Museum Hermann Hesse

Oleh Sigit Susanto*

The Power of Pembaca Sastra

Secara umum pembaca di mata pengarang sangat membantu, karena membeli bukunya. Lebih jauh, syukur ia mereview, syukur lagi ia sering mencomot kalimatnya perlahan menjadi aforisme. Syukur lagi buku itu dijadikan bahan diskusi, menginspirasi buku baru karangan pembaca sendiri, dibuat kado untuk acara ulang tahun atau perkawinan, dibuat skripsi, tesis dan disertasi.

Hans Conrad Bodmer, pengusaha dari Zürich, sebagai pembaca karya Hermann Hesse, sekaligus menjadi teman, telah membelikan Hesse kebun luas di lereng Montagnola untuk dibangun sebuah rumah. Hesse dan istrinya diizinkan menempati rumah tersebut sampai akhir hayatnya.

Bangunan rumah itu diberi nama Casa Rossa (Rumah Merah), karena bangunannya dicat berwarna merah. Letak rumah itu di kampung berhimpitan dengan rumah-rumah warga di Tessin, Swiss berbatasan dengan Italia.

Kemarin, kami mendatangi Museum Hermann Hesse di Montagnola itu dan menanyakan petugas, “Di mana Hesse tinggal?” Ia menjawab, “Hesse tidak tinggal di museum ini, tapi di lantai dua Casa Rossa.”

Aku mencoba mencari rumah tersebut, berjalan ke samping, segera kutemukan panorama menakjubkan Monte Brè dengan danau Lugano memanjang.

Panorama danau Lugano dari rumah Hess. (Foto: Sigit Suanto).

Ninon Ausländer. Siapakah dia? Istri Hesse ketiga. Ia juga seorang pembaca karya Hesse. Bahkan ketika ia masih berusia 14 tahun ada pelajaran sastra membahas novel Hesse berjudul Peter Camenzind. Saat itu si murid berani menulis surat kepada Hesse langsung. Dan surat menyurat berlangsung. Kumpulan surat itu dibukukan dalam buku berjudul Lieber, lieber Vogel (Yang Terhormat, Yang Terhormat Burung). Tak disangka, 20 tahun kemudian, sang sastrawan idamannya menjadi suaminya.

Hesse dibuatkan rumah oleh pembacanya dan ia kawin dengan pembacanya. Hesse ini termasuk sastrawan yang gemar menjawab surat-surat dari pembacanya, hingga ratusan buah. Sering kali murid SMA di Jerman yang mendapat pelajaran sastra tentang karya Hesse, tak segan si murid menyurati pengarangnya.

Hermann Hesse, sastrawan Jerman mendapat nobel sastra pada tahun 1946 dan meninggal tahun 1962 di Montagnola.

Lugano, merupakan kota yang menggunakan bahasa Italia. Secara geografis merupakan wilayah Switzerland, namun di danau Lugano tersebut terdapat beberapa gunung, seperti Monte Brè dan San Salvatore. 

Pada gunung tersebut separuh ikut negara Switzerland dan separuhnya termasuk negara Italia, pun danaunya terpotong ada sebagian ikut Switzerland dan Italia.

Jumat, 22 Agustus 2025 aku dan istriku, Claudia Beck menyambangi Museum Hermann Hesse di Montagnola. Dengan sekali naik bus PTT warna kuning dari stasiun kereta api Lugano, sekitar 20 menit sudah tiba di Montagnola.

Perkiraanku, museum sastrawan itu berupa vila dengan halaman lebar. Imajinasiku harus aku pangkas habis. Ternyata museum itu berada di tengah permukiman warga.

Ketika aku dan istri memasuki museum, dikenakan biaya 10 Sfr (sekitar Rp200.000) dan Claudia membayar 8 Sfr (Sekitar Rp160.000), karena tiket untuk pensiunan mendapat diskon.

Dalam hati saya pikir apa ini rumah yang ditempati Hermann Hesse? Tapi segera ditepis pegawai, bahwa Hesse tinggal di tempat sebelah.

Kami berdua masing-masing diberi alat bertuliskan Hessepen. Sejenis earphone sebesar bolpoin agak besar sedikit dengan kabel sekitar setengah meter. Pada ujung bolpoin itu harus ditempelkan ke dinding berkode huruf D untuk Deutsch (bahasa Jerman), atau kode huruf I untuk bahasa Italia.

Di pintu masuk kusaksikan, rak buku banyak sekali karya Hesse. Aneka sampul, bahasa dan judul. Aku temukan satu buku Hugo Ball, penyair beraliran Dadaisme.

Dua novel Hesse yang pernah kukhatamkan berjudul Der Steppenwolf, kisah tokoh aku yang separuh merasa sebagai intelektual, melankolis, individualis, sisi lain ada perangai liar ala wolf alias serigala. Novel ini menurutku mirip dengan novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan.

