Osmosis: Ruang Batin Desain Grafis Kontemporer Indonesia
Oleh Novian Denny Nugraha
Desain Grafis atau Desain Komunikasi Visual (DG/DKV) merupakan area multidisiplin yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Luasnya medan Desain Grafis/Desain Komunikasi Visual bisa dilihat dari defenisi DG/DKV yang dirumuskan oleh Paul Jobling dan David Crowley. Menurut keduanya desain grafis adalah sebuah bentuk “Visual Culture”.
Kedua peneliti itu memasukkan desain grafis sebagai budaya visual, karena pertama, desain grafis selalu berkaitan dengan sebuah eksistensi dan identitas sebuah kelas sosial dan institusi sosial tertentu. Menurut pendapat Jobling dan Crowley, secara sosial artikulasi desain grafis senantiasa memiliki kecenderungan memihak kepada kelas dominan, yang memiliki kekuatan politis dan finansial. Sehingga desain grafis menambah kuasa dan status kelas dominan. Akan tetapi Jobling dan Crowley juga melihat di sisi lain muncul juga desain grafis yang lahir dari kelas bawah (subordinate class).
Kedua, mengapa Jobling dan Crowley mengaitkan desain grafis dengan sebuah budaya visual adalah karena desain grafis selau tak terpisahkan dari semangat zaman yang berbasis pemikiran kontemporer. Desain grafis selalu bersinggungan dan ambil bagian dengan segala munculnya pemikiran-pemikiran dan isyu-isyu kultural terbaru mulai lahirnya wacana-wacana gender sampai wacana post modernisme.
Pada titik inilah saya ingin membahas mengenai desain kontemporer dan kemungkinan bagaimana elemen-elemen dan suasana batin estetika nusantara bisa membuka cakrawala dan menjadi identitas desain kontemporer. Desain kontemporer pada umumnya didefinisikan sebagai kata sifat bukan gaya (style). Desain kontemporer senantiasa mencerminkan semangat zamannya dan merespon isyu-isyu dan kondisi “saat ini” seperti isyu-isyu lingkungan, isyu-isyu ekonomi dan teknologi global dan sebagainya.
Karena Kontemporer adalah “saat ini” maka desainnya harus mengalir, selalu berubah, eklektik, sederhana dan terbuka. Piliang (2003: 208) menyatakan gaya kontemporer memiliki pola pastiche, parodi, kitsch, camp dan schizophrenia. Pastiche adalah sebuah gaya dalam seni dan desain yang mengambil teks, karya atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksi sebagai ungkapan simpati, penghargaan, atau apresiasi. Pastiche menurut Piliang mengimitasi bentuk teks dari berbagai fragmen sejarah sekaligus mencabutnya dan menempatkan ke dalam konteks semangat masa kini.
Akan halnya Parodi adalah mengambil berbagai teks masa lalu sebagai titik berangkat kritik, ungkapan ketidakpuasan, atau sekedar penyampaian rasa humor. Berbagai teks yang saling dipertemukan akhirnya menghasilkan gaya ketiga, yaitu gaya hibrida.
Teoritisi lain Juliette Cezzar memaparkan bahwa pemahaman desain grafis kontemporer dalam wilayah praktek setidaknya harus mempunyai tiga kemampuan (skill) sehingga karya yang dihasilkan bisa dikatagorikan sebagai desain kontemporer. Pertama, Translation skill merupakan kemampuan mengtransformasi dan menginterpretasi konten dari satu audiens ke audiens lainnya, dan dari satu media ke media lainnya. Kedua, Creation skill yaitu kemampuan mengabstraksi ide, pembuatan bentuk (form) baik secara manual atau digital. Selanjutnya ketiga adalah Articulation skill yaitu kemampuan menjelaskan keputusan desain untuk designer dan non designer.
Translation skill dalam kontek kontemporer dibutuhkan karena di era yang makin maju ini dibutuhkan kemampuan komunikasi tinggi ke multiplle global audience lintas platform baik analog atau digital. Creation skill dalam konteks kontemporer berhadapan dengan kondisi semakin dibutuhkannya kemampuan desainer untuk bisa memberi kontribusi multidisplin. Seorang designer yang memiliki kecakapan multi disiplin harus mempunyai kemampuan memahami material, batasan batasan dan proses produksi. dimana hal ini tidak dapat dipelajari tanpa pengalaman langsung dalam ruang praktika DG/DKV, dengan berbagai media dan mediumnya.
Desain Kontemporer dan Wacana Kenusantaraan
Aspek-aspek wacana kenusantaraan termasuk di dalamnya estetika nusantara adalah perjalanan panjang, sepanjang bangsa-bangsa dan peradaban nusantara itu ada. Aspek budaya nusantara berbentuk kesenian, kemasyarakatan, teknologi, struktur sosial, keyakinan, ideologi, serta artefak visual dan audio lainnya begitu melimpah, keberadaan aspek-aspek ini tidak dipungkiri ada dan mengidentifikasi adanya sebuah peradaban besar di area yang sekarang bernama Indonesia. Penghayatan akan pemahaman Indonesia yang majemuk ini bukan perkara mudah untuk dipahami, konflik internal antara elemen bangsa dan derasnya pengaruh dari budaya luar serta banyaknya kepentingan pragmatis individu dan kelompok merupakan kondisi yang cukup berat untuk memahami kembali tentang ke Nusantaraan.
Upaya dan usaha untuk memahami tersebut membutuhkan sebuah lingkungan dan suasana yang kondusif sebuah “suasana kebathinan“ sebuah penghayatan kesadaran pikiran, sikap dan tindakan mendukung sebuah eksitensi kenusantaraan dalam berbagai aspek, yang merujuk kepada sebuah upaya “Pendidikan” dalam arti yang seluas luasnya, pendidikan ini harus menjadi wahana pertemuan antar pribadi komunitas, antar kelompok, dan ruang dialog antara karya-karya budaya dengan publik.
Persoalannya saya melihat, wacana estetika kenusantaraan sebagai sebuah “bahan ajar” selama ini dianggap sebuah wacana serius dan berat untuk dipahami kaum muda (termasuk juga para desainer muda). Tidak semua generasi baru desainer grafis tertarik dengan isyu-isyu dan substansi estetika nusantara. Mereka mungkin tertarik pada visual-visualnya namun belum pada tataran sublimnya. Saya melihat para desainer generasi baru masih hanya sekedar tertarik pada tampilan permukaan data-data visual nusantara namun belum masuk ke pemaknaannya yang dalam.
Generasi baru Indonesia utamanya lahir pada era 80-an, disebut sebagai generasi Z atau digital native generation atau “net generation”. Generasi ini merupakan generasi yang sejak lahir telah dikelilingi dan menggunakan internet, komputer, video game, pemutar musik digital, kamera video, telepon selular dan mainan digital. Generasi ini mempunyai cara berfikir dan cara belajar dengan karakteristik khas. Mereka, mampu mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu, kemudian lebih menyukai membaca dari screen atau layar, juga mereka lebih menyukai multimedia daripada hanya sekedar teks. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara dunia offline dan online. Mereka adalah generasi yang melihat segalanya dalam perspektif serba cepat, pragmatik dan instan.
Dengan melihat segala kelebihan generasi Z – saya melihat sesungguhnya wacana estetika kenusantaraan secara data-data visual mudah diadaptasi oleh generasi ini. Namun persoalannya wilayah nilai, makna dan fungsi magi, substansi – singkatnya “suasana kebathinan” estetika nusantara yang membutuhkan penghayatan – jarang dimaknai. Mereka hanya sekedar terinspirasi dengan visual-visual nusantara yang mudah didapatkan dan lalu mengolahnya. Adalah fakta akan tetapi desain-desain yang tidak melalui proses perenungan akan menuju kepada kedangkalan makna.
Saya melihat, agar saat para desainer mengeksplorasi sebuah budaya visual nusantara tidak sekedar jatuh pada tampilan permukaan dan mentah, ada beberapa poin awal yang disepakati. Di bawah ini adalah poin-poin tersebut.
Kebinekaan Nusantara sebagai sebuah keniscayaan.
Nusantara tidak dapat dipungkiri adalah kristalisasi dari berbagai Keragaman suku bangsa, Keberagaman religi –Keberagaman seni dan budaya, dan keberagaman Bahasa yang telah berlangsung lama yang telah berinteraksi secara berkesinambungan sejak ratusan tahun yang lalu ,fakta yang tak bisa dihindari realitas kebangsaan dengan keragaman ini sudah terlihat sejak abad ke empat tentang slogan Bhineka Tunggal Ika yang tertera dalam kitab kakawin Sutasoma pada pupuh 139 bait 5 yang berbunyi sebagai berikut
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Konsep Bhineka Tunggal Ika dalam pemikiran Dennys Lombard, menunjukkan adanya fakta sejarah lapisan-lapisan budaya Nusantara yang mulai dengan tradisi asli etnik majemuk amat kaya, lalu diolah dalam seni assimilasi dan adaptasi di atasnya dan direkat dalam lapis budaya Hindu-Budha; lalu nilai-nilai Islam dengan bandar budaya pesisir pantai-pantai kota dagang yang egaliter; kemudian lapis Cina, lalu pembaratan pertama: Portugis – Spanyol kemudian pembaratan kedua dengan kolonialisme Belanda sekaligus modernisme dan kapitalisme dan pembaratan yang selanjutnya dilakukan oleh pelaku budaya lokal.
Estetika Nusantara: soal rasa bukan logika.
Secara tradisional bangsa-bangsa timur umumnya memandang alam sebagai sumber kehidupan memiliki kekuatan atau potensi-potensi tertentu yang memberi dan mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu seluruh kehidupan manusianya (mikrokosmos) sellau diselaraskan alam semesta (makrokosmos. Karena itu jika ingin kehidupan ini sejahtera dan selamat manusia sebagai mikrokosmos haruslah berusaha menyatukan, menyelaraskan, atau mengharmnoniskan kehidupannya dengan alam sebagai makrokosmos.
Dalam pandangan estetika barat modern, tujuan perupaan adalah mencari kejeniusan (ngudi kewastikaan ) serta mencerminkan hubungan antar individu secara logis, sehingga memunculkan karakteristik tertentu dan akhirnya menghasilkan simbol sebagai ekspresi personal. Akan halnya dalam estetika timur nusantara lebih mencari kesempurnaan (ngudi kasampurna). Pada umunya estetika nusantara akan berbasis tiga keyakinan akan adanya alam diluar alam manusia. Dalam budaya Sunda misalnya dikenal Tritangtu yang memisah alam menjadi tiga bagian yaitu: Alam atas (Buana nyungcung) alam manusia (buanan Panca tengah) dan alam bawah (Buana Panca tengah.)
Akan halnya dalam tradisi Jawa ungkapan tradisional Jawa yang berbunyi memayu hayuning bawana mengungkapan bagaimana keteraturan dan keharmonisan dengan alam berpengaruh dalam pembuatan seninya secara keseluruha. Pada suku-suku bangsa yang lain kondisi ini akan tetap terasa. Makin banyaknya ditemukan artefak antropologis seperti artefak megalitik Arca Palindo di Situs Sepe Lembah Bada dan Kalamba berhias delapan muka manusia tutup kalamba berhias pahatan monyet di Situs Pokekea, Lembah Behoa yang dilakukan penelitian oleh Dwi Yani Yuniawati dari pusat Arkeologi Nasional adalah bukti lain bagaimana sesungguhnya kehidupan masa lalu yang luar biasa dan harus dirawat. Maka kondisi membangun harmoni dan menyeleraskan dengan alam ini, hakekatnya adalah upaya memelihara semesta untuk selanjutnya adalah upaya merawat kehidupan itu sendiri. Point ini yang sangat penting sebagai isi kesadaran “ruang batin “ kenusantaraan.
Osmosis sebagai esensi Desain
Claire Holt dan Denys Lombard yang telah meneliti puluhan tahun realitas kultural nusantara, menyimpulkan realitas budaya nusantara adalah osmosis. Istilah osmosis digunakan oleh Claire Holt dalam buku monumentalnya yang berjudul -Art in Indonesia, Continues and change- sementara Denys Lombard mengkonsepkan osmosis sebagai suatu proses perembesan kultural, dan bukanlah dialektika.
Osmosis merupakan suatu kegiatan saling serap antara warisan-warisan budaya lokal dan pengaruh ideologi-ideologi ajaran-ajaran yang datang dari luar yang membuat terjadi mutasi budaya terus-menerus, yang disebabkan karena posisi geokulturalnya yang khusus, di mana kita berada pada lokus persimpangan budaya dunia, kita berada pada jalur perdagangan besar dunia yang mau tidak-mau senantiasa membawa pengaruh dari luar. Sehingga selain terjadi penyerapan (osmosis) juga terjadi akulturasi, sebagai bentuk negosiasi resistensi budaya.
Persoalan kebinekaan dan osmosis ini saya kira penting untuk menjadi pegangan bagi para desainer kontemporer yang ingin mengolah ruang batin elemen estetika nusantara. Desainer grafis sebagai aktor utama dalam perancangan objek desain kontemporer mempunyai peran yang sangat besar dalam merubah sebuah peradaban atau sebuah masyarakat karena karektiristik medianya yang populis dan ditujukan untuk masyarakat itu sendiri. Cara pandang (world of view ) idealisme, keyakinan-keyakinan dan “militansi” terhadap cara berungkap visual para designer terhadap media ini, menjadi sangat penting.
Bagi saya- isyu isyu estetika nusantara di dalam kancah “kesadaran global” dapat dibaca sebagai sebagai isyu kebangkitan kesadaran lokalitas. Francois Lyotard, pengemuka Post Modernisme telah mengumandangkan kebudayaan hari ini sebagai “matinya narasi besar dan berkembangnya narasi kecil”, seperti dikatakan di awal tulisan ini perupaan dan kecenderungan karakteristik desain kontemporer salah satunya adalah bersifat Eclective atau mungkin berpola Pastiche, yang pada dasarnya adalah sebuah upaya menggabungkan elemen-elemen visual lain dalam komposisi baru desain kontemporer.
Bagi saya ciri khas aspek aspek filsafat kenusantaraan: Osmosis dan pluralisme yang sangat kaya sesungguhnya mempunyai peluang besar dalam membangun karakteristik desain kontemporer. Atau bahkan suatu saat akan menjadi sebuah Identitas dan karakter Desain Grafis Indonesia. Beberapa negara di dunia telah mampu membangun identitas ini berbasis narasi kultural bangsanya. Di Jepang misalnya , muncul desain grafis Jepang berbasis narasi Zen Budhisme yang memiliki tokoh bernama Kenya Hara. Di Korea muncul rekontruki aksara tradisional Hagul oleh Designer grafis Ah Sha Yo.
Osmosis bukan hanya kesadaran untuk saling serap menyerap warisan budaya lokal namun juga panduan kerja bagi para desainer untuk selalu terus menerus menciptakan wahana pertemuan antar pribadi komunitas, antar kelompok. Bersama-sama, para desainer bisa saling menyerap gagasan sehingga menjadi laboratorium mini yang menghasilkan dinamika kebudayaan nusantara kontemporer. Desainer grafis bisa menjadi agent of Change bagi munculnya pemahaman dan kebanggaan terhadap imaji-imaji kebudayaan nusantara kontemporer.
*Mahasiswa Pasca Sarjana S3 ISI Surakarta dan dosen tetap di program studi Desain Komunikasi Visual Telkom University Bandung, Peminatan Desain Grafis.
————–
Daftar Pustaka
1). Barnard Malcolm .2005 Graphic Design as Communication, Routlege Newyork.
2). Haryanto Eko 2015, Penciptaan Seni Grafis Kontemporer Indonesia Berbasisi Kearifan Lokal melalui Inspirasi Ornamen Masjid Mantingan, Jurnal Imaginasi Unnes.
3) Cezzar Juliet, 2020 Teaching the Designer of Now: A New Basis for Graphic and Communication Design Education , The Journal of Design, Economics, and Innovation
4) Umanailo M Chairul Basrun, 2018Postmodernisme dalam pandangan Jean Francois Lyotard, Research Gate.
5) Kusumasti Nungki 2021, Koreografi Tari kontemporer di Taman Ismail Marjuki ( 1968-1987) Inovasi dan Tafsir Baru Tradisi. Makalah Borobudur Writer & Cultural Festival (BWCF).
6) Soetrisno Mudji 2021, Seni Merawat kehidupan, Bahan ajar perkuliahaan S3 ISI Surakarta.
7) Lombard Denys 1996 Nusa Jawa: lintas budaya , Gramedia.
8) Dharsono (Soni Kartika) 2020. Estetika, Citra Science. Surakarta.
9) Sumardjo Jakob, Estetika Paradoks, 2000, Sunan Ambu Press.
10) Yuniawati Dwi Yani 2021, Artepak megalitik Arca Palindo di Situs Sepe Lembah Bada dan Kalamba. Makalah Borobudur writer & Cultural festival 2021.
11) Holt Claire, 2000 Art in Indonesia, Continues and change, alih Bahasa Dharsono. Arti.line