Subyek yang Berupaya Melintas dalam Hospitalitas

Oleh Indro Suprobo*

Hospitality means primarily the creation of a free space where the stranger can enter and become a friend instead of an enemy. Hospitality is not to change people but to offer them space where change can take place. It is not to bring men and women over to our side, but to offer freedom not disturbed by dividing lines. 

The paradox of hospitality is that it wants to create emptiness, not a fearful emptiness, but a friendly emptiness where strangers can enter and discover themselves as created free; free to sing their own songs, speak their own languages, dance their own dances; free also to leave and follow their own vocations. Hospitality is not a subtle invitation to adore the lifestyle of the host, but the gift of a chance for the guest to find his own.

_Henri JM. Nouwen

Kutipan pemikiran Henri JM Nouwen ini secara jelas menyatakan bahwa keramahtamahan atau hospitalitas adalah upaya menciptakan ruang yang bebas di mana orang asing dapat masuk di dalamnya dan menjadi sahabat, bukan menjadi musuh. Hospitalitas tidak bermaksud mengubah orang lain melainkan menyediakan ruang bagi siapapun di mana perubahan dengan sendirinya dapat terjadi di dalamnya, dan bersifat saling mengubah (reciprocal). Tujuannya bukanlah untuk membuat orang lain berpihak kepada kita, melainkan untuk menawarkan kebebasan yang tidak terganggu oleh perbedaan apapun. Hospitalitas itu menciptakan kekosongan yang ramah, bukan kekosongan yang menakutkan. Dalam kekosongan yang ramah ini, orang asing dapat masuk di dalamnya dan menemukan diri mereka sebagai subyek yang diciptakan dalam kebebasan, bebas menyanyikan lagu mereka sendiri, berbicara dalam bahasa mereka sendiri, mendaraskan pantun dan syair mereka sendiri, menarikan tarian mereka sendiri; bebas juga untuk pergi dan mengikuti panggilan mereka sendiri. Hospitalias bukanlah ajakan halus untuk mengagumi gaya hidup tuan rumah, melainkan anugerah kesempatan bagi tamu untuk menemukan gaya hidupnya sendiri. Secara singkat, hospitalitas adalah upaya menciptakan ruang di mana subyek lain dapat menjadi diri mereka sendiri apa adanya dan merekah bagaikan fajar yang menghangatkan. 

Hospitalitas atau keramahtamahan adalah sebuah sikap batin yang senantiasa terbuka terhadap kehadiran “yang lain” tanpa menyertakan syarat dan tuntutan. Ia merupakan keikhlasan untuk menyediakan ruang batin yang memungkinkan setiap orang yang hadir di dalamnya mengalami rahmat dan melahirkan berkat bagi semua yang lainnya lagi. Dengan demikian hospitalitas merupakan sikap batin yang membuka diri terhadap segala kemungkinan hadirnya rahmat di tengah kehidupan. 

Setiap subyek yang memiliki hospitalitas adalah subyek yang relatif terbebas dari segala prasangka, perasaan terancam, ketidakpastian, ketakutan, kekhawatiran, dan semua jenis hasrat yang cenderung mengikat dan melekat. Ia menjadi subyek yang mengalir ringan. Meskipun memiliki hasrat, karakternya adalah hasrat untuk senantiasa melepas, melahirkan kreativitas dan leluasa melintas. Dalam perspektif pemikiran filsuf Perancis, Gilles Deleuze, hasrat yang demikian ini menjadi energi fundamental bagi apa yang disebutnya deteritorialisation, yakni sebuah gerak untuk senantiasa melepaskan diri dari pembatasan dan teritori, dari semua yang mengikat kemapanan dan kemandegan. Ia senantiasa membuka, mengalir, meluber, dan melahirkan kemungkinan-kemungkinan serta memproduksi kebaharuan makna.

Narasi, Spiritualitas dan Cinta, kumpulan puisi karya H. Nasrullah Krisnam adalah puisi-puisi lepas yang ditulis dalam rentang waktu panjang, yang mencerminkan hospitalitas secara jelas. Seluruh kumpulan puisi ini mengungkapkan kesaksian tentang keterbukaan terhadap kehidupan. Ia menyediakan ruang luas bagi semua jenis kehadiran dan menyambutnya dalam keramahan. Ia membuka diri terhadap kehadiran “yang lain”, baik dalam rupa pribadi (personal-antropological), peristiwa (factual-historical), pengalaman (impressive-experiential), maupun kehadiran alam (natural-ecological) dengan semua suasana dan jejak pesona yang mengalir darinya. Hospitalitas atau keramahtamahan adalah kemilau cahaya yang berpendar lembut dalam setiap puisi yang terangkum dalam kumpulan ini. Narasi, Spiritualitas dan Cinta, adalah titian kehangatan yang mencerminkan persahabatan dan keterbukaan radikal terhadap kehidupan.

