Wayang, Sastra dan Dekonstruksi Kekuasaan
Oleh Tjahjono Widijanto
Sastra Indonesia mutahir hingga saat ini selain menggali arus budaya dari khazanah dunia luar juga tetap menggali kekayaan etnik tradisi sebagai sumber inspirasi. Banyak sastrawan Indonesia mutahir yang mengangkat, mentransformasikan, mengaktualisasika bahkan memaknai ulang budaya wayang sebagai salah satu sumber inspirasi penulisan novel. Bagi sastrawa Indonesia asal etnik Jawa maupun Bali, setelah menjadi manusia Indonesia, mereka merindukan kembali subkultur daerahnya. Akar budaya daerah seperti wayang menjadi bahan inspirasi penciptaan novel merupakan kerinduan arkitipal dan memiliki andil yang besar terhadap perkembangan sastra Indonesia
Wayang dapat dianggap sebagai pemandu etika dan metafisika masyarakat Jawa. Melalui wayang manusia Jawa mengolah pemikirannya tentang dirinya, dunia dan keberadaan alam semesta. Kisah-kisah lakon wayang selalu didasrkan pada skenario-skenario dasar tentang hal-hal tersebut. Wayang adalah simbol pengalaman dan usaha manusia serta perjalannya dalam upaya memperoleh kesempurnaan hidup dan berfungsi sebagai cermin manusia di dunia sekaligus menggambarkan proses hidup manusia dalam kurun waktu tertentu.
Serat Centini jilid IX pupuh 598 menyebutkan bahwa wayang beserta semua perlengkapannya seperti kelir, gedebok, blencong, cempala, dan sebagainya mengandung simbol-simbol tertentu terkait dengan kehidupan manusia dan alam semesta. Tontonan wayang selalu ditampilkan pada acara penting masyarakat Jawa untuk mengungkapkan keinginan untuk menandai suatu moment slamet dalam kehdupan (Permanadeli, 2015) . Bahkan dalam kehidupan nyata manusia Jawa selalu mencari legitimasi moral dan etis perilaku, sikap, persepsi atau identifikasi diri melalui wayang. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya pengenalan diri selalu dikaitkan dengan mengacu pada tokoh wayang . Orang-orang baik selalu dikenali lewat karakter tokoh-tokoh satriya, utamanya tokoh Pandawa atau tokoh Rama dan Laksmana.. Dan karakter klarakter negatif diidentikkan dengan tokoh Kurawa atau raksasa. Bagi manusia Jawa wayang adalah cerminan dari kehidupan itu sendiri. Karena itu orang Jawa terbiasa mengatakan bahwa hidup adalah sebuah lakon.Wayang adalah sekaligus isi dan bentuk pemikiran Jawa, yang menjadi acuan moral, etik bahkan psikologi dari masyarakat Jawa.
Satriya dan Kekuasaan Jawa
Satriya dalam wayang merupakan lambang konsep manusia sempurna atau manusia ideal bagi orang Jawa.Satriya di dalam wayang dwujudkan dalam tokoh Rama atau Laksmana (dalam Ramayana) atau tokoh-tokoh Pandawa yakni Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa (dalam Mahabarata). Satriya adalah manusia ideal Jawa yang tugas utamanya adalah menjaga ketenteraman, keharmonisan, dan kedamaian semesta. Satriya memiliki lingkaran cahaya mistis-magis, memiliki keunggulan kekuatan politik dan spiritual sehingga dianggap sebagai pemimpin pemegang kuasa dan agama (satriya pinandhita)¸yang merupakan sosok penjelmaan dewa di dunia. Seorang satriya yang telah mendapatkan gabungan kekuatan itu sesungguhnya menjadi wakil Tuhan dan berkewajiban menjaga keharmonisan alam semesta, kerukunan, menjaga ketentraman sesama dankeselamatan dunia. Dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai memayu-mayu hayuning bawana (menjaga ketenteraman dunia). Satriya adalah watak luhur manusia utama yang mendedikasikan hidupnya bagi ketenteraman sesama manusia dan ketenteraman dunia.
