Kosmologi Kematian Orang-Orang Musi Rawas
Oleh Royyan Julian
Meskipun kematian adalah peristiwa nyaris puguh yang akan dihadapi setiap manusia, kita selalu membayangkannya sebagai sebuah titik gelap yang berada di luar teritori kita. Ajal senantiasa kita khayalkan sebagai perkara yang menimpa orang lain. Bukan kita. Oleh karena itu, ketika membicarakannya, kita akan meletakkan kematian sebagai objek eksentrik.
Bagaimanapun juga, kematian tidak dialami manusia—jika pengalaman diandaikan hanya berlangsung kepada yang hidup. Perbincangan tentang kematian tidak pernah bersumber dari si mati. Dengan demikian, mitos kematian merupakan produk konstruksi citra kolektif manusia untuk membahasakan sebuah peristiwa yang jauh, tak terjangkau, dan akan selamanya enigmatik.
Begitupun juga dengan kisah-kisah kematian yang telah saya catat saat residensi di Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, pada 2020. Hikayat tentang mendiang tidak saya peroleh dari yang bersangkutan, tentu saja, tetapi dari orang ketiga yang saya dudukkan sebagai informan. Benang merah bisa ditarik dari cerita-cerita tersebut; mereka percaya bahwa kematian hanya interupsi dari hidup yang kekal. Namun, saya ingin tahu lebih lanjut bagaimana alam pikiran Puak Musi Rawas tentang kematian. Maka, bersama penulis Lubuklinggau, Wendy Fermana, saya menemui seorang budayawan, Suwandi (76), di kantornya, Museum Subkoss Garuda Sriwijaya Lubuklinggau. Selain kurator museum, ia juga penasihat adat di wilayah Musi Rawas, Lubuklinggau, dan Musi Rawas Utara, serta maestro dua puluh tiga varian aksara kaganga.
Usia lanjut membebani punggungnya hingga membuat lelaki berpeci bundar itu agak bungkuk. Namun, otoritas pengetahuannya tidak sesahaja penampilannya. Suwandi adalah seorang poliglot, polimatik, dan karena itulah apa yang meluncur di lidahnya seringkali terdengar begitu intimidatif. Tidak sekali saja saya menjumpai tipikal orang seperti Suwandi yang seringkali membendung samudra ilmu dengan penampilan yang tidak meyakinkan.
Tiga daerah administratif, Musi Rawas, Lubuklinggau, dan Musi Rawas Utara, relatif memiliki kultur yang sama. Oleh karena itu, menurut pendiri STKIP PGRI Lubuklinggau itu, pandangan kematian ketiganya tidak berbeda bahkan dengan keyakinan orang Sumatera Selatan pada umumnya. Pada zaman animisme, mereka yakin orang tidak mati. Hanya rohnya keluar, pindah alam. Di sanalah para arwah bertemu. Mereka tidak punya kepercayaan tentang kiamat, hari penghakiman (surga dan neraka), termasuk keyakinan tentang Tuhan. Arwah abadi di dunia roh.
“Orang sakti tubuhnya malah raib,” ujar Suwandi. Di tempat ia raib biasanya ditandai dengan batu besar. “Kalau kamu mau cari saya, carilah di batu besar itu,” ucapnya menirukan orang yang akan moksa. Batu tersebut bisa besar, kecil, atau cuma seukuran kepala. Besar-kecilnya batu bergantung lokasi.
Terkadang pohon besar juga menjadi penanda seperti pokok raksasa Sultan Sattar di Lubuk Tua. Banyak orang bertirakat di pohon itu dan membakar kemenyan yang merepresentasikan dunia roh: alam bawah, tengah, dan atas. Asap kemenyan membumbung, lalu terhidu arwah di alam atas sehingga ia turun. Alam bawah dihuni manusia, sedangkan alam tengah adalah portal. Membukanya harus diperantarai asap kemenyan. Berhasil atau tidaknya sebuah komunikasi antardimensi bisa dipengaruhi kualitas kemenyan.
“Kalau kualitas wangi kemenyannya jelek, tidak akan sampai,” kata Suwandi.
Kepercayaan tentang kuburan tertentu yang dianggap punya magi merupakan warisan tradisi lama yang lestari hingga kini. Di situ ada orang terkemuka/sakti disemayamkan. Orang-orang akan datang mengantar sesajen, memotong kambing, atau bernazar.
“Apakah sungai juga punya relasi dengan kematian?” tanya saya untuk menegaskan bahwa ekosistem sungai begitu mendominasi di Sumatera Selatan. Saya bertanya begitu karena biasanya, situasi fisik yang dominan di sebuah wilayah kerap berasosiasi dengan kepercayaan masyarakatnya, termasuk berhubungan dengan realitas niskala yang mereka yakini.
Tetapi Suwandi menjawab “Tidak!” dengan pasti. “Di sini, sungai tidak punya nilai seperti di Bali atau India. Salah jika ada pelarungan sesajen karena orang mati tidak dibakar dan abunya tidak dihanyutkan ke sungai. Tidak ada roh yang bersemayam di sungai. Kalau hantu sungai ada.”
Tak ada orang Sumatera Selatan bertirakat di sungai karena tidak mengandung keramat. Tidak seperti kuburan yang kerap menjadi tempat memohon. Misalnya jika ada orang ingin membunuh, ia akan meminta kepada arwah puyang pembunuh.
“Kalau mau nembak cewek, minta sama puyang gadis,” kelakar Suwandi.
Artinya, daya keramat tidak melulu dimiliki arwah orang baik. Arwah orang jahat juga punya tuah. Maka kuburan-kuburan keramat dikunjungi orang berdasarkan watak arwah dan tujuan ziarahnya.
Di sisi lain, relasi antara yang hidup dengan yang mati bukan jenis hubungan satu arah. Relasi keduanya berjalan resiprokal, simbiosis mutual, dan saling bergantung. Meskipun tinggal dalam dimensi yang berbeda, arwah dibayangkan kerap berinteraksi dengan manusia. Yang hidup memohon hajat kepada yang mati, sedangkan yang mati butuh sesajen kepada yang hidup. Yang keramat, baik arwah orang terpuji maupun tercela, akan sering menerima sesajen sebagai ‘nutrisi’.
Dalam perkawinan adat, mendiang ayah—jika sudah mati—calon mempelai perempuan perlu diundang untuk memohon restunya. Kawin secara adat perlu dilakukan agar tidak kena tulah leluhur: hidup tidak normal, rezeki seret, keguguran, dan sebagainya.
“Kita tidak bisa sembarangan sama orang mati karena kalau salah bisa kena tulah, demam, atau mati,” tukas Suwandi. “Karma tujuh turunan kalau seseorang berbuat salah. Kesalahan seringkali ditebus dengan upacara. Khawatir nanti kalau mati, tidak ada orang yang sayang sama dia. Kalau tidak dipanggil, dia tidak bisa makan.”
Melihat konteks tersebut, kematian memang seringkali berurusan dengan kepentingan orang yang masih hidup. Bagi Rocky Gerung (2011), kematian merupakan momen eksistensial yang paling bermutu. Arwah nenek moyang kerap berperan sebagai penjaga komunitas, sumber etika, dan harmoni sosial. Maka, tidak heran jika sejumlah komunitas di Musi Rawas Utara masih membutuhkan sosok imajiner orang-orang keramat sebagai portir untuk memelihara keseimbangan sosial, moral, dan memberi rasa aman.
Spirit almarhum para leluhur juga berfungsi sebagai penjaga identitas kelompok. Ada impersonalisasi atas yang personal. Menurut Muhammad Damm (2011), setiap hal yang berkaitan dengan seseorang yang telah mati kadangkala menjadi milik orang-orang yang masih hidup, bahkan turut membangun identitas suatu bangsa/kebudayaan yang mewarisi kebenaran yang pernah diciptakan dan disuarakan olehnya, atau setidaknya kebenaran serta pengetahuan yang diproduksi tentangnya. Tidak heran jika ketokohan seseorang menjadi penting bagi identitas suatu komunitas. Ada kenangan yang tertinggal, lalu tumbuh dalam referensi baru: ‘pikiran beliau’, ‘teladan’, ‘cita-cita’, dan seterusnya, catat Gerung.
Mendirikan tugu kematian merupakan salah satu jalan biografis untuk mempertahankan memori tentang yang mati. Di sini kita melihat bahwa kematian tidak hanya diratapi, tetapi dirayakan. Pada batu nisan, misalnya, kematian terbelah menjadi jukstaposisi yang dikubur dalam satu liang. Nisan merupakan lokus di mana dukacita dibenam sekaligus diawetkan. Nisan, dengan demikian, adalah sejenis masokisme bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Barangkali begitulah cara beroperasi seonggok nisan. Ia dibangun untuk menghibur manusia yang tiba-tiba terlempar di dunia tanpa makna. Arti, barangkali, memang hanya bisa direkayasa akal budi. Hidup terlalu kelam dilewati tanpa harapan. Manusia butuh rasa aman supaya tugur menjalani dunia. Membayangkan kegelitaan setelah kematian terasa begitu getir. Maka, manusia menciptakan imaji tentang hidup setelah ajal, menyelenggarakan seremoni kematian, dan menakhlikkan filosofi kehilangan agar bayang-bayang akhir hayat tidak begitu menakutkan. Dalam konteks ini, nisan ternyata bukan hanya kata benda. Ia juga kata kerja. Nisan adalah sebuah modus untuk memberikan sentuhan estetis dan ketakziman kepada ajal. Nisan menyatukan yang sungkawa dan yang jamal di atas pungkur kematian.
Ketika Islam semakin mengeras, di Musi Rawas Utara, nisan malih rupa menjadi batu berlumut, sebab kepercayaan-kepercayaan yang melingkari tradisi ziarah semakin tabu. Hal ini kian diperparah orang-orang yang memanipulasi kuburan sebagai wahana untuk menunaikan perbuatan-perbuatan pemali seperti toto gelap. Dalam konteks Sumatera Selatan, Islam cukup mangkus melenyapkan keyakinan-keyakinan kuno masyarakatnya.
*Royyan Julian adalah penulis sejumlah buku, bergiat di Universitas Madura dan Sivitas Kotheka, serta tinggal di Pamekasan.