Yuliani telah Memilih Bagian Terbaik yang Tak Akan Diambil Daripadanya

Oleh: Indro Suprobo*

Adalah Yuliani Kumudaswari, penyair perempuan yang tak pernah henti menulis puisi. Seolah-olah, melahirkan puisi telah menjadi nafas hidup. Ia bergerak, mengalir, meluber dan tumpah sebagai pilihan-pilihan kata yang terolah.

Pada suatu kesempatan, sonetta menjadi pilihan gaya penulisannya. Seratus buah sonetta disusunnya dalam perjalanan waktu yang panjang dan berjeda. Melaluinya, ia mencermati seluruh peristiwa, mencatat pernak-pernik kecil yang menyuguhkan makna, menyelaminya sebagai pesan-pesan penting yang mendidik, menumbuhkan dan menguatkan jiwa, mengendapkan semua buih hingga tersisa jernih, dan melarutkan kekeruhan hingga menemu kebeningan, lalu semuanya menjadi luberan yang siap untuk dibagikan.

Yuliani Kumudaswari

Menulis puisi dengan gaya sonetta bukanlah hal yang sederhana. Selain menuangkan pilihan kata dalam 14 baris sebagai karakter gaya, dituntut pula kesanggupan untuk menyelaraskan nada dan suara sehingga keseluruhannya menjadi seumpama partitur orkestra berirama. Pada akhirnya, membaca atau mendengarkan pembacaan sonetta itu seumpama membaca atau mendengarkan untaian kata yang tertata dalam gramatika verba Latina atau Italia. Indah, memesona, berlagu dalam kata-kata.

Dalam sebagian perjalan hidupnya, Yuliani Kumudaswari telah berupaya menapaki titian ini. Ia telah berupaya melukiskan dan mengidungkan semua keindahan yang ia temukan di kedalaman, sebagai buah yang dipetik dari suburnya pepohonan kehidupan. Pantaslah dipahami jika ia menyematkan judul bagi karya seratus sonetta ini “Tunjung Hati”. Yuliani Kumudaswari telah sanggup membaca jejak-jejak dalam semua peristiwa, mencermati dan memilih cara menyikapi sehingga ia sanggup menemukan semua yang tersembunyi di antara keriuhan, yakni semua hal yang memekarkan dan mengindahkan hati. Itulah Tunjung Hati, yang indah dan mekar di kedalaman diri.

Produktivitas sebagai buah dari Habitus

Menulis puisi atau cerpen secara rutin atau berkala dalam tempo tertentu lalu mengumpulkannya dalam periode waktu tertentu sehingga dapat menerbitkannya dalam sebuah buku, adalah sebuah laku disiplin yang tidak mudah. Ini adalah sebuah gaya atau laku hidup yang membutuhkan energi besar karena mendorong atau mengelola seluruh pikiran dan gerak motoris tubuh dalam suatu sinkronisasi aktivitas menulis. Penyatuan kehendak dan tindakan nyata membutuhkan latihan yang panjang dan pembiasaan yang terus-menerus. Semua itu merupakan habitus, yakni seluruh internalisasi dan strukturasi tindakan berdasarkan motivasi untuk mempertahankan kekhasan dan keunikan pribadi yang terbedakan dari orang lain (distinction), sekaligus demi menjagai kualitas tertentu yang ada di dalam diri. Sebagai habitus, tindakan menulis dapat melahirkan penajaman refleksi, penjernihan cara pandang, peningkatan kualitas pembacaan kritis, memudahkan pengambilan jarak, serta keluwesan untuk membuka diri terhadap perspektif baru. Produktivitas akan membuat hidup menjadi lebih hidup. Semoga terjaga demikian.

Asosiasi yang Kaya

Salah satu kekuatan dan kekhasan karya-karya puisi Yuli-ani adalah model asosiasi-asosiasinya yang kaya. Pembaca dapat menikmati penggambaran-penggambaran suasana, pelukisan rasa, atau goresan-goresan pengalaman yang in-dah, mengasyikkan, mengalir, yang meliyak-liyukkan makna secara nyaman. Asosiasi-asosiasi yang kaya ini, membuat puisi-puisi karya Yuliani terasa luas, beragam, di mana diksi atau pilihan katanya itu bisa melancong ke mana-mana sehingga mencerminkan kekayaan pengalaman, kekayaan suasana. Asosiasi-asosiasi yang kaya ini membuat pembaca tidak merasa lelah dan bosan menikmatinya. Sangat sedikit pilihan kata atau asosiasi yang berulang di dalam karya.

Berikut ini adalah salah satu karya puisi soneta yang nyaman dan lincah asosiasinya.

