Metafora Tangan-tangan Keriput

Oleh: Seno Joko Suyono*

 

Tangan bisa menjadi metafora atau kode semiotik  apapun. Dari simbolisme esoterisme religi sampai kode politik. Dalam tradisi Budhis maupun Hindu misal dikenal mudra yaitu gerakan atau posisi tertentu  jari yang memiliki makna tertentu. Entah perlindungan dari bahaya, pengampuan  atau  cinta kasih. Mudra adalah contoh bagaimana tangan bisa menjadi sarana bagi sikap-sikap mistisisme. Sementara dalam dunia politik, visual tangan dan jari-jemarinya juga banyak digunakan sebagai lambang dan kode-kode perlawanan sampai ketaatan. Seruan victory – kemenangan misal sangat populer dengan menampilkan jari telunjuk dan jari tengah seperti huruf V. Sekarang ini, negara misalnya mempopulerkan salam Pancasila – caranya dengan menyongsongkan lima jari kita ke depan.

Gambar-gambar yang dibuat Bambang Asrini Widjanarko – semua menampilkan idiom tangan – baik telapak tangan, maupun punggung tangan, nantinya akan dipamerkan di Galeri Darmin, Jakarta pada 21 Desember mendatang. Menarik jika kita melihat yang disodorkan Bambang, adalah tangan tua – tangan yang sudah keriput. Tangan uzur. Semua gambar Bambang berkaitan dengan tangan yang sudah renta beserta imajinya.  Bambang mengakui ide utama menggambar tangan keriput ini, dari tangan sang almarhum ibunda. Sehari-hari saat sang ibu masih hidup, Bambang dan ibunya tinggal berdua di sebuah rumah kontrakan. Dia merawat ibunya. Dia tahu betul fisik ringkih ibunya. Kecemasan-kecemasan, kekhawatiran-kekhawatiran dan doa-doa ibunya.

 

 

 

Teknis ketrampilan Bambang menggambarkan tangan uzur itu cukup realis. Kita secara jelas tidak melihat itu merupakan tangan seorang anak muda atau tangan seorang lelaki. Melainkan tangan seorang perempuan sepuh berusia 70 tahunan. Bambang cukup mampu  menampilkan urat-urat dan otot tangan seorang perempuan sepuh – apakah ketika tangan itu menunjuk sesuatu, menangkupkan bunga mawar merah atau saling bersentuhan antara jari tangan satu dan tangan lain. Di situ, kerentaan, kesabaran, dan kesumarahan tangan seorang ibu tercermin.

Bambang tapi tidak melakukan gambar-gambarnya  semata-mata sebagai studi anatomi atas tangan. Ia ingin membawa untuk sebuah renungan sosial. Terasa ada kesan tangan-tangan itu selalu dibawanya ke arah kode-kode kritis. Bambang adalah bagian dari penulis seni yang banyak kecewa terhadap merosotnya moral masyarakat dan tata kelola negara yang jauh dari kredibel. Setahu saya, sebagai penulis seni, Bambang saat berlaku sebagai kurator ataupun melakukan review pameran selalu mengaitkan seni rupa dengan kondisi masyarakat sehari-hari. Dia bukan type penulis yang cukup menggali hal-hal intrinsik dari sebuah karya tapi selalu ingin mengaitkan dengan hal-hal intrinsic – atau kontek sosial karya.

Tangan-tangan itu disandingkan dengan terutama bunga-bunga mawar. Berbagai ekspresi tangan  dari menggapai bunga yang jatuh, menjamah  tangkai bunga yang ringkih, sampai mengenggam tangkai bunga yang penuh duri cukup menarik. Gambar-gambar relasi  tangan dan bunga ini cukup simbolis. Komposisinya cukup menarik meski beberapa gambar cukup klise dan mengingatkan pada komposisi lukisan-lukisan terkenal.

Terlihat gambar-gambar itu ingin menyuarakan sebuah renungan tentang ketidakberdayaan dan pergulatan hidup. Gambar-gambar itu memetaforakan dari keputus asaan sampai harapan. Gambar-gambar itu menyuarakan keresahan batin seseorang. Kegalauan akan keinginan dunia yang indah namun trnyata membentur ilusi.

 

 

Di beberapa gambar lainnya, Bambang menghubungkan tangan keriput dengan logo-logo atau lambang negara seperti: Garuda Pancasila atau teks-teks seperti teks poster demonstrasi dengan kata-kata: Truth, Wanted, Beware. Bagian yang ini terlihat  ingin memberi efek langsung kepada yang melihat bahwa seluruh gambar dirinya dalam pameran ini  sesungguhnya adalah renungan kondisi carut marut masyarakat. Pada titik ini gambar Bambang sedang paralel dengan pamflet.

Secara sederhana, pameran ini menyuarakan sesuatu yang batiniah. Bambang ingin mengejar kesubliman dan keresahan eksistensial dengan caranya sendiri. Cara yang ditempuh dengan menggali ingatan atas tangan ibunya yang keriput.***

 

—-

*Seno Joko Suyono, pensiunan, tinggal di Bekasi. Peminat seni rupa.