Mengenang Prof. Dr. Achadiati Ikram, Guru Para Filolog Nusantara
Oleh Prof. Dr. Oman Fatturachman*
Minggu, 21 Juli 2024, Indonesia kehilangan salah seorang putri terbaiknya, Prof. Dr. Achadiati, Guru Besar Filologi di FIB UI Depok. Ia adalah seorang filolog yang menjadi guru bagi hampir semua pengkaji manuskrip Nusantara saat ini.
Indonesia merupakan salah satu negara raksasa yang mewarisi khazanah manuskrip kuno tulisan tangan dalam beragam bahasa. Kalau pun dibanding dengan negara-negara lain yang memiliki peradaban tulis tinggi, Indonesia tidak kalah sama sekali. Bahkan, keragaman bahasa dan aksara yang kita warisi, melebihi keragaman tradisi tulis yang negara lain miliki.
Manuskrip adalah artefak budaya yang menjadi bagian penting sejarah peradaban sebuah bangsa. Karenanya, kajian atas khazanah manuskrip kuno Nusantara dapat memberikan kontribusi besar untuk merekonstruksi bangunan sejarah dan peradaban Indonesia. Kita bisa menemukan keluhuran budi, manakala kita mengetahui dan memahami jati diri.
Perangkat untuk mengkaji manuskrip Nusantara itu adalah filologi, yakni sebuah bidang ilmu yang mengkhususkan kajiannya pada teks-teks tulisan tangan masa lalu. Namun, bukan hanya teksnya yang ditransliterasi, diterjemahkan, disunting, dan kemudian dikaji, melainkan segala hal yang terkait dengan kebudayaan yang terkait dengan manuskrip (manuscript culture), juga menjadi perhatian para sarjana filologi. Tanpa filologi, khazanah manuskrip, yang banyak menceritakan sejarah panjang lahirnya peradaban Indonesia itu, mungkin terus terpendam tak tergali.
Sayangnya, amat sangat sedikit sarjana Indonesia yang mendedikasikan karir kesarjanaan, dan bahkan kiprah hidupnya, untuk menggeluti dan mengembangkan filologi.
Almarhumah Prof. Dr. Achadiati Ikram adalah seorang di antara Guru Besar filologi Indonesia yang amat langka. Ia termasuk angkatan awal sarjana Indonesia, yang mewarisi estafet kesarjanaan filologi dari guru-gurunya, para sarjana Eropa, dan sebagian Indonesia. Sebagian dari kolega-koleganya sesama sarjana filologi telah tiada, atau tidak lagi berkarya. Ia pun kini memasuki usia 89, bukan usia muda, tetapi ia masih mengajar filologi bagi mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Almarhumah Bu Achadiati dapat didaku sebagai guru bagi hampir semua filolog Indonesia yang ada. Disertasinya tentang Hikayat Sri Rama (1980) di bawah bimbingan Prof. A. Teuuw menjadi bacaan utama. Ia juga mewarisi kajian manuskrip dari Husein Djajadiningrat dan Poerbatjaraka, dua sarjana Indonesia yang paling awal menggaungkan pentingnya kajian manuskrip Nusantara. Dedikasinya untuk berkarya nyaris tak pernah sirna. Bahkan, di awal November 2019 lalu, ia baru saja meluncurkan buku yang berjudul Pengantar Penelitian Filologi. Sebuah bukti kecintaan mendalam Bu Achadiati terhadap bidang yang digeluti.
Inspirasi Almarhumah Bu Achadiati tidak hanya dalam bentuk buku dan katalog, melainkan juga wejangan-wejangannya dalam berbagai seminar, workshop, di kelas, dan berbagai forum dialog. Ia selalu menegaskan pentingnya merawat dan mengkaji manuskrip kita. Itu semua menjadi referensi dan motivasi bagi dosen dan mahasiswa yang mengkaji filologi Nusantara.
Bu Achadiati menjadi pengajar semenjak akhir tahun 1950-an. Beliau pendidik yang memahami para murid dan apa yang sebaiknya sang murid lakukan. Arahannya terkadang tampak berseberangan dengan minat kajian yang sudah mahasiswa tetapkan. Sang murid terkadang tidak menduga arahan sang guru sebab tidak jarang arahannya jauh dengan minat penelitiannya terdahulu. Namun, Ibu Achadiati tidak sekadar bicara. Ia memiliki wawasan luas dalam bidang pernaskahan dan kebudayaan Nusantara. Arahannya membuahkan hasil dan makna yang juga sering tidak terduga. Sebagai contoh, seorang murid yang awalnya mengkaji naskah dari Betawi diarahkan mengkaji naskah Maluku. Ternyata, hasil penelitian itu lebih dapat menyingkap keterkaitan sejarah dan pengetahuan yang sebelumnya tidak terlihat. Sejumlah muridnya bersaksi bahwa Bu Achadiati memiliki visi jangka panjang untuk pengembangan ilmu filologi Indonesia di masa depan.
Bu Achadiati bukan sekadar tipe dosen yang puas mengajar di kelas. Ia adalah petualang yang sering ikut terjun ke lapangan. Bahkan, di usianya yang sudah tidak muda, ia tetap bergairah ikut melakukan penelusuran, inventarisasi, preservasi, digitalisasi, katalogisasi, penelitian, dan publikasi manuskrip Nusantara. Ia belum merasa cukup membekali pemahaman secara teoritis kepada para muridnya, kalau belum mengajak serta mereka mempraktikkan secara lebih nyata.
Bu Achadiati juga punya visi agar pengembangan filologi abadi. Ia merintis dan mendirikan asosiasi Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Hingga kini, Manassa merupakan satu-satunya asosiasi di Indonesia yang memberikan perhatian pada pelestarian manuskrip Nusantara. Anggotanya bahkan dari Mancanegara. Selain Manassa, Bu Achadiati juga mendirikan Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa), yang dalam beberapa dekade berkontribusi penting dalam menyalurkan beasiswa bagi mahasiswa dan peneliti yang memilih kajian Filologi.
Kepedulian Bu Achadiati tidak sebatas pada pernaskahan. Ia juga berperan dalam pembentukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Menurutnya, kebudayaan akan selalu terkait dengan tulisan dan ucapan. Karenanya, kajian harus dilakukan bersamaan. Apa yang tertulis dan apa yang terkata saling melengkapi dalam kebudayaan Nusantara.
Bu Achadiati mengembangkan studi filologi dengan filosofi bahwa Indonesia bukan hanya Jawa, seperti tampak dalam keragaman bahasa dan aksara. Ia menunjukkannya dengan memberi perhatian pada penyelamatan manuskrip di pulau seberang. Awal tahun 2000 Bu Achadiati memimpin proyek di Buton dan Palembang. Hasilnya, terbit Katalog Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari (2001) dan buku Katalog Naskah Palembang (2004). Katalog yang disebut terakhir mengungkap data sejarah, tradisi, dan pemikiran keislaman yang lahir di Kesultanan Palembang. Manuskripnya berasal dari koleksi keraton dan koleksi orang kebanyakan.
Sementara, melalui Katalog Naskah Buton yang disusun Bu Achadiati, kita dapat mengetahui kedalaman sejarah, tradisi, dan pemikiran konsepsi martabat tujuh dan wahdatul wujud yang ada di Kesultanan Buton. Di Jawa, konsep ini dikenal sebagai manunggaling kawula gusti, sebuah paham yang membincang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Konsep inilah yang kini menjadi tema utama pergelaran kita.
Kini, melalui geneologi keilmuan Bu Achadiati, filologi juga tidak sekadar dikenal di kampus-kampus perguruan tinggi umum, melainkan juga di perguruan tinggi agama, khususnya Islam. Prof. Nabilah Lubis di Fakultas Adab dan Humaniora, IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah murid pertama Ibu Achadiati. Melalui Bu Nabilah inilah kajian Filologi berkembang di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Filologi tidak lagi menyendiri. Ia dipadukan dengan pendekatan kajian Islam, terutama dengan sejarah sosial-intelektual yang keterkaitannya memang sangat kental.
Di masa kini, kaum muda milenial juga mulai menggemari filologi. Melalui manuskrip, mereka belajar mengenal kebudayaan dan jati diri, tentu dengan cara mereka sendiri, cara yang amat dipengaruhi revolusi industri. Mereka mengambil saripati filologi untuk menegaskan pentingnya sumber utama dalam memperoleh informasi terpercaya. Kaum milenial mungkin banyak yang tidak sempat berguru langsung ke Bu Achadiati, mereka mendapatkannya dari murid-muridnya yang kesekian kali.
Dengan demikian, saat ini Bu Achadiati dapat dianggap sebagai tokoh penting ikon filologi Indonesia. Ia telah memberikan kontribusi pelestarian manuskrip Nusantara, tidak sekadar untuk keperluan pribadinya sebagai sarjana, melainkan juga dengan melembagakannya. Buahnya, misi pelestarian manuskrip Nusantara itu berkelanjutan terpelihara.
Atas dedikasinya di bidang filologi, Indonesia berterima kasih kepada Bu Achadiati. Saya ingat Borobudur Writers & Cultural Festival 2019 sempat menganugerahkan Sang Hyang Kamahayanikan Award kepada Prof. Dr. Achadiati Ikram.
Selamat berpulang dengan sepenuh tenang, Ibu Achadiati…
—
*Professor Filologi di Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengampu Ngariksa.