Jejak Filsafat Konservatisme dalam Novel-Novel Little House karya Laura Ingalls
Oleh Eko Fangohoy
Novel-novel Laura Ingalls telah diterbitkan dalam banyak bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Film serinya yang dibuat berdasarkan novel-novel itu dan ditayangkan pada tahun 1970-an sampai 1980-an masih tetap ditonton banyak orang sampai sekarang. Genre cerita dalam novel-novel tersebut biasanya dikelompokkan dalam sastra atau bacaan anak-anak. Namun demikian, bukan rahasia lagi bahwa pembaca utama novel-novel tersebut (dan penonton film-filmnya) berasal dari berbagai kalangan umur. Kisah-kisah yang dituangkan dalam novel-novel itu memang lintas generasi, karena pesan yang disampaikan bisa dinikmati siapa saja.
Kisah pionir keluarga Ingalls sangat membekas terutama di hati para pembaca di Amerika Serikat. Petualangan yang berani dengan menggunakan gerobak kuda berterpal melintasi wilayah Barat Amerika menimbulkan imajinasi dan citra mendalam, terutama mengenai betapa leluhur (pendatang) bangsa Amerika adalah para pekerja keras yang membuka lahan-lahan baru untuk dikelola. Jatuh-bangun keluarga pionir—bukan hanya keluarga Ingalls—membentuk kesadaran diri bangsa Amerika bahwa mereka adalah bangsa pejuang yang tidak mengenal rintangan.
Citra dan imajinasi yang muncul dan tertanam itu merupakan pesan moral yang sebenarnya biasa saja yang muncul dari kisah-kisah para petualangan ala western. Berjuang di tengah alam yang masih liar, berhadapan dengan gerombolan suku Indian, menunggang kuda dengan jarak puluhan dan ratusan kilo, merupakan tema yang lazim.
Namun, apa jadinya bila kisah-kisah yang tertuang dalam novel Laura Ingalls ternyata meninggalkan jejak berupa pandangan hidup atau filsafat politik konservatisme? Apakah mungkin semangat yang ada dalam novel-novel penulis yang lahir pada 7 Februari 1867 itu sejalan dengan filsafat politik konservatif?
Konservatisme di Amerika
Ideologi atau pandangan hidup konservatif di Amerika Serikat tentu lebih tua daripada novel-novel Laura Ingalls. Novel-novel Little House terbit antara tahun 1932 sampai dengan tahun 1943. Pandangan hidup konservatisme di Amerika Serikat sudah hampir setua dengan usia negara tersebut. Berawal mula dari tanah Inggris, filsafat konservatif sudah menjadi ideologi partai konservatif yang pada abad ke-17 biasa disebut sebagai partai para “tory” (atau Partai Tory).
Namun, filsuf politik yang dianggap berhasil merumuskan pandangan konservatisme adalah Edmund Burke (1729–1797). Ia memberikan dasar-dasar filosofis bagi konservatisme modern sebagaimana yang nanti dianut di Amerika dan di tempat lain pula.
Edmund Burke menggambarkan konservatisme sebagai “pendekatan pada masalah-masalah manusia yang tidak percaya pada penalaran a priori dan revolusi, lebih suka menaruh kepercayaan pada pengalaman dan perbaikan bertahap dengan pengaturan yang sudah dicoba dan diuji.”
Burke mendasarkan prinsip-prinsip politiknya pada hukum kodrat moral dan tradisi Barat. Ia juga percaya pada hak atau aturan yang berlaku dan bahwa aturan tersebut adalah “God-given”. Ia membela apa yang disebut sebagai “kebebasan yang tertib (ordered liberty)”. Selain itu, ia mendukung nilai-nilai transenden yang menemukan dukungannya dalam institusi seperti Gereja, keluarga, dan negara. Dan bukan rahasia lagi bahwa ia pengkritik keras prinsip-prinsip yang mendasari Revolusi Prancis.
Walaupun dalam perjalanan selanjutnya pandangan ini berkembang lebih detail dan diperkaya, namun prinsip-prinsip yang dibela oleh Burke menjadi fondasi dari filsafat politik konservatisme. Orang biasanya menandai beberapa prinsip dari konservatisme, seperti: kepentingan pribadi, pemerintahan yang terbatas, aturan hukum, perdamaian dalam kekuatan, tanggung jawab fiskal, pasar bebas, dan martabat manusia.
Di Amerika Serikat sendiri, jika dirangkum, postulat konservatisme bisa berbunyi demikian.
- Kepentingan invidu lebih penting daripada negara. Negara harus seminimal mungkin mencampuri kehidupan warganya. Dalam hal ini, inisiatif dan kebebasan individu lebih ditonjolkan di atas peran pemerintah. Ini terutama berlaku pada bidang ekonomi.
