Leo Tolstoy: “Apa itu Seni?” Sebuah Perjuangan Memulihkan Seni Modern
Oleh Tony Doludea
Secara umum disepakati bahwa seni merupakan sesuatu yang indah dan bermakna, yang diciptakan oleh manusia secara sadar menggunakan keahlian dan imajinasi.
Bagaimana orang menentukan apa itu seni? Hakikat seni dan penting tidaknya seni secara sosial? Ada tiga kategori untuk membahas pertanyaan tersebut, yaitu representasi, ekspresi dan bentuk.
Seni sebagai representasi (mimesis) atau peniruan, pandangan ini untuk pertama kalinya diajukan oleh Plato. Sebuah karya seni dinilai dan dimaknai berdasarkan kemiripannya dengan subyek yang ditiru. Pandangan ini membuat orang menghargai karya seni Michelangelo, Rubens, Velásquez dan meragukan seni modern cubist Picasso, surrealist Jan Miro, abstracts Kandinsky atau ‘action’ Jackson Pollock.
Pada masa Romantisme, seni dipandang sebagai suatu ekspresi perasaan. Karya seni itu hendak mengungkapkan sebuah perasaan tertentu secara dramatis dan luhur. Karya seni bertujuan untuk menggugah perasaan orang.
Seni sebagai Bentuk (Form). Immanuel Kant melihat bahwa seni itu bukanlah sebuah konsep. Nilai karya seni itu terdapat bukan dalam isi estetisnya, namun harus dinilai hanya pada kualitas Bentuk-nya saja, yaitu balance, rhythm, harmony dan unity-nya. Karena kualitas Formal-nya itu yang menentukan, maka seni menjadi semakin lebih abstrak lagi.
Hingga saat ini, ketiga pengertian tentang makna seni tersebut masih memegang peran penting dalam mendefinisikan apa itu seni, makna dan nilai seni itu sendiri.
Akibatnya kemudian muncul dua kecenderungan doktrinal terkait dengan estetika. Pada satu sisi, terlalu misterius, tidak jelasdan tidak memiliki makna dan tujuan spiritualitas. Di sisi lainnya, praktis, efektif, materialis dan membangkitkan kenikmatan sensual. Sehingga terjadi abstraksi tidak substansial dan tipis tentang “keindahan” dan “Allah”, tanpa makna yang nyata bagi manusia, yang hanya menyisakan segi kedagingan dan sensualitas manusia belaka. Keestetisan objektif menguap ke dalam ketiadaan yang rumit, sementara yang subjektif membusuk ke dalam kenikmatan materialistik atau perasaan subjektif yang tidak dapat dipastikan secara umum. Materialistik atau perasaan itu bersifat subjektif dan personal. Sehingga setiap penjelasan mengenai nilai rasa menjadi sebuah ukuran yang sangat relativisitik.
Lev Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) melihat akibat fatal dalam membangun “estetika” berdasarkan ide keindahan yang terpisah dari suatu tujuan moral dan kesadaran spiritual yang benar. Sebuah relativisme yang merendahkan nilai rasa. Seni menjadi apapun juga yang menyenangkan mereka yang merasa disenangkan olehnya.
Doktrin estetika dunia modern tidak mengaitkan seni dengan perasaan yang muncul dari kesadaran keberagamaan, karena mereka tidak menentukan tujuan moral tertinggi seni dalam kehidupan manusia, sehingga ini mendehumanisasi manusia, membuat manusia a sosial dan mengejar kenikmatan seksualitas yang berarti menghancurkan keluarga.
Maka muncul perdebatan terkait seni, yang bersifat restoratif dan dengan menyodorkan contoh yang subur bagi mereka yang merasa membutuhkan kreatifitas tulus (genuine)untuk menghasilkan karya seni yang sejati dan untuk memahami makna seni dalam hidup manusia di segala zaman. Pertanyaan mengenai tujuan moral seni dalam hidup manusia ini harus segera dijawab, karena seni merupakan satu dari sekian kondisi kehidupan manusia yang sesungguhnya.
