Krisis Identitas Borobudur: Objek Wisata atau Tempat Suci?

 Oleh: Silvi Wilanda 

Belajarlah mencintai dari seorang ibu. Seorang ibu tidak melulu melontarkan sanjungan atau kata-kata indah pada anaknya. Kadang kala, ia memberikan kritik yang tidak mengenakkan telinga. Namun, di balik kritik tersebut tersimpan doa dan harapan. Barangkali kita perlu mencintai Borobudur dengan cara yang sama: tidak melulu dengan pujian, namun juga kritik yang membangun. Pujian sudah tentu ditujukan untuk keagungan tak terkira dari Borobudur, tapi kritikan kiranya ditujukan bagi warga Indonesia, termasuk pemerintah dan umat Buddha Indonesia sendiri yang memiliki tanggung jawab moral merawat Borobudur.

Mengapa Borobudur Berbeda? 

Ketika ditanya bangunan suci Buddhis apa yang ada di Indonesia, saya yakin sebagian besar warga Indonesia pasti bisa menjawabnya. Kemungkinan besar juga jawabannya akan serentak, yakni Borobudur! Tak disangsikan lagi bahwa Borobudur memang merupakan bangunan suci Buddhis Indonesia yang paling melekat di ingatan. Namun, apakah demikian juga dengan kenyataannya?

Jika kita menyandingkan Borobudur dengan tempat suci lainnya di berbagai belahan dunia, kita akan mendapati bahwa Borobudur berbeda dengan tempat suci lainnya. Jika kita dapat menemui orang-orang yang khusyuk beribadah dan merenung di tempat-tempat suci lain, tentu cerita yang berbeda dengan Borobudur. Di Borobudur, pengunjung lebih sibuk mengabadikan momen mereka dalam jepretan foto atau rekaman video serta berburu oleh-oleh. Mereka kehilangan hal esensial, yakni nilai kesucian dan makna filosofis Borobudur itu sendiri. Ini berarti kita harus berani menghadapi kenyataan bahwa Borobudur masih belum dianggap sebagai tempat suci. Lalu, terbitlah sebuah pertanyaan di dalam benak, “Mengapa Borobudur berbeda dengan tempat suci lainnya?” Mungkin beberapa penjelasan ini dapat memberikan jawaban.

Keyakinan akan Tempat Suci 

Borobudur telah kehilangan makna dan nilainya bahkan dari hati tiap-tiap umat Buddhis sendiri. Keyakinan akan nilai filosofis dan kesakralan sebuah tempat suci amatlah penting karena merupakan dasar rujukan bagi pengunjung untuk berperilaku dan memetik manfaat dari kunjungannya ke tempat suci tersebut.

Misalnya saja, para Muslim meyakini Ka’bah sebagai “rumah Allah”, masjid paling suci seantero dunia. Dengan demikian para Muslim akan menaruh hormat ketika mengunjungi Ka’bah. Mereka akan dengan khusyuk memutari Ka’bah (tawaf) dan juga tak segan-segan mencium dengan penuh haru batu Hajar Aswad yang diyakini para Muslim sebagai batuan dari surga. Hal yang serupa juga berlaku bagi Tembok Ratapan, tempat suci yang diyakini umat Yahudi sebagai tempat berdiamnya “Shekhinah” atau kehadiran Ilahi. Berbekal pada pemaknaan ini, umat Yahudi melakukan berbagai kegiatan spiritual yang khas, seperti berdoa, meratapi dosa, menulis doa pada secarik kertas dan menyelipkannya di celah-celah tembok. Tak ketinggalan Wihara Maha Bodhi yang terletak di Bodh Gaya juga dihormati karena merupakan tempat Buddha Sakyamuni mencapai pencerahan sempurna. Di tempat tersebut, biasanya umat Buddhis akan mencoba bermeditasi dan merenungkan pengalaman Buddha ketika mencapai pencerahan sempurna. Dengan keyakinan akan kesucian tempat tersebut, pengunjung bisa saja mendapatkan pengalaman spiritual yang unik, seperti misalnya menjadi pribadi yang baru, terinspirasi menjadi lebih baik lagi, dan sebagainya.

