Ada Dead Poet Society dalam Film Naga Naga Naga
Oleh Beni Benke
Seberapa penting pendidikan bagi anak-anak kita. Seberapa ideal sistem pendidikan dengan berbagai kurikulumnya di sekolahan berhasil menciptakan manusia seutuhnya. Menjadi manusia pintar sekaligus teruji akhlaknya. Orang pintar ribuan jumlahnya. Tapi yang baik akhlak dan adabnya?
Dalam film Naga Naga Naga yang ditulis dan disutradarai Deddy Mizwar, dan diproduseri Zairin Zain persoalan pendidikan, sekolahan dan sistem ajar dikisahkan dengan sangat menarik sekali, sekaligus jenaka .
Semenarik menikmati kekuatan dialog dari film yang skenarionya ditulis Wiraputra Basri. Apalagi kemampuan akting yang natural dari Deddy Mizwar, Beby Tsabina, Tora Sudiro, dan Wulan Guritno makin membuat film yang akan beredar mulai 16 Juni 2022 tambah berisi.
Kita tahu, pendidikan diharapkan dapat mengajarkan kepada peserta didik agar dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, mengajarkan pentingnya kerja keras, ketekunan, dan pada saat yang sama, membantu siswa atau muridnya tumbuh dan berkembang secara internal maupun sosial.
Harapannya, dapat menciptakan masyarakat yang lebih baik untuk ditinggali, dengan memahami dan menghormati hukum dan peraturan yang ada. Demikian inti pendidikan menurut Ivan Illich, filsuf, pendeta dan ahli pendidikan dalam buku Deschooling Society (1971).
Konsekuensi vitalnya pendidikan dan sekolahan itulah yang diceritakan dengan apik, lucu, dan tanpa harus kehilangan kedalaman di film Naga Naga Naga. Yang sejatinya mengkritik habis-habisan sistem ajar di Indonesia.
Yang sebagaimana kita ketahui bersama, kurikulum pendidikan di Indonesia, pada jenjang apa saja, kadang dan seringkali memaksa “ikan untuk memanjat pohon,” dan “kucing berenang di kolam”. Meski semua tahu, setiap anak atau siswa didik memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda-beda. Dan tugas orang tua, juga sistem pendidikan ada di sana. Untuk turut menemukan, mengembangkan dan memupuk bakat dan kecintaan anak-anak didiknya.
Bukan malah memaksakan kehendak bebas dan bakat peserta didiknya.
Sebab, tidak semua anak suka dan juara Matematika apalagi Fisika. Tapi anak yang gemar dua hal itu, belum tentu juga ahli olahraga. Dan diantara ilmuwan, birokrat, olahragawan, dan sejarawan, selalu ada seniman diantaranya.
“Jadi apa yang harus kita takutkan atas masa depan anak-anak kita, kecuali kita turut membantu mereka menemukan dimana minatnya,” demikian kira-kira nasehat Naga (Deddy Mizwar), kakek yang terlibat aktif dalam masalah pendidikan cucu tercinta satu-satunya, Monaga (Cut Beby Tshabina). Yang kebetulan hobby dikeluarkan dari sekolahnya. Karena gemar gelut, tersebab membela diri. Demikian pengakuan Monaga kepada Ompung Naga, kakek tersayangnya.
Support System
Untungnya Monaga mempunyai support system yang kuat di keluarga intinya. Ayahnya, Bonaga (Tora Sudiro), putra Naga, adalah lulusan sekolah bergengsi dari manca negara, yang membekali diri dengan kelapangan pengetahuan. Seturut dengan kesuksesan gurita bisnisnya. Sehingga kekayaannya berbanding lurus dengan kelapangan pengetahuan dan hatinya.
“Mungkin anak gwe terlalu jenius untuk sekolah dan gurunya,” kata Bonaga kepada tiga karib, dan juga bawahannya; Darius Sinathrya (sebagai Pomo), Uli Herdinansyah (Ronny), dan Mike Lucock (Jaki). Tiga sekawan ini seperti punakawan saja; Gareng, Petruk, Bagong. Yang senantiasa menerbitkan keriaan. Sehingga setiap kemunculannya senantiasa menerbitkan tawa penontonnya yang menyesak di premiere Naga Naga Naga pada Rabu (8/6/2022) malam di Jakarta.
Sebagai punakawan, atau pengikut kesatria (dalam hal ini majikan mereka, yaitu Bonaga) dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa, tugas Punakawan memang menjadi paidon, tempat menampung curhat, sekaligus memberikan penghiburan kepada bosnya; Bonaga.
Sedangkan ibu Monaga, yaitu Monita (Wulan Guritno) juga tak kalah mentereng katar belakang pendidikannya. Lulusan summa cumlaude sebuah universitas ternama. Yang mempunyai rencana besar, presisi, dan harapan sekaligus tekanan yang tidak kecil kepada putri semata wayangnya; Monaga.
Ya, nasib Monaga nyaris terlalu baik untuk menjadi nyata, too good to be true. Seperti dongeng saja. Tapi apa yang tidak mungkin dalam dunia film. Ayahnya, Bonaga keren. Tinggi besar, tampan, kaya raya dan berpikiran terbuka. Yang senantiasa menyediakan ruang permakluman, dan maaf kepada putri terkasihnya. Bahkan sebelum kesalahan dibuat. Tipikal orang tua kebanyakan.