Untuk itu Leo Tolstoy menulis What is Art? (1896) bukan untuk mendefinisikan seni dalam kaitannya dengan kemampuannya mengungkapkan bentuk dan keindahan tadi. Buku yang ditulis selama lebih dari limabelas tahun ini merupakan karya otobiografi yang direncanakan oleh Tolstoy sebagai karya seni. Berisikan refleksi matang Tolstoy mengenai letak seni dan ilmu pengetahuan dalam hidup manusia. Selama waktu tersebut, ia selalu kembali menyempurnakan dan memperbaiki tulisannya itu, sebagaimana sebuah karya seni dihasilkan. Akhirnya ia memutuskan untuk menerbitkannya sebagai sebuah bentuk sempurna yang dapat dicapainya.
What is Art? adalah sebuah catatan polemik mengenai letak dan makna seni dalam kehidupan umat manusia. Manusia modern yang saintifik itu menghadapi krisis ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan telah membentuk cakrawala manusia yang salah arah, tidak jelas dan nihilistik. Di dalam cakrawala seperti itu seni menemukan kegunannya yang baru. Tolstoy berusaha mengingatkan pembacanya melalui kengerian akibat politis dari krisis tersebut.
Seni Abad XIX itu tidak terjangkar kepada masalah mendasar kebaradaan manusia. Ia tidak mempertanyakan atau mencari jawaban terkait masalah hakiki kehidupan manusia,supaya dapat menentukan makna kehidupan. Tidak ada kaitannya dengan Allah, tidak menuat kepercayaan moral, tidak menciptakan budaya komunal, tidak mendorong perasaan kekeluargaan dan gagal mengomunikasikan perasaan pengalaman moral manusiawi yang umum.
Menurut Tolstoy seni dan ilmu pengetahuan Abad XIX merupakan sumber merosotnya masyarakat Eropa, yang jatuh ke dalam kebejatan moralitas. Proses dehumanisasi mengakibatkan kengerian dan kekejaman seseorang kepada sesama bangsanya atau juga orang asing. Yang kemudian mewujud dalam Seri Perang Dunia dan budaya komodifikasi kapitalisme global.
Seni dunia modern yang tidak terkait dengan kesadaran spiritual tidak dapat menjadi tulen atau menghumanisasi. Meskipun tidak semua seni yang tulen itu harus berisikan subjek religious semata, namun ia menggugah perasaan dan menginfeksi orang lain selaras dengan kesadaran spiritual pada umumnya.
Tulisan tersebut dapat digambarkan sebagai sebuah polemik melawan semua arus teori dan bentuk seni dalam konteks negara Rusia pada waktu itu. Polemik di sini bukan terbatas menyerang seni Rusia yang memang mengadopsi seluruh teori estetika dan seni modern Eropa. Meskipun nampak pada awalnya karya ini mengritik secara komprehensif dan destuktif semua seni yang dibanggakan oleh Abad XIX, yang hampa tanpa hati, tanpa arah dan membingungkan dan merosot hanyut oleh kritik, pengiklan dan dunia akademis.
Dalam What Is Art? Tolstoy mencantumkan tiga asumsi terkait sifat dasar estetis seni. Pertama, seni adalah suatu bentuk komunikasi. Istilah “komunikasi” ini meliputi dua konsep. Satu adalah ekspresi, proses di mana hal yang subjektif dalam diri sang seniman itu diungkap ke dalam suatu bentuk yang membuatnya dapat digapai oleh orang lain. Dua adalah penjangkitan, proses di mana apa yang diungkapkan oleh seniman itu dipahami oleh orang lain. Penjangkitan artinya pemahaman. Pemirsa karya seni itu terjangkiti ketika ia mengerti apa yang diungkap oleh karya seni tersebut. Seni adalah suatu proses yang melaluinya hal yang subjektif menjadi objektif bagi publik.
Kedua, apa yang diungkapkan oleh seniman dan dimengerti oleh publik dalam sebuah karya seni itu disebut sebagai “perasaan”.
Ketiga, seni mencakup dua kategori, yang luas, yang meliputi yang sempit. Tolstoy membicarakan seni dalam arti luas, yaitu semua seni. Kategori umum ini merupakan semua komunikasi perasaan. Tolstoy memberi contoh arak-arakan dan senda gurau. Arak-arakan mengungkapkan perasaan kekhidmatan dan keagungan, yang mengesankan perasaan penontonnya. Sementar lelucon adalah seni yang mengungkapkan suatu perasaan keserampangan yang ditangkap oleh pendengarnya.
Tolstoy mengajak pembacanya untuk melihat seni itu dengan kemampuannya dalam mengomunikasikan gagasan moralitas. Keindahan seni itu terletak dan ditetukan pada nilai-nilai moral. Bagi Tolstoy, seni merupakan mesin penggerak suatu masyarakat yang baik. Seni menyatukan masyarakat dengan cara menyatukan perasaan untuk meraih kemajuan ke arah hidup yang baik.
Menurut Tolstoy seni tidak dapat diartikan sebagai sebuah pekerjaan untuk menghasilkan keindahan. Karena keindahan tidak dapat ditentukan secara objektif, sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat ukur apa itu seni dan bukan seni. Tujuan seni sesungguhnya bukan menghasilkan keindahan atau memberikan perasaan senang, nikmat atau menghibur. Seni bertujuan untuk komunikasi, mengungkapkan pengalaman seluruh sisi dan aspek kehidupan manusia.
Tolstoy mengungkapkan bahwa kualitas terpenting dalam seni apa saja adalah ketulusan (sincerity). Karya seni sejati itu mengungkapkan perasaan yang tulen (original). Perasaan tertinggi yang diungkapkan seni ini terkait dengan pengalaman rohani. Perasaan itu meliputi: sedih, bahagia, marah, duka, takut. Ia juga menyebutkan beberapa tindakan fisik yang menandakan hadirnya perasaan: meratap, tertawa, merintih, menangis. Ia kemudian memasukkan keadaan umum fisiologi: hampa, pedih. Ia menyebutkan juga beberapa tindakan pikiran secara umum: tegas, kagum,hormat, puas. Sehingga seseorang biasanya dinilai dari sudut pandang akal objektif, namun sesungguhnya pikiran demikian juga perasaannnya itu masih jauh lebih luas lagi.
Tolstoy membedakan Yang Baik (the good) dengan Yang Indah (the beautiful). Yang Baik itu kekal, tujuan tertinggi hidup manusia. Tidak peduli bagaimana pun orang memahami Yang Baik, hidup manusia itu tidak lain adalah suatu usaha mencapai Yang Baik, yaitu Allah.
Tolstoy memandang seni yang baik itu jelasdan dapat dimengerti. Sebaliknya, seni yang buruk itu tidak jelas dan tidak dapat dimengerti. Seni yang baik memiliki sebuah bentuk dan isi yang menyatu dengan gagasan dan perasaan yang membangkitkannya. Sementara seni yang buruk tidak memiliki kesatuan antara bentuk dan isi dengan gagasan dan perasaan yang membangkitkannya. Seni yang buruk itu rendahan, mengulang-ulang, kasar, mentah, kaku, dibuat-buat, cari perhatian, berlebih-lebihan dan dangkal.
Semakin seni itu membatasi diri pada pemirsa yang terbatas, maka semakin kabur dan tak terpahami oleh orang banyak di luar sana. Seni yang baik tidak membuat banyak orang menjadi bingung dan tidak mengerti.
Seni yang baik itu mengomunikasikan maknanya ke banyak orang, karena ia mampu mengungkapkan maknanya itu dengan cara yang dapat dipahami oleh setiap orang. Seni yang baik itu mampu menyampaikan pengalaman seniman tentang Yang Baik kepada orang lain, sehingga mereka terjangkiti oleh perasaan tersebut.
Gagasan Tolstoy tentang seni itu sifatnya “universal”, artinya relevan bagi setiap orang. Seni gayuh kepada setiap sisi keadaan hidup manusia apapun juga. Oleh sebab itu seni ditujukan untuk bersifat “universal”. Seni menjadi “universal” jika ia mengungkapkan pikiran dan perasaan yang dapat dialami oleh semua manusia.
Menurut Tolstoy setiap orang dapat mengalami kesadaran dan perasaan rohani. Sehingga seni itu bersifat “universal” jika ia mengungkapkan perasaan rohani tersebut. Persepsi atau wawasan rohani yang diungkapkan oleh seni itu merupakan kesejahteraan manusia yang ditopang oleh pemahaman dan keselarasan sosial. Seni yang sungguh “universal” mengungkapkan kesadaran bahwa umat manusia harus saling manghormati, harus berusaha saling memahami dan berbagi perasaan persaudaraan satu dengan yang lainnya.
Tolstoy menemukan profesionalisme menyebabkan para seniman kehilangan ketulusan. Apabila seniman harus menghasilkan karya seni supaya dapat hidup, maka karya seni yang dihasilkannya itu dusta dan tidak tulus.
Tolstoy mengajukan musik Bach dan Mozart, puisi Goethe dan Hugo, dan novel Dickens dan Dostoyevsky sebagai contoh seni yang “baik”. Puisi Baudelaire dan Mallarmé, pertujukan Ibsen dan musik Wagner dan Liszt sebagai contoh seni yang “buruk”.
Tolstoy melihat bahwa penafsiran dan kritik seni tidak relevan dan tidak penting, karena seni yang baik dengan sendirinya mampu mengungkapkan perasaan dan pikiran sang seniman tentang Yang Baik itu secarajelas dapat dimengerti oleh banyak orang. Menafsirkan dan mengritik perasaan dan pikiran seniman seperti itu tentu saja berlebihan, karena seni memang bertujuan untuk mengomunikasikan perasaan dan pikiran yang tidak dapat diungkapkan oleh kata dan kalimat apapun.
Tolstoy percaya bahwa seni tidak dapat diajarkan, karena arahan dan bimbingan untuk berkesenian tidak dapat menolong orang untuk dapat mengomunikasikan perasaan dan pikirannya secara lebih tulus. Mengajar seni itu sama saja menghancurkan spontanitas dan kepribadian seniman. Usaha mengajarkan seni membuat seniman hanya meniru-niru karya seni orang lain saja.
Masalah yang muncul kemudian dari penjelasan Tolstoy mengenai seni di atas adalah apakah nilai estetis itu sama dengan nilai moral dan sosial?
*****
Makna dan nilai seni itu tergantung pada pemahaman orang mengenai makna hidup manusia. Atas apa yang dilihatnya sebagai yang baik dan yang jahat dalam kehidupannya, yang ditentukan oleh religiusitas manusia. Semua seni tulen harus rohaniah dan terkait erat dengan cakrawala orang yang menciptakannya.
Namun kemudian puncaknya ia menyerukan masa depan suatu seni baru yang berperikemanusiaan. Tolstoy menyajikan harapan dan penghiburan bagi manusia modern dalam tulisannya tersebut dengan terus menjelaskan mengenai makna sesungguhnya seni dan menunjukkan suatu pemugaran di masa depan. Ia membuka jalan bagi seni berprikemanusiaan yang sejati bagi masa depan dan membuat janji yang mencengangkan yang nyaris ajaib dan utopis yang muncul dari pulihnya seni tulen.
Bagi Tolstoy, gaya baru seni dan ilmu pengetahuan serta teori estetika bukan saja ekspresi kecenderungan artis-intelektual, namun juga bagian seluruh watak kehidupan manusia dan politik yang berakar pada sejarah Renaisans dan Pencerahan Eropa. Watak yang percaya pada pencapaian intelektual manusia, yang kemudian merendahkan seluruh pengalaman, pengetahuan, kepekaan dan rasa zaman-zaman sebelumnya.
Pencapaian kemajuan terbaik yang membentuk masyarakat paling beradab dan berbudaya. Kekaguman kepada kekuatan pengetahuan yang tidak ada batasnya, yang membentuk kepercayaan bahwa seni merupakan sebuah bukti mahkota visi luhur, pencapaian dan kenikmatan hidup duniawi.
Di sisi lain, dampak dehumanisasi yang tak bermartabat, yang mengubah manusia menjadi penghibur lara demi kekayaan dengan kemunafikan, pujian dan pengakuan keistimewaan serta derajat mereka, yang menghancurkan masyarakat murni umat manusia.
Tolstoy memberikan contoh kebodohan dan ketidaksopanan seni: makanan, parfum, pakaian, pertunjukan sulap, sirkus, akrobat dan benda seni remeh-temeh, yang menyajikan kenikmatan yang berakibat kepada relasi seksual rendah dan bejat.
Tolstoy memberikan ulasan sederhana, jelas, menyentuh tentang seni yang keluar dari perasaan akrab, yang membentuk ikatan batin yang dapat dialami oleh semua orang.