Novel kedua berjudul Siddhartha. Novel ini tak hanya kubaca, tetapi kubuat acara bernama Literatur Yogya di tepi danau Zug. Dengan bekerja sama dengan organisasi animasi anak muda kota bernama JAZ (Jugend Animation Zug), aku mengadakan yoga untuk umum selama 13 kali. Kenapa sampai 13 kali, karena dalam novel Siddhartha ada 13 bab. Pertama, aku melakukan yoga selama 30 menit bersama. Kedua, setelah itu aku membuka novel tersebut untuk membahas bab demi bab.

Salah satu sampul novel Siddhartha. (Foto: Sigit Susanto)

Suatu saat aku membawa pulang DVD Siddhartha ke kampung dan kami tonton bersama remaja. Tak kusangka dalam film tersebut ada adegan sejenis Kamasutra. Ada remaja perempuan yang berteriak, Astagfirullah. Maaf, aku belum nonton filmnya, hanya membaca novelnya.

Dari Mesin Ketik sampai Bangku Kayu

Kembali ke Museum Hesse ini, kami diberitahu bisa naik ke lantai dua dan tiga. Di sana ada koleksi asesoris Hesse selama tinggal di Montagnola.

Ketika kami naik tangga kayu yang sempit, kudapati topi, pensil, pen, tinta, cat, kuas, dan kaca mata bundar Hesse yang mirip model kaca mata Mahatma Gandhi atau John Lenon.

Kaca Mata, pen dan stempel Herman Hesse. (Foto: Sigit Susanto).

Memasuki ruangan langsung bertemu bangku kayu dari kerangka besi sudah berkarat. Bangku itu ada tali memanjang, agar tamu tak mendudukinya. Ternyata itu bangku di kebun. Mesin ketik tua itu ada tulisan Smith Premier No 4. Apakah ini merek mesin ketiknya? Aku kurang jelas. Ada kertas menempel sedang diketik, di belakang mesin ketik itu ada lonceng kecil, mungkin lonceng itu berbunyi di saat pengetikan di akhir kertas. Pita hitam tampak tergulung di belakang.

Bangku kayu Hermann Hesse di kebun. (Foto: Sigit Susanto)

Mesin ketik Smith Premier No 4 itu diletakkan di atas meja yang dikelilingi kertas-kertas tulis tangan atau ketikan. Tetapi di bawah meja kudapati ada sarung pembungkus mesin ketik tersebut.

Mesin ketik Hermann Hesse. (Foto: Sigit Susanto).

Aku mencoba bergeser ke samping kanan, bertemu lemari tinggi sederhana dari bahan kayu dengan kaca bening besar. Orang dengan mudah bisa melihat buku apa saja di dalamnya. Ternyata lemari buku itu kembar, karena di samping kiri ada lemari serupa juga berisi buku-buku yang kebanyakan bersampul hard cover. Buku-buku tersebut berbahasa Jerman dan merupakan koleksi bacaan Hesse. Aku pikir ini buku bacaan Hesse yang hanya di Montagnola, sebab ada 1500 koleksi buku Hesse tersimpan di pusat arsip sastra di Marbach, Jerman.

Perlu diketahui, Hermann Hesse lahir pada 2 Juli 1877 di kota Calw, Jerman. Beberapa tahun silam aku pernah juga mengunjungi rumah orang tua Hesse, dimana ia dilahirkan. Di bekas rumah orang tuanya ini juga dipakai museum Hesse.

Koleksi buku, mesin kerja dan meja Hermann Hesse. (Foto: Sigit Susanto).

Hesse kecil sudah pindah dari Jerman ke Basel, Switzerland, karena ayahnya mengajar pada Basel Misson. Ibu Hesse seorang Indiaolog Karena Hesse usia 6 tahun nakal di sekolah, ia hanya boleh bertemu keluarga tiap Minggu. 

Marie Gundert, ibu Hesse kelahiran India. Hermann Gundert, kakek Hesse dari garis ibu sebagai Indologe, ahli tentang India.

Akhirnya keluarga Hesse kembali ke Carl. Di Jerman ia melanjutkan Sekolah Dasar dan belajar bahasa Latin. Hesse dimasukkan pada Sekolah Seminari Evangelis dan tinggal di asrama Seminari. Harapannya tentu Hesse akan menjadi pendeta.

Ia minggat dari asrama dan polisi menangkapnya untuk dikembalikan ke asrama lagi. Hesse muda dianggap sakit jiwa dan mendapatkan terapi. Bahkan ia mencoba bunuh diri dengan menggunakan pistol.

Orang tua Hesse pindah ke Basel lagi, ia dimasukkan asrama seperti saat berusia 6 tahun dulu. Akhirnya Hesse belajar tentang toko buku dan menekuni dunia sastra.

Aku melanjutkan naik lewat tangga sempit di ruangan paling atas. Di tangga aku melihat ada dua majalah Der Spiegel dengan wajah Hesse bertuliskan Die Störenfried, sampul tangan kanan Hesse menunjukkan jari tengah menyembul ke atas. Simbol ironis, jari berkonotasi bau yang dipakai orgasme perempuan. Majalah ternama Jerman Der Spiegel itu sedang memperingati 50 tahun kematian Hesse pada 9 Agustus 1962. Hesse dianggap nyinyir dan sering salah pengertian memahami isi dunia.

Majalah Der Spiegel peringati 50 tahun meninggalnya Hermann Hesse 1962. (Foto: Sigit Susanto).

Pada lantai paling atas ada koleksi lukisan aquarel Hesse ditaruh di dalam pigura kaca. Kebanyakan yang dilukis tentang alam. lanskap dengan tanaman dan bunga warna-warni. Hesse memang tak hanya dikenal sebagai prosais yang produktif, tapi juga penyair dan pelukis. Beberapa buku puisinya diselingi dengan lukisan. Tetapi lukisannya ia anggap hobi.

Lukisan Hermann Hesse. (Foto: Sigit Susanto).

Di ruangan ini ada jendela kaca besar dan orang bisa menengok keluar melihat panorama gunung dan gedung Casa Rossa, yang ditempati Hesse. Dugaanku museum ini bukan milik Hesse sendiri, melainkan para simpatisan, penggemar Hesse yang mengelolanya. Seperti banyak sastrawan lain, justru bukan pihak keluarga yang mampu membuat museum, melainkan para penggemar atau pembacanya. Contohnya James Joyce Stiftung di Zürich, itu yang mengelola adalah para penggila karya Joyce. Tak ada campur tangan keluarga Joyce sama sekali.

Cara Rossa. Hesse tinggal di lantai dua. (Foto: Sigit Susanto)

Sastrawan itu punya karya yang berbeda satu dengan yang lain. Ada karya yang menginspirasi sastrawan muda atau karya yang cukup indah dibaca. Karya James Joyce dan Franz Kafka, termasuk dua sastrawan yang dianggap mampu menginspirasikan karya pengarang lain. Karya-karya bukan jenis ini. Marcel Reich- Ranicki, kritikus paus sastra Jerman pernah berujar di media televisi dalam program Das Literarische Quartett, bahwa “Karya Hesse itu termasuk Unterhaltung Literatur (Sastra Hiburan), zaman kini karya Hesse sudah purna.”

Hesse melakukan perjalanan pada tahun 1911 ke Palembang, mengunjungi Universitas Sriwijaya, merupakan universitas Budha terbesar di Asia Tenggara. Ia melanjutkan perjalanan ke Singapur, Colombo dan India. Kisah perjalanannya ditulis pada buku berjudul Perjalanan ke India (Indienreise)

Akhirnya aku turun dan di lantai paling bawah, rupanya ada ruangan gelap berupa layar lebar. Di situ ada film dokumenter ketika Hesse berkeliling naik kapal di danau Lugano. Tampak waktu itu kapal masih memakai tenaga uap. Ada suasana musim salju di Lugano. Hesse sedang berada di kebun.

Sayang film tersebut memakai bahasa Italia, sehingga aku tak paham. Hanya bisa melihat Hesse suka berjam-jam duduk di taman menulis buku atau menggambar.

Di luar ruangan film itu, ada halaman terbuka, disertai meja kursi. Aku datangi ruangan terbuka itu, ternyata di sejengkal taman itu ada rumah kura-kura dari kayu.

Merasa aku dan Claudia cukup di museum Hesse, kami keluar dan sedikit beristirahat di bawah pohon rindang.

Tapi aku tergoda dengan tumpukan sampah dalam kaca bening. Untuk apa itu? Di sebelahnya ada poster besar bertuliskan In Hesses Gärten, Über Kompost. Kunst und Achtsamkeit (Di kebun Hesse tentang Kompos, Seni dan Kewaspadaan).

Lebih jauh aku baca di pengumuman, tertulis, bahwa warga di kampung sini boleh membawa sampah kompos berupa, sayur, buah, cangkang ayam ke Museum Hesse. Kelak akan diolah menjadi pupuk organik.

Nah, aku baru paham, ada tumpukan daun-daun kering dan sayur bekas di kaca depan pintu masuk museum. Proyek ini selama setahun dari 20 Maret 2025 hingga 1 Februari 2026. Ada ungkapan Hesse pada poster tersebut, bahwa kembalikan ke alam, dari sesuatu yang dihasilkan dari alam.

Kami undur diri menuju halte bus dan terhenti lagi di pertigaan masih di depan museum, tertera tanda panah, lokasi Hesse melakukan jalan kaki. Ternyata kebiasaan sastrawan juga bisa menjadi jejak wisata. Aku alami saat berkunjung di rumah kelahiran Hesse di Carl, juga ada tour melewati tempat-tempat Hesse sering jalan kaki. Pun ketika aku dan Claudia mengunjungi kota Krakau di Polandia. Ada tour mengunjungi jejak jalan kaki Paus Johannes Paulus II.

Plang jejak wisata jalan kaki Herman Hesse. (Foto: Sigit Susanto).

Hermann Hesse bersama istrinya tinggal di Montagnola selama 31 tahun, dari 1931 sampai 1962. Mereka dimakamkan di makam tak jauh dari tempat tinggalnya.

—–

*Sigit Susanto, tinggal di Zug, Switzerland sejak tahun 1996.