Gelombang Baru Kur Balada dan Jejak Panjang Sastra Tegalan

Oleh: Iwang Nirwana*
Komunitas Sastrawan Tegalan (KST) sejak awal kelahirannya selalu menunjukkan kegigihan yang tak pernah padam dalam mengangkat martabat bahasa Tegal melalui karya-karya sastra. Selama tiga puluh satu tahun, semangat itu terus menyala sejak 26 November 1994—hari yang kini dikenang sebagai kelahiran Sastra Tegalan modern. Pada tanggal itulah Lanang Setiawan yang dijuluki Begawan Tegal meletakkan tonggak penting ketika mengalihwacanakan puisi Nyanyian Angsa karya WS. Rendra ke dalam bahasa Tegal menjadi Tembangan Banyak. Sejak momen itu, Sastra Tegalan semakin menjulang, menembus batas-batas lokalitas, dan memperoleh ruang terhormat dalam dunia kesusastraan Indonesia. Gerakan ini membuktikan bahwa bahasa Tegal bukan hanya layak dibaca, tetapi juga sanggup menciptakan estetika baru yang hidup dan terus berkembang.
Banyak orang menilai bahwa KST memiliki akal yang panjang dan daya cipta yang sulit ditebak. Komunitas ini dikenal sering melahirkan kejutan, membuat orang terbelalak, dan memunculkan aliran-aliran baru yang sebelumnya tak terbayangkan dalam jagad sastra lokal. Setelah melahirkan berbagai aliran yang kerap memancing perdebatan, para sastrawan di dalamnya kini kembali menghadirkan sebuah terobosan baru. Begawan Tegal, tokoh sentral gerakan ini, memperkenalkan sebuah aliran segar yang ia sebut “Kur Balada”. Sebagian seniman lain menanggapinya dengan gurauan, menganggapnya hanya ide liar. Namun apa pun komentar yang muncul, satu hal tak bisa dibantah: gerakan ini sudah lahir, dan tidak ada yang dapat menariknya kembali. Prinsip yang dipegang para anggota KST tetap sama—bergerak.
Sebelum membahas Kur Balada, penting memahami pondasi awalnya: lahirnya Kur 267. Kata kur dalam bahasa Tegal bermakna “hanya” atau “cuma”, sebuah diksi yang kemudian disematkan sebagai pengganti istilah haiku. Kur 267 muncul dari diskusi panjang para penulis Sastra Tegalan mengenai haiku Tegalan yang pernah dimuat dalam antologi Jala Sutra 228 Haiku Tegalan serta Haiku Tegalan Autobiografi Lanang Setiawan. Perdebatan dimulai dari satu pertanyaan penting: apakah istilah haiku masih layak dipertahankan, mengingat bentuk itu berasal dari tradisi Jepang, sementara bahasa Tegal memiliki karakter sendiri yang khas?
Dari perdebatan intens itu, lahirlah istilah Kur 267—dibaca kur dua-enam-tujuh. Kur dipahami sebagai puisi pendek khas Tegalan yang terdiri atas tiga larik: dua suku kata pada larik pertama, enam suku kata pada larik kedua, dan tujuh suku kata pada larik ketiga. Angka 267 tidak sekadar struktur, tetapi juga simbol: 26 merujuk 26 November, tanggal kelahiran Sastra Tegalan, sementara angka 7 dimaknai sebagai pitulungan—pertolongan—sebuah harapan agar bahasa Tegal yang kerap terpinggirkan dapat terangkat kembali.
Menurut almarhum Dwi Ery Santoso, angka 26 melambangkan kelahiran bahasa Tegal yang telah lama diposisikan di pinggir, dan angka 7 menjadi doa agar gerakan Sastra Tegalan mampu menegakkan kembali martabat bahasa ibu tersebut.
Lantas, bagaimana Kur Balada lahir?
Menurut Lanang Setiawan, Kur Balada berakar dari bentuk syair lagu yang kerap dinyanyikan para musisi jalanan Italia, yang kemudian menyebar hingga Rusia, Spanyol, Belanda, Jerman, Inggris, dan Amerika. Bentuk itu lalu masuk ke Indonesia dalam berbagai rupa dan gaya. Namun ketika bersentuhan dengan bahasa Tegal—melalui pemikiran dan eksperimen
Lanang Setiawan—bentuk tersebut berubah menjadi lebih liar, lebih hidup, tetapi tetap setia pada roh lokalitas.
Dalam buku Kitab Begawan Kur Balada, kritikus Muarif Essage mencatat bahwa balada telah mengalami perjalanan panjang sejak abad ke-13: dari semula berupa syair pujian, lalu berubah menjadi cerita percintaan, hingga kisah-kisah kehidupan yang getir. Kur Balada melanjutkan perjalanan panjang itu namun dalam bentuk yang lebih ringkas, padat, dan bernarasi. Setiap karya Kur Balada tersusun dari minimal empat Kur 267 sehingga membentuk balada versi Tegalan—singkat, namun bertenaga.
Dalam antologi Kitab Begawan: Antologi Kur Balada, bentuk itu menjelma menjadi cerita-cerita yang mengaitkan tradisi lokal dengan dunia yang lebih luas. Salah satunya dapat dilihat pada karya berikut:
MENUNGGU APA BELIS?
1
Nero
Kaisar bengis besar
Kota Roma dibakar
2
Nero
Tanpa belas kasih
Keluarganya dibunuh
3
Nero
Tirani memuncak
Dibangun dengan apa?
4
Lalu
Nero dan Caligula
Manusia atau iblis
Karya tersebut bukan sekadar permainan kata, melainkan upaya mengukur sejauh mana batas estetika Sastra Tegalan dapat didorong. Kur Balada memperlihatkan bahwa bahasa daerah tidak harus tunduk pada estetika luar; sebaliknya, bahasa Tegal mampu berjalan sejauh dunia berjalan, bahkan menembus sejarah umat manusia.
Pada akhirnya, Kur Balada menjadi bukti bahwa bahasa ibu bukan sekadar warisan yang disimpan di lemari. Di tangan para sastrawan Tegalan, bahasa itu berlari, menabrak dinding-dinding lama, membuka jalan baru, dan menunjukkan bahwa bahasa Tegal bukan hanya hidup—tetapi bergerak cepat menuju masa depan. ***
—–
*Iwang Nirwana, penyair dan jurnalis.