Seni yang akrab itu lebih feminin dan terkait dengan cinta, kelembutan, kepedulian, kegembiraan dan solidaritas terhadap penderitaan orang lain, yang mengukuhkan kebaikan manusia dan kehidupan. Kedekatan manusia dengan mahluk lain dan alam raya. Penyangkalan dan pengurbanan diri menjadi keselarasan keutamaan dalam keselarasan sebagai kerohanian yang nyata. Kemaskulinan dalam bentuk kerja keras menghadapi tantangan kehidupan.
Kemanusiaan bergantung pada seni tulen, sementara dunia modern mengalami krisis yang mengakibatkan dehumanisasi. Nasib umat manusia dipertaruhkan karena krisi tersebut.
Tolstoy mengajarkan berlawanan dengan pemahaman saat itu, bahwa rasa dapat rusak akibat terpapar hal yang buruk, bejat atau seni palsu dan karya-karya seperti itu mengelabui dan tidak wajar serta tidak dapat perbaikan.
*****
Tolstoy berulang-ulang menekankan bahwa semua seni tulen itu harus selaras dengan kesadaran rohaniah. Sebuah seni modern yang tulus yang selaras dengan kesadaran rohaniah zamanya itu akan menggugah kebenaran dan kealamiahan dalam diri manusia. Seni yang tulus juga selaras dengan kehidupan yang wajar di mana orang-orang bekerja keras dalam lingkungan alam yang murni. Seni seperti ini akan terasa hambar dan membosankan bagi mereka yang terbiasa kepada ketidakwarasan, kedunguan dan kemunafikan.
Menurut William James (1842-1910) pengalaman keberagamaan adalah semua perasaan, tindakan dan pengalaman seseorang, yang diyakini terkait dengan relasi seseorang dengan yang ilahi dan itu mendekatkan dirinya kepada-Nya. Hal ini dapat dialaminya sebagai hal yang dilihat, didengar dan dirasa. Pengalaman keberagamaan tersebut bersifat ineffable, tidak dapat dijelaskan dan harus dialami langsung supaya dapat dipahami; noetic, pengalaman dipahami sebagai suatu pengetahuan yang melaluinya kebenaran ilahi dapat dipelajari; transient, pengalaman yang waktunya singkat terbatas; passivity, pengalaman yang tidak dikendalikan datangnya dan perginya oleh orang yang mengalaminya.
Oleh Rudolf Otto (1869-1937) pengalaman ini disebut sebagai pengalaman tentang Yang Nomunious, yaitu misteri yang menggetarkan dan memesona (mysterium tremendum et fascinans). Otto membagi enam jenis bagaimana yang Nominous itu dialami oleh berbagai agama, yaitu tremendum, perasaan sekaligus kagum dan ngeri; majestas, panggilan untuk berserah penuh; energeia,kekuatan, tenaga, kasih dan cinta; alienum, jurang tak berdasar ilahiah di balik pemahaman manusia yang ilusif; fascinans, keselamatan selalu hadir di hadirat yang sakral; augustus, kekuatan yang menghukum namun membasuh bersih manusia.
Seni modern itu salah dan palsu karena tidak memenuhi tujuan moral seni asli dan tidak keluar dari kesadaran rohaniah yang benar. Seni seperti ini mendehumanisasikan dan menyebabkan berbagai bentuk kebejatan moral. Seni seperti ini juga memusnahkan kapasitas dan potensi yang dibuat oleh seni tulen.
Marcus Aurelius Antoninus Augustus (121-180) pernah mangatakan bahwa kehidupan seorang orator sejati itu jauh lebih menarik daripada khotbahnya yang indah. Lalu bagaimana dengan seniman tulen, di negeri ini? Pengalaman rohani bergumul dengan mysterium tremendum et fascinans, karya seni dan kehidupannya?
——
Kepustakaan
James, William. The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature. Harvard University Press, Cambridge, Masschusetts, 1985.
Knapp, Liza. Leo Tolstoy: A Very Short Introduction. Oxford University Press, Oxford, 2019.
Orwin, Donna Tussing. Tolstoy’s Art and Thought, 1847-1880.
Princeton University Press, New Jersey, 1993.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. Oxford University Press, Oxford, 1950.
Tolstoy, Leo. What is Art? Penguin Books, London, 1995.
*Penulis adalah Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia.