Angka, Kuasa, dan Tafsir Peradaban

Oleh Purnawan Andra*

Semasa sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama, setiap pembagian rapor di akhir pembelajaran catur wulan, semester, atau akhir tahun, saya masih ingat bahwa yang pertama kali ditanyakan orang tua, pakdhe budhe atau om tante kepada saya adalah nilai Matematikamu berapa?

Beruntung saya bisa memperoleh angka 9 sehingga tas, baju, jaket hingga sepeda baru pernah menjadi hadiah bagi prestasi di sekolah. Pernah suatu kali saya mendapat angka 8 di rapor, maka saya tak mendapat hadiah karenanya.

Matematika, yang mengolah angka-angka menjadi rumus dan logika, telah lama dianggap ilmu pasti—lebih pasti dari sekadar hafalan sejarah atau tafsir puisi. Ia tak hanya menjadi bagian kurikulum inti, tetapi juga puncak hirarki kecerdasan dalam sistem pendidikan. 

Lebih dari itu, angka telah menyusupi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam konteks sosiokultural, ekonomi, hingga teknologi digital saat ini, angka bukan sekadar alat hitung, melainkan juga alat tafsir realitas.

Kosmologi Angka 

Sejak zaman kuno, manusia tak hanya memahami angka sebagai lambang kuantitas, tetapi juga sebagai entitas simbolik yang merepresentasikan kosmos. Pythagoras, misalnya, meyakini bahwa seluruh alam semesta tersusun dari angka. 

Bagi kaum Pythagorean, angka memiliki makna mistis—angka ganjil dianggap maskulin, terang, dan suci, sementara angka genap diasosiasikan dengan kegelapan, kekacauan, dan feminin. Tafsir angka dalam pandangan ini tak ubahnya mitologi, di mana angka menjadi lambang moral, gender, bahkan takdir.

Angka kemudian menjadi semacam kosmogram, alat untuk membaca struktur dunia. Di berbagai peradaban, dari Babilonia hingga Nusantara, angka dipakai untuk meramal musim tanam, menentukan waktu ibadah, menyusun kalender, hingga mengungkap misteri surgawi dan neraka.

Pada abad ke-16, Galileo Galilei diminta menjelaskan struktur neraka dalam karya Divine Comedy Dante menggunakan kalkulasi matematika. Peristiwa ini menunjukkan betapa sains dan sastra, logika dan mitos, angka dan makna pernah berdialog dalam satu panggung epistemologis.

Memasuki era modern, angka mengalami transformasi drastis: dari simbol kosmik menjadi instrumen rasionalitas. Revolusi ilmiah dan kapitalisme menginstitusikan angka sebagai dasar kalkulasi efisiensi, profit, dan produktivitas. Angka bukan lagi alat tafsir dunia, tapi alat kontrol dunia.

Dalam ekonomi, angka menjadi pusat semesta: pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, indeks saham, angka pengangguran, angka kemiskinan. Semua mengklaim sebagai indikator objektif, padahal ia tak lebih dari representasi politik dari realitas yang sangat kompleks. Dalam dunia digital saat ini, algoritma dan data numerik mendikte hampir seluruh aspek kehidupan—dari belanja daring hingga rekomendasi tontonan.

Ironisnya, kita hidup dalam dunia yang semakin ditentukan oleh angka, tapi semakin kehilangan makna dari angka itu sendiri. Kita menghitung segala hal, tapi jarang menanyakan: untuk siapa, atas dasar apa, dan akibat dari hitungan itu apa?

Politisasi Angka 

Dalam politik, angka menjelma menjadi senjata retoris yang ampuh. Ia digunakan untuk membangun klaim, membungkus kebijakan, dan membungkam kritik. Dalam tiap pilkada atau pemilu, pengundian nomor urut diselimuti dengan mistifikasi simbolik.

Nomor satu dianggap pemimpin sejati, nomor dua dianggap penyeimbang, dan seterusnya. Setelah itu, tim kampanye akan menafsirkan angka-angka itu dengan logika mistis, spiritual, bahkan kultural untuk membangun narasi kemenangan.