Tidak hanya mewarnai kegiatan spiritual, keyakinan akan tempat suci juga mempengaruhi perilaku para pengunjung, seperti misalnya pengunjung di Pura Tanah Lot dan Basilika Santo Petrus yang menggunakan pakaian yang sopan dan tertutup. Lain halnya dengan di Borobudur. Ketimbang mempelajari makna dari relief-relief yang terukir di candi dan bentuk-bentuk mudra rupang Buddha ataupun memberikan penghormatan; para pengunjung termasuk umat Buddha sendiri lebih memilih untuk terburu-buru naik hingga ke puncak candi dan mengambil foto.

Hal ini dibenarkan oleh Steels (2007) dalam Prambanan and Borobudur: Managing Tourism and Conservation in Indonesia yang menyatakan bahwa pegunjung tampaknya tidak terlalu peduli dengan keaslian dan makna lokal atau bahkan perspektif lembaga internasional seperti UNESCO. Bagi sebagian besar dari mereka, Borobudur hanyalah sebuah monumen tempat mereka ingin dilihat dan difoto; tujuan yang ‘harus dilihat’ untuk dipandang yang dikaitkan secara samar dengan masa lalu yang dilupakan dan diromantisasi.

Tidak jarang juga pakaian pengunjung Borobudur tidak sesuai dan nampak terbuka. Meskipun pihak pengelola Borobudur telah menyediakan kain batik untuk menutupi bagian bawah tubuh, para pengunjung biasanya hanya memakai kain batik ini “seadanya” dan seringkali bagian tubuh bawah akhirnya tidak tertutupi juga. Menduduki stupa, menempelkan permen karet di stupa, dan mengencingi stupa juga merupakan hal-hal tidak pantas lainnya yang dilakukan pengunjung Borobudur. Beberapa kejadian miris ini mengindikasikan kurangnya pengetahuan dan keyakinan pengunjung akan kesucian Borobudur.

Sistem Pengelolaan 

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Michael Hitchcock dan I Nyoman Darma Putra, pengelolaan Borobudur melibatkan tiga pihak, yakni Lembaga Konservasi Warisan Borobudur (Kemdikbud), PT Taman (BUMN), dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah mengkritik hal ini dan membandingkannya dengan Angkor Wat ketika Rakornas Pariwisata 2019 lalu.

“Lalu orang masih mengaitkan dengan Angkor Wat, kenapa Angkor Wat bisa bagus dan kita tidak. Saya belajar betul intinya adalah bagaimana pengelolaan itu otoritasnya harus tunggal,” tutur Pak Ganjar.

Lebih lanjut, dalam Prambanan and Borobudur: Managing Tourism and Conservation in Indonesia juga dipaparkan bahwa pengelolaan Borobudur dan Prambanan tidak melibatkan agama-agama yang berkaitan dengan kedua situs tersebut, yakni Buddha dan Hindu. Borobudur dan Prambanan ada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berbeda dengan Pura Besakih yang diawasi oleh Departemen Agama. Hal ini disebabkan karena Borobudur dan Prambanan dipandang sebagai situs nasional dan tujuan wisata penting semata.

Dominansi fungsi wisata borobudur terlihat dari video perencanaan “The New Order Borobudur Temple” yang dipaparkan oleh Pak Ganjar. Pengembangan Borobudur ini lebih menekankan aspek pengembangan wisata, khususnya peralihan dari wisata tunggal menjadi wisata yang tersinergi dengan berbagai tempat wisata lain, khususnya desa wisata tematik. Sayangnya, dalam video tersebut, aktivitas utama yang semestinya ada di Borobudur, yaitu aktivitas keagamaan, hanya disebutkan sekilas dan terkesan hanya dapat dilakukan di saat-saat tertentu saja. Penetapan Borobudur sebagai salah satu Lima Destinasi Super Prioritas oleh Presiden Jokowi juga semakin menegaskan bahwa Borobudur memang condong diarahkan sebagai tempat wisata alih-alih tempat suci ataupun tempat ziarah.

Masih Ada Harapan 

Dr. Selly Riawanti, SS., MA, akademisi sekaligus dosen Antropologi Universitas Padjadjaran berpendapat sulit sekali untuk menjadikan Borobudur sebagai tempat ziarah keagamaan. Hal ini disebabkan karena fungsi Borobudur sebagai tempat ibadah sudah lama hilang. Menurut Ibu Selly, budaya selalu bergerak dinamis, jika suatu budaya tidak lagi dipakai dalam kehidupan sehari-hari, budaya itu akan menghilang. Namun, hal ini bukan berarti memperjuangkan Borobudur sebagai tempat suci adalah hal yang mustahil. Borobudur masih bisa diperjuangkan sebagai tempat suci dan ziarah, asal terpenuhinya komponen utama, yakni sumber daya manusia. “Unsur utama dalam ekosistem itu adalah manusia. Ada manusianya nggak yang memakai itu sebagai tempat ibadah? Kalau nggak ada ya buat apa? Bisa saja diciptakan kalau punya banyak uang, tapi kan buat apa kalau nggak ada umatnya? Nah, ada umatnya, kemudian ada sumber daya lainnya, entah uang, entah barang begitu yang bisa mendukung keberadaan unsur ini sebagai tempat ziarah atau tempat ibadah,” tutur Ibu Selly lebih lanjut.

Untuk mengembalikan fungsi layaknya Borobudur sebagai tempat suci dan ziarah umat Buddha yang layak, maka perlu ada usaha dan perjuangan dari banyak orang, khususnya umat Buddha itu sendiri. Mungkin kisah bagaimana umat Buddha yang memperjuangkan Wihara Maha Bodhi di India bisa menjadi salah satu inspirasi. Pada 1891, Mahabodhi dikelola oleh pendeta Brahmana Siwa. Berkat perjuangan Anagarika Dharmapala, akhirnya pengelolaan Wihara Maha Bodhi dipegang oleh organisasi Buddhis, yakni Maha Bodhi Society of India.

Aktivitas ziarah dan pariwisata juga tidak selalu bertentangan. Sudah banyak rancangan-rancangan wisata berbasis ziarah yang memenuhi kebutuhan rohani bagi penganut agama terkait sekaligus memperkaya pengetahuan dan pengalaman pengunjung umum, misalnya culture route Santiago de Compostela di Spanyol yang dirancang untuk menghormati perjalanan Santo Yakobus dalam agama Nasrani. Perspektif spiritual keagamaan penting untuk memberi makna pada objek wisata berupa situs keagamaan sehingga wisatawan bisa mendapatkan pengalaman utuh yang menyentuh hidup mereka, bukan hanya menyegarkan mata dan menambah wawasan saja. Pengalaman seperti itulah yang bisa membuat seseorang datang kembali ke tempat yang pernah dikunjungi dan mengajak lebih banyak orang untuk datang serta turut menjaga situs yang telah menginspirasi mereka.

Pada akhirnya, semua pihak yang berkepentingan seperti pemuka agama Buddha, arkeolog, pemerintah, serta masyarakat diharapkan dapat saling berkoordinasi dan berembug untuk menentukan masa depan Borobudur. Gagasan serta perancangan penziarahan Borobudur sangat dinantikan agar kelak bangunan maupun makna dan kesucian Borobudur bisa terus lestari.

—————-

Referensi 

Hitchcock, M., & Darma Putra, I. N. (2015). Prambanan and Borobudur: Managing tourism and conservation in Indonesia.

Antaranews.com – Ganjar Paparkan Strategi agar Borobudur Bisa Setara Angkor Wat

Kompas.com – Kemenpar genjot Pengembangan 5 Destinasi Super Prioritas

Lamrimnesia.org – Ziarah ke Borobudur dengan Culture Route, Wisata Sekaligus Praktik Dharma

Youtube Ganjar Pranowo – Wajah Baru Kawasan Borobudur

Maha Bodhi Society of India

 

*Penulis adalah Mahasiswi Antropologi Universitas Padjadjaran