Merdeka dalam Gelora Perang Jawa
Oleh Agus Dermawan T.
Diponegoro adalah ksatria Nusantara yang punya banyak dimensi. Ia anak raja yang tidak haus kekuasaan, ahli perang yang rendah hati, dan pangeran yang sangat benci korupsi. Dua ratus tahun Perang Diponegoro diingatkan lewat perayaan.
————–
KEPAHLAWANAN Pangeran Diponegoro (1785-1855) selalu aktual. Dan puncak aktualitas Diponegoro selama dua abad berada di sejumlah momen.
Pada November 2011, misalnya. Pada bulan dan tahun itu sejumlah tokoh sejarah dan kebudayaan “tiba-tiba” memperingati keberanian serta kebesaran Sang Pangeran. Sardono W. Kusumo, Iwan Fals serta Happy Salma mementaskan tari-drama-nyanyi “Java War! 1825-0000” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Dalam keramaian tersebut diluncurkan buku penting Peter Carey berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, yang tebalnya lebih dari 1.000 halaman. Di bagian lain, lukisan “Penangkapan Diponegoro” karya Raden Saleh koleksi Istana Presiden Indonesia mulai disentuh restorasi, setelah agak lama terluka di beberapa sisi. Sementara terpilihnya November 2011 adalah lantaran putera Sultan Hamengku Buwono III itu lahir pada bulan itu, November, tanggal 11.
Aktualitas hikayat Pangeran Diponegoro berkibar lagi pada 2025, dari Mei sampai September 2025. Momentumnya sangat jelas: mengingat dan merayakan 200 tahun Perang Diponegoro, yang dulu berlangsung pada 1825 sampai 1830. Perayaan ini diselenggarakan di berbagai tempat. Yang terbesar justru diadakan di Jakarta, bukan di Yogyakarta, tempat Diponegoro mengawali dan mengobarkan perang raya.

Lukisan Nicolaas Pieneman (1806-1860) yang menggambarkan Pangeran Diponegoro menyerah kepada Belanda. Tema lukisan ini direaksi oleh Raden Saleh dalam lukisan “Penangkapan Diponegoro”, koleksi Istana Presiden Republik Indonesia, yang pada Juli sampai September 2025 dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. (Sumber: Agus Dermawan T)
Pada 20 sampai 27 Mei di Balai Budaya, Jakarta, tergelar pameran “Dua Abad Perang Diponegoro”, yang diisi 26 perupa. Dari pelukis Arie Kadarisman, A.R.Tanjung, Gogor Purwoko, Chrysnanda Dwilaksana, Pustanto, Wahyu Geyonk, Zamrud Setya Negara sampai karikartunis Gatot Eko Cahyono. Pameran dibuka oleh Teuku Rieky Harsya, Menteri Ekonomi Kreatif.
Perayaan berlanjut di Perpusnas (Perpustakaan Nasional), Jakarta, pada 23 Juli 2025. Dalam acara itu Perpusnas meluncurkan buku penting. Buku itu adalah Sketsa Perang Jawa Tahun 1824: Kesaksian Pelaku Sejarah susunan Raden Adipati Ario Djojodiningrat (1800-1864), serta buku Babad Diponegoro: Sebuah Hidup yang Ditakdirkan. Ini buku susunan Diponegoro sendiri, yang semula ditulis dalam aksara Jawa, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Di Perpusnas pula diadakan pameran arsip, pemutaran film, serta pementasan teater karya sutradara Wawan Sofjan dalam judul “Teater Diponegoro: 5 Fragmen Perang Jawa”.
Keramaian itu disusul pameran seni rupa “Nyala, 200 Tahun Perang Diponegoro” di Galeri Nasional, Jakarta. Pameran yang dikuratori Citra Smara Dewi ini dibuka oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon, pada 21 Juli, dan berlangsung sampai 15 September. Pameran epik yang menyajikan balada dan tafsiran metaforis atas sosok Diponegoro dan perang Diponegoro.
Pameran “Nyala” menghadirkan karya 26 perupa berbagai era. Sehingga penatapan dan pencerapan atas sosok dan perjuangan Sang Pangeran berbeda-beda.
Ada karya Raden Saleh, “Penangkapan Diponegoro” yang realis klasik dan penuh simbol. Ada lukisan Daoed Joesoef yang menggambarkan adegan Diponegoro berperang berdasarkan dugaan. Ada reproduksi lukisan Sudjojono yang menjajar kisah perang Diponegoro berdasarkan arsip-arsip yang didapat dari Belanda. Muncul lukisan Heri Dono yang karikatural, patung kuda “bersejarah” Diponegoro karya Ugo Untoro, serta lukisan Wayan Kun Adnyana yang melukiskan pertempuran masif dengan garis-garis chaos.