- Nilai-nilai agama dan tradisi lebih penting daripada nilai-nilai baru yang belum dicoba atau teruji. Perubahan hanya bisa dilakukan secara bertahap.
Jika ingin diperas menjadi lebih ringkas, nilai-nilai konservatisme di atas bisa dirumuskan menjadi beberapa prinsip kunci: kebebasan dan inisiatif individual, pasar bebas atau usaha mandiri, dan peran pemerintah yang terbatas atau malah nihil. Di dalam spektrum filsafat politik, konservatisme biasanya digambarkan sebagai posisi yang berada di sebelah kanan (antara kanan ekstrem sampai kanan tengah). Ideologi mereka biasanya digambarkan sebagai berseberangan dengan ideologi liberalisme, yang biasanya berada di sebelah kiri (antara kiri ekstrem sampai kiri tengah). Ideologi liberalisme atau kelompok yang ada di spektrum kiri biasanya digambarkan dengan nilai sebaliknya: pasar bebas yang diregulasi, peran pemerintah yang lebih kuat, dan keterbukaan terhadap intervesi negara pada individu, terutama dalam hal ekonomi.
Novel Laura Ingalls sebagai Konteks Ideologi Konservatif
Bagaimana nilai-nilai konservatif tadi muncul dalam novel-novel Laura Ingalls? Jika kisah-kisah western dikelilingi dengan mitos para koboi yang sering memberikan solusi “dar der dor” ketika menghadapi masalah, di dalam novel-novel Laura Ingalls, solusi atas berbagai persoalan kehidupan bukanlan senjata. Sebagaimana diajarkan oleh Charles Ingalls, ayahanda Laura, solusi yang jitu adalah: kerja keras dan ketekunan. Dididik sebagai petani, Charles bersama keluarganya lebih piawai menggunakan alat-alat pertanian ketimbang pistol ala jago tembak western.
Berhadapapan dengan alam yang masih liar, satu-satunya jalan keluar yang realistis adalah keberanian dan kerelaan untuk bekerja menaklukkan dan mengolah alam tersebut sehingga bisa didiami dan menghasilkan. Diterjang hama belalang, badai, dan panen yang gagal, tidak ada cara lain kecuali memasang badan untuk mengubah nasib menjadi lebih baik.
Filosofi yang muncul dari keluarga petualang ini—yang terdiri dari, di luar Laura sendiri: Charles, Caroline, Mary, Carrie, dan Grace Ingalls—adalah filosofi kehidupan para petani yang bergantung pada kemampuan fisik, kebulatan tekad, dan kemampuan meramal cuaca. Lebih dalam, filosofi itu adalah filosofi orang-orang optimis, yang mau tak mau harus percaya bahwa hari esok harus lebih baik daripada hari ini, terutama kalau mereka bekerja lebih keras, lebih tekun, dan lebih rajin.
“Bagi suatu negeri yang sedang berada di tengah Depresi, novel-novel Little House menyampaikan pesan yang jelas dan konsisten mengenai kebajikan individualisme yang keras dan tidak mengemis-ngemis ke Washington,” kata Christine Woodside.
Ada kesamaan situasi dan kondisi antara waktu penerbitan novel-novel Laura Ingalls dan kisah-kisah yang diceritakan dalam novel-novel itu. Masa penerbitan novel (1932-1943) adalah masa yang dikenal sebagai Depresi Besar. Masa-masa itu adalah masa ketika banyak orang kehilangan pekerjaan, investasi merugi (saham-saham Wall Street jatuh), dan kekeringan di banyak daerah di Amerika Serikat. Solusi yang diambil oleh pemerintah waktu itu (di bawah Presiden F.D. Roosevelt) adalah mengeluarkan New Deal, yaitu seperangkat kebijakan dan program yang ditujukan antara lain untuk pertanian di daerah perdesaan, industri perbankan, dan ekonomi secara keseluruhan. Program-program bantuan sosial dirancang bagi pengangguran jangka panjang yang tidak terjangkau sama sekali ketika ada lowongan kerja baru. Program-program insentif dilakukan di berbagai negara bagian untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Apa yang salah dengan New Deal menurut filosofi konservatif? Rose Wilder Lane, putri tunggal Laura Ingalls, yang membantu menyunting dan menerbitkan novel-novel Little House, yakin bahwa “kolektivisme” dari New Deal Presiden Roosevelt, patut disalahkan karena mencekoki jiwa orang muda dengan fantasi ras, kelas, dan massa, yang dikontrol oleh “dewa-dewa kafir, yaitu Determinisme Ekonomis atau Masyarakat atau Pemerintah.”
