Dialog Hati (Catatan atas pameran lukisan Bambang Bujono dan Jeroen Tan Markaban)
Oleh Giri Basuki Widodo*
SOLO, Tahun 1970. Sebuah studio lukis.
Anak muda itu membagi bidang kanvasnya dengan dua garis diagonal. Menjadikan empat bangunan segitiga sama besar. Disetiap bangun segitiganya dilumuri cat tipis dengan warna lembut berbeda. Sambil menunggu kering, Ia terlihat mengontrol hasil pekerjanya. Setelah padu-padan warnanya dirasa pas, ia lanjut dengan membuat garis vertikal tipis mengalir spontan dari ujung atas hingga menyentuh bidang bawah. Dengan jarak antar garis satu dengan lainnya kia-kira tiga centimeter. Langkah selanjutnya membuat garis-garis tipis horizontal dengan jarak sama seperti tahapan sebelumnya. Diatas empat bangun segitiga itu, bidang lukisannya dipenuhi kotak-kotak bujur sangkar ukuran kira-kira tiga centimeter. Kesan pertama yang muncul seperti ilusi optik.
Tahapan paling ujung dari pekerjaannya, ia masukan bulatan-bulatan di setiap kotaknya. Setiap bulatan diisi warna.. Bulatan itu menyerupai sebuah telur. “Embrio”. Begitu katanya, ketika anak muda itu ditanya mengenai maksud dari lukisannya. Anak muda itu bernama Bambang Bujono, seniman muda yang menempuh pendidikan di Akademi Senirupa Indonesia Yogyakarta. Dikenal akrab dengan gagasan seni modern di masanya. Sebuah masa dimana seorang seniman tidak hanya dituntut untuk menghasilkan karya kuat, tetapi juga ditunggu pernyataan sikap berkesenian-kredonya.
Lukisan itu beserta 19 lukisan-lukisan lainnya ditambah 20 lukisan karya Muryoto kemudian dipamerkan di Balai Budaya Jakarta, 31 Juli -5 Agustus 1974.
Harian Kompas menurunkan artikelnya, Selasa 20 Agustus 1974 dengan judul: Muryoto, Bambang Bujono, Affandi dan Raden Saleh. Penulis artikel Baharudin MS. Majalah Tempo dihalaman Seni mengulas resensi pameran itu dengan judul: Lubang Dan Telur. 17 Agustus1974, penulisnya Putu Wijaya.
Pada tahun 1993, Majalah ARTFORUM New York edisi bulan Desember, memuat iklan Yoshii Gallery, dengan memajang karya Ana Mercedes Hoyos- disertai catatan bawahnya ; New Paintings. Dimana karya Ana Mercedes Hoyos itu diselesaikan juga dengan memenuhi bidang lukisannya dengan pengulangan obyek kecil-kecil yang sama. Bedanya, kalau Bambang Bujono dengan mengulang bulatan, sedang Ana Mercedes Hoyos mengulang bidang kotak.
Jarum jam berputar, waktu berlalu, hari dan tahun berganti.
***
SEMARANG. Tahun 2017-2023.
Sebuah ruang kerja. Disalah satu sudut ruangan terparkir sebuah mesin gambar merek Mutoh. Dinding ruang kerja itu dipenuhi oleh deretan gambar bangunan rumah dan perkantoran. Beberapa diantaranya gambar interior hotel dan perkantoran.
Duduk seorang pensiunan arsitek, dengan sabar memulai pekerjaan melukis abstrak. Setahap demi setahap. Tahapan ini dalam program –software Adobe Illustrator yang rumit, atau Adobe Photoshop yang lebih sederhana disebut ; layer.
Tahap pertama, dimulai dengan mengurek-urek selembar kertas menggunakan pensil atau potlot, Tahap kedua diteruskan memakai ballpoint. Tahap ketiga berganti dengan conte. Tahap keempat menduselnya dengan jari tangan telanjang. Gerakan tangannya lentur, luwes mengalir. Berhenti sejenak membuka sebuah majalah bekas, menyobek sebagian kecil halamannya dan menempelkan diatas kertas bidang yang sedang dikerjakan, yang berarti pekerjaannya sampai di tahapan kelima, lalu mengangkat kertas itu seperti gerakan menerawang untuk mengecek hasilnya. Meletakannya kembali.Dilanjut tahapanan berikutnya: mengambil kuas, menyelupkannya pada adonan cat acrylic dilanjutkan menyapukan kuas dibagian kertas yang sudah tertempel potongan majalah. Mengangkat kembali kertas itu. Menimbang dengan rasa: apakah komposisinya sudah sesuai dengan hati atau pertimbangan mengenai apakah-apakah lainnya. Begitulah aktifitasnya terus berulang. Sampai kapan tahapannya harus dilalui? Tidak seorang pelukis abstrakpun mampu memprediksi dengan tepat. Sampai diakhirnya nanti akan ketemu dengan tahapan yang paling sulit dalam melukis abstrak, yang merupakan “tahapan berbahaya” begitu Gunawan Muhamad menyebutnya. Dikarenakan tidak ada satupun rumusan atau standar baku yang bisa digunakan sebagai panduan agar bisa melewati tahapan itu dengan mudah. Tahapan dimana pelukis harus mengambil keputusan guna menyudahi pekerjaan atau masih perlu melanjutkan pekerjaannya. Salah mengambil keputusan bisa membawa kepada jalan buntu. Yang berarti harus mengulang pekerjaan lagi dari awal.
Pensiunan arsitek itu bernama Jeroen Tan Markaban. Usia 70 tahun. Pernah menempuh pendidikan tinggi arsitektur di Institut Teknik Katolik 1975-1977-sekarang Universitas Soegiyapranata Semarang.
***
JAKARTA, Malam, 30 November 2024.
Pada sebuah acara pembukaan pameran lukisan di sebuah galeri yang terletak di seberang jalan sebelah kiri gedung Sarinah di jalan Thamrin Jakarta. Gedung pusat perbelanjaan pertama di Indonesia yang dilengkapi dengan teknologi tangga berjalan-eskalator. Merupakan sebuah kawasan yang kaga ade matinye, selalu ramai oleh pengunjung. Di seberang jalan sebelah kanan gedung itu berderet parai penjaja kuliner dan selalu dipenuhi asap yang keluar dari tempat pembakaran sate.
Atas prakarsa Hendro Wiyanto, dari tanggal 1-17 Desember 2024, Galeri Rubanah –Underground Hub. Mempertemukan dua karya dari dua periode waktu pembuatan karya yang berbeda, yang telah terentang jarak waktu cukup lama yakni 50 tahun. Lima lukisan karya Bambang Bujono yang dikerjakan pada tahun 1971 bersama puluhan lukisan karya Jeroen Tan Markaban yang diselesaikan dari kurun waktu antara tahun 2017-2024.
Selain acara pembukaan pameran, malam itu juga diluncurkan buku; Meta-Estetika karya Martin Suryajaya. Hadir dalam acara; para mahasiswa, sahabat dan kolega.
Ada satu yang menarik dari cara mendisplai karyanya. Disalah satu sudut ruangan galeri itu, beberapa karya disusun secara acak, tidak berpedoman pada standar baku yakni dengan mengambil patokan rata atas atau rata bawah agar terlihat rapi. Dimana ada satu lukisan karya Bambu Bujono diletakkan di tengah, dikelilingi oleh lukisan-lukisan Jeroen Tan Markaban dengan berbagai variasi ukuran. Menjadikan pajangan itu terasa dinamis, tidak statis. Sebuah cara mendisplai karya yang unik sekaligus cerdik.
Tanpa memperdulikan bentuk visualnya yang berbeda, antara lukisan Bambang Bujono yang abstrak geometris dan lukisan Jeroen Tan Markaban yang abstrak ekspresionis. Namun tidak terlihat perbedaan tampilan fisik yang berarti dalam arti tidak mengganggu atau sebuah timpang antara lukisan garapan tahun 1971 yang dikerjakan anak muda dan lukisan garapan tahun 2017-2023 hasil olah karsa dan olah cipta orang tua.
Lukisan Bambang Bujono yang relatif “ tenang” itu, di kelilingi oleh beberapa lukisan Jeroen Tan Markaban dengan beragam ekspresi. Ada yang lirih, riang, gelisah dan meluap-luap. Melihat kenyataan obyektif itu, Sayapun larut dibawa kepada momen estetik yang kontemplatif. Lukisan-lukisan itu seolah sedang berdialog. Tidak tahu apa yang sedang didialogkan, bisa saja mengenai cerita masa lalu, kekwatiran hari ini atau tentang masa depan yang tidak pasti? Entahlah.
Rasa penasaran memaksa saya untuk memeriksa kembali catatan dihalaman-halaman lama dan akhirnya menemukan sebuah kutipan. Kutipan itu dari tulisan Bambang Bujono tentang sebuah dialog yang memungkinkan terjadi. Dimuat surat kabar Kompas, 13 Januari 1971. Direntang waktu yang sama ketika Bambang Bujono menyelesaikan lukisan abstraknya.
“…Maka perkembangan seni abstrak relatif tidak akan mencapai titik akhir. Kita masih akan memasuki barangkali beribu tahun lagi seni lukis yang nonrepresentasional, kata Adolph Gottlieb kepada Selden Rodman dalam Conversations with Artist. Sebuah dialog dengan sebuah lukisan sesungguhnya merupakan kontemplasi. Dan apabila itu lukisan abstrak, kontemplasi sepenuhnya terjadi tanpa pamrih.
Apabila Arief Budiman menulis dalam Kompas (2 Juni 1969), bahwa masyarakat sekarang lebih memerlukan manusia-manusia kreatif, maka sumbangan seni abstrak sebenarnya sungguhlah mutlak. Suatu kontemplasi tanpa pamrih dari lukisan abstrak dimungkinkan karena abstrak menolak unsur-unsur imitasi, sungguh-sungguh merangsang seseorang untuk berani bertindak kreatif.”
Dari momen estetik yang hadir dipameran malam itu, dan dikuatkan oleh kutipan diatas sebagai landasan berfikir, rasanya bisa ditarik sebuah hipotesa-kesimpulan sementara :
Duo Exhibition : Tidak berarti tidak..di Galeri RUBANAH, yang digagas oleh Hendro Wiyanto menjadi relevan kehadirannya. Hendro Wiyanto telah berhasil membawa sebuah ruang untuk dialog. Dan kalau suatu saat nanti hipotesa itu bisa dibuktikan, semoga saja hal itu bisa menjadi pemantik bagi munculnya dialog-dialog baru selanjutnya.
Sebuah dialog yang melibatkan hati tentunya; dialog yang berani menanggalkan perasaan superioritas pribadi, golongan, lembaga atau institusi. Tanpa kesadaran keberanian menanggalkan perasaan superioritas itu, dialog yang terjadi hanya akan mengantarkan kita kepada pengetahuan semu. Pengetahuan fatamorgana.
( TING.! Bunyi suara notifikasi masuk ke WA ketika saya sedang mengetik tulisan ini;
“ Saya berhenti melukis untuk menghindari konflik…Kalau saya melukis lagi, misalnya, saya akan berhenti menulis resensi pameran..” )
Pesan singkat itu datang dari Mas Bambu-demikian saya memanggil dalam keseharian.
Dan dunia senirupa hari ini mengenalnya sebagai penulis kritik seni yang produktif. Tulisan-tulisannya yang banyak tersebar di berbagai surat kabar dan majalah, telah dihimpun dan terbitkan menjadi dua buku tebal : Melampui Citra dan Ingatan-Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968-2017, serta Rumpun dan Gagasan Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa 1969-2019.
—
Bogor, 4 Desember 2024
———–
*Giri Basuki Widodo, adalah seniman yang dikenal melalui karya-karyanya berupa lukisan. Telah menggelar pameran senirupa, baik pameran tunggal maupun pameran bersama. Giri Basuki merupakan salah satu pelukis yang juga pernah bergabung dalam pertunjukan-pertunjukan Teater Koma pimpinan Nano Riantiarno.