Murba Sepeninggal Tan Malaka
Oleh FX. Domini BB Hera
Judul : Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 1950-2007 Jilid V
Penulis : Harry A. Poeze
Penerjemah : Hersri Setiawan
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2020
Tebal : xviii + 475 halaman
Tan Malaka (1896-1949), pahlawan nasional RI 1963, merupakan pelaku sejarah yang kecil kemungkinan biografinya dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI. Dahulu, pemerintah Orde Baru itu tak pernah menyebut tokoh gerakan kiri ini. Namanya sengaja tak dimunculkan dalam album pahlawan nasional dan publikasi-publikasi resmi. Belakangan generasi muda justru tahu namanya bukan dari pelajaran sejarah di sekolah.
Justru biografi Tan Malaka yang panjang membentang hingga berjilid-jilid diproduksi oleh Harry A. Poeze, Sejarawan Belanda. Ben Anderson (1936-2015) pernah melempar kelakar pada tahun 2010 sewaktu dalam perjalanannya dari Surabaya ke Malang. Ilmuwan peminat studi nasionalisme itu menyatakan bahwa Harry Poeze telah membuat biografi Tan Malaka lebih tebal dari buku babon sejarah resmi buatan pemerintah Orde Baru, Sejarah Nasional Indonesia (SNI) enam jilid itu. Lelucon itu memang keterlaluan benarnya.
Menyimak Poeze Dari Dalam
Buku-buku Tan Malaka karya Harry Poeze yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berturut-turut, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, 1897-1925 Jilid I (1988); Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, 1925-1945 Jilid II (1999); Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 1945-1946 Jilid I (2008), TMGKRI, 1946-1947 Jilid II (2009); TMGKRI, 1947-1948 Jilid III (2010), Madiun 1948, PKI Bergerak (2011); TMGKRI, 1948-1949 Jilid IV (2014), dan TMGKRI, 1950-2007 Jilid V (2020). Total 8 buku! Salut dan penghargaan yang tinggi patut disampaikan kepada Hersri Setiawan, penerjemah dari enam buku yang disebut terakhir.
Biografi seorang pahlawan Indonesia telah dibuat berjilid-jilid justru oleh sejarawan non Indonesia. Harry Poeze tidak hanya meneliti Tan Malaka semasa hidup. Ia turut menulis sejarah dan memori politik sang tokoh jauh sesudah meninggalnya, sebagaimana termuat dalam Jilid V dengan temporal 1950-2007. Selama setengah abad lebih itu, buku ini dibagi dalam dua bab utama, yakni pra 1965 dan sesudah 1965. Masing-masing, Bab I ‘Partai Murba di Ambang Senja, 1950-1965’ dan Bab II ‘Pemulihan dan Lantas Dilupakan, tapi Kebangkitan Kembali, 1965-2007.’
Jilid V turut menawarkan aspek menengok sejarah dari dalam (a history view within), khususnya kisah proses di balik layar sang penulis bagi sidang pembacanya. Harry Poeze menceritakan dengan seksama awal mula riset doktoralnya mengenai Tan Malaka sejak tahun 1972 hingga pelarangan bukunya oleh Kejaksaan Agung semasa Orde Baru (hlm. 300-303; 309-310). Selepas Reformasi, banjir buku-buku kiri dan yang pernah dibredel Orde Baru juga tak lupa ia sorot.
Seluruh serial buku TMGKRI dipersembahkan Harry Poeze untuk Hasan Sastraatmadja, pengusaha yang semasa hidupnya kenal baik Tan Malaka dan mendukung penuh penelitian serta penerjemahan buku Poeze. Karya Harry Poeze telah menjadi sejarah wajib untuk kajian kepustakaan Tan Malaka.
Murba, Sang Ahli Waris
Sebelum dibunuh dalam sebuah eksekusi di Kediri – Jawa Timur, Tan Malaka menjadi bidan kelahiran partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), 7 November 1948. Sejak saat itu, asosiasi yang berkembang ialah Murba identik dengan Tan Malaka demikian pula sebaliknya. Murba sebagai institusi politik menjadi ahli waris Tan Malaka, berikut para personelnya yang aktif mencetak ulang dan menyebar-luaskan karya-karya tulis pendirinya itu.
Murba pula yang konsisten membuat peringatan-peringatan hilangnya Tan Malaka maupun publikasi-publikasi terkait sampai mendesak pemerintah untuk mencari titik terang dari persoalan itu. Konsistensi Murba dalam wacana Tan Malaka membuahkan hasil, dimana Presiden Sukarno (1901-1970) mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional tahun 1963.
Secara ideologis, partai ini menjadi lawan PKI (Partai Komunis Indonesia). Tan Malaka sendiri, walau pernah menjadi pimpinan PKI tahun 1921, tidak menyetujui Peristiwa 1926/1927 dan karenanya sejak saat itu telah dianggap musuh oleh pengurus PKI yang lain. Perseteruan Murba dengan PKI menghiasi bagian pertama buku ini.
