Toponomi Kota-kota di Jawa Timur, Berdasar Rute Mpu Sindok
Oleh Lembu Niskala*
I
Mpu Sindok memindahkan Mataram Kuno ke Jawa Timur pada tahun 929 M. Dan membangun dinasti baru di Jawa Timur bernama Wangsa Isana. Berdasar persebaran prasasti dapat dilacak rute perjalanan Mpu Sindok dari Jawa Tengah masuk ke wilayah Jawa Timur tahap demi tahap. Sebelum membangun ibu kotanya (yang belum teridentifikasi jelas di mana lokasinya sampai sekarang) Mpu Sindok singgah ke berbagai wilayah Jawa Timur.
Mpu Sindok bisa disebut orang yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan di Jawa Timur. Struktur pemerintahannya secara hierarkis meniru strutur pemerintahan zaman Syailendra-Sanjaya Jawa Tengah sebelumnya yaitu terdiri dari Pemerintah Pusat (Kraton), Watek (Daerah), Wanua (desa). Struktur demikian bertahan lama di Jawa Timur sampai zaman Singosari atau sesudahnya. Meski di masa modern struktur demikian telah lenyap, namun bayang-bayangnya tetap bisa digunakan untuk merefleksikan sejarah wilayah-wilayah pedalaman dan perkotaan di Jawa Timur.
Makalah ini ingin melihat toponomi beberapa kota di Jawa Timur berdasarkan rute perjalanan Mpu Sindok. Toponomi suatu daerah menurut Agus Aris Munandar bisa dilacak berdasar: nama tumbuhan (flora), nama hewan (fauna), mengacu kepada peristiwa sejarah, mitos atau legenda, mengacu kepada ajaran, konsep keagamaan atau ikonografi, gelar tokoh masa silam dan kondisi geografis. Makalah singkat ini ingin mengidentifikasi bagaimana prasasti-prasasti yang dikeluarkan Mpu Sindok bisa menjadi sumber acuan untuk mengidentifikasi nama kota di Jawa Timur. Sekaligus permasalahan yang menyertainya.
II
Pertama-tama harus diclearkan dulu sebab musabab perpindahan Mpu Sindok ke Jawa Timur. Teori umum memperkirakan alasan migrasi itu adalah karena ledakan besar Merapi. Namun teori tersebut akhir-akhir ini mendapat sanggahan meyakinkan. Arkeolog Yogja, Sugeng Riyanto misalnya dalam bukunya yang membahas situs Tondowongso mengatakan teori ledakan Merapi tidak bisa dipertahankan karena dalam bukti sejarah tahun 929 M itu Gunung Merapi tidak meletus. Vulkanolog Sri Mulyaningsih berdasar hasil pengujian karbon (C-14) misal menyatakan erupsi Merapi bukan pada tahun 929 M namun tahun 882 M, 960 M dan 1252 M. Para vulkanolog juga memperkirakan ledakan Merapi itu meski dasyat namun tidak sehebat ledakan Gunung Tambora pada tahun 1815 atau Gunung Krakatau pada tahun 1883.
Sri Mulyaningsih menemukan endapan Merapi yang mengubur candi-candi di Yogyakarta, Magelang, Muntilan dan Klaten didominasi oleh lahar yang berselingan dengan endapan abu gunung api (surge deposits) yang tebalnya tidak lebih dari 20 cm. Meskipun dijumpai endapan awan panas di dalam lingkungan candi, material berumur seputar tahun 1006 M – 1016 M itu menurut Sri Mulyaningsih hanya berupa lahar distal (lahar yang jauh dari sumbernya) yang tipis. Dari data itu secara kualitatif dapat disimpulkan bahwa abu tipis pirokastika dan lahar ini tidak mungkin menyebabkan terjadinya pralaya atau mahapralaya- bencana besar yang bisa meluluh lantakkan kerajaan.
Maka dari itu apa yang menyebabkan Mpu Sindok pindah? Salah satu teori lain adalah ancaman terus menerus Sriwijaya ke Jawa Tengah. Teori ini berkeyakinan bahwa Mpu Sindok membawa rombongan istana dan punggawa ke Jawa Timur untuk menghindari serbuan-serbuan Sriwijaya yang ingin menguasai kembali Jawa Tengah. Saya akan mengikuti logika teori ini.
Saya akan mulai dengan toponomi Nganjuk. Di kota ini, di kawasan Loceret kita masih bisa mengunjungi sebuah candi kecil berbahan batu bata yang remuk yang disebut Candi Lor. Sebuah pohon kepuh besar melililit candi ini dan akar-akarnya seolah masuk ke dalam candi dan tumbuh dari sela-sela candi. Suasana arkaik terasa saat memandang candi tersebut. Hembusan angin juga sangat semilir di situ. Sekilas panorama candi remuk itu mengingatkan kepada sebuah bangunan di Angkor Thom Kamboja yang dililit oleh sebuah pohon besar.
Dari kompleks Candi Lor ini dulu didapat sebuah prasasti dari zaman Mpu Sindok berangka tahun 937 M yaitu Prasasti Anjuk Ladang (sekarang berada di Museum Nasional). Mudah diidentifikasi bahwa nama kota Nganjuk berasal dari Prasasti Anjuk Ladang. Namun merujuk apakah kata Nganjuk ini? Isi prasasti Anjuk Ladang adalah pemberian perintah Mpu Sindok agar sawah atau tanah di Anjuk Ladang dipersembahkan kepada Sang Hyang Prasadha untuk ditempati. Dalam terjemahan prasasti Anjuk Ladang yang dilakukan oleh epigraf Edhie Wurjantoro, status tanah itu disebut merupakan sebuah tonggak kemenangan (jayastamba). Informasi epigrafis Edhie Wurjantoro tentang jayastamba ini menurut saya penting. Karena ini bisa untuk memaknakan bahwa tanah Anjuk Ladang adalah tanah kemenangan.Toponomi Nganjuk dalam konteks ini kira-kira berarti tanah kemenangan. Persoalannya kemenangan dari siapa?
Pada titik ini teori perpindahan Mpu Sindok ke Jawa Timur karena alasan menghindari invasi Sriwijaya dapat menjadi penjelas yang masuk akal. Sejarawan lokal Nganjuk Harmadi memiliki hipotesis yang menarik. Dia memperkirakan pada tahun 929 M itu, Sriwijaya melakukan serangan ke Mataram Kuno yang dipimpin Dyah Wawa. Dyah Wawa seperti kita ketahui adalah raja yang menggantikan Dyah Tulodhong. Ia naik tahta sekitar tahun 924. Mpu Sindok adalah Rakryan Mahapatih Hino, atau Maha Patih utama di zaman Dyah Wawa. Sebelumnya di zaman Dyah Tulodhong, Mpu Sindok masih menjabat sebagai Rakryan Halu. Tidak ada berita lagi dari prasasti–prasasti yang sejauh ini telah ditemukan tentang keberadaan Dyah Wawa saat Mpu Sindok, Maha Patih utamanya pindah ke Jawa Timur. Harmadi menduga serangan Sriwijaya itu menewaskan Dyah Wawa, namun Mpu Sindok beserta beberapa pejabat istana dan pengawal mampu lolos. Mereka lari ke Jawa Timur. Namun pasukan Sriwijaya mengejar mereka.
Di Nganjuklah lalu terjadi peperangan yang maha hebat antara pasukan Sriwijaya dan pendukung Mpu Sindok. Dalam perkiraan Harmadi, Mpu Sindok yang hanya memiliki pasukan kecil dibantu oleh warga Anjuk Ladang dan wilayah-wilayah lain di Jawa Timur bertempur habis-habisan melawan prajurit Sriwijaya. Bersama-sama mereka mampu membendung Sriwijaya. Pemberian daerah Anjuk Ladang pada tahun sebagai tanah sima sesungguhnya adalah ungkapan rasa terima kasih Mpu Sindok atas bantuan masyarakat Anjuk Ladang mengusir pasukan Sriwijaya memasuki Jawa Timur.
Bahu membahu masyarakat Jawa Timur sendiri – menahan pasukan Sriwijaya di Nganjuk – bila itu benar, menurut saya adalah subyek menarik yang belum banyak dikaji. Para sejarawan Trenggalek misalnya memperkirakan pada perang dasyat itu Mpu Sindok, pasukan utama Mpu Sindok sesungguhnya berasal dari warga Desa Kampak, yang kini menjadi salah satu kecamatan di kabupaten Trenggalek. Warga Kampak pada tahun 929 itu mengalir datang ke Nganjuk dan diikuti oleh warga Nganjuk ikut bertempur melawan agresi pasukan Sriwijaya. Sejarah desa Kampak sendiri bila ditelusuri secara toponomi menarik dan dapat membuat kita mengerti – andai benar mengapa penduduk Kampak secara gagah berani mau membela Mpu Sindok dan mempertahankan Jawa Timur.
Kampak secara etimologi sama dengan kapak-kapak. Kapak kita ketahui adalah alat yang digunakan manusia sejak zaman pra sejarah. Digunakan sebagai perkakas sampai senjata perang. Dalam bahasa Jawa kuno tapi secara menarik kampak memiliki arti perampok. Dalam cerita rakyat Trenggalek, pada masa kolonial kawasam Kampak memang dikenal sebagai sarang perampok. Bila hendak ke daerah Tulung Agung atau Ponorogo –daerah yang berbatasan dengan Trenggalek bila malam syahdan orang tak berani melewati wilayah Kampak.
Menurut sejarawan Trenggalek Misbahus Surur dalam bukunya: Sebelum Trenggalek Kini: Remah-Remah Peradaban Kerajaan Agraris di Desa Karangrejo. Kecamatan Kampak pernah ditemukan prasasti dengan ukuran cukup besar. Prasasti ini berangka tahun 851 saka atau 929 M. Prasasti ini artinya lebih dahulu dibuat dari Prasasti Anjuk Ladang. Prasasti ini merupakan salah satu prasasti pertama yang dibuat Mpu Sindok saat menetap di Jawa Timur. Prasasti ini merupakan penahbisan sebidang tanah untuk dijadikan sima bagi Sang Hyang Prasada Kabhaktyan di daerah Pangurumbigyan Kampak.
Misbahus Surur memperkirakan saat pindah dari ibu kota Mataram ke Jawa Timur, ada kemungkinan Mpu Sindok menempuh rute Pacitan, Panggul kemudian sampai di hutan lebat Kampak. Desa Kampak kemungkinan dijadikan tempat menetap pertama Mpu Sindok. Desa Kampak juga merupakan kuwu atau barak militer pertama Mpu Sindok di Jawa Timur. Bisa dibayangkan saat mendengar pasukan Sriwijaya memasuki kawasan Jawa Timur dari sinilah pasukan Mpu Sindok menghadang di Nganjuk. Dan bersama masyarakat Nganjuk mereka berperang melawan Sriwijaya.
Adalah menarik juga menghubungkan bahu membahu masyarakat Jawa Timur melawan Sriwijaya ini dengan toponimi kota Tulungagung. Trenggalek seperti diketahui berbatasan langsung dengan Tulungagung. Daerah Kampak menurut sejarawan juga pernah menjadi bagian Brang Kidul Tulungagung. Bukan tidak mungkin menurut saya banyak penduduk Tulungagung di saat itu juga bergabung dengan warga Kampak untuk bersatu megusir Sriwijaya di Nganjuk. Maka dari itu kota mereka kemudian diberi nama Tulungagung yang secara harfiah berarti pertolongan agung. Pertolongan penduduk setempat kepada Mpu Sindok untuk menyelamatkan Jawa Timur dari aneksasi Sriwijaya.
Selain Prasasti Anjuk Ladang dan Prasasti Kampak, Mpu Sindok selama di Jawa Timur juga mengeluarkan: Prasasti Gulung-Gulung, Prasasti Waharu II,Prasasti Turyyan, Prasasti Sarangan, Prasasti Lingga Suntan,Prasasti Cunggrang I, Prasasti Cunggrang II, Prasasti Cunggrang III, Prasasti Poh Rinting, Prasasti Jru-Jru, Prasasti Waharu IV, Prasasti Dmak, Prasasti Sumbut, Prasasti Paradah I, Prasasti Hring, Prasasti Kanuruhan, Prasasti Wulig, Prasasti Sobhamerta, Prasasti Alasantan, Prasasti Kamban, Prasasti Paradah II, Prasasti Muncang,Prasasti Wurandungan I, Prasasti Wurandungan II, Prasasti Wimalasrama.
