Kaisar Naruhito, Diplomasi Lunak, dan “Saudara Tua”
Oleh : Agus Dermawan T.
Kaisar Jepang Hironomiya Naruhito bersama Permaisuri Masako melawat ke Indonesia selama sepekan sejak 17 Juni 2023. Oleh karena kaisar Jepang tidak mempunyai kekuatan politik, maka kehadirannya juga disambut secara non politik. Dan apa yang dilakukan dalam kunjungan adalah aktivitas yang sifatnya humaniora.
Atas lawatan ini sejumlah media menyebut bahwa Naruhito menapak tilas jejak “diplomasi lunak” Jepang. Kita tahu diplomasi lunak (soft diplomacy) adalah perbincangan mengenai kenegaraan dan kebangsaan dengan tidak menggunakan idiom-idiom politik. Diplomasi lunak ini terpresentasi dalam bentuk kunjungan sosial dan ekonomikal, seperti yang dilakukan di museum arkeologi, Stasiun Pompa Waduk Pluit, Candi Borobudur dan Keraton Yogyakarta. Termasuk kunjungan rekreatif yang dihiasi gelaran budaya dan seni.
Memahami apa yang diperankan Naruhito, maka Pemerintah Indonesia membuat atraksi penyambutan empuk eyup, teduh dan menyenangkan. Salah satunya adalah yang digelar di Istana Presiden Bogor. Di sini Naruhito dan Masako disuguhi demonstrasi melukis yang dilakukan oleh Benediktus Anfield Bagus Wibowo, kelahiran 2004. Anfield, begitu panggilannya, adalah penyandang sindrom asperger, suatu kondisi pada spektrum autisme yang menyebabkan seseorang kurang bisa bersosialisasi secara efektif.
Demonstrasi melukis itu dimulai dengan penyerahan kuas dan cat kepada Masako. Kemudian Masako membuat goresan hitam di atas kanvas yang sudah disediakan. Lalu goresan itu diteruskan oleh Anfield, sampai menjadi lukisan. Anfield dengan bergairah menggubah karyanya. Naruhito dan Masako, yang ditemani oleh Ibu Negara Iriana, memperhatikan Anfield dengan sepenuh hati. Maka dalam 15 menit lukisan yang indah lahir dan mengaksentuasi ruangan.
Masako kagum, betapa goresan yang ia bikin ternyata menjadi rambut mengurai. Di seputar rambut muncul raut dirinya. Profil wajah Masako ini dilatari gambaran impresif rumah-rumah Jepang. Di bagian atas terlihat seekor ikan koi sedang berenang. Ikan koi adalah simbol bangsa Jepang, yang dimaknai sebagai kesejahteraan dan kemakmuran.
Acara live painting Anfield merupakan bentuk diplomasi lunak yang menawarkan kesan bagi Naruhito. Dan dianggap sebagai pelestarian gaya diplomasi yang sudah dirintis sejak lebih dari 80 tahun silam.
Diplomasi Seni Zaman Jepang
Jepang, yang sejak dulu menyebut diri sebagai “Saudara Tua”, mulai masuk dan menjajah Indonesia pada Maret 1942. Untuk melunakkan penguasaannya, Jepang menggunakan diplomasi lunak untuk menggaet hati para pemimpin bangsa Indonesia. Diplomasi itu mengangkat dunia budaya dan seni sebagai alat. Jepang menyadari benar, budaya dan seni adalah soft power yang paling efektif. Gaya diplomasi ini dipigurai konsep “Kebudayaan Asia untuk Asia”, sebagai anak dari prinsip politik Ajia no Ajia (Bumi Asia untuk bangsa Asia).
Sebagai pejuang kemerdekaan, Bung Karno mengetahui niat Jepang itu. Ia pun bersepakat untuk berdiplomasi dalam budaya dan seni. Hasilnya positif. Letnan Jenderal Imamura segera menginstruksikan agar para seniman Jepang bergandeng tangan dengan para seniman Indonesia. Salah satu wujud dari gagasan itu adalah pameran bersama karya seni rupa Indonesia dan Jepang pada September 1942.
Beruntut dengan itu, Bung Karno dan Bung Hatta mengutus Basoeki Abdullah untuk melukis sosok Imamura yang sudah berkantor di Saiko Sisikan (kini : Istana Merdeka). Karya Basoeki mengesankan, sehingga Imamura mengijinkan majalah mingguan Pandji Poestaka edisi September 2602 (1942) memuatnya sebagai gambar sampul. “Lewat kolaborasi, bushi akan jadi puisi,” begitu kata Bung Karno. Kita tahu, bushi adalah samurai.
Diplomasi lunak Indonesia-Jepang semakin tumbuh. Pada 1 April 1943 di Jakarta berdiri Keimin Bunka Sidosho (KBS) atau Pusat Kebudayaan. Beberapa bulan kemudian berbagai KBS lahir di berbagai daerah. Dalam lembaga ini ada bagian lukisan dan ukiran, bagian kesusasteraan, bagian musik, bagian sandiwara, bagian film dan bagian tari-menari. Para seniman Jepang dan Indonesia ramai-ramai jadi pengurus. Seperti Yashioka, Emiria Soenassa, Yamamoto, GA Soekirno, Takeda, Sudjojono, Agus Djaya, Kohno, Basoeki Abdullah, Henk Ngantung sampai Ono Saseo, seniman Jepang yang suka (mengambil hati) dengan menggunakan kemeja batik. Untuk menandai persahabatan ini KBS menerbitkan majalah Keboedajaan Timoer.
Pihak Jepang juga tidak keberatan ketika “Empat Serangkai” (Mohamad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, KH Mas Mansyur dan Soekarno) mendirikan organisasi serupa yang bernama Poetera (Poesat Tenaga Rakjat) pada 16 April 1943. Walaupun pada akhirnya Poetera dibubarkan oleh Jepang pada 1 Januari 1944, dan diganti dengan Jawa Hokokai.
Persekutuan kesenian buah diplomasi lunak ini mendatangkan kegairahan hebat bagi dunia seni Indonesia. Dalam seni rupa, sejak tengah 1942 sampai April 1944, ada 14 acara pameran digelar. Puncaknya terjadi di gedung KBS di Jalan Noordwijk (kini Jalan H Juanda) Jakarta : pagelaran Tenno Heika – Techo-setsu, atau pameran peringatan ulang tahun Kaisar Jepang, Hirohito. Di sini karya 60 pelukis Indonesia dipajang, dan ditonton oleh 11.000 orang dalam 10 hari.
Saling Memanfaatkan
Melihat antusiasme masyarakat Indonesia ini, Jepang merasa bahwa diplomasi lunak memang lebih cocok dipakai sebagai senjata untuk menguasai Indonesia. Tapi Bung Karno dan kawan-kawan tahu benar hasrat politik di balik gerakan humaniora Jepang itu. Sehingga taktik bermain soft power Jepang ini juga dipakai sepenuhnya untuk memajukan kebudayaan dan kesenian bangsa Indonesia. Dan berhasil.
Maka seni tari dan musik yang banyak difasilitasi memperoleh perkembangan signifikan. Seksi ini di KBS diketuai oleh Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak yang pada kemudian hari sangat legendaris. Pemerintah Jepang juga memberi peluang kepada banyak pemusik lain. Di antaranya kepada Amir Pasaribu untuk mengkreasi orkes di Jawatan Radio RRI Jakarta, dan meneruskan Orkes Cosmopolitain yang didirikan pemusik Belanda, Jos Cleber. Berkait dengan musik, Jepang menunjukkan apresiasinya yang penuh kepada banyak gubahan Gesang, di antaranya lagu Bengawan Solo. Yang menarik, Raden Ayu Siti Hartinah (yang kemudian dikenal sebagai Ibu Tien Soeharto), juga jadi pengurus seksi tari, musik dan seni rupa di KBS Solo.
Sedangkan seni pertunjukan yang terformulasi dalam tonil dan wayang-wong (wayang orang) banyak digelar sebagai tontonan rakyat. Bahkan wayang-wong berusaha diberi peluang untuk tampil maksimal. Pada era ini busana wayang-wong semakin didekatkan dengan busana seperti yang tergambar dalam wayang kulit. Suatu upaya yang pada beberapa dekade sebelumnya, yakni zaman Sri Mangkunegara VII di Surakarta, telah dirintis.
Seni poster pada zaman ini juga berkembang. Bahkan Jepang menstimulasi para seniman agar berlomba membikin poster-poster terbaik. Dari sini lahirlah seniman poster legendaris S Tutur. Meskipun sesungguhnya Jepang punya maksud lain di balik itu : melawan gempuran poster Belanda yang memprovokasi rakyat Indonesia untuk anti Jepang.
Di sektor film pemerintah pendudukan Jepang juga menyorongkan kerjasama. Sehingga tahun 1942 terproduksi 3 film, 1943 juga 3 film, dan pada 1944 sebanyak 5 film. Salah satunya berjudul Berdjoeang, yang diproduksi oleh Persafi atau Nippon Eiga Sha, dan disutradarai Rd Arifien. Meski film yang diperani oleh Moh Mochtar, Dhalia dan Sambas ini berisi propaganda heiho, atau tentara Jepang.
Jepang memberikan kesempatan budaya dan seni Indonesia berkembang nyaris tanpa sensor. Namanya juga diplomasi lunak. Namun terhadap sastra ternyata tidak. Diduga lantaran Jepang percaya bahwa karya literer lebih gampang memprovokasi daripada karya seni lain. Itu sebabnya petinggi Jepang lantas memilih sastrawan Sanusi Pane menjadi ketua Keimin Bunka Sidhoso. Pengangkatan ini tentu saja berarorama strategis : Apabila ada sastra yang nakal, sang ketua yang diciduk!
Berhubungan dengan itu, sastra lisan juga diawasi. Di Jawa Timur ada pemain ludruk yang ahli kidung, Cak Durasim. Dalam setiap manggung ia selalu mengidungkan syair-syair yang puitis, filosofis, mengandung nasehat, dan jenaka. Misalnya :
Tuku roti ja tuku kripik
Wis duwe siji ja lirak-lirik
(Beli roti jangan beli kripik
Sudah punya satu jangan suka melirik.)
Numpak prau enak sanggane,
ndelok segara seru ambane.
Ayo bersatu karo bangsane,
Kanggo njaga negarane.
(Naik perahu enak melaju,
melihat laut sangat luasnya.
Bersatulah kau dengan bangsamu,
agar terjaga kau punya negara).
Namun di sela-sela kidungan pantun yang memikat itu, di depan umum ia menyampaikan syair berikut ini di mana-mana berkali-kali.
Pagupon omahe doro,
melok Nippon tambah soro
(Pagupon rumah burung dara,
ikut Nippon tambah sengsara.)
Pantun tersebut lantas menginspirasi masyarakat pejuang, sehingga melahirkan pantun baru yang setiap kali digumankan sebagai penyemangat rakyat.
Jaran kepang tandang ndeso
heei Jepang, ndang minggato!
(Kuda lumping berkunjung ke desa,
heei Jepang, pergilah selamanya!)
Maka ketika opsir Jepang memahami isi syair itu, Cak Durasim, pengidung perang revolusi, ditikam samurai sampai tewas di atas panggung.
Sejak delapan dasawarsa Jepang sudah lekat dengan Indonesia. Dan diplomasi lunak – apa pun bentuknya, apa pun pretensi dan tendensi di sebaliknya, serta lengkap dengan dinamikanya – telah menjadi bagian dari upaya penyatuan hati dua bangsa. Naruhito dan Masako kembali mempraktikkan itu. *
*Pengamat Budaya. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden.