Meditasi Berjarak dengan Emosi
Oleh: Adi Prayuda
Orang-orang yang sedang berlatih sabar, dalam hidupnya, justru perlu dilintasi oleh orang-orang yang tidak sabaran, mudah terpicu kemarahannya oleh hal-hal kecil.
Agar kesabarannya menjadi bermakna. Agar kesabarannya punya nyawa. Agar kesabaran yang selama ini dipelajarinya menjadi buah-buah tindakan. Agar kesabaran yang selama ini ada sebagai konsep di dalam benaknya turun ke hatinya dan berakar di sana. Menjadi sebuah pengalaman otentik, yang mungkin nanti bisa diajarkan kepada yang lainnya.
Orang-orang yang berlatih hening/meditasi juga serupa. Perlu orang-orang yang tidak hening. Perlu, dalam hidupnya, dilintasi oleh orang-orang yang cerewet, terburu-buru, mudah menghakimi. Agar keheningannya bermakna. Agar keheningannya mendalam, bukan sekedar hening yang berada dalam suasana sepi tanpa kebisingan. Namun, hening yang sangat kuat, bahkan relatif stabil di tengah keriuhan dunia ini.
Semua kata-kata di atas tentu tidak mudah dilakukan. Sebagian kita mungkin akan cenderung ikut ngomel-ngomel, ikut marah, ikut terburu-buru, ikut menghakimi ketika didatangi oleh orang-orang yang begitu.
Emosi kita bisa saja ikut terbawa ketika disentuh oleh emosi orang lain, apalagi bila emosi orang tersebut cukup kuat atau intens. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk berjarak dengan emosi. Bukan hanya berjarak dengan emosi orang lain, tapi juga berjarak dengan emosi kita sendiri.
Bila kemampuan “berjarak dengan emosi” ini sudah cukup kuat, perhatian kita tidak akan mudah terombang-ambing oleh emosi-emosi yang “datangnya” dari luar diri. Kita tidak akan mudah terpancing oleh emosi orang lain. Kita tidak akan mudah ikut emosi bila seseorang marah-marah atau ngomel-ngomel di hadapan kita. Kita tidak mudah juga terseret oleh kesedihan orang lain.
Namun, bukan berarti kita tidak memiliki empati atas rasa sedih orang lain. Kita bisa merasakan kesedihan orang lain, namun perhatian kita tidak ikut terseret atau terhanyut oleh kesedihan itu. Cenderung tenang, namun bukan juga “bodo amat“.
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa berjarak dengan emosi orang lain? Pertama-tama latihlah dulu berjarak dengan emosi kita sendiri. Latihan paling sederhana adalah menyadari napas. Sadar ada napas masuk, sadar juga ada napas keluar.
Ketika emosi apapun datang – entah itu marah, jengkel, sedih, kecewa, cemas, penyesalan – berhenti sejenak, kemudian arahkan perhatian kepada aliran napas yang masuk dan keluar melalui hidung.
Bukan mengusir emosinya, namun arahkan saja dulu perhatian kepada aliran napas masuk dan keluar. Tidak perlu mengontrol napas atau mengendalikannya. Hanya perhatikan saja napas masuk dan keluar. Bisa sambil duduk di kursi atau duduk bersila.
Luangkan waktu sejenak untuk terkoneksi dengan napas yang adalah berkah setiap saat. Kita mungkin jarang menyadari berkah ini karena pikiran begitu ribet dengan kesibukan atau aktivitas sehari-hari.
Lakukan latihan menyadari napas ini selama 2 – 5 menit atau berapapun durasinya yang dirasa cukup. Tidak harus ketika ada emosi yang intens, tapi lakukan juga pada saat kondisi pikiran dan perasaan yang “biasa-biasa” saja. Justru kalau kita hanya berlatih ketika sedang dalam emosi yang intens, kuda-kuda perhatian kita belum cukup kuat, sehingga cenderung terseret oleh emosi tertentu.
Dengan menyadari napas, kita “berjarak secara mental” dengan drama-drama yang ada di sekitar emosi. Energi perhatian kita tidak “menempel” pada arus pikiran dengan segala emosi yang menyertai. Dengan begitu, kita tidak “memproduksi energi” yang bisa memperkuat emosi yang ada. Ketika kita selesai berlatih, emosinya mungkin masih ada, tapi kemungkinan besar tidak sekuat kondisi awalnya.
*Penulis adalah pengasuh “Ruang Jeda”