Dalam mitos satriya sebagai pemegang kekuasaan ideal ini, satriya dalam wayang selalu ditampilkan dengan gagah berani, pembela kebenaran dan bermoral mulia tanpa cela. Karena sempurna dalam segala tindak tanduk, perbuatan dan pikiran, maka sosok satriya harus diteladani oleh rakyat kecil atau kawula alit. Sariya mulia ini dalam wayang yang mengambil cerita bersumber dari Ramayana disosokan dalam tokoh Rama, Laksamana, dan Wibisana. Sedangkan lakon wayang yang mengambil cerita bersumber dari Mahabarata, tokoh-tokoh satriya ini adalah para Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, beserta anak-anaknya)
Konsep satriya pemegang kekuasaan dimitoskan sebagai warenaning Allah (pengejawantahan Tuhan), yang dalam bahasa pedalangan dikatakan sebagai “ratu satriya gung binathara bau denda anyakrawati, wenang wisesa ing sanagari, ber budi bawa leksana, ambeg adil paramarta” (raja satriya yang memiliki kuasa sebesar kekusaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia, pemegang kekuasaan tertinggi seluruh negara, penuh memiliki budi luhur nan mulia, dan bersifat adil terhadap sesama).
Dekontruksi Satriya
Dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma,, sejak awal langsung nampak dekontruksi tentang tokoh Rama sebagai satriya. Tokoh Rama yang dalam Ramayana dimitoskan sebagai tokoh satriya yang selalu mengemban kebenaran, penegak keadilan dan terhindar dari segala perilaku buruk, justru digambarkan sebagai raja yang kejam, fasis dan haus kekuasaan. Hal ini diperlihatkan dalam kutipan berikut:
“Dalam waktu singkat nama Sri Rama yang sebelumnya begitu harum sebagai penakluk negeri Alengka, berubah menjadi nama yang sangat menakutkan.Dari Magada, balatentara Ayodya terus menyapu negeri-negeri Angga, Campa, Mantura dan Bangga bahkan sampai ke tepi pantai. Kota Malini yang cantik berubah menjadi lautan api. Orang-orang terdesak sampai ke tepi pantai. Disanalah berlangsung pembantain yang keja. Orang-orang yang sudah menyerah mengangkat tangan dengan separuh tubuhnya di dalam laut tetap dibunuh tanpa ampun sehingga pantai penuh dengan mayat bergelimpangan” .
Tokoh Rama dalam wayang yang selama ini dilukiskan sebagai seorang satriya yang bertugas memayu-mayu hayuning bawana (senantiasa menjaga keenteraman dunia), dalam Kitab Omong Kosong didekontruksi, dibongkar dan di jungkir balikan dengan memunculkan tokoh Rama yang kejam, haus darah dan rakus akan kekuasaan.
Dalam novel Perang karya Putu Wijaya, mitos satriya juga didekontruksi. Dalam novel yang terinsipirasi dari Mahabarata ini, tokoh-tokoh satriya Pandawa baik Yudistira, Bima, arjuna, Nakula maupun Sadewa dilukiskan mempunyai sifat yang sama jahat dan buruknya dengan Kurawa. Pandawa sebagai satriya tidak lagi diposisikan sebagai lambang kebaikan yang harus berhadapan dengan musuh kebenaran, namun justru dilukiskan sedemikian repot dan sibuk menghadapi persioalan-persoalan dirinya sendiri, dan penuh ambisi pribadi. Dinyatakan dalam novel itu:
Bagong berkacak pinggang. “Inilah soalnya. Orang yang berani mengatakan kebenaran dikatakan menghina…Coba saja, si Abimanyu itu masih kecil, berak saja masih dicebokin, kok malah sudah dibuatkan istana. Segera baru pagar rumahnya kena gampar sedikit saja, rumah bagus-bagus langsung diperbaiki, semata-mata karean Arjuna kepingin punya istana baru untuk menampung gendakan-gendakannya yang berserakan itu. Ini apa-apaan? kepentingan pribadi kok merepotkan semua kawula….”. Arjuna tertawa di sudut. “…. Dia tidak bosan karena kita yang di kanan dalang terus menerus menang melawan orang-orang dari kiri itu. Kita sebenarmnya bosan untuk tidak berubah-ubah. Misalnya, kakak Bima selalu dianggap sebagai Rambo,kakak Yudistira dianggap insan lemah lembut sabar, sedang saya dijuluki mata keranjang…..Apa kita tidak punya perasaan dan sifat sebagaimana manusia biasa umumnya yang menyesuaikan diri dengan keadaan?”
Dalam kutipan itu tergambai situasi yang tidak mungkin terjadi pada lakon pewayangan dimana para Pandawa menanyakan sendiri eksistensi “kesatriyaannya”. Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa Pandawa yang dalam mitos wayang merupakan sariya binatara, manusia idaman, terpuji, penuh kebijaksanaan, pemimpin yang melayani, justru didekontruksi sebagai sumber keruwetan dan masalah dengan ambisi pribadinya. Bahkan dengan nakal dalam bagian lain ditunjukkan pula dekontruksi secara lahiriah wujud para Pandawa. Bima mendadak ingin berpenampilan langsing karena itu aktif berolahraga senam, Nakula Sadewa sibuk berwiraswasta, Arjuna hobi berceramah dan memberikan khotbah agama, menentang poligami dan menggalakan KB, serta Yudistira yang hobi berwisata dan kuliner.
Dekontruksi Kekuasaan Jawa dan Perang
Di Jawa konsep kekuasaan selalu bertumpu pada raja atau kaum satriya. Raja sebagai penguasa selalu dilukiskan sebagai “warenaning Allah”, wakil Tuhan atau proyeksi Tuhan di bumi karena itu kekuasaan raja bersifat mutlak dan terpusat. Raja tidak saja sebagai pusat kekuasaan sosial politik namun juga menjadi pusat semesta dan rakyat sebagai titah atau hamba yang tergantung pada raja (Anderson, 1990).
Konsep raja sebagai wakil Tuhan yang mulia ini tercermin dalam ungkapan-ungkapan Jawa dan gelar raja-raja Jawa, misalnya: sabda pandita ratu (sabda/perintah raja adalah sabda Tuhan), Rajasa nagara amarwa bumi (maharaja negara pemelihara bumi), Pakubuwana (pusat semesta), Hamengkubuwana (yang memangku dunia), dan sayidin panatagama khalifatullah (raja pemuka agama sekaligus pemimpin kawula). Doktrin atau konsep kekuasaan Jawa ini dalam bahasa pertunjukan wayang sering disyairkan oleh dalang dengan kalimat puitis: ratu gung binathara bau dhenda anyakrawati, wenang wisesa ing sanagari, ber budi bawa leksana adil paramarta (raja besar sebesar kekuasaan dewa pemelihara hukum penguasa dunia, memegang kekuasaan tertinggi seluruh negara, meluap budi luhur nan mulia adil terhadap sesama). Dengan konsep kekuasaan kedewataan ini maka tidak ada pilihan bagi kawula atau rakyat selain sikap “nderek karsa dalem”, pasrah terhadap kehendak raja.
Konsep kekuasan Jawa dan kuasa raja ini dibongkar dan didekontruksi dalam novel Seno dan Putu Wijaya. Dalam novel Kitab Omong Kosong cerita Ramayana menjadi sangat berbeda karena pengarang memasukkan tokoh baru yang bukan satriya melainkan rakyat jelata, yakni tokoh Satya dan Maneka. Tokoh Satya merupakan pemuda korban perang yang disebabkan oleh Rama dan Laksmana, sedangkan Maneka malah seorang perempuan pelacur yang keduanya merupakan personifikasi rakyat yang tidak lagi ditentukan nasibnya oleh raja. Satya dan Maneka, sang rakyat jelata justru memiiki kekuatan, keunggulan dan lebih mulia dibandingkan dengan satriya.
Dalam wayang perang yang dilakukan pihak satriya atau raja merupakan perang suci dimana kebaikan mengalahkan keburukan. Dalam lakon wayang yang mengangkar Ramayana, perang yang digambarkan adalah perang Brubuh Alengka di mana Rama dan Laksmana dibantu raja kera Sugriwa melawan Rahwana, merupakan gambaran bahwa kejahatan betapun kuatnya akan hancur oleh kebenaran (bhs jawa: Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti). Sedangkan cerita wayang yang mengambil lakon-lakon dari Mahabarata, Barata Yuda peperangan besar antara Pandawa dan Kurawa, Pandawa adalah simbol dari kebenaran sedangkan Kurawa adalah kejahatan, perang barata yuda adalah perang dimana kebenaran akhirnya menang melawan kejahatan. Kurawa yang jahat yang dibantu seribu raja dikalahkan oleh Pandawa yang hanya dibantu oleh Sri Kresna.
Namun dalam Kitab OmongKosong, perang yang dilakukan oleh Rama sama sekali bukan peperangan kebenaran melawan kejahatan. Sebaliknya perang dilakukan karena ambisi Rama untuk menaklukan negara-negara sekitarnya. Dalam novel itu diceritakan bagaimana Rama memerintahkan Laksmana melakukan Persembahan Kuda, seekor kuda putih yang sudah diberi mantra dilepaskan dan setiap daerah yang dilewati kuda itu harus tunduk atau dihancurkan. Ini diperlihatkan pada kutipan berikut:
Tiada yang lebih kejam dan lebih menghina kehormatan selain Persembahan Kuda.