Kawan-kawan Tan Malaka di Murba sekaligus simpatisannya turut diceritakan Harry Poeze. Mulai dari Semaun (1899-1971), salah seorang pendiri PKI yang sekembalinya ke Indonesia dari Moskow, Uni Sovyet memilih aktif di Murba hingga Adam Malik (1917-1984), pengikut Tan Malaka sekaligus Wakil Presiden yang turut mendirikan Orde Baru.
Sebuah ironi bercampur anomali, mengingat Semaun dan Tan Malaka yang notabene para pemimpin awal PKI justru tak lagi berada di institusi politik itu sesudah Indonesia Merdeka. Tokoh PKI yang satu generasi dengan Semaun dan Tan Malaka tinggal Alimin (1889-1964). Itupun sejak tahun 1953-1956 Alimin disingkirkan oleh kepemimpininan D.N. Aidit (1923-1965) dalam konflik internal mereka. Sejurus kemudian Alimin diangkat menjadi pahlawan nasional sesudah kematiannya oleh Presiden Sukarno tahun 1964.
Lantaran pembahasan Jilid V ini berhenti di tahun 2007, maka terpilihnya Sukarni (1916-1971) sebagai pahlawan nasional tahun 2014 oleh Presiden Joko Widodo tidak turut dibahas serta. Sukarni merupakan Ketua Partai Murba yang cukup lama sebelum digantikan Wasid Soewarto. Sekurang-kurangnya tercatat dua orang Murba telah menjadi pahlawan nasional Indonesia.
Sepeninggal Tan Malaka, Sukarni menjadi figur sentral dalam Partai Murba. Sepanjang kepemimpinannya yang panjang, ia juga menghadapi dinamika internal di dalam partainya. Suara sumbang dan aksi-aksi politik anti-Sukarni disorot Poeze dengan jeli. Di luar itu, Murba juga masih harus berhadapan dengan PKI rival utamanya. Murba sendiri banyak berkolaborasi dengan faksi politik Angkatan Darat (AD) untuk melawan politik PKI.
Dua kasus penting menunjukkan bahwa politik AD baru turun tangan teratur sesudah kegagalan para politisi sipil membendung kekuatan PKI. Pertama, SOBRI (Sentral Organisasi Buruh Republik Seluruh Indonesia) bentukan Murba tak mampu mengimbangi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang lebih dulu ada dan terafiliasi dengan PKI sebagai vaksentral buruh terbesar di Indonesia.
Setelah itu, barulah faksi politik AD bergerak membentuk SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia) dengan daya dukung serikat sekerja dalam perusahaan-perusahaan negara yang baru saja dinasionalisasi di bawah kendali mereka untuk melawan SOBSI. Pemilihan singkatan SOBRI dan SOKSI itu memang disengaja yang hanya berbeda satu huruf dengan SOBSI. Sebuah pertarungan bahasa dan simbol dalam gerakan buruh Indonesia waktu itu.
Kedua, kegagalan manuver partai Murba untuk mengunci PKI dengan menjadikan Sukarno sebagai figur utama melalui BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme). Nahasnya Sukarni justru ditahan sebagai tahanan politik dan lantas Murba dibekukan. Hal itu dianggap kemenangan PKI membalas aksi akrobatik Murba. Menanggapi situasi panas di paruh dekade 1960-an itu, Muhammad Hatta (1902-1980) dengan Ide Anak Agung Gde Agung (1921-1999) meneropong kepemimpinan sipil pasca Sukarno pada dua pilihan, yakni Diktator Proletariat Subandrio (1914-2005) – Aidit atau Diktator Anarkistis Sukarni – Adam Malik.
Siasat mengunci PKI baru berhasil dilakukan oleh faksi politik AD di bawah Jenderal A.H. Nasution (1918-2000) yang menjadikan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Oleh karena itu, tidak akan ada pemilu dan menutup semua peluang PKI untuk bisa memenangkannya. Pasca G30S 1965, Murba mendukung kelahiran Orde Baru. Selepas pemilu 1971, Murba ikut kebijakan fusi partai Orde Baru dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia).
Sedari pemilu 1955 dan 1971, Murba gagal menang dengan perolehan suara yang minim. Perpecahan internal Murba sepanjang Orde Baru semakin menghebat. Sesudah kejatuhan Orde Baru, Murba mendapat momentum ikut serta dalam Pemilu 1999. Sayang, capaian 62.000 suara atau 0,06% menjadi tamparan keras bagi Murba yang bahkan merebut suara satu kursi di parlemen saja tidak bisa. Nampaknya ketenaran wacana Tan Malaka tidak berbanding lurus dengan kiprah politik Murba, sang ahli warisnya.
*Penulis adalah sejarawan alumnus Universitas Negeri Malang