Sikap Etis Fundamental

Emmanuel Levinas, seorang pemikir etika heteronom menyatakan bahwa kehadiran “liyan” atau yang disebutnya sebagai alteritas radikal, adalah subyek yang sama sekali asing dan berbeda yang mengguncang “diriku”. Di dalam alteritas itu, yang tak terbatas memperkenalkan dirinya sebagai wajah yang menolak dan melumpuhkan daya-daya kekuasaanku dan berdiri tegak dalam ketegaran namun rentan tanpa perlindungan dalam ketelanjangan dan kesengsaraannya. Penampakan wajah dan kehadiran “liyan” ini mengguncang kesadaranku dan mendorong kepedulian terhadapnya. Pe-nampakan wajah itu membuat tidak mungkin untuk tidak peduli.1 Dalam konteks pemikiran Levinas ini, hospitalitas sebagai penerimaan radikal tanpa syarat dan kepentingan terhadap “liyan” merupakan sikap etis fundamental. Hospitalitas dan penerimaan itu mendasari kepedulian terhadap “liyan” yang hadir di hadapannya. 

Berlandaskan pertimbangan ini, Narasi, Spiritualitas dan Cinta, secara jelas namun lembut mencerminkan sikap etis fundamental karena memancarkan hospitalitas, penerimaan dan keterbukaan terhadap kehadiran “liyan” dalam rupa apapun, tidak hanya dalam rupa pribadi (personal-antropological). Dengan sendirinya, kumpulan puisi ini secara implisit sebenarnya menegaskan sikap kepedulian terhadap “liyan”. Sikap etis ini ditemukan di dalam beberapa puisi.

Perahu Lembata

Perahu itu melintas
berlayar mengarungi cita-cita
Sedang gemericik laut masih membuih kata-kata
Menunduk takzim menyusuri mereka yang membuat
maklumat capaian otonomi

Jangan ada lagi perih menghunjam
Sekarang perahu melayari lautan perjuangan
Lembah dan gunung telah berpelukan
Tanah pemaaf merangkul segala
Tidak hanya upacara menunduk kepala

Biarlah perahu Lembata
leluasa mengarungi barisan perbukitan

Entah pada akhirnya adakah dampaknya?
Akan jadi peristiwa dan cerita

Mengenai Lembata menitip pesan:
Jagalah perahu Lembata berlambung Taan Tou
Agar tidak seperti kayu yang terapung

Puisi ini adalah sebuah hospitalitas dan penerimaan terhadap perjuangan dan pergulatan masyarakat Lembata yang digambarkan sebagai Perahu. Ungkapan Jangan lagi ada perih menghunjam dan Jagalah perahu Lembata berlambung Taan Tou, agar tidak seperti kayu yang terapungadalah ungkapan nyata dari kepedulian, yakni keterguncangan diri oleh kehadiran liyan. Melalui puisi ini, penulis mengungkapkan kepedulian terhadap perjuangan dan pergulatan masyarakat Lembata untuk meraih martabat dirinya sebagai warga dan mengingatkan bahwa seluruh perjuangan itu berlambung Taan Tou“, yang berarti bahwa seluruh perjuangan itu dijiwai oleh seluruh pandangan hidup, sikap dan tindakan yang mengutamakan kesatuan dan integralitas hidup dengan Tuhan, alam dan sesama manusia.2 Dengan demikian ia tidak menjadi seperti kayu yang terapung, yakni tidak menjadi masyarakat yang telah kehilangan jiwa dan kebudayaan fundamentalnya, masyarakat tanpa roh kulturalnya yang semestinya diwarisi dari para leluhur yang mulia. 