Dari sekian prasasti yang bisa dikaitkan dengan toponomi sebuah nama kota atau kabupaten atau nama lokasi tertentu yang masih ada kini di antaranya Prasasti Turryan, Prasasti Sarangan, Prasasti Lingga Suntan, Prasasti Jru-Jru. Prasasti Turryan misal berangka tahun 929 M sama dengan Prasasti Kampak. Nama Turen, sebuah kecamatan di Kabupaten Malang (Malang Selatan) pasti toponiminya berasal dari nama Turryan. Prasasti ini sekarang masih in situ di Desa Tanggung, Kecamatan Turen. Penduduk Turen sekarang lebih mengenal prasasti ini dengan nama Prasasti Watu Godeg. Foklor setempat mempercayai toponimi Turen berasal dari kata Watu Leren (batu diam). Itu karena mereka percaya dulunya prasasti dari zaman Mpu Sindok itu bersama lingga yoni yang berserakan di sebelahnya bisa bergerak-gerak sendiri kemudian diam. Tentunya pemahaman toponimi demikian kurang akurat. Lebih tepat kata Turen berasal dari Turryan.
Kata Turryan sendiri kemungkinan besar merujuk kata Turi atau pohon Turi. Kawasan tempat prasasti itu berada kemungkinan dulu banyak ditumbuhi Pohon Turi. Dalam tradisi bahasa Jawa mengucapkan suatu tempat yang memiliki kekhususan sering dengan menambah akhiran “an”. Untuk menyebut tempat yang banyak pohon Turi nya maka lokasi itu disebut Turi-an yang lambat laun menjadi Turen. Sebagai kawasan pelopor di zaman Mpu Sindok, mungkin menurut saya kemudian pemberian nama suatu kawasan dengan nama tumbuhan ditiru oleh kawasan-kawasan lain. Di daerah Malang sampai abad-abad jauh sesudah itu banyak kawasan diberi nama yang toponiminya berasal dari nama-nama tumbuhan yang banyak hidup di tempat itu. Misalnya di kawasan Malang sampai kini ada kawasan bernama Sukun (yang pasti toponiminya berasal dari pohon Sukun), Kepuh (yang toponominya kemungkinan besar berasal dari pohon Kepuh – sejenis pohon Randu liar), Mergosono (yang toponiminya berasal dari pohon sana. Sono adalah pembacaan Jawa untuk pohon Sana).
Prasasti Turryan sendiri berisi informasi pemberian tanah sima atas nama Mpu Sindok kepada Dang Atu Pu Sahitya. Tanah untuk membuat bangunan suci. Di dalam prasasti juga disebutkan perintah kerja bakti untuk membuat bendungan. Sisa pembangunan bendungan masih dapat ditemukan di bagian Sungai Jaruman yang terletak di sebelah barat Pasar Turen sekarang. Letak prasasti sendiri terletak di pinggiran Sungai Jaruman yang agak tinggi, suatu tanjung ke arah sungai di tempat sungai Jaruman agak membelok. Dari tempat ini kita dapat memandang bebas ke arah selatan, timur dan utara. Dapat dibayangkan bila di zaman dulu tempat ini rindang karena penuh dengan pepohonan Turi.
Yang paling penting dari Prasasti Turryan adalah prasasti tersebut menyebut nama Tamwlang. Sri maharaja makadatwan I tamwlan. Sang maharaja beristana di Tamwlang. Tamwlang di dalam prasasti itu dinyatakan sebagai lokasi ibu kota baru Mpu Sindok. Hanya dalam prasasti itu muncul nama Tamwlang. Prasasti Anjuk Ladang yang seperti dikatakan di atas muncul sesudah Prasasti Turryan tapi kemudian menyebut nama ibu kota Mpu Sindok di masa itu adalah Watu Galuh. Medang I Watu Galuh. Artinya telah terjadi pemindahan ibu kota dalam rentang beberapa tahun itu. Pada tahun 929 M lokasi ibukota pertama Mpu Sindok masih di daerah Tamwlang. Kemudian tahun tahun 937 M pindah ke daerah Watu Galuh.
