Hikayat Perupa dalam Sinema # 3: Asap Gaib dari Lempad, Rembulan Ibunda dari Hendra

Oleh Agus Dermawan T.*

Kisah hidup perupa I Gusti Nyoman Lempad hening dan gaib. Hikayat pelukis Hendra Gunawan riuh dan gentayangan. Keduanya adalah platina dalam jagad seni rupa. Sangat berwarna untuk semesta sinema.

————-

Lempad dan bade nirwana

BALI adalah lokasi sangat seksi untuk dunia sinematografi. Dan kisah hidup I Gusti Nyoman Lempad bisa dipakai untuk menuju ke sana. Sementara cerita ayahanda Lempad adalah jalan masuknya.

Ayah Lempad, I Gusti Ketut Majukan, adalah orang yang terampil dan dipercaya di Kerajaan Sukawati, Batuan. Majukan dikenal sebagai undagi (arsitek tradisional Bali) yang ulung. Sehingga setiap sisi tata bangunan kerajaan tidak luput dari sentuhan pikirannya. Lantaran ia ahli pahat dan ahli lukis, maka bagian-bagian estetik dari bangunan itu juga disentuh tangan Majukan. Di balik kepiawaian itu Majukan juga dikenal sebagai orang yang mengerti tata keuangan, dan ditengarai sebagai orang yang sangat jujur. Sehingga ia diangkat sebagai bendaharawan kerajaan.

I Gusti Nyoman Lempad. (Sumber: Agus Dermawan T)

Namun, seperti dalam cerita-cerita klasik, orang yang terampil dan  dipercaya pegang uang, selalu dirundung fitnah. Ada desas-desus yang menuduh bahwa kepandaian yang ia miliki digunakan untuk mencari pengaruh dari rakyat. Pengaruh itu akan dipakai sebagai modal menggulingkan tahta raja. Desas-desus bohong itu ternyata dipercaya. Majukan lalu dialienasi. Karena tidak tahan atas perlakuan itu, Majukan meninggalkan Kerajaan Sukawati. Ia memilih tinggal di Dusun Peliatan, Desa Ubud, 12 kilometer sebelah utara Sukawati.

Lempad yang tahu riwayat menyedihkan ayahandanya, lantas menguatkan tekad. “Saya akan meneruskan keahlian Ayah sebagai undagi. Saya akan menjadi ahli pahat dan lukis. Bahkan saya akan jadi orang jujur yang memahami persoalan keuangan.” Hikayat Lempad akhirnya membuktikan apa yang jadi tekadnya itu. Bahkan selebihnya ia menjadi sangging (pembuat perangkat untuk upacara ngaben) dan ahli mendesain bade (menara ngaben, perangkat pembakaran jenazah). 

Syahdan Lempad telah hidup mapan di Ubud. Pada tahun 1936 ia bersama Tjokorda Gde Agung Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet mendirikan Pita Maha (Kreativitas Besar), perkumpulan seni rupa yang kemudian sangat legendaris. 

Pada suatu kali ia mendesain bade untuk kematiannya sendiri. Ia  berpesan kepada salah seorang familinya agar desain yang dicipta dalam keadaan karauhan (kerasukan) itu disimpan, dan kelak diwujudkan dalam bade yang mengiringi jenasahnya. Sementara kepada Rudolf Bonnet, sahabat kentalnya, ia berkata : “Asap dari api yang membakar bade itulah yang akan mengantar saya ke nirwana.” 

Lukisan Lempad yang magis, mistik dan horor. (Sumber: Agus Dermawan T)

Mendengar itu Bonnet, kelahiran Belanda tahun 1895, berkata, “Tampaknya Bli Lempad memandang bade seperti overljdensakte, ya. Seperti surat akta kematian saja. Jangan kawatir. Apabila saya meninggal lebih dahulu, Bli akan saya ajak pula ke nirwana! Bade ciptaan Bli, biarkan untuk orang lain saja.” Mendengar itu Lempad tertawa terkekeh-kekeh.

Alkisah pada tahun 1950-an desain bade itu hilang. Lempad gundah gulana sepanjang puluhan tahun. 

Waktu berjalan. Pada 20 April 1978 Bonnet meninggal dunia di Belanda. Lempad yang sudah lama sakit-sakitan mendengar kabar itu pada lima hari kemudian. Ia sedikit terkejut. Matanya yang semula selalu terpejam, sedikit membuka. Badannya yang lama terbaring pelan-pelan bangkit. Ia lalu minta air putih untuk diminum. Setelah minum ia berbaring lagi, untuk kemudian menutup mata selamanya. Terbukti, Bonnet telah mengajaknya ke nirwana.

Yang unik, ketika Lempad dinyatakan meninggal, masyarakat Ubud tenang-tenang saja. Musababnya, pada saat itu di Pura Besakih sedang berlangsung upacara Panca Wali Krama. Dalam upacara sebulan penuh itu ada ketentuan: tidak boleh ada orang yang dianggap mati. Dengan begitu, tak ada orang yang melayat Lempad. Tak ada kentongan duka-cita yang berbunyi. Masyarakat sekitar beraktivitas seperti biasa. Sampai akhirnya upacara ngaben diselenggarakan. 

 Ketika jenasahnya diaben di Ubud, amat banyak stasiun televisi internasional meliput. Puluhan ribu orang Bali menghantar. Tokoh seni dari seluruh dunia datang. Di antaranya adalah Paloma Picasso, putri pelukis terbesar dunia abad 20, Pablo Picasso. Pada saat itu Paloma mengatakan dengan mata basah, “Sungguh, upacara kematian Lempad jauh lebih besar dari upacara kematian Ayah saya…” 

Menara pangabenan atau bade dengan sembilan tingkat. Lambang keluhuran almarhum. (Sumber: Agus Dermawan T)

Di sebelah lain, sinemator John Darling dan Lorne Blair dari Australia merekam peristiwa hebat itu, sehingga karyanya yang berjudul “Lempad of Bali” memenangkan penghargaan internasional untuk film dokumenter.

Pasca kematian keduanya, ada rencana abu jenazah Bonnet akan dibawa ke Bali, untuk disandingkan dengan abu jenazah Lempad. Kedua abu dalam guci terpisah itu akan dilarung di Pantai Sanur. Namun karena berbagai kendala, akhirnya abu jenazah Bonnet baru didatangkan untuk mengiringi pengabenan Tjokorda Gde Agung Sukawati (rekan pendiri Pita Maha) pada awal tahun 1979. Ruh (abu) Bonnet itu disimpan dalam patulangan (sarkofagus) yang berbentuk singa merah bersayap, ciptaan pelukis Ktut Budiana. Hampir semua orang Bali meyakini, Lempad di  nirwana khidmat menyaksikan upacara spektakuler itu.

I Gusti Nyoman Lempad lahir 1847, meninggal di Ubud pada 1978. Usia 131 tahun menjadikan Lempad sebagai saksi mata jagad Bali tiada duanya. Perjalanan hidup yang amat panjang memberi kesempatan sinema memotret eksositas Bali dalam berbagai kurun, dari tengah abad 19 sampai pertiga akhir abad 20. Alangkah eksotiknya. *

—-

Buku acuan pilihan: 

Lempad (Ana Gaspar, Antonio Casanovas, Jean Couteau, Pictures Publisher, Art Book, the Netherlands, 2014) ; Lempad of Bali – The Illuminating Line (Carpenter, Darling, Hinzler, McGowan, Vickers, Widagdo, Museum Puri Lukisan, 2014). Agus Dermawan T, Wawancara dengan I Gusti Nyuoman Lempad, 1973. Sumber: Agus Dermawan T, Dunia Koleksi – Hulu Hilir Kepemilikan Kaya Seni, Penyunting M.Kholid Arif Rozaq dan Sudjud Dartanto, Penerbit Ombak, 2019. *

Hendra Gunawan dan balada rembulan 

HENDRA Gunawan (1918-1983) sangat menghormati ibunya. Terlahir sebagai anak tunggal dari Raden Prawiradilaga dan Odah, ia hidup senang dan berkecukupan. Namun kebahagiaannya terusik ketika ayahnya menikah lagi dengan Anna. Hendra marah besar, sehingga minggat dari rumah. Ia lantas tinggal bersama lelaki tua, sangat sederhana dan baik budi, yang ia sebut sebagai ayah angkat. Di sini ia hidup nyaman dan selalu makan enak dengan segala menu. 

Hendra Gunawan, anak bangsawan yang malang. (Sumber: Agus Dermawan T)

Namun, pada suatu saat secara tak sengaja Hendra melihat ayah angkatnya sedang meminta-minta sisa makanan dari restoran. Hendra terkejut. “Ternyata ayah angkat saya seorang pengemis!” katanya. Merasa harga dirinya terjerembab, Hendra kembali ke rumah orang tuanya. Ia lalu menemani ibunya yang hidup sendirian. “Bukankah walaupun seseorang hidup miskin, tidak harus meminta-minta? Harga diri, Ibu,” kata Hendra kepada ibunya.

Hendra tak henti frustrasi. Ia lalu jadi petualang, dari ladang, hutan, laut sampai kuburan. Dalam seliung luntang-lantung itu ia bertemu dengan Affandi, Barli, Wahdi dan Sudarso. Karena sama-sama menggemari seni lukis, tahun 1935 mereka berkumpul untuk membentuk “Kelompok Lima”, di kediaman Affandi, di Gang Wangsareja, Bandung.

Pada tahun-tahun kemudian Hendra dan rekan-rekan pelukis sekelompoknya terlibat dalam gerakan anti penjajahan. Ia pun, yang tak bisa berperang, bergerilya ke mana-mana. Dalam kondisi berdebu dan berlapar-ria itu Hendra tak henti membuat ratusan sketsa. Karyanya selalu merupakan rekaman dari kejadian nyata. Sampai akhirnya, dari sketsanya, ia melahirkan lukisan yang sangat legendaris Pengantin Revolusi. 

Lukisan Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan. Dramatis dan romantis. (Sumber: Agus Dermawan T)

Lukisan ini menggambarkan perayaan pernikahan di tengah situasi perang. Si gadis berbusana lenong yang dipinjam dari grup sandiwara. Ia  didudukkan di setang sepeda lelaki yang dituntun si pemuda berpakaian tentara. Di sekitar mempelai bahagia itu para pemain musik tanjidor beraksi. Di antara para penyaksi pernikahan, tampak sosok Hendra Gunawan. Ha ha, siapa sangka, kesaksiannya kepada arakan pengantin itu mendorong Hendra untuk berani menyunting gadis bernama Karmini, keponakan budayawan terkenal Syafei Soemardja!

Indonesia merdeka pada 1945. Pada tahun 1946 Hendra menyelenggarakan pameran tunggal di gedung KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Jalan Malioboro Yogyakarta. Presiden Sukarno meresmikan pamerannya. Di luar dugaan, pada acara pembukaan Hendra menjejer puluhan gelandangan berpakaian kumuh sebagai “pager ayu”. Tentu saja Sukarno terkejut bukan main. Namun sang presiden kemudian tersenyum. ”Bagus. Bagus. Kau memang rakyat sejati,” kata Sukarno memuji. 

Hendra lalu mendirikan Sanggar Pelukis Rakyat di Yogyakarta. Perkumpulan ini sering dihubungkan dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi seni yang berafiliasi di bawah PKI (Partai Komunis Indonesia). “Meskipun saya sama sekali tak menganut ideologi komunis. Saya humanis,” kata Hendra. Maka, ketika kudeta Gerakan 30 September 1965 meletus, dan dianggap didalangi oleh PKI, Hendra ditangkap pada Desember 1965. Pemenang kedua kompetisi desain Monas (Monumen Nasional) ini pun masuk penjara tahanan politik di Kebon Waru, Bandung, tanpa pengadilan, tanpa tuduhan, selama 12 tahun! 

Di penjara ia terus melukis. Karena tak bisa melihat obyek di luar, Hendra  pun mencipta dengan tema-tema penjara. Misalnya tentang dirinya dan Karmini yang harus berpelukan erat ketika lonceng penjara berbunyi kedua kalinya. Lantaran ketika nanti lonceng ketiga bersuara, Hendra dan Karmini harus berpisah. Artinya, jam bezoek usai sudah. 

Hendra juga melukis dengan obyek nostalgia ibundanya, Odah. Sang ibu, yang dijunjung sebagai rembulan kehidupan, dilukis dalam berbagai peran tradisional. Sebagai isteri nelayan, penjual ikan, penari ular, pedagang sayuran, sampai pemain wayang yang kehujanan dan kepanasan. 

Hikayat merayap, di penjara ia bertemu dengan Nuraini, gadis belia dirijen drum band yang juga dijebloskan jadi tahanan politik. Hendra jatuh cinta dan mengawininya. Akankah ia melupakan Karmini? Bukankah ia membaladakan wanita dengan mengkultuskan ibundanya, yang pantang dimadu ayahnya? 

Tahun 1979, setahun setelah dibebaskan dari penjara, ia dengan penuh semangat mengadakan pameran tunggal. Namun tak ada orang yang berani membeli lukisannya, kecuali satu orang asing. “Kolektor Indonesia  takut dicap mendukung bekas tahanan politik,” kata Hendra memelas. Ia pun membawa empat karyanya yang serba besar ke Jusuf Wanandi, kolektor cum politikus, yang ikut menanda tangani akta pembebasan tahahan politik. Lukisan itu ditawarkan dengan harga “seniman terpojok”.

Bagian dari lukisan Hendra Gunawan yang memuliakan ibundanya. (Sumber: Agus Dermawan T).

Pada hari tuanya Hendra tinggal di Bali. Di sini ia berjumpa dengan Ciputra, yang kemudian menjadi kolektor utamanya. Dan bahkan membuatkan museum untuk karya-karyanya yang luar biasa. 

Tahun 1983 Hendra Gunawan meninggal. Belasan tahun setelah kematiannya karya sang legenda ini sangat mahal harganya. Sebagai perbandingan, nilai empat lukisan yang dijual ke Jusuf Wanandi tahun 1979 itu sudah berlipat tak kurang dari 150 kali! Para pencinta seni rupa tak henti memburunya di panggung-panggung lelang di dalam dan luar negeri. Dan sindikat lukisan palsupun seru beraksi! * (Bersambung)

—-

Buku acuan pilihan: 

Hendra Gunawan –  A Great Modern Indonesian Painter (Agus Dermawan T & Astri Wright, Ir.Ciputra Foundation and Archipelago Press, Singapura 2001) ; Hendra Gunawan (Agus Dermawan T, Ciputra Artpreneur, Jakarta, 2016). Surga Kemelut Pelukis Hendra (Agus Dermawan T, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2018). Sumber: Agus Dermawan T, Dunia Koleksi – Hulu Hilir Kepemilikan Kaya Seni, Penyunting M.Kholid Arif Rozaq dan Sudjud Dartanto, Penerbit Ombak, 2019. *

—-

*Agus Dermawan T. Kritikus seni rupa. Penulis buku-buku budaya dan seni.