Ungkapan Jangan lagi ada perih menghunjam” adalah jejak dari penampakan wajah “liyan”, yakni wajah masyarakat Lembata yang menyuarakan kepedihan sebagai dampak nyata dari model pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat, tidak berlandaskan kebutuhan masyarakat, tidak mempertimbangkan seluruh nilai budaya, adat istiadat dan cara berpikir masyarakat, yakni model pembangunan yang bersifat ego-center dari kekuasaan yang dominan dan tidak partisipatif, yang seringkali hanya memberikan keuntungan kepada elit. Ungkapan ini adalah bentuk kepedulian etis yang menunjukkan hospitalitas dan tanggung jawab. 

Hospitalitas yang melandasi lahirnya kepedulian dapat ditemukan juga dalam puisi “Jangan Patahkan”.

Jangan Patahkan

Mungkin dalam dua patah kata
Kau bertanya
tentang kesukaran di depan jalan

Dalam dua patah kata
Kau bertanya
tentang perebutan masa depan

Mengapa harus patahkan cita-citamu sendiri?
Mengapa tidak bertahan maju dan terus maju?
Jangan kecewakan dirimu sendiri
Agar tidak sampai malaikat pun menertawakan

Puisi ini menghadirkan imajinasi tentang dialog atau percakapan yang tenang, penuh pengertian dan diwarnai dukungan serta kepercayaan. Ia mencerminkan suatu sikap penerimaan dan keterbukaan terhadap pengalaman “liyan” yang sedang menghadapi kegalauan, keraguan, tantangan, kekecewaan atau bahkan keputusasaan. Ia memberi ruang yang ramah bagi kehadiran “liyan” dengan segala pengalaman yang sedang dihadapinya. Ungkapan Mengapa harus patahkan cita-citamu sendiri?dan Jangan kecewakan dirimu sendiri, agar tidak sampai malaikat pun menertawakan adalah ungkapan yang menghadirkan kepedulian dalam bentuk kepercayaan dan peneguhan. Dalam ungkapan itu, tercermin sikap etis dasar berupa hospitalitas dan penerimaan bahwa setiap subyek memiliki martabat, potensi, dan kompetensi sehingga setiap subyek adalah bernilai. Di dalamnya juga tercermin suatu penghadiran kebebasan bagi subyek “liyan” untuk berpikir, mencerna, merefleksikan dan menghargai seluruh martabat dan kemampuan dirinya, lengkap dengan seluruh daya kreativitasnya agar tetap memiliki resiliensi, daya tahan dan daya juang, serta senantiasa memiliki keberanian untuk melenting menghadapi kesulitan dan tantangan. 

Dalam perspektif Appreciative Inquiry yang dikembangkan oleh David Cooperrider dan Diana Whitney, kepedulian yang tercermin di dalam puisi ini merupakan suatu praksis nyata dari upaya memberikan tiga jenis kebebasan kepada “liyan”, yakni kebebasan untuk membangun mimpi dan imajinasi, kebebasan untuk bertindak dalam dukungan, dan kebebasan untuk bersikap positip.3

Kebebasan untuk membangun mimpi dan imajinasi adalah kebebasan untuk melepaskan diri dari situasi stagnan, kebekuan, status quo dan kejenuhan serta keterkungkungan. Kebebasan ini memungkinkan subyek untuk menenun sebuah pengharapan, menyalakan semangat untuk menciptakan perubahan dan menggerakkan dirinya untuk melangkah setapak demi setapak menuju realitas baru yang lebih maju dan bermakna. 

Kebebasan untuk bertindak dalam dukungan adalah praksis membebaskan subyek untuk membangun perasaan bermakna melalui tindakan yang dipilihnya di dalam relasinya dengan orang lain (keluarga, komunitas, masyarakat) sehingga melahirkan kohesivitas sosial yang kuat di mana setiap orang merasa saling tergantung, saling membutuhkan, sekaligus terbuka untuk saling belajar dan saling memberikan dukungan. Dalam kondisi sulit dan menantang, kebebasan ini sanggup melahirkan ide dan gagasan alternatif untuk mengatasi persoalan karena setiap subyek lebih termotivasi untuk menjadi kreatif dan menemukan terobosan baru. 

Kebebasan untuk bersikap positif memungkinkan subyek untuk menggapai rasa syukur dan bangga atas pengalamannya sendiri, yang selanjutnya akan melahirkan komitmen yang semakin kuat untuk mencapai tujuan, cita-cita, dan perubahan yang diharapkan di masa depan. Kebebasan ini juga melahirkan sikap apresiatif satu sama lain yang sangat penting bagi pertumbuhan pribadi dan lahirnya martabat diri.4 Puisi Jangan Patahkan adalah cerminan kepedulian terhadap “liyan” dalam rupa pemberian kepercayaan, peneguhan dan kebebasan agar tetap menjadi subyek yang merekah meskipun hujan badai sedang menumpah ruah. 

Duc in Altum

Duc in Altum adalah istilah dalam bahasa Latin yang aselinya merupakan kalimat perintah yang berarti Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam! Dalam konteks ini, duc in altum dimengerti sebagai energi dasar untuk selalu menyelam di kedalaman, menemukan sesuatu yang lebih mendalam. Ini merupakan spirit untuk tiada henti menemukan sesuatu yang lebih berarti dan tidak membiarkan diri hanya bertahan di permukaan. 

Hospitalitas sebagai keterbukaan mendasar terhadap kehadiran “liyan” menjadi landasan bagi semangat duc in altum, karena ia senantiasa terbuka untuk mengenali kehadiran yang lebih mendalam dari setiap subyek, pengalaman maupun peristiwa. Hospitalitas memungkinkan setiap subyek untuk berani dan sanggup mengenali yang tersembunyi di bawah permukaan. 

Kutipan puisi berjudul Pantai Waijarang Teringat Selalu ini merupakan salah satu contoh tentang keberanian untuk mengenal lebih dalam.

Di tepian menatap laut lepas
Terbentang luas alam semesta
pasir, laut, dan deburan ombak
Takjub mengasah kepekaan rasa

Pantai Waijarang diterpa laut
Ibarat hidup bagai lautan

Ada waktu damai dan membadai
Ada waktu pasang dan surut

Dalam puisi ini ditemukan hospitalitas terhadap kehadiran fenomena alam, keterbukaan terhadap keindahan dan pesonanya, namun juga membuka diri bahwa kehadiran alam itu sekaligus menghadirkan sesuatu yang lebih mendalam dan berguna untuk mendidik diri sehingga memungkinkan terjadinya transformasi. Pasir, laut dan deburan ombak menghadirkan ketakjuban untuk mengasah kepekaan rasa dan menjadi simbolisasi reflektif tentang kehidupan yang diwarnai oleh saat membadai dan pasang surut. Pantai dan lautan tidak berhenti semata-mata sebagai kehadiran material melainkan juga membuka pengenalan terhadap kehadiran makna lebih mendalam, energi simbolik dan edukatif, yang pada gilirannya sanggup memengaruhi transformasi diri.

Kutipan puisi berjudul Ombak di Pandansari,  mencerminkan hal  yang sama.

Tahukah ombak itu bertasbih?
Gemuruh memuji dalam keagungan
Bahwa laut itu, dan ombak ini
Adalah semesta milik Ilahi
Itulah makna kebesaran Allah

Gulungan ombak laut dalam puisi ini tidak hanya diper-sepsi sebagai gerakan alam material semata, melainkan sebagai gerakan alam yang di dalamnya mengandung energi yang lebih mendalam, yang oleh penulis dimaknai sebagai energi bertasbih. 

Ungkapan tahukah ombak itu bertasbih?, pantas dipahami sebagai cerminan dari suatu paradigma integral yang memandang relasi antara manusia dan alam raya adalah relasi kesatuan penuh persahabatan. Bahwa manusia dan alam raya berada dalam relasi setara, bukan dominasi satu terhadap yang lain. Ungkapan ombak bertasbih juga mengungkapkan suatu cara pandang bahwa di dalam alam, terdapat suatu energi fundamental, yang oleh cendekiawan Konfusianisme bernama Fang Yizhi (1611-1671) disebut sebagai “qi”, yakni energi yang meliputi seluruh kehidupan, yang secara harmonis mempertautkan tumbuhan, hewan, manusia dan yang ilahi serta memampukan mereka untuk mencapai pemenuhan potensi masing-masing.5 

Pemaknaan ombak sebagai subyek yang bertasbih, juga dapat dibaca sebagai cerminan tentang rasa hormat terhadap alam raya. Rasa hormat ini mengalir dari hospitalitas, keterbukaan terhadap kehadiran alam, yang menyambut kehadiran alam raya dengan penuh keramahtamahan dan persahabatan, tanpa tuntutan, tanpa syarat, apalagi dominasi yang mengutamakan kepentingan diri. Rasa hormat terhadap alam ini menyiratkan pengakuan bahwa kehadiran alam itu memengaruhi seluruh eksistensi diri. Ini juga mencerminkan kesadaran bahwa manusia dan alam berada dalam relasi saling membutuhkan dan saling memengaruhi. Alam yang ditempatkan dalam posisi terhormat, akan menjadi alam yang bertumbuh dalam martabat dan mengalirkan semua energi positif bagi semua jenis kehidupan. Menjadi jelas bahwa hospitalitas yang mengalirkan semangat duc in altum, menghasilkan dampak munculnya rasa hormat, yang pada gilirannya akan membawa kembali energi positip kepada diri sendiri dan seluruh kehidupan. Sikap yang demikian ini sekali lagi mencerminkan suatu pandangan dunia bahwa langit, bumi, dan kemanusiaan secara bersama-sama membentuk suatu kontinuum, yakni keserangkaian yang dinamis, organik, dan holistik. Oleh cendekiawan Konfusianisme yang lain, yang bernama Tu Weiming, pandangan semacam ini disebutnya sebagai “antropokosmik”, yakni tiadanya keterpisahan antara umat manusia dan kosmos karena keduanya berbagi realitas yang sama.6 Sikap dan pandangan seperti ini sangatlah dibutuhkan di dalam dunia yang sudah diwarnai oleh krisis lingkungan hidup seperti sekarang ini.

Duc in altum, sebagai spirit yang menuntun subyek menyelam di kedalaman, juga memungkinkan subyek untuk mengenali realitas yang lebih dalam dari suatu pengalaman maupun peristiwa. Ia menuntun subyek untuk menyelami pemahaman bahwa persahabatan, cinta serta kasih sayang, tak pernah sanggup diputus oleh apapun bahkan oleh kematian sekalipun. Persahabatan dan kasih sayang, tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Makna mendalam tentang cinta dan kasih sayang yang demikian ini dapat ditemukan dalam puisi-puisi tentang kedukaan. Meskipun telah wafat dan dipanggil pulang oleh Sang Sumber Kasih Sayang, Gus Dian Nafi tetap menjadi permata hati dan diyakini tetap terhubung serta dapat menjalin relasi dalam cara yang berbeda. Kutipan berikut mencerminkan hal ini:

Hati memang tidak seperti matahari
Namun cukup terang untuk mendoakanmu
Dan pada ketiadaanmu di ruang kosong ini
Aku yakin Gus Dian masih dapat melihatku.

Amin Ya Rabbal Alamin

Akhirnya, melalui kumpulan puisi berjudul Narasi, Spiritualitas dan Cinta ini, Nasrullah Krisnam sedang berupaya melampaui dan menyelami makna terdalam dari seluruh kehadiran yang dijumpainya, dan menemukan banyak arti yang tersembunyi. Dengan seluruh keterbukaan terhadap beragam kehadiran, Nasrullah Krisnam sedang menjadi subyek yang berupaya melintas dalam hospitalitas. Ia sedang menjadi subyek yang berupaya menapaki jejak kehidupan dengan seluruh sikap keramahtamahan dan keterbukaan. Ia sedang menghayati seluruh kehadiran dalam denyut persahabatan. 

——–

1 Lih. Haryatmoko, Prinsip-Prinsip Etika, Landasan Teori Untuk Memecahkan Kasus-Kasus Dilema Moral, Gramedia 2024, hlm.120-121

2 Lih. Hipolitus Kristoforus Kewuel dalam https://antropologi-fib.ub.ac.id/berita/sare-dame-taan-tou-pembangunan-harus-berbasis-budaya/, diakses 06-09-2025. 

3 Lih. David Cooperrider and Diana Whitney, Appreciative Inquiry: A Positive Revolution in Change, hlm.28-29 dalam http://www.academia.edu/4063158/Appreciative_Inquiry_A_Positive_Revolution_in_Change, diakses 29 Mei 2024

4 Paparan tentang tiga jenis kebebasan yang disebutkan ini secara khusus dapat ditemukan juga di dalam Indro Suprobo, A Companionship Which Fostering Hope, Lessons Learned of Accompanying Refugees with a Case Management Approach, Jesuit Refugee Service Indonesia, 2024, hlm.10-13

5 Lih. Karen Armstrong, Sacred Nature, Bagaimana Memulihkan Keakraban dengan Alam, Penerbit Mizan, 2023, hllm.33-35

6Ibidem, hlm.34

——

*Indro Suprobo, Penulis, Editor dan Penerjemah Buku, tinggal di Yogyakarta