Gurauan Sadia Diganjar Wija Kusuma

Oleh Agus Dermawan T.

Kabupaten Gianyar di Bali adalah negeri seniman yang menakjubkan dunia. Ribuan seniman yang berkarya lantas dipilih dan diberi Penghargaan Seni Wija Kusuma. 

————-

PENULIS buku Island of Bali Miguel Covarrubias mengatakan bahwa “semua” orang Bali adalah seniman. “Setiap” orang Bali memiliki kemampuan untuk berseni sesuai dengan bakat yang diwariskan, seperti seni musik, seni sastra, seni tari, seni pertunjukan, seni rupa. Hasil telaah itu diangkat dari realitas di Bali yang sejak ratusan tahun lalu melahirkan ribuan seniman, yang karyanya tak henti mempesona dunia. Sehingga Pulau Bali pun disebut sebagai “Bumi Seni Para Dewata”.

Yang unik, sebagian besar para seniman Bali itu lahir, berkembang dan besar di wilayah Kabupaten Gianyar. Keistimewaan seni wilayah ini semakin terlihat nyata pada akhir abad 19. Dalam setiap setiap dekade di kabupaten ini lahir ratusan seniman anyar yang berkarya di berbagai sektor seni pilihannya. Aktivitas simultan para seniman itu segera melambungkan Gianyar sebagai “kabupaten kebudayaan” yang tiada duanya. Atas kenyataan menakjubkan itu Pemda (Pemerintah Daerah) Gianyar lantas berinisiatif memberikan anugerah kebudayaan kepada seniman pilihan. “Di antara seribu pasti ada sepuluh yang nomer satu,” kata Bupati Gianyar ke-9 dan ke-11, Anak Agung Gde Agung Bharata.

Ilustrasi patung Batara Indra, salah satu monumen Kabupaten Gianyar. (Sumber: Agus Dermawan T)

Maka sejak 50 tahun silam Pemda Gianyar memberikan penghargaan kepada pelaku budaya dan seni yang paling bereputasi. Puncak menghargaan itu dipiagamkan dalam Penghargaan Seni Wija Kusuma. Semua masyarakat Bali tahu, penghargaan ini merupakan pintu lebar untuk menuju ke jenjang penghargaan tingkat Provinsi, Dharma Kusuma. Pelukis I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made Poleng, I Gusti Ketut Kobot adalah beberapa dari penerima penghargaan ini pada kurun silam. Juga penabuh I Ketut Dibyaguna, undagi (arsitek tradisional) I Dewa Ngakan Gede Darma, penari I Made Bandem dan seterusnya.

Pada 19 April 2025 lalu Pemda Gianyar kembali memberikan penghargaan itu. Dalam resepsi hari ulang tahun Kota Gianyar ke-254 penghargaan itu diserahkan secara seremonial. Untuk yang sekarang, penghargaan dibagi dalam tiga kategori. Yakni Penghargaan Seni Parama Satya Budaya yang diberikan kepada almarhum I Made Sija (seniman pedalangan dan tari). Penghargaan Seni Citra Karya Nugraha yang diberikan kepada Tjokorda Raka Tisnu SST, M.Si (seniman undagi dan sangging barong).  

Sementara Penghargaan Seni Wija Kusuma diberikan kepada banyak nama. Mereka adalah pemusik I Wayan Balawan, I Nyoman Raka Sumadi. Pesastra I Gusti Ngurah Rai Susila, Dr. Drs. Agung Alit Geria, M.Si dan Putu Suparini S.Pd, M.Pd. Pengrawit I Nyoman Cetug, I Ketut Wika, Agus Teja Sentosa dan I Made Arsana. Penari Ni Wayan Mariati, I Wayan Sukra, I Made Sudira, S.Sn,  Ni Wayan Sekariani. Dramawan Ir. I Wayan Suwija, MM, dan Ni Wayan Surasini S.Sn, M.Sn. 

Juga kepada tokoh seni visual, seperti undagi Cokorda Raka Bawa, kriyawan dan pematung I Wayan Salin dan Drs I Made Suparta, M.Hum, serta pelukis I Dewa Nyoman Jati, Anak Agung Gede Anom Sukawati, dan I Ketut Sadia. 

Atas deretan nama itu saya memilih satu, I Ketut Sadia, sebagai subyek narasi. Alasannya, ia menyimpan “dongeng” yang menarik hati. 

I Ketut Sadia, salah satu penerima Penghargaan Seni Wija Kusuma (Sumber: Agus Dermawan T).

Ketut Sadia, tokoh Pekandelan

I Ketut Sadia dilahirkan di Banjar Pekandelan, Sukawati, Batuan, pada 20 Januari 1966. Ia adalah anak ke-8 dari I Wayan Taweng, pelukis ternama yang pada usia 14 tahun sudah bergabung dalam perkumpulan Pita Maha pimpinan Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Sementara Taweng adalah putra dari I Wayan Naen. Dan Naen dikabarkan sebagai keturunan dari Sri Arya Bali Karangbuncing, wangsa yang melahirkan Kebo Iwa. Sejarah tahu, Kebo Iwa adalah undagi, ahli sangging dan sekaligus panglima perang nan kuat yang bikin mengkerut tentara Gajah Mada, ketika Majapahit ingin menguasai Bali pada abad ke-13. 

“Ya ya. Tentu senang apabila saya benar-benar buyut dari panglima perang,” kata Sadia dengan tertawa. 

Silsilah lanjut, Sadia merupakan adik dari I Wayan Bendi, pelukis sohor mashab Batuan tahun 1990-an. Sedangkan Sadia memiliki adik yang juga pelukis populer saat sekarang, I Wayan Diana. Saudaranya yang lain, I Made Griyawan, juga pelukis, meski profesi utamanya adalah pemandu wisata.

Sadia tentu belajar melukis pertama kali dari sang ayah, Taweng. Namun pelajaran yang paling intensif justru didapat dari kakaknya, I Wayan Bendi. Bahkan pada suatu masa Sadia bekerja sebagai artisan di studio kakaknya itu. Setelah tidak lagi jadi artisan, ia melukis secara mandiri. 

Pada awalnya lukisan Sadia masih terpengaruh gaya kakaknya. Namun sejak menjelang tahun 2000 lukisannya menemukan jati diri. Ia pun dianggap tokoh baru dalam seni lukis Bali mashab Batuan kala itu. Bentuk figur yang digambarkan, komposisi serta pengadeganan atas narasi sosial dan fragmen Bali, sudah berbeda dengan karya kakaknya. Apalagi jika dibandingkan dengan karya Taweng, ayahnya.

Karya-karya Sadia dikategorikan tradisional-kontemporer. 

Disebut tradisional, karena ia tetap melukis dengan metoda yang patuh kepada tradisionalitas. Seperti proses nyawi (menebalkan sketsa dengan tinta), ngabur (memberi kesan gelap-terang), nguap (memberi warna transparan secara merata), nyenter (memberi pencahayaan pada obyek dengan warna terang), ngewarna (aktivitas mewarnai), dan seterusnya.

Disebut kontemporer, karena Sadia antusias mengangkat tema-tema aktual di masa kini. Sebagai pelukis yang hidup dan berkembang di era milenium, ia memang berusaha tanggap terhadap segala isu sosial yang sedang berlangsung. Seperti riuhnya turisme Rusia di Bali, soal narkoba yang merundung anak-anak muda di Indonesia, jatuhnya pesawat penumpang di pantai Bali, sampai persoalan bom teroris yang mengguncang pulau Dewata. Ia bahkan juga sangat memperhatikan isu nasional, seperti politik negara. Ketika Indonesia heboh pemilihan presiden, Sadia juga melukiskannya. Bahkan ketika presiden itu terpilih, dengan sukacita juga ia rekam. 

Upacara penerimaan Penghargaan Seni Wija Kusuma kepada I Ketut Sadia, 19 April 2025. (Sumber: I Wayan Diana)

Tema-tema yang terus berkembang itu ia tangkap dengan sensilibitasnya. Menariknya, semua tema itu diangkat dalam bahasa seni lukis yang masih sangat Bali-Batuan. Dan kedua unsur itu dipertemukan dengan simbol-simbol tradisional yang berkaitan dengan mitologi dan agama Hindu Bali. Sehingga karyanya secara serta merta menggabungkan hal-hal yang duniawi dengan kedalaman mitos dan religi. Yang menarik dilihat, dalam narasi serius yang dimanifestasikan, acapkali muncul humor-humor, dengan kandungan satire.

Pada satu lukisannya ia menggambarkan pertandingan Piala Dunia, Jerman versus Argentina. Di pinggir lapangan sebelah kanan tampak patung Yesus trade mark Brazil. Di sebelah kiri berdiri patung Dewa Wisnu Bali Hindu. Sementara “ribuan” penonton pertandingan ini adalah orang Indonesia, yang seru bersorak dengan membawa bendera segala bangsa. Pertanyaannya, di mana posisi kesebelasan Indonesia dalam ajang Piala Dunia? Lukisan Sadia yang “bergurau” itu selalu tampil segar dalam percaturan seni tradisional Bali, seni modern Bali, seni modern dan kontemporer Indonesia. Karyanya pun  diterima di mana-mana. 

Lukisan I Ketut Sadia yang bercerita tentang pembabatan hutan. (Sumber: Agus Dermawan T)

Lukisan Sadia memang eksistensial ketika berada di pajangan lukisan tradisional Bali seperti Museum Puri Lukisan. Lukisannya juga berbicara asyik ketika digelar dalam pameran seni lukis modern di Jakarta. Maka tak heran apabila lukisan Sadia pernah masuk sebagai nominee dan penerima Penghargaan Lukisan Terbaik dalam Jakarta Art Awards. Serta beberapa kali jadi finalis UOB Art Awards. Dua kompetisi yang merupakan ajang kompetisi nasional seni lukis modern.

Mengajar sekolah dasar

Lebih dari 50 pameran penting sudah diikuti oleh Ketut Sadia. Di antaranya adalah pameran “Lukisan Bali” di Singapore Art Museum, “2nd Asian Art Show” di Fukuoka Art Museum, Jepang. Juga pameran “Tempereen Kaupungin” di  Museopalvelut, Helsinki, Finlandia, sampai pameran Bali Kanda Rupa di Ubud.  

Selain meniti kanvas dan kertas, Sadia juga bergerak di lapangan sosial seni rupa. Ia adalah pendiri dari Perkumpulan Pelukis Baturulangun Batuan pada 2012. Dan Sadia menjadi ketuanya sampai tahun 2022. Perkumpulan ini bertujuan untuk melestarikan kecintaan generasi dini Batuan kepada seni lukis bergaya Batuan. 

Dalam perkumpulan ini Sadia dan sejumlah pelukis Batuan mendidik anak-anak Sekolah Dasar di Desa Batuan. Bahkan perkumpulan ini mengadakan kelas les. Untuk memfasilitasi gerakan itu kelompok Baturulangun bekerjasama dengan pemerintah desa. “Hasilnya positif. Seni lukis gaya Batuan menjadi langgeng. Dengan gaya Batuan yang sudah difahami visualnya, anak-anak itu lalu boleh mengembangkan sesuai dengan kepribadiannya dan cita rasa seninya sendiri.”

I Ketut Sadia dan ayahnya, pelukis ternama I Wayan Taweng. (Sumber: Agus Dermawan T)

Sadia menjalani dunia keseniannya secara profesional. Seni lukis ia geluti dari pagi bangun tidur sampai menjelang tidur malam. Dedikasinya atas seni lukis ia teruskan dalam bentuk apresiasi ke tetangga, handai taulan dan kerabat di berbagai banjar. Bahkan sampai ke pendidikan seni anak seperti yang dilakukan di sekolah dasar itu.

“Saya mewarisi tradisi besar yang diturunkan sejak zaman Dalem Watu Renggong abad ke-16. Saya mendapat hadiah aneka peristiwa besar yang muncul pada abad 20 dan 21. Saya mendapat warisan generasi berkemauan melukis yang siap meneruskan dunia seni lukis Batuan. Semua itu adalah harta budaya yang harus diabadikan dengan kedalaman spiritualitas Bali. Semua hal itu adalah kewajiban seni yang harus saya jalani,” katanya.  

Ketut Sadia adalah eksponen seni lukis Bali dan penggerak seni lukis tradisional kontemporer Bali yang penting pada saat kini. Sangat pantas ia mendapat Penghargaan Seni Wija Kusuma. *** 

 

*Agus Dermawan T.  Penulis buku Lexicon of 200 Years Balinese Traditional Painters.