Raja yang terhormat,
Bersama surat ini saya beritahukan, saya Sri Rama, raja yang berkuasa di Ayodya, mengadakan persembahan kuda. Kerajaan manapun yang dilewati kuda putih yang kami lepaskan pada bulan sabit setelah surat ini disampaikan harus tunduk kepada kami atas nama perdamaian. Barang siapa tidak tunduk kami anggap menentang perdamaian dan bala tentara Ayodya akan memeranginya. Kami akan menjamin kekuasaan raja setempat yang menyerah, namun kami tidak akan memberi ampun siapapun yang menentang kami…….
Perang Persembahan Kuda oleh Rama dalam novel itu ini tidak lagi perang suci kebenaran yang harus menghentikan kejahatan namun sebaliknya perang yang membawa bencana besar untuk kemanusiaan dan peradaban.
Desakralisasi Wayang.
Wayang dalam masyarakat Jawa dianggap pula sebagai sesuatu yang sakral dan mistis. Bahkan dalam beberapa lakon carangan pertunjukan wayang digelar sebagai sarana untuk mencapai sesuatu, melepaskan nadar tertentu atau upaya untuk menghindarkan dari dari bencana (ruwatan). Ada pula lakon tertentu yang dibuat untuk tujuan memberikan pencerahan dan pemahamaman mistis transedental, misalnya lakon Dewa Ruci atau Bima Suci dianggap merupakan saripati ajaran theosofi Jawa yang menjelaskan anatara hubungan manusia dengan Sang Penciptanya. Banyak nama tokoh-tokoh dalam wayang dianggap sebagai perwujudan dari dewa-dewa yang suci dan sakral. Rama dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu dan Sinta sebagai titisan Dewi Laksmi, tokoh Arjuna sebagai perwujudan dari Dewa Indra, Yudistira sebagai penjelmaan Dewa Brama, dan Semar sebagai pemomong penguasa tanah Jawa.
Namun dalam Kitab Omong Kosong dan Perang, pengarang melakukan pembongkaran terhadap sesuatu yang dianggap sakral tersebut. Dalam Kitab Omong Kosong malahan dilukiskan bagaiamana Walmiki sang pengarang Ramayana menganggap apa yang ditulisnya tak lebih dari sebuah permainan bahkan mempersilahkan tokoh-tokohnya memilih jalan hidup dan ending ceritanya sendiri. Tokoh-tokohnya melepaskan diri dari cerita yang ia buat, menempuh jalan ceritanya sendiri-sendiri, membentuk cerita baru dan bahkan tokoh-tokohnya bertemu dengan tokoh-tokoh cerita lain.
Dalam mitos wayang Jawa, tokoh punakawan, terutama Semar memiliki dimensi-dimensi yang cukup komplek. Semar bertugas sebagai pelindung dan penyelamat para ksatriya karena itu dianggap sakral. Semar adalah titisan Dewa Ismaya yang bertugas mengawal, mendampingi, melindungi, menyelamatkan, memgasuh dan menasehati para satriya sehingga mampu melaksanakan darmanya sebagai titah yang terpilih. Pada dimensi lain, tokoh punakawan dianggap sebagi simbol kawula alit atau rakyat jelata, sebagai struktur paling rendah dalam jajaran administratif negara yang narima ing pandum.
Namun dalam novel Perang, tokoh Semar tampil sebagai sosok yang tidak narima ing pandum tetapi merasa tidak puas dengan tampilan fisiknya yang tidak sebanding dengan satriya sehingga merasa malu dan nekat melakukan operasi plastik untuk memperindah bentuk mulutnya yang ndower. Bahkan Semar dilukiskan bertingkah laku seperti playboy seperti Arjuna gemar berburu wanita dan berselingkuh.
Demikianlah di tangan sastrawan, wayang sah untuk “dipermainkan”, dirombak, bahkan dibongkar sehingga tidak lagi hadir sebagai “yang sakral” namun hadir sebagai sesuatu yang ringan, cair dan satire. Wayang tidak lagi dimitoskan sebagai sesuatu yang sakral namun hadir sebagai sesuatu yang ringan, ironi dan profan.
****
*Penulis adalah penyair dan esais. Doktor sastra lulusan UNS Solo. Tinggal di Ngawi Jawa Timur.