan Andrianus Gumelar yang sudah duduk lemah di kursi roda. Termasuk ciptaan Gultom yang kini tidak diketahui ada di mana.
“Ini suguhan terakhir Sanggar Bumi Tarung. Saya katakan begitu, karena saya sudah menghitung, betapa anggota SBT sekarang tinggal 2 orang. Yakni saya yang berusia 83 tahun, dan Adrianus Gumelar yang berusia 81 tahun. Usia-usia di ujung tanduk, sebelum kami menyusul kawan-kawan yang sudah pulang duluan. Kami sudah sampai di batas akhir pertarungan,” kata Misbach Tamrin dengan murung pada acara pembukaan pameran, di sela nyanyian merdu kelompok paduan suara Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun), yang beranggotakan wanita penyintas tahanan politik 1965.
Beruntung judul “Sampai Batas Tarung” di sini hanyalah sebatas melankoli. Lantaran selain mengetengahkan lukisan-lukisan anggota SBT, pameran ini juga menghadirkan karya generasi baru : 7 dari Banjarmasin, 2 dari Yogyakarta, dan 8 dari Jakarta. Mereka jelas berusaha meneruskan dan mengelaborasi spirit SBT. Sehingga di ruang pameran tetap berjajar seni rupa posteristik yang temanya membela wong cilik. Tetap ada lukisan yang mengungkap aspek-aspek humanisme dalam kehidupan sosial lewat presentasi provokatif. Tetap ada gambaran rakyat jelata, yang menunjukkan bahwa generasi baru juga “turun ke bawah”.
“Pak Misbach boleh merasa sudah di ujung perbatasan, sementara kami sudah mulai bergerak dari garis permulaan. Sanggar Bumi Tarung boleh saja mati nama, tapi landasan berpikir dan api semangatnya akan berlanjut sangat lama,” kata Yaksa Agus, kurator pameran. Ia berkata bahwa api semangat itu adalah : selalu membela kebenaran masyarakat lewat kesenian, dan selalu gagah dalam penderitaan.
Mengungkit ingatan
Pameran “terakhir” Sanggar Bumi Tarung ini mengungkit ingatan kepada kekuasaan seni Orde Baru. Pada era rezim yang berlangsung 32 tahun ini karya-karya seni yang beraroma realisme revolusioner, realisme sosialis, atau romantisme revolusioner, disimpulkan sebagai buah dari Teori 1-5-1 Lekra. Sehingga keberadaannya sedapat mungkin dikubur, bahkan sebisanya tidak muncul dalam kenangan dan catatan. Sementara jelas ditengarai bahwa seni Lekra dan “adiknya”, SBT, merupakan produk Orde Lama, rezim politik yang ditumpas Orde Baru. Dengan begitu, karya seni (dan seniman) yang beraroma politik Lekra atau Orde Lama berusaha disingkirkan dari pandangan.
Seniman Lekra dan SBT itu – yang dianggap berfaham sosialis-komunis – dipredikati sebagai “seniman kiri”. Ini untuk membedakan dengan mereka yang liberalis-kapitalis sebagai “seniman kanan”. Dalam sejarah terbaca, sejak 1968 kemunculan para “seniman kiri” dijauhkan dari ekspos dari koran, majalah sampai televisi. Pameran mereka dibatasi, dengan dihambat kriteria “bersih lingkungan”. Display atas karya-karya mereka juga diseleksi, dengan bertolak dari hasil pembacaan interpretatif atas konten karya seni yang ada.
Lim Wasim, Pelukis Istana Presiden Sukarno yang bertugas di Istana sampai 1968 bertutur, “Menurut Kepala Rumah Tangga Kepresidenan kala itu, lukisan Kawan-kawanku karya Amrus Natalsya merupakan gambaran dari proletar yang sedang mempersiapkan pemberontakan karena marah kepada kapitalis birokrat.” Lalu lukisan bikinan 1958 itu dikategorikan sebagai kaya propaganda. Akibatnya, selama beberapa dekade Kawan-kawanku digudangkan bersama puluhan lukisan “kiri” lainnya.
“Aku memahami penyingkiran itu sebagai resiko politis. Tapi harus aku koreksi bahwa interpretasi pihak Istana keliru. Karena Kawan-kawanku hanya melukiskan orang-orang yang beristirahat seusai bekerja pada sore hari. Sebelum mereka ramai-ramai mandi di kali. Teman-teman saya di akademi seni rupa Yogyakarta tahu, karena mereka adalah modelnya,“ kata Amrus.
Lukisan tersebut “ditemukan kembali” oleh Panitia Nominalisasi Koleksi Istana Kepresidenan tahun 2011. Dan sudah diduga, Kawan-kawanku dalam keadaan rusak. Persis seperti kondisi lukisan sangat bersejarah karya Henk Ngantung, Memanah. Henk, sahabat Bung Karno yang jadi Gubernur DKI Jakarta 1964-1965, juga diposisikan sebagai “seniman maha sukarnois yang kiri”.
Tahun 2017 Pengelola Benda Seni Istana Kepresidenan Jakarta menemukan karya langka Trubus Sudarsono, pelukis Lekra yang mati misterius pada 1966. Lukisan yang menggambarkan pahlawan I Gusti Ngurah Rai itu dikerjakan di kain kasur. Lukisan amat nasionalis dan “miskin” tersebut ternyata tersimpan di gudang selama berkurun tahun, sampai kondisinya rusak. Untung para pengelola koleksi Istana segera merestorasi sehingga lukisan bisa terpajang kembali. Hal yang sama juga terjadi pada sejumlah lukisan besar karya Dullah yang bertema revolusi. Dullah adalah Pelukis Istana Presiden Sukarno 1950-1960.
Tapi tidak semua kesalahan penafsiran itu mengarah kepada ketajaman pisau politik. Ada juga yang justru kebalikannya, meski semua terjadi karena kekeliruan.
Alkisah Itji Tarmizi, anggota sanggar Pelukis Rakyat, dalam bahasa rupa realis menggambarkan kemarahan para nelayan (rakyat jelata) kepada seorang juragan ikan (kapitalis). Lantaran juragan itu selalu menekan harga beli dari nelayan, dan melambungkan harga jual kepada konsumen. Maka lukisan itu pun oleh Itji Tarmizi dijuduli Melawan Kenaikan Harga.
Namun ketika tercetak dalam buku koleksi Presiden Sukarno, judul berubah jadi Lelang Ikan. Selarik judul yang tumpul tanpa muatan. Kekeliruan judul itu menyelamatkan Lelang Ikan dari tudingan sebagai “lukisan kiri”, sehingga terhindar dari penyingkiran.
Negosiasi politik atas seni
Di luar Istana Kepresidenan, para seniman Orde Lama juga punya cerita kecut lantaran terus didesak ke “kiri”.
Pada tahun 1964 seniman Harijadi Sumodidjojo dan Sanggar Selabinangun mendapat opdracht membuat tiga relief untuk dua hotel. Dua relief diselesaikan dengan komplit. Namun relief Indonesia di Masa Datang yang disiapkan untuk Bali Beach Hotel terhambat. Proyek ini baru dimulai lagi pada pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Mengingat proyek relief itu merupakan gagasan Sukarno yang dianggap “kiri”, maka pemerintahan Orde Baru yang “kanan” berusaha memangkasnya. Lewat surat bertanggal 5 Januari 1968 yang ditandatangani Kolonel (Infanteri) EA Sumardja Adidjaja, Lembaga Pariwisata Nasional menghentikan pembuatan relief yang baru berjalan 10% itu. Alasannya : tidak ada biaya. Harijadi sama sekali tidak percaya dengan alasan biaya itu. Kecurigaannya terbukti pada 1970.
Pada suatu hari Harijadi diundang makan malam di Bali Beach Hotel oleh Direktur Jenderal Pariwisata Letnan Kolonel MJ Prayogo. Di situ pak dirjen mengatakan : apabila Harijadi mau menghilangkan sosok Sukarno dalam desain relief, anggaran pembuatan relief akan dialirkan lagi. Harijadi terperenyak. Lalu dengan tegas Harijadi menjawab bahwa sampai kapan pun ia tidak akan menghilangkan sosok Sukarno dalam relief itu.
“Sejak itu, proyek relief bubar,” kata Ireng Lara Sari, puteri Harijadi, penulis buku Andesit Untuk Bangsa (Yogyakarta, 2015). Menurut Ireng, sebagaimana dituturkan ayahnya, pelarangan penghapusan sosok Sukarno itu pasti tidak datang dari Presiden Suharto. “Tak mungkin Pak Harto yang begitu sibuk ngurusi hal kecil seperti itu.”
Tengah kurun 1980-an, pasca rehabilitasi besar-besaran tahanan politik, Orde Baru memberi peluang mencipta bagi para “seniman kiri“ yang pernah dicokok. Namun pemerintah tetap mengundangkan pesan : “awas bahaya laten komunisme”. Artinya, masyarakat tetap diminta untuk terus menyigi gerak-gerik politik para “seniman kiri”. Pengingatan itu menghasilkan pergesekan antara masyarakat dan sekelompok seniman.
Peristiwa yang menimpa sang pendiri SBT Misbach Tamrin ini adalah contohnya.
Syahdan Misbach sudah dibebaskan dari bui tahanan politik Liang Anggang, Banjarmasin. Ketika bebas, potensi seni Misbach dimanfaatkan sebagai “tenaga ahli murah” untuk memperindah wilayah. Di antaranya membuat pintu gerbang di perempatan Jalan Pangeran Antasari, Banjarmasin, pada 1991.
“Untuk menggambarkan kegotong-royongan masyarakat tradisional, di pintu besar itu saya menampilkan gambaran perahu yang didayung oleh banyak orang. Juga gambaran sejumlah alu, alat penumbuk yang biasa digunakan sebagai instrumen pertanian oleh para perempuan di Banjar,” kisah Misbach dengan girang.
Tapi kegirangan itu jadi kedongkolan ketika ada yang menginterpretasi politis gambaran di pintu gerbang tersebut. Ajim Ariady, aktivis setempat, menyebut bahwa orang-orang mendayung itu adalah lambang dari “sama rata sama rasa”, semboyan ideologi kelompok komunis. Para perempuan di situ disebut sebagai para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi perempuan milik PKI. Sementara gambaran alu ditafsir sebagai simbol dari cerobong pabrik milik buruh negeri sosialis.
“Kehebohan ini terekspos sebagai berita politik yang menggelikan di koran Banjarmasin Post! Tapi kami sebagai seniman memahami bahwa kejadian seperti itu biasa, dan akan selalu muncul ketika kesenian berdempet-dempet dengan politik. ***
Agus Dermawan T.
Penulis buku budaya dan seni. Narasumber Koleksi Benda Seni Istana Presiden.