New Deal mendukung suatu prinsip yang sama dengan Komunisme dan Nazisme, yaitu suatu “negara yang terpusat” yang mengendalikan individu-individu. Prinsip welfare state (negara kesejahteraan) yang dipromosikan New Deal justru menggerogoti prinsip “self-help”yang dimiliki oleh setiap individu serta merantai kaum miskin pada kehendak para politisi.
Rose Wilder Lane, yang bersama dengan Ayn Rand dan Isabel Paterson dianggap sebagai tiga orang perempuan pelopor Libertarianisme modern di Amerika Serikat (Libertarianisme adalah varian dari Konservatisme, bahkan berada di spektrum yang lebih ekstrem), memiliki semacam pendasaran “metafisik” atas individualisme yang dianutnya. Ia percaya bahwa setiap manusia memiliki semacam “energi” yang mendorongnya untuk mengaktualisasi diri. Pemerintah atau negara tidak bisa menciptakan atau mengambil alih “energi” ini, tetapi masyarakat bebas—sepanjang masyarakat ini tidak mengganggu anggota individunya dalam melaksanakan hak-hak mereka, akan berkembang berkat “energi” tersebut. “Setiap pribadi yang hidup adalah sumber energi. Tidak ada sumber yang lain … Individu-individu menghasilkannya dan mengendalikannya.”
Prinsip ekonomi konservatisme adalah pasar bebas dan kapitalisme, dengan regulasi atau campur tangan pemerintah seminimal mungkin (atau malah nihil). Sementara itu, New Deal Presiden Roosevelt justru memperkuat posisi-posisi welfare state dengan penggembungan birokrasi serta pengeluaran negara di hampir semua bidang. Pasar bebas memancing energi positif dari semua individu untuk bekerja keras dan bersaing, sementara New Deal menciptakan kemalasan dan ketergantungan masyarakat pada pemerintah.
Justru kemalasan dan ketergantungan pada pemerintah itulah yang ingin dilawan oleh Rose Wilder Lane dan, menurut Christine Woodsie, muuncul dari novel-novel Little House.
Beberapa Kutipan dari Novel-Novel Laura Ingalls Wilder
Kepercayaan pada kemampuan individu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, serta sikap yang menentang campur tangan negara pada urusan individu merupakan konteks atau dasar yang kokoh dari prinsip konservatisme. Seperti klaim Woodsie di atas, prinsip itulah yang muncul dalam novel-novel Little House. Namun, sejauh mana hal itu bisa dikonfirmasi dari dalam novel-novel tersebut?
Tidak mudah untuk melakukan konfirmasi—atau tepatnya verifikasi—apakah nilai-nilai konservatisme ada di dalam novel-novel Little House. Salah satu kesulitan adalah karena novel-novel itu berbentuk cerita, bukan risalah politik. Orang tentu akan mudah menemukan prinsip-prinsip apa pun di dalam novel-novel itu. Begitu juga, apa yang harus dilakukan atau dicari dalam novel-novel itu untuk menemukan prinsip-prinsip konservatisme? Apakah orang harus mengamati plot-plot cerita dan pilihan-pilihan yang diambil oleh para tokoh yang ada di dalam novel atau menyoroti kalimat-kalimat dan ungkapan-ungkapan menonjol di dalam novel? Tampaknya, pilihan yang mana pun tidak mudah karena ada upaya penafsiran yang tentu bersifat subjektif.
Namun, dengan panduan dari artikel Woodsie yang tulisannya sudah dikutip, kita akan mencoba untuk memilih yang kedua: mencari kalimat atau ungkapan-ungkapan yang menonjol di dalam novel. Alasannya adalah karena ungkapan para tokoh atau penulis novel sendiri biasanya—walaupun tidak selalu—mewakili pemikiran penulis (atau dalam konteks ini: pembantu penulis novel, yaitu Rose Wilder Lane, sang pelopor Liberatianisme di Amerika). Ungkapan-ungkapan itu dipilih atau dipilah (secara subjektif): mana yang menonjol dan mengungkapkan suatu filosofi tertentu di dalam novel. Setelah itu, ungkapan-ungkapan itu kita cocokkan dengan beberapa prinsip konservatisme dengan lebih dulu disederhanakan. Novel-novel yang dipilih adalah novel-novel Little House ke-5 sampai novel ke-9 yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (Laura Ingalls sendiri, dari judulnya yang masih beredar di Indonesia, menulis 10 novel).
Catatan Penutup: Novel Bukan Risalah Filsafat Politik
Apa yang dilakukan dengan tabulasi di atas memang tidak memadai sebagai analisis ilmiah. Mungkin “metode” ini tidak bisa disebut metode ilmiah, tetapi semacam “verifikasi sederhana”. Orang akan dengan mudah justru menemukan ungkapan atau hal berbeda dari dalam novel itu untuk mem-“falsifikasi” apa yang ingin dipaparkan di sini. Begitu juga, orang justru bisa melihat bahwa nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang dijadikan matriks/variabel dalam tabel di atas bukanlah nilai atau prinsip konservatisme. Dan, lalu, diskusi lain pun bisa melebar.
Namun, apa yang coba kita tampilkan di sini adalah semacam gambaran, bukan potret yang serbajelas dan pasti, mengenai bagaimana prinsip-prinsip dasar konservatisme memang ditemukan dalam novel-novel Little House karya Laura Ingalls. Mungkin prinsip-prinsip itu dianut atau dipegang juga oleh ideologi atau filsafat politik yang lain. Sama seperti konservatisme, mungkin liberalisme yang dianut oleh partai-partai politik di spektrum politik sebelah kiri juga menganut prinsip “percaya diri” dan “keadilan”.
Namun, justru dua prinsip itu paling kelihatan dalam filsafat politik konservatisme (juga libertarianisme), yaitu kedaulatan individu yang tidak bisa dicampuri pemerintah serta keadilan (kodrati) yang berlaku untuk semua orang. Keyakinan liberalisme seperti yang dianut Partai Demokrat di Amerika Serikat justru membalik prinsip-prinsip itu: pemerintah harus secara aktif ikut campur tangan dalam urusan individu terutama dalam menangani ketidakadilan (sosial) di tengah masyarakat. Konservatisme percaya pada kemampuan individu menyelesaikan masalah (dan yakin campur tangan pemerintah hanya akan merusaknya), sementara liberalisme percaya bahwa ketidakadilan di antara individu hanya bisa diselesaikan oleh campur tangan pemerintah.
Memang, novel bukanlah buku risalah politik atau ekonomi. Namun, novel bisa memberikan para pembaca perspektif politik tertentu. Itulah sebabnya, mengapa novel tetralogi Pramoedya Ananta Toer—walaupun cuma novel—menjadi salah satu yang dilarang selama masa Orde Baru. Novelnya mungkin “tidak berideologi”, tetapi para pembacanya bisa memilih bertindak dan berpikir dengan cara tertentu, yang berbeda atau malah mendukung suatu ideologi atau pandangan politik tertentu. Apakah mungkin melakukan “metode verifikasi sederhana” seperti di atas terhadap karya-karya Pram? Itu tentu menarik sekali.
Namun, salah satu pesan yang bisa ditarik dari apa yang sudah dilakukan di atas adalah: novel atau karya sastra lainnya sebenarnya bersifat ambigu. Begitu karya-karya itu lahir dan dibaca di tengah masyarakat, bukan lagi penulis atau sekelompok orang yang bisa mengklaimnya, melainkan ia menjadi wacana terbuka untuk dibaca. Atas dasar itu, konservatisme Little House atau “ideologi apa pun” karya Pram, misalnya, bukanlah harga mati dan membuat orang “gede rasa” atau malah ketakutan. Di hadapan karya sastra, kita semua adalah sama.
————–
Referensi
Beito, David T. dan Linda Royster Beito. 2008. “Isabel Paterson, Rose Wilder Lane, and Zora Neale Hurston on War,Race, the State, and Liberty” dalam The Independent Review v. XII.
Lane, Rose Wilder. 1943. The Discovery of Freedom: Man’s Struggle Against Authority (New York: The John Day Company).
O’Hear, Anthony. 1998. “Conservatism” dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy. Disunting oleh E. Craig (London: Routledge).
Sargent, Lyman Tower. 1987 (Seventh Edition). Contemporary Political Ideologies: A Comparative Analysis (Homewood, Illinois: Dorsey Press).
Wilder, Laura Ingalls. 2011. Di Tepi Sungai Plum (Jakarta: Penerbit Libri).
Wilder, Laura Ingalls. 2011. Di Pantai Danau Perak (Jakarta: Penerbit Libri).
Wilder, Laura Ingalls. 2011. Musim Dingin yang Panjang (Jakarta: Penerbit Libri).
Wilder, Laura Ingalls. 2011. Kota Kecil di Padang Rumput (Jakarta: Penerbit Libri).
Wilder, Laura Ingalls. 2011. Tahun-Tahun Bahagia (Jakarta: Penerbit Libri).
Wilder, Laura Ingalls. 2011. Empat Tahun Pertama (Jakarta: Penerbit Libri).
Woodside, Christine. 2016. “How ‘Little House on the Prairie’ Built Modern Conservatism”.
*Penulis adalah chief editor buku populer-humaniora di sebuah penerbit. Cerpennya berjudul “Omongan” terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen Nasional Bertemakan Bebas oleh Rumahkayu Publishing. Terbit dalam buku “Tarian Hujan: Kenangan yang Terus Bersemi” (Rumahkayu Publishing, 2015).