Gambar Pangeran Diponegoro berpakaian ulama yang dikenakan selama Perang Jawa. Gambar ini dikerjakan oleh seniman Hindia Belanda, berdasarkan berbagai referensi gambar lain. (Sumber: Agus Dermawan T)
Ada pula seni instalasi karya Irene Agrivina, Julie Febiola, Bernardo Udayana, Yovanka A.M. yang menceritakan resiliensi (kemampuan untuk bangkit dari keadaan yang amat sulit) pasukan Diponegoro kala bertahun-tahun perang di Bukit Menoreh. Instalasi ini berbentuk tabung-tabung yang berisi renik kuliner khas Kulon Progo, yang dulu (konon) merupakan makanan para komandan dan ribuan perajurit Diponegoro di hutan.
“Raja Jawa” sejati
Pangeran Diponegoro tentulah orang yang luar biasa, sehingga selalu dikenang dan diperingati sedemikian rupa.
Selama lebih dua abad orang Jawa (terutama) mengingat Diponegoro dalam beberapa dimensi. Selain sebagai pahlawan perang sejati, ahli tata negeri berhati mulia, juga sebagai “Raja Jawa” yang rendah hati. Dalam jagad ketatakerajaan, ia jauh dari hasrat ingin bertahta. Dan jauh dari niat mengambil yang bukan miliknya. Termasuk kelimpahan fasilitas yang diberikan dengan sepenuh hati oleh ayahnya.
Alsejarah, ketika Sultan Hamengku Buwono III ingin mengangkatnya menjadi sultan untuk berikutnya, Diponegoro menolak. Di tengah tawaran yang menjanjikan ketinggian citra dan keramaian seremonia itu ia bertutur: “Dengan perasaan terimakasih tiada terhingga, anakanda menghargai dan menjunjung tinggi keinginan paduka Ayahanda. Namun kehormatan setinggi itu saya serahkan dengan keihklasan hati kepada adik saya. Sebagai kakak, saya akan membantunya dengan segala daya dan nasihat,” seperti tertulis dalam Babad Cakranegara. Pada akhirnya sejarah menyaksikan, yang duduk di singgahsana adalah Sultan Jarot, sebagai Hamengku Buwono IV.
Diponegoro menolak tahta kesultanan, karena ia melihat banyak hal miring di dalam kerajaan. Ia berpikir, dengan dirinya “berada di luar lingkaran kekuasaan”, kontrol akan lebih leluasa dilakukan.
Positivitas jiwa Diponegoro didapat dari guru spiritualnya, Kanjeng Ratu Ageng, yang sekaligus neneknya. Dengan bekal mental itu Diponegoro lantas selalu siap dengan sikap madheb, karep, manteb (jelas posisi dan kiblatnya, jelas niat dan tujuannya, dan tegas serta meyakinkan pelaksanaannya).
Tanpa kekuasaan dan jabatan kesultanan, Diponegoro tulus mengabdikan diri kepada masyarakat luas. Mripatnya senantiasa dibuka untuk melihat kenyataan. Hati nuraninya selalu digetarkan untuk mengukur kebenaran dan kebathilan. Kepintarannya dipakai untuk menyusun kebijaksanaan. Ketangkasannya digunakan untuk melindungi rakyat.
Karena itu ia gusar ketika Belanda, lewat kekejaman para demang bumiputera, memungut bermacam jenis pajak kepada rakyat yang sudah sulit dalam menjalani hidup. – Sejarah ini terulang 200 tahun kemudian lewat kelakuan Bupati Pati, yang baru saja dilengserkan lantaran memungut Pajak Bumi Bangunan dengan semena-mena -. Diponegoro berang ketika Belanda mengintervensi urusan perwalian keraton, ketika Sultan Hamengku Buwono IV (adiknya) mangkat pada 1822. Ia benci kepada Belanda yang terus menghasut kerabat keraton agar mencurigai dirinya sebagai musuh dalam selimut.

Gambar sampul buku yang mengilustrasikan Pangeran Diponegoro sedang marah dan menabok Patih Danurejo IV dengan selop, ketika diketahui si patih memanipulasi penyewaan tanah kerajaan. (Sumber: Buku Korupsi, susunan Peter Carey dan Sudiharyoto Haryadi)
Kegusaran dan kebencian Diponegoro meledak jadi kemarahan hebat ketika tahu bahwa Belanda telah membuat patok-patok penjualan tanah di wilayah pekuburan keluarga dan nenek moyangnya. Pematokan tanah untuk jalan raya itu dilakukan oleh anak buah Patih Danurejo IV, antek-antek Belanda. Diponegoro mencabuti patok-patok itu, namun Belanda selalu memasangnya kembali. Ketegangan muncul, Diponegoro melawan. Sampai akhirnya Diponegoro diserang secara mendadak di kediamannya, Tegalrejo. Diponegoro yang terkejut segera menyingkir ke Goa Selarong untuk menyiapkan kekuatan. Perang pun dimulai.
– Berkait dengan patok-patok ini sejarah bisa membandingkan dengan keributan masalah pertanahan di Indonesia kontemporer. Kita ingat seorang menteri yang berujar bahwa “tanah rakyat adalah milik negara”. Pernyataan yang menegaskan bahwa sesungguhnya, “rakyat itu tidak punya apa-apa.” Sementara yang disebut “negara” adalah oknum-oknum yang berseluncur girang di dalam pemerintahan korup. –
Bencana bagi Belanda
Perang Diponegoro memang meletus di Yogyakarta. Namun heroisme Diponegoro menyulut pemberontakan terhadap Belanda di segala penjuru Jawa. Di Bagelen, Kedu, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Blora, Bojonegoro, Madiun, Kertosono dan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Belanda semakin kelabakan setelah melihat kenyataan bahwa 15 dari 29 pangeran Yogyakarta, serta 41 dari 88 bupati di Jawa mendukung Diponegoro untuk melakukan pemberontakan. Lalu meletuslah Perang Jawa.
Bagi Belanda, inilah perang paling merepotkan dan paling memakan korban selama seratus tahun penjajahannya. Sehingga kerugian yang ditanggung lebih dari 20 juta gulden, atau sekitar 22 trilyun jika dikurs dengan rupiah sekarang. Dalam perang ini, tak kurang 7.000 tentara Belanda mati, dan 8.000 tentara Eropa dan pribumi yang bergabung dengan Belanda, tewas. Di pihak Diponegoro sekitar 20.000 yang gugur. Di belakang medan pertempuran, Belanda yang panik seenaknya membantai 180.000 penduduk di sepanjang Pulau Jawa.

Seni instalasi karya Yosep Arizal yang berjudul “The Cock”. Karya ini memetaforakan upaya segerombolan bumiputera yang berkulit coklat, ingin mengganti warna kulitnya menjadi putih seperti orang Belanda. Karya ini terpajang di Galeri Nasional. (Sumber: Agus Dermawan T)
Perang Jawa alias Perang Diponegoro berakhir ketika Jenderal H.M. De Kock menangkap panglima hebat ini dalam sebuah “perundingan damai” di hari kedua Idul Fitri. Perundingan yang dilangsungkan di Magelang pada 28 Maret 1930 itu ternyata menyimpan agenda licik: menangkap Diponegoro. Dengan ditangisi rakyatnya, Diponegoro lantas diasingkan ke Manado, untuk kemudian dipindah ke Makassar, tempat meninggalnya pada 8 Januari 1855.
Kisah De Kock versus Diponegoro ini lalu direkontruksi oleh Nicolaas Pieneman dalam lukisan berjudul “Penyerahan Diri Diponegoro”. Lukisan Nicolaas (koleksi Rijksmuseum Amsterdam) ini direaksi oleh Raden Saleh lewat lukisan “Penangkapan Diponegoro” ciptaan 1857. Jadi, Diponegoro itu ditangkap, bukan menyerah, kata lukisan Raden Saleh. Lukisan ini sekarang sedang dipamerkan di Galeri Nasional.

Lukisan Basoeki Abdullah, Diponegoro Memimpin Perang”, 1949, dalam pameran “Nyala – 200 Tahun Perang Diponegoro”. (Sumber: Agus Dermawan T)
Pelukis lain yang kerap merekam Diponegoro adalah Basoeki Abdullah. Syahdan Basoeki adalah “penemu” wajah Diponegoro yang sesungguhnya, lantaran Diponegoro semasa hidupnya selalu menghindar bila direkam. Menurut hikayat, Basoeki pernah bertemu dengan Diponegoro di Pantai Parangtritis, lewat mediator Nyi Loro Kidul. Percaya atau tidak, sampai sekarang wajah Diponegoro ala Basoeki itulah yang diikuti oleh khalayak ramai sebagai panduan mengenali Sang Pangeran Pahlawan.
Lukisan bertarikh 1949 itu berjudul Pangeran Diponegoro Memimpin Perang. Lukisan yang tiada henti meneriakkan seruan: “Kita harus merdeka dari cengkeraman tangan penjajah, dan merdeka dari penindasan kaki penguasa negara yang korup!” ***
—–
*Agus Dermawan T. Penulis buku “Memorabilia: Peristiwa Budaya yang Semringah, Meriah, Parah dan Tak Lumrah, yang Lupa Dicatat Sejarah.”