Irna H.N. Hadi Soewito, Biografi Perempuan Merdeka
Judul : Untuk Bung Karno dan Taman Siswa: Biografi Irna H.N. Hadi Soewito
Penulis : Eka Budianta
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta
Cetakan : I, Maret 2022
Tebal : xxxvi + 232 halaman
Membaca buku riwayat Bu Irna, apalagi dengan sampul foto lama zaman beliau muda bersanding dengan Ki Hajar Dewantara dan Bung Karno tentu langsung membuat pembaca menyimpulkan bahwa Irna bukan wanita biasa. Foto tersebut tentu lain dengan zaman sekarang, dimana semua orang bisa berswafoto dengan semua pesohor, dimanapun dan kapanpun bertemu.
Setelah membuka halaman demi halaman buku ini, ternyata benar dugaan tersebut. Bu Irna dapat dikatakan bukan perempuan biasa. Ia perempuan merdeka sejak lahirnya. Bu Irna sudah menjadi perempuan merdeka dari segi bibit, bebet maupun bobotnya.
Ayahnya dari kalangan ningrat, suami kaya raya, serta lingkungan pergaulan yang mendukung. Uniknya, hal itu Bu Irna alami dalam beragam lintasan zaman. Sejak era akhir kolonial, revolusi kemerdekaan, Orde Lama Bung Karno, era Orde Baru Pak Harto bahkan hingga masa reformasi kini.
Saya sangat setuju dengan pengantar sejarawan FX Domini BB Hera (akrab disapa Sisco) dalam buku ini, yakni Bu Irna detail sekali dalam mendeskripsikan sesuatu dalam tulisan-tulisannya, termasuk yang muncul di biografinya ini. Mungkin latar belakang ilmu jurnalistiknya di majalah Sarinah yang telah menempanya. Sehingga gaya feature news bisa dilihat dari tulisannya. Detail!
Namun, tidak seperti judul bukunya, pembaca akan sedikit kecele, karena tidak banyak hal yang diceritakan seputar Taman Siswa, kecuali saat Bu Irna kecil sekolah di Taman Siswa Kediri. Bu Irna juga penulis skripsi berjudul “Soewardi Soerjaningrat di Pengasingan” (1985 – Balai Pustaka, 2019 – Kepustakaan Populer Gramedia) dan beliau ikut menjadi panitia penganugerahan Doctor Honoris Causa Ki Hajar Dewantara (KHD) dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Paling tidak buku ini membuka tabir, jika ingin tahu tentang KHD ya bacalah bukunya Bu Irna. Pun dengan Bung Karno, kisah Bu Irna dengan Sukarno juga tidak terlampau dalam kecuali dalam beberapa momentum, yang menegaskan bahwa Bu Irna memang “perempuan merdeka” yang secara mental memang mendukungnya untuk tidak takut bertemu dan berbincang dengan orang-orang besar.
Termasuk berbincang seputar hal sensitif seperti: apakah Bu Hartini Sukarno setiap malam Jumat selalu berkeliling istana tanpa busana untuk menyenangkan hati Bung Karno? Atau, berani bercanda tentang berbaginya para istri Wapres Hamzah Haz!
Kemerdekaan lainnya, bisa dilihat dimana Bu Irna meskipun tertimpa “badai” gosip mulai dari isu hamil saat SMP hingga diklaim terlibat gerakan kiri CGMI, Bu Irna bisa menghadapi dengan baik. Bahkan bisa dikatakan Bu Irna “mengapung” di semua zaman.
Buku ini juga sangat cocok untuk memotivasi perempuan usia berapapun untuk tidak berhenti belajar dalam artian sesungguhnya, termasuk untuk kembali lagi ke bangku kuliah sebagaimana Bu Irna meraih sarjana doktoranda dalam usia 47 tahun. Juga, memotivasi bagi perempuan untuk meniti karir di jalur jurnalistik dan sejarah, suatu hal yang sangat terbuka untuk saat ini.
Buku ini enak dibaca dengan gaya jurnalistik dan banyak kutipan langsung, seolah menegaskan bahwa buku ini memang “berkisah” sebagaimana koran harian berkisah. Dan gaya seperti ini saya rasa patut direproduksi oleh para sejarawan, dimana era sekarang generasi Z tentu sudah tidak tertarik dengan gaya tulisan nan njlimet (rumit) dengan etalase landasan teori yang memusingkan kepala dan terkadang tidak nyambung.
*Heni Purwono, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Komisariat Kabupaten Banjarnegara