Puisi Akhir November

ini adalah puisi Novemberku yang terakhir

ketika aroma hujan begitu pekat

dan hari hanyalah sekumpulan warna pucat

cahaya yang tersapu oleh kuyup dan semilir

tak ada bayang-bayang rembulan

dari sela-sela ranting kemuning

pun dahan kamboja berbunga kuning

hanya sinar merkuri jatuh di tepi jalan

apalah dayaku ketika rindu tumbuh

menyulur berdepa membelit rapuh

memerah sepi memelintir sunyi  

ke dalam sepotong bait yang tabah

kujejalkan segala sesuatu tentang kesah

pada hal-hal yang menumbuhkan rindu: engkau

Semarang, 2022

Hujan Reda

akhirnya hujan reda, sayangku

biarpun mendung tetap menggantung

hati separuh biru separuh ungu

dan awan memilih melayang-layang

yang diriangkan rumput-rumput hijau

semi tunas tumbuh di sela-sela pelepah

dan tanah basah menutup retak galau

yang semula kita gulirkan serupa sesah

cahaya tetap memukau biar sepercik

senandung di antara nyanyian gerimis November

“Hujan baru saja reda” katamu nyaris berbisik

dan aku bersukacita serupa kijang muda

yang menemukan dangau di tegalan kering

“Kutimang jejak hujanmu” seruku penuh puja

Semarang, 2021

Cerminan dari Waktu Luang

Puisi-puisi karya Yuliani, sejauh saya kenali dalam waktu beberapa tahun ini, mencerminan waktu luang yang cukup memadai, yang memungkinkan Yuliani dapat merumuskan pengalaman, pikiran, dan pembacaan dalam diksi-diksi yang kaya, beragam, dan mendalam. Kekayaan diksi yang mencerminkan kekayaan imajinasi dan asosiasi, adalah penanda dari adanya waktu luang yang tersedia.

Ketersediaan waktu luang itu sendiri, dapat dimungkinkan oleh dua sebab. Pertama, karena situasinya memang demikian, artinya memang memiliki banyak waktu luang. Kedua, karena waktu luang itu sengaja diciptakan melalui sebuah komitmen dan disiplin. Kemungkinan yang kedua ini, yakni waktu luang yang diciptakan, adalah cerminan dari pembiasaan yang menjadi gaya hidup. Ini menjadi proses yang membantu subyek untuk menjagai jarak terhadap semua pengalaman, sehingga ia bisa menuangkan rumusan-rumusan reflektif terhadapnya. Menciptakan waktu luang pada gilirannya adalah sebuah laku asketis, yakni disiplin rohani atau disiplin spiritual untuk memperkecil hasrat dan rasa lekat tak teratur, lalu mengisinya dengan komitmen intensional tertentu yang lebih produktif, kreatif dan menumbuhkan seluruh aspek kemanusiaan. Ini seperti tindakan bertapa di antara atau di dalam waktu hidup sehari-hari. Jika demikian, para penyair yang berkualitas pada umumnya adalah para pertapa di dalam kehidupan. Sebagian dari mereka melakukan tapa ngrame, yakni tetap sanggup menciptakan waktu luang yang berjarak terhadap seluruh realitas pengalaman, meskipun ia sedang berada di tengah arus keriuhan.

Jika demikian halnya, Yuliani Kumudaswari dapat digambarkan sebagai Maria yang memilih untuk duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkannya, dan untuk sementara tidak menjadikan pilihan Marta yang sibuk sebagai prioritas. Kisahnya demikian:

Maria dan Marta (Luk 10:38-42)

Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalan-an, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku.” Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah me-milih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari pada-nya.”

Dalam konteks ini, menciptakan waktu luang, terutama bagi perempuan di tengah dunia patriarkhis, adalah tindakan yang progresif dan penting. Menciptakan waktu luang bagi pe-rempuan di tengah kultur patriarkhis adalah langkah untuk meningkatkan kapasitas diri dalam banyak aspek, terutama aspek intelektualitas. Waktu luang itu dapat digunakan untuk melakukan segala sesuatu yang produktif dan kreatif, seperti membaca buku, menulis, mempelajari tema tertentu, mengikuti diskusi, mendengarkan kuliah umum melalui zoom atau youtube, dan banyak hal lain. Menciptakan waktu luang bagi perempuan, adalah sebuah tindakan sadar untuk memilih satu saja yang perlu, yakni memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya, seperti kata Yesus.

Semoga demikianlah adanya.

—–

 

*Indro Suprobo, Penulis, Editor dan Penerjemah Buku, tinggal di Yogyakarta.