Sekarang ini terjadi diskusi yang menarik menentukan lokasi Tamwlang berdasarkan toponiminya. Hampir semua literatur arkeologi sepakat mengatakan lokasi baik Tamwlang maupun Watu Galuh berada di Jombang. Sebab di Jombang sekarang ada kawasan bernama Tembelang. Secara toponimi nama Tamwlang dulu dalam perjalanan waktu berubah menjadi Tembelang. Di Jombang juga terdapat dua wilayah bertoponim Galuh yaitu Desa Watu Galuh, kecamatan Diwek dan Desa Megaluh di Kecamatan Megaluh. Diperkirakan dari kawasan Tembelang, ibu kota pertama Mpu Sindok kemudian pindah di antara dua lokasi Galuh di atas, apakah itu Watu Galuh atau Megaluh. Mereka yang sepakat bahwa Tamwlang berada di Jombang juga melihat toponim Jombang sesungguhnya berasal dari perubahan kata Tamwlang. Jombang disebut memiliki unsur monoftong yang sama dengan Tamwlang. Suku kata Mbang sepadan dengan suku kata Wlang.
Betapapun demikian secara toponimi ada argumentasi lain dimana lokasi Tamwlang berada. Tamwlang dalam pandangan lain itu bukan terletak di Jombang melainkan di Malang Utara. Yaitu di daerah yang sekarang bernama Tembalangan. Tembalangan sekarang berada di Kelurahan Jatimulyo Malang dan Kelurahan Samaan Malang. Lokasi Tembalangan adalah lokasi strategis tak jauh dari Sungai Brantas. Sewaktu kecil saya tinggal di Malang dan sekolah dasar saya adalah SD Frateran Celaket 21 yang juga satu areal dengan SMA Frateran Celaket 21. Saya ingat di belakang sekolah kami terdapat DAS Sungai Brantas dengan dinding atau tebing yang tinggi dan curam. Kawasan Tembalangan sekarang menjadi kawasan terpadat di kota Malang. Di sepanjang kawasan DAS itu lokasi Tembalangan berada.
Di Tembalangan pernah ditemukan saluran kuno yang konon bersambung ke berbagai lokasi. Diduga saluran itu merupakan sisa gorong-gorong kuno dari zaman Mpu Sindok. Sisa gorong-gorong ini sayangnya kini sudah tertutupi oleh perumahan modern. Tembalangan sendiri bagi mereka yang setuju bahwa daerah ini merupakan lokasi pertama ibu kota Mpu Sindok dianggap berasal dari gabungan kata Tembalang dan suku kata “an”. Yang artinya tempat bernama Tembalang. Tembalang diperkirakan berasal dari kata Temwalang. Huruf “b” aslinya adalah huruf “w”. Sementara kata Temwalang sesungguhnya adalah modifikasi atau perubahan dari kata Tamwlang yang disebut di Prasasti Turryan.
Jadi mana yang lebih masuk akal berdasar analisis toponimi Tamwlang di masa lampau tersebut lokasinya kini berada di Tembelang Jombang atau Tembalangan Malang? Saya sendiri memilih Tamwlang dulu berada di kawasan Tembalangan Malang kini. Sebab secara jarak letak Tembalangan tidak begitu jauh dengan lokasi ditemukannya Prasasti Turryan. Prasasti Turryan sebagaimana disebut di atas masih berada in situ di Turen, Kabupaten Malang. Prasasti Turryan adalah satu-satunya prasasti yang mengabarkan keberadaan ibu kota Mpu Sindok setelah pindah dari Jawa tengah adalah di Tamwlang. Dibanding jarak Turen-Tembelang, Jombang , jarak Turen-Tembalangan Malang jauh lebih dekat. Lebih masuk akal apabila lokasi pusat kerajaan Mpu Sindok awalnya di Tembalangan Malang. Lagi pula letak Tembalangan Malang tak jauh dari DAS Sungai Brantas. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di nusantara banyak membangun candi-candinya di dekat sungai agar efektif dalam melakukan transportasi. Di Sumatra DAS Sungai Musi dan DAS Sungai Batanghari misalnya banyak ditemukan situs-situs candi.
Alasan lain adalah tak jauh dari Tembalangan, bahkan beberapa di antaranya hanya beradius beberapa kilo banyak ditemukan prasasti-prasasti Mpu Sindok lannya. Juga ditemukan kawasan-kawasan yang secara toponimi memiliki asal usul tua yang juga diperkirakan dari zaman Mpu Sindok. Misalnya wilayah Samaan Malang. Tembalangan sendiri sekarang termasuk berada di wilayah Kecamatan Samaan. Secara geografis Samaan berada di dekat DAS Brantas. Devan Firmansyah, lulusan jurusan sejarah Universitas Negri Malang dalam bukunya berjudul: Kelurahan Samaan dalam Lintasan Sejarah Malang menyatakan Samaan dilewati anak-anak sungai. Dan di sekitar Samaan banyak nama-nama wilayah dengan penamaan yang toponominya mengandaikan sumber mata air misalnya Sumber Waras, Kedung Kaji, Kedung Bulus, Kedung Sinyo. Secara toponimi Samaan sendiri menurut Devan berasal dari bahasa Jawa kuno Sema atau bahasa Sansekerta Smasana. Berdasar toponimi ini menurutnya diperkirakan daerah Samaan dulu difungsikan sebagai tempat menyimpan jenasah atau perabuan. Memang sampai sekarang kita lihat di daerah Samaan masih terdapat sebuah pekuburan besar. Agaknya pekuburan itu merupakan terusan dari zaman kuno.
Setidaknya ada tujuh prasasti yang penemuannya kini sekitar Kota Malang dan Kabupaten Malang – tak jauh-jauh amat dari Tembalangan atau isi prasastinya menyebut sebuah daerah yang lokasinya di sekitaran Tembalangan. Misalnya Prasasti Linggasuntan dan Prasasti Gulung-Gulung yang sebagaimana prasasti Turryan berangka tahun 929 M. Lalu Prasasti Himad (930 M),Prasasti Jru-Jru (930 M), Prasasti Kanuruhan A dan B (943 M) serta Prasasti Muncang 944 M. Bila kita membaca terjemahan prasasti-prasasti di atas sedikit banyak ada tersedia data-data toponimi yang bisa dihubungkan dengan nama-nama kawasan di Malang. Prasasti Linggasuntan katakanlah. Prasasti ini ditemukan di desa Lawajati, Malang. Dalam terjemahan epigraf Edhie Wurjantoro dapat kita baca di baris 5-6 bahwa Desa Linggasuntan yang masuk dalam Watak Hujung dipersembahkan Sri Maharaja sebagai tanah sima untuk Bhatara di Walandit yang juga berada di Watak Hujung. Menurut Casparis, Walandit sekarang terletak di desa Wonorejo, kecamatan Pakis sekarang. Dahulu desa Wonorejo itu bernama Balandit.
Akan halnya Prasasti Kanuruhan bisa dipakai untuk melacak toponimi Kelurahan Bunul Rejo di daerah Blimbing Malang sebab di dalam prasasti Kanuruhan ada keterangan seorang bernama Bunul. Dalam prasasti yang telah diterjemahkan Boechari itu disebut Rakryan Kanuruhan (petinggi wilayah Kanuruhan) memberikan hadiah sebagian tanah di desa Kanuruhan kepada penduduk desa bernama Bulul atas jasa-jasanya. Bulul dianggap berjasa karena membuatkan telaga yang indah yang dilengkapi taman bunga cantik. Kawasan Bunul Rejo secara toponimi kemungkinan besar namanya diambil dari nama pemuda Bunul yang disebut di Prasasti Kanuruhan tersebut. Letak Bunul Rejo sekarang tidak jauh-jauh amat dari kawasan Tembalangan. Masih berada dalam satu kota Malang tidak di Kabupaten Malang. Di Kelurahan Bunul Rejo sendiri ada kampung kecil bernama Beji. Beji dalam bahasa Jawa berarti telaga.Di kampung Beji sekarang bila kita lihat terdapat sebuah Gereja Advent.
Nah di bawah bangunan gereja tersebut, menurut keterangan penduduk setempat dulu di tahun 60-an terdapat bekas telaga berukuran 12 m² yang sisi-sisinya dibatasi dengan dinding bata merah tebal, dengan pancuran-pancuran (dwarajala) di sekelilingnya guna mengalirkan airnya yang didapat dari sumber bawah tanah (artesis). Penduduk setempat menamakannya ‘sumur gumuling’. Sayangnya, sekarang bekas telaga itu sudah tidak tampak karena telah diurug. Pada tahun 60-an, lahan situs telaga tersebut diurug dengan tanah urug bermeter-meter kubik sehingga rata dengan lingkungan kanan kirinya.
Dua prasasti di atas Linggasutan dan Kanuruhan seperti kita lihat isinya masih dapat digunakan untuk melacak toponimi daerah-daerah di Malang. Dalam makalahnya berjudul: Desa-Desa Kuno di Malang Periode Abad ke 9-10 Masehi. Tinjauan Singkat Berbasis data Tekstual Prasasti dan Toponimi, Ismail Lutfi bin Iskak dari Universitas Negri Malang mengatakan dari data-data prasasti lain di luar Prasasti Linggasutan dan Kanuruhan juga masih bisa dilacak kawasan-kawasan di Malang masa sekarang yang sesungguhnya memiliki sejarah pemukiman kuno. Lowokwaru, kawasan yang sekarang menjadi lokasi penjara terkenal Lowokwaru (di situ Kusni Kasdut pernah melarikan diri di tahun 70-an) misalnya menurut Ismail Lutfi kemungkinan dulu di zaman Mpu Sindok adalah kawasan desa Wanua I Waharu.
Adapun kelurahan Bantaran di Kecamatan Blimbing sekarang kemungkinan besar di zaman Mpu Sindok adalah Wanua I Bantaran yang disebut juga Alas ing Bantaran. Sementara kawasan Kelurahan Polowijen di Kecamatan Blimbing sekarang kemungkinan besar zaman Mpu Sindok menurut Ismail Lutfi adalah kawasan Wanua I Panawijyan yang tetulis di Prasasti Wurandungan. Bila kita lihat semua daerah ini tak jauh dari Tembalangan. Bahkan antara Lowokwaru, Bantaran dan Polowijen jaraknya tak begitu jauh.
III
Demikian tulisan singkat ini berupaya memperlihatkan bagaimana rute perjalanan Mpu Sindok dari Jawa Tengah ke Jawa Timur beserta persebaran prasastinya dapat digunakan sebagai bahan untuk menganalis toponimi nama kota-kota dan desa-desa di Jawa Timur di masa sekarang. Makalah ini berpandangan kemungkinan nama-nama toponimi kota-kota dan desa-desa jawa Timur dapat dilacak mengikuti rute migrasi Mpu Sindok pada tahun 929 M dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur dengan menempuh rute Pacitan, Panggul kemudian sampai di hutan lebat Kampak, di perbatasan Trenggalek-Tulungagung. Di situ dia membangun benteng militer. Dan bersama-sama dengan penduduk Kampak yang terdiri atas gabungan masyarakat Trenggalek- Tulungagung pasukan Mpu Sindok kemudian berangkat ke Nganjuk bersatu padu dengan penduduk Nganjuk menghadang serbuan pasukan Sriwijaya.
Makalah ini setuju dengan pendapat sebagian arkeolog dan pemerhati budaya bahwa Tamwlang – ibu kota pertama pemerintahan Mpu Sindok di Jawa Timur lokasinya sekarang berada di kawasan Tembalangan Malang bukan di Tembelang Jombang sebagaimana dianut oleh mayoritas arkeolog sekarang. Hal itu berdasar letak kedekatan Tembalangan dengan Turen Malang yang menjadi lokasi in situ Prasasti Turryan. Serta kedekatan Tembalangan dengan nama-nama kelurahan atau kecamatan di Malang sekarang seperti Bunul, Lowokwaru, Polowijen, Bantaran yang namanya secara toponimi dapat dilacak dari prasasti-prasasti Mpu Sindok yang dikeluarkan di Malang.
Tulisan ini berpendapat baru dari Tembelangan, ibu kota Mpu Sindok di Jawa Timur kemudian pindah ke daerah Desa Megaluh, Jombang sekarang. Alasan perpindahannya belum diketahui. Dari pusat istana baru di Jombang itu kemudian lahir prasasti-prasasti sima lainnya di seluruh pelosok Jawa Timur. Baru-baru ini saya mengunjungi lokasi Prasasti Cunggrang di kawasan Kecamatan Gempol, kabupaten Pasuruan. Letak Prasasti Cunggrang berada di Dusun Sukci, Gempol yang lokasinya dekat dengan arah jalan naik menuju lereng timur Gunung Penanggungan tempat Patirthan Candi Belahan atau yang dikenal sebagai Sumber Tetek. Prasasti Cunggrang yang dikeluarkan pada zaman Mpu Sindok salah satu isinya memang memerintahkan untuk memperbaiki dan merawat pancuran yang ada di Patirtan Pawitra atau Gunung Penanggungan. Prasasti Cunggrang bertahun 929 Masehi. Jarak Gempol-Jombang bila kita ukur sekarang sekitar 67 km. Sementara jarak Gempol-Malang adalah sekitar 644 km. Saya menduga prasasti Cunggrang adalah termasuk prasasti yang dikeluarkan Mpu Sindok saat istananya sudah berlokasi di Watu Galuh Jombang bukan di Tembalangan Malang. Yang menarik tahun dikeluarkannya Prasasti Cunggrang kita lihat menjadi acuan bagi hari lahirnya Kabupaten Pasuruan. Meski menurut saya toponimi kata Pasuruan lebih berasal dari kata suruh atau pohon sirih.
——-
*Penulis adalah seorang kerani lepas
——-
Daftar Pustaka
Casparis, J.G(1956), Prasasti Indonesia, Masa Baru Bandung, 1956.
Damais, Louis-Charles (1970), Repertoire Onomastique De L’Epigraphie Javanaise (Jusqu’a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmatungadewa), Ecole Francaise D’Extreme-Orient, Paris.
Lutfi, Ismail bin Iskak (2017), Desa-Desa Kuno di Malang Periode Abad ke 9-10 Masehi. Tinjauan Singkat Berbasis data Tekstual Prasasti dan Toponimi, Jurnal Sejarah Nasional
Munandar, Agus Aris (2016), Toponimi dalam Kajian Arkeologi, makalah dalam SeminarToponimi dalam Perspektif Ilmu Budaya, Fakultas ilmu pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Putrina, Eka Asih Taim (2020), Ringkasan Disertasi Daerah Aliran Sungai Musi dan Sungai Batanghari Sebagai Pusat Perkembangan Peradaban Masa Hindu-Buddha Abad ke 4 Hingga ke 3 M di Sumatra Bagian Selatan, Fakultas Ilmu Pengetahua Budaya,Progam Studi Arkeologi, Universitas Indonesia.
Riyanto, Sugeng (2016) Tondowongso,Tanda Peradaban Wangsa di Jawa abad XI-XIII Masehi, Balai Arkeologi, Yogyakarta.
Setyorini,Ida (1995), Struktur Birokrasi Masa Sindok, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sinyamin, (2016) Prasasti Turryan, Menengok Bendungan Zaman Kuno, Jurnal Teori dan Praksis pembelajaran IPS, Vol 1 No 2 Oktober.
Surur, Misbahus (2019) Sebelum Trenggalek Kini, Remah-Remah Peradaban Kerajaan Agraris, Penerbit Beranda Malang.
Wurjantoro, Edhie (2018), Anugrah Sri Maharaja, Kumpulan Alihaksara dan alihbahasa Prasasti-prasasti Jawa Kuna dari Abad VIII-XI, Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.