Instalasi Tempe dari Dewan Kesenian Malang
Oleh Yono Ndoyit
Tempe, tahu dan beberapa macam makanan olahan gorengan yang kerap disebut sebagai makanan rakyat atau makanan tradisional serta sedikit cabai hijau yang ditempatkan di atas tonggak-tonggak artefak persegi di tengah ruangan, instalasi karya David Sugiarto ini seolah selalu siap menyambut begitu pengunjung memasuki salah satu dari dua ruang pameran Dewan Kesenian Malang.
Beberapa tempe mentah utuh nampak tergantung dengan nampan bulat di salah satu dindingnya. Di bawahnya, diletakkan tempe mentah serta olahan tempe yang sudah digoreng, tempe goreng dan ‘mendol’.
Tempe yang merupakan salah satu makanan asal Indonesia dan dikenal sejak berabad-abad menjadi salah satu medium dalam pameran tersebut. Dalam manuskrip Serat Centhini dengan setting Jawa abad 16 telah ditemukan kata tempe (bahasa Jawa Kuno : tempi). Tempe terbuat dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan beberapa jenis kapang/jamur.
Tempe sempat diasosiasikan dengan sesuatu yang bermutu rendah, “janganlah menjadi bangsa tempe”, karena prosesnya yang harus dinjak-injak namun seiring perkembangan waktu pandangan ini telah berubah. Pada jaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Maka tidak salah bila tempe yang kaya protein telah meyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia dari kondisi pada saat itu.
Lewat sejarah pangan dan proses pengolahannya kelompok Senitorium X menyelenggarakan pameran bertajuk Dinner Party yang diselenggarakan di gedung Dewan Kesenian Malang pada 25 Maret hingga 30 Maret 2021. Pameran ini dikuratori oleh Akhmad Budi Santoso (Leck) dan Effendy Setyo Handoyo (Goweng).
Dalam siaran persnya disebutkan, kelompok Senitorium X terbentuk pada tahun 2005 lewat pertemuan empat seniman yaitu Yoyok Siswoyo, Tamtama Anoraga, David Sugiarto dan Suryanto di ‘salon’ milik David. Kelompok Senitorium X tidak hanya pada hasil dari bakat artistik tiap anggotanya, tapi saling mendorong dan mengkritisi demi mengembangkan imajinasi, pemikiran orisinal dan spontanitas dalam berkarya. Mereka lebih mengutamakan penjelajahan dan proses dalam berkarya, membebaskan tiap anggota untuk mengeksplorasi kreativitas dan ekspresi dengan pendekatan eksperimental terhadap seni. Mereka mencoba bereksperimen dengan beragam medium dan teknik yang berbeda, baik yang dikerjakan secara individu maupun kolaborasi.
Selama perjalanannya, Senitorium X telah melakukan sejumlah pameran di berbagai kota dan terlibat dalam pameran Bienalle Jatim pertama di tahun 2005. Dalam pameran Dinner Party kali ini selain diikuti ke empat anggotanya, mereka juga melibatkan Dewi Jasmine, Jamalludin dan Koko Sujatmiko yang selama ini dipandang memiliki visi dan misi yang sama dalam berkarya.
Di dalam ruangan yang lain, olahan tempe berbentuk menyerupai ikan yang direkatkan di canvas kemudian ‘dilaminasi’ plastik, sepintas terlihat seperti ikan yang dibeku es-kan. Instalasi karya Tamtama Anoraga yang lebih akrab dipanggil Tomi ini seolah mengingatkan akan ungkapan dalam bahasa Jawa, iwak tempe. Pada masyarakat Jawa terutama Jawa Timur, kerap terdengar tanya jawab, “mangan karo iwak opo ?”, “Iwak tempe”. Makan dengan lauk apa ? Ikan tempe.
Tak semua karya dalam pameran seni rupa ini mempergunakan media tempe. Karya instalasi lain dari David Sugiarto misalnya, beberapa karya lukisannya, pria-pria bermasker, dengan teknik merekatkan media lain seperti koran bekas dan kawat kasa dalam canvas.
Juga instalasi karya Koko Sujatmiko berupa bulatan-bulatan berbahan seperti ban-ban bekas yang dilabur bubur kertas dan digantung acak di sudut ruangan. Nampak seperti donat-donat raksasa yang mengambang. Serta karya instalasi lain dari Tomi berupa tumpukan kaleng-kaleng minuman bekas beragam merk yang ‘seolah’ jatuh dari atap rapuh yang tersingkap. Kaleng-kaleng terbuka yang nampak seperti boneka dari seng sedang mengangakan mulutnya.
Persoalan pangan yang merupakan fenomena unik berdimensi sosial, budaya, ekonomi bahkan politik nampak jelas dalam beberapa karya mereka. Seperti yang khalayak tahu, kuliner sendiri merupakan produk budaya.
Di era banyaknya pembatasan pada masa pandemi seperti saat ini, masalah ketahanan pangan memang menjadi masalah yang banyak dipersoalkan. Butuh kebijakan-kebijakan dari pemerintah dalam mengakomodir masalah pangan masyarakat yang sejajar dengan mitigasi pandemi.
*Penulis adalah Peminat Seni