Kakeknya jauh lebih keren, jenderal yang turut angkat senjata, meski pada sebuah masa lari dari bangku sekolahan, dan memilih menjadi pencopet profesional, sebelum berjuang turut memerdekakan bangsa ini. Sebagaimana diceritakan dalam film Nagabonar (1986), dan Nagabonar Jadi 2 (2007).
Dari mereka bertiga inilah judul Naga Naga Naga (2022), mengada. Naga tiga generasi. Disempurnakan kehadiran sosok “ibu pertiwi” yang protektif bernama Monita. Sempurna.
Sebelum akhirnya Monaga bersiborok nasib dengan Nira ( Zsa Zsa Utari ) dan kawan sepermainannya, yang akhirnya menguji kemanusiaannya, dan sistem pendidikan yang mapan.
Dead Poet Society
Menonton Naga Naga Naga mengingkatkan kita pada film Dead Poet Society (1989). Hanya dalam versi produksi film Demi Gisela Citra Sinema dan MD Pictures, problematik dunia pendidikannya sangat Indonesia sekali.
Bedanya, dalam Dead Poet Society arahan Peter Weir, John Keating (Robin William), guru bahasa Inggris progresif, mencoba mendorong murid-muridnya untuk berani melepaskan diri dari norma yang ada. Juga berani melawan status quo dunia pendidikan yang mapan, sekaligus lebih berani menjalani hidup tanpa penyesalan.
Pesan utama Dead Poets Society, dan Naga Naga Naga nyaris serupa. Yaitu “Isi dan petik hari,” atau “Carpe diem,” di manapun kita belajar dan di sekolah apapun namanya. Sekaligus memanfaatkan setiap kesempatan yang datang di kehidupan kita.
Sekolahan bukan segalanya. Sekolah bisa di mana saja, dan kapan saja. Tidak sekolah juga tidak mengapa. Buktinya, tak terhitung orang penting yang membesar nirsekolahan. Bahkan jadi presiden juga ada . Tapi belajar dan menuntut ilmu adalah yang paling utama. Belajar dari mana saja dan kapan saja.
Karena metode pendidikan tidak harus ortodoks dan tradisional sebagaimana diajarkan lembaga pendidikan mapan. Ijasah bukan segalanya. Toh banyak koruptor ijasahnya berbilang-bilang lulusan dari sekolahan mentereng.
Tidak ada jaminan anak-anak kita sukses sebagai manusia meski latar pendidikannya luar biasa, jika akhlaknya tidak ke mana-mana. Makanya jangan heran jika Monaga dengan sinis mengatakan, “Negeri ini krisis akhlak!”. Tapi tidak memilih sekolah, juga terlalu berat konsekwensinya.
Karena lembaga pendidikan sepatutnya menjadi tempat mengembangkan pemikiran kritis. Ini sangat penting agar logika peserta didik saat membuat keputusan dan berinteraksi dengan orang lain menjadi terjaga dan terukur. Karena betapapun, sekolahan seyogyanya tetap menjadi kurusetra untuk meningkatkan kreativitas, ketajaman sekaligus kedalaman berpikir siswa didiknya.
Semiotika
Oh ya, di film Naga Naga Naga, banyak semiotika di dalamnya. Jika kita tidak cermat, terlalu banyak “tanda yang tak terbaca”. Karenanya, kita perlu memahami Hermeneutika. Ilmu yang mempelajari tentang interpretasi makna. Menafsir dialog, dualog juga monolog tokohnya. Juga “membaca” adegan di sana.
Seperti saat Naga dan Monaga bertanya kepada seorang staff guru. Siapa yang menyusun peraturan penerimaan siswa dengan standar dan sistem zonasinya? Maka dijawab, Kementrian Pendidikan. Siapa yang menunjuk Menterinya, Presiden tentu saja. Lalu siapa yang memilih Presiden, rakyat tentu saja. “Oh, mungkin rakyatnya yang sedang salah,” kata Monaga kepada Naga.
Ini satir tingkat tinggi. Karena mengingatkan kepada guyonan Gus Dur. Yang mengatakan, bahwa tidak benar jika Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan (Vox populi, vox dei). Karena rakyat juga bisa membuat kesalahan. Suara rakyat ya suara rakyat. Suara Tuhan adalah Suara Tuhan. Rakyat bisa berbuat kesalahan, Tuhan tidak!
Buktinya, pada sebuah massa, rakyat AS pernah dua kali membuat kesalahan saat memilih George W. Bush sebagai Presiden AS selama dua periode, pada 2001-2009. Yang kemudian dia memulai perang dan menginvasi Irak, dan membuat negeri itu porak poranda sampai sekarang. Dengan tuduhan yang tak pernah terbukti kebenarannya, jika Saddam Hussein memiliki senjata biologis.
Demikian halnya saat foto Presiden Soeharto tergeletak di atas tumpukan beras, di sebuah kelas, yang telah malihrupa menjadi gudang beras. Yang bersebelahan dengan kandang kambing. Yang menjadi simbol pada masa Soeharto, Indonesia mengalami swasembada beras. Sedangkan sekarang?
Demikianlah film Naga Naga Naga, mempesona dengan cara jenakanya. Menggugat dan mempertanyakan dengan cara paling menyenangkan. Dengan tetap mempertahankan ketajaman.
*Penulis adalah wartawan