Lebih jauh, angka juga digunakan untuk menjustifikasi keberhasilan pembangunan. Angka prosentase jalan mulus, angka indeks kebahagiaan, angka partisipasi pendidikan. Tapi di balik angka itu sering tersembunyi luka sosial, ketimpangan, atau manipulasi data. Angka menjadi alat kekuasaan, bukan alat pembebasan.

Kritik terhadap politisasi angka ini penting, karena ia menyentuh akar dari krisis epistemologis kita hari ini: ketika kuantifikasi menggantikan kualifikasi, ketika angka menggeser rasa, ketika logika eksakta membungkam nalar etis. Kita perlu mewaspadai bahwa angka yang seolah netral dan obyektif bisa menjadi instrumen dominasi yang sangat halus.

Dalam dunia digital, angka bukan hanya alat hitung, melainkan bahasa utama eksistensi. Jumlah likes, views, followers, subscribers menjadi tolok ukur pengakuan dan kehadiran. Di dunia maya, eksistensi manusia dikompresi menjadi deretan angka. Satu konten bisa viral hanya karena angka, bukan karena nilai. Angka bukan sekadar representasi, tapi realitas itu sendiri.

Inilah fetišisme data. Dalam logika ini, manusia dilihat sebagai entitas numerik. Selera, kebiasaan, bahkan relasi sosial dihitung, disimpan, dikalkulasi oleh mesin-mesin pintar. Artificial intelligence bekerja berdasarkan kumpulan angka besar (big data) untuk “menebak” masa depan, dari prediksi cuaca hingga prediksi kriminalitas.

Bahasa angka telah menjadi lingua franca dunia digital. Namun, di balik universalitas itu, muncul pertanyaan penting: apakah kehidupan yang dipadatkan ke dalam angka benar-benar mencerminkan keragaman, emosi, spiritualitas, dan ironi manusia?

Makna Angka 

Kita tidak bisa menolak angka. Tapi kita bisa menolak kediktatorannya. Angka harus dikembalikan ke tempatnya sebagai alat bantu berpikir, bukan alat pengganti berpikir. Angka harus dikontekstualisasikan, disandingkan dengan pengalaman manusia, nilai-nilai etik, dan kebijaksanaan budaya.

Dalam budaya Jawa, misalnya, angka tak hanya berkaitan dengan hitungan, tapi juga dengan harmoni. Penanggalan Jawa menggabungkan sistem angka dengan unsur spiritualitas dan kosmis. Hari baik, weton, dan siklus kehidupan dihitung bukan sekadar dengan logika linear, tapi dengan pertimbangan nilai-nilai sosial dan spiritual.

Dalam dunia pendidikan pun, sudah saatnya kita tak lagi mengukur anak-anak semata dengan nilai matematikanya. Kecerdasan, sebagaimana diajarkan Howard Gardner (1995) dalam teori multiple intelligences, tidak hanya berwujud numerik, tetapi juga musikal, kinestetik, interpersonal, dan lain sebagainya. Angka 9 dalam matematika tidak serta-merta berarti anak itu “lebih baik” dari yang mendapat 7 dalam seni atau 8 dalam empati sosial.

Angka, dalam sejarah peradaban, adalah cermin bagaimana manusia memahami, menertibkan, sekaligus menguasai dunia. Namun, ketika angka dijadikan satu-satunya ukuran kebenaran, kita menghadapi reduksi besar-besaran terhadap realitas. Dunia kehilangan warna karena semua diringkus dalam satuan-satuan kuantitatif.

Kita perlu membebaskan angka dari beban hegemoniknya. Kita perlu kembali menempatkan angka sebagai sahabat berpikir, bukan tuan yang memerintah pikiran. Karena pada akhirnya, hidup yang manusiawi bukanlah tentang banyaknya angka, tetapi tentang dalamnya makna.

—–

*Purnawan Andra, Pamong Budaya di Ditjen Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan.