Mendadak The New Normal
Oleh Jendoel Hadi Santosa
The New Normal. Pertama saya tahu frasa itu—sekitar sembilan tahun lalu—dari majalah bekas: Newsweek, edisi 8 Januari 2010.
Judul utamanya the New Normal, dengan sub judul yang mengiringi pemahamannya: How The Crisis Will Shape Our Behavior. Penulisnya Rana Foroohar. Dalam tulisan itu, the New Normal mengacu ke perubahan perilaku satu generasi Amerika akibat resesi 1998.
Tanpa mau tahu lebih jauh, saat itu saya merasa memahaminya dan langsung—seperti sekarang kebanyakan orang Indonesia—menyukai frasa New Normal.
Kini—pada masa pandemi Covid-19—frasa New Normal ada di mana-mana.
Mulai dari grup WA tingkat RT/RW, Twitter, Facebook, hingga TV, majalah dan surat kabar nasional.
Akibat penggunaan yang berlebihan New Normal menjadi hampa makna. Pun menjadi ambigu karena penggunaan yang tidak tepat.
Frasa yang hampa makna dan ambigu akan membingungkan penggunanya. Pemahaman bisa berbeda terhadap satu frasa yang sama.
Apalagi New Normal mengandung oxymoron. Satu frasa yang dibentuk dari dua kata yang bertolak belakang: New dan Normal. Sebuah paradoks melekat pada frasa ini sejak lahir.
Frasa New Normal menjadi sangat subjektif. Penggunaannya terserah masing-masing orang.
The New Normal yang dipahami presiden berbeda dengan apa yang dipahami para menteri; pemahaman gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, RT/RW berbeda dengan pemahaman warga. Pemahaman antara warga pun bisa mengalami bias. Komunikasi bisa kacau karenanya.
Frasa ini bak bola liar. Tidak ada tuntunan penggunaannya. Belum ada definisi yang disepakati. Padanan dalam bahasa Indonesianya banyak yang belum tahu karena baru. Yang sudah tahu emoh menggunakannya.
New Normal kadung digunakan secara berlebihan.
Apa yang sedang terjadi? Apa yang salah dengan frasa New Normal?
Hasil sekilas pencarian di google:
Lexico.com: the new normal: A previously unfamiliar or atypical situation that has become standard, usual, or expected.
Edition.cnn.com. Perubahan dramatis dalam kehidupan sehari-hari tampak di depan mata—dari pemeriksaan suhu badan, perintah penggunaan masker, kosongnya lapangan olah raga dan panggung hiburan, hingga pengawasan pihak berwenang ke lokasi ponsel dan data pribadi. “Anda bisa menyebut ini the ‘new normal,’” kata Juliette Kayyem, analis keamanan nasional CNN.
Kompas mendefinisikan: New normal (normal baru) adalah upaya normalisasi kondisi dengan melakukan sesuatu untuk bertahan dan tidak menyerah. Suatu keadaan yang sebelumnya dirasa tidak normal menjadi biasa.
Kompas juga membuat tulisan yang bisa membingungkan: “Namun, skenario new normal ini berpotensi menciptakan peningkatan kasus Covid-19 lagi dan berimbas pada tenaga medis, khususnya para perawat.”
Tempo.co membuat judul yang juga membingungkan: “Barack Obama Desak ‘New Normal’ Setelah Pembunuhan George Floyd.”
Frasa New Normal semakin banyak digunakan tapi definisi yang ada tidak cukup bagus menjelaskan pengertiannya.
Apakah frasa New Normal adalah frasa baru? Iya di sini. Di Indonesia istilah New Normal menyebar bersamaan dengan menyebarnya virus corona.
Hampir tidak mungkin untuk mengetahui makna New Normal yang tepat dan disepakati semua orang.
Yang masih memungkinkan: penggunaan yang mendekati baik dan benar.
Untuk itu kita perlu tahu konteks dan sejarah penggunaannya.
Tercatat nama Roger McNamee yang mengaku penemu frasa the New Normal. Roger menuliskannya di majalah Fast Company pada 2003. Apakah klaim Roger ini benar?
Tidak juga.
Penelusuran lebih jauh: frasa the New Normal muncul pasca Tragedi 11 September 2001. Umumnya digunakan untuk menggambarkan perubahan sistem keamanan Amerika Serikat. Pemeriksaan yang ketat di bandara, misalnya—adalah the New Normal.
Penelusuran lebih jauh: Pada 1999 Iowa City Press-Citizen menurunkan tulisan:
Those whose loved ones have died will never get back to what Klug calls “the old normal,” that is, the way things used to be. “It’s a process of moving to ‘the new normal,'” he says. The new normal means new habits, new routines.
The New Normal berarti kebiasaan baru, rutinitas baru.
Penelusuran lebih jauh lagi. Hasilnya cukup mengejutkan. Frasa the New Normal telah ditulis pada 1918 oleh Henry Wise Wood, di National Electric Light Association Bulletin edisi Desember:
To consider the problems before us we must divide our epoch into three periods, that of war, that of transition, that of the new normal, which undoubtedly will supersede the old. The questions before us, therefore, are, broadly, two: How shall we pass from war to the new normal with the least jar, in the shortest time? In that respect should the new normal be shaped to differ from the old?
Dari penelesuran sejarah dan konteks penggunaannya, frasa the New Normal mengacu kepada perilaku baru, keadaan baru, kebiasaan baru, rutinitas baru. Misalnya: mengenakan masker, cuci tangan, jaga jarak.
The New Normal bukan aturan, tatanan, ataupun hukum yang menimbulkan perilaku baru. Aturan, regulasi dan hukum—dan kesadaran pribadi—adalah penyebab munculnya the New Normal. Perpu, UU, PP bukanlah the New Normal.
The New Normal bukan peristiwa yang menimbulkan perilaku baru. Pandemi Covid-19, krisis ekonomi, perang, bukanlah the New Normal.
Sekali lagi, dari sejarah dan konteks penggunaanya, frasa New Normal mengacu kepada perilaku baru, keadaan baru, kebiasaan baru, rutinitas baru.
Uraian ringkas dalam kalimat:
Kebiasaan baru menggunakan masker, mencuci tangan, jaga jarak adalah the New Normal—akibat aturan yang ditetapkan pihak yang berwenang maupun kesadaran pribadi—untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Pada 26 Mei 2020 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan via Instagram:
Kata ” New Normal” memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia yaitu “Kenormalan Baru” yaitu keadaan normal yang baru (belum pernah ada sebelumnya).
Sekarang kita punya padanan frasa the New Normal dalam bahasa Indonesia.
Baiklah.
Kita uji:
Mengenakan masker dan Karantina adalah kenormalan baru pada Masa Pandemi Pertama abad ke-21 ini.
Apakah mengenakan masker dan karantina adalah keadaan baru yang belum pernah ada sebelumnya?
Ternyata tidak.
Mengenakan masker dan karantina bukan keadaan baru yang belum pernah ada. Setidaknya pada tahun 1918 sudah ada.
Pada abad ke-14 awak kapal yang masuk ke pelabuhan-pelabuhan Venesia, Italia, dikarantina dulu selama 40 hari—untuk mencegah wabah.
Konon, tahun 600 tarikh Masehi, karantina sudah dipraktikkan di Cina untuk memisahkan yang sakit dari yang sehat.
Jika mengacu ke penjelasan dari Kemendikbud: “Kenormalan Baru” yaitu keadaan normal yang baru (belum pernah ada sebelumnya), maka tidak akan ada frasa New Normal atau “kenormalan baru” di dunia ini.
Karena:
There is nothing new under the sun.
Penulis adalah pelukis, tinggal di Malang