Pelestarian Rumah Pohon Suku Korowai Sebagai Objek Wisata Budaya Berkelanjutan (Sustainable Cultural Resources) Berbasis Eco-culture
Oleh Hari Suroto
Suku Korowai merupakan suku yang unik di pesisir selatan Papua. Suku ini terkenal di dunia luar setelah sebuah artikel dengan foto-foto yang luar biasa dimuat dalam majalah National Geographic pada Februari 1996. Suku ini hidup di hutan hujan tropis, dengan rumah dibangun di atas pohon-pohon dengan ketinggian sekitar 12 hingga 35 meter dari permukaan tanah.
Rumah pohon yang menakjubkan tingginya jelas tidak normal, karena angin dengan cepat dapat menghancurkannya. Semakin tinggi rumah pohon, semakin aman keluarga yang tinggal di dalamnya dari ancaman pemburu kepala, binatang buas, dan tidak terjangkau oleh nyamuk malaria. Namun alasan yang paling utama sebuah rumah pohon dibangun sangat tinggi adalah ketakutan suku Korowai terhadap serangan ‘laleo’ atau iblis yang kejam. Makhluk yang berjalan seperti mayat hidup yang berkeliran pada malam hari, mencari kerabat mereka.
Sebuah rumah pohon dapat diselesaikan dalam kurun waktu dua hingga tujuh hari, dengan memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya yaitu kulit pohon, ilalang, daun sagu, pelepah sagu, rotan, akar, dan ranting pohon. Beragam jenis pohon yang digunakan untuk membangun sebuah rumah pohon, suku Korowai tidak memanfaatkan jenis kayu tertentu, namun biasanya pohon berdiameter minimal satu meter menjadi pusat penyangga rumah pohon.
Rumah pohon yang lebih besar memiliki penyekat ruang dan pintu masuk berbentuk runcing di kedua ujungnya, satu pintu untuk pria dan lainnya untuk wanita. Perapian dari tanah liat digantungkan di atas ruang terbuka sehingga mudah dipotong dan dijatuhkan jika bara api tidak terkendali. Rata-rata rumah pohon berukuran sekitar tujuh kali sepuluh meter. Tulang sisa makanan ditempatkan di bawah atap. Seringkali rumah dibagi dengan dinding penyekat untuk memisahkan jenis kelamin serta menghindari pandangan dan kontak dengan kerabat tertentu (Muller, 2011: 92).
Rumah pohon merupakan produk budaya visual suku Korowai sekaligus sebagai bentuk penciptaan ruang oleh suku Korowai dalam mewadai aktivitasnya. Konstruksi rumah pohon hanya dapat bertahan sekitar dua hingga tiga tahun. Arsitektur rumah pohon mencakup aspek lingkungan hidup, kehidupan sosial, aktivitas suatu komunitas dan keterkaitan dengan budaya. Rumah pohon merupakan bukti kecerdasan suku Korowai yang mampu membangun pemukiman pada area yang sulit untuk ditinggali.
Suku korowai hidup bersama dalam satu marga (family). Setiap bidang tanah yang telah dibersihkan terdapat sekitar dua atau tiga rumah pohon. Seringkali kematian seorang anggota keluarga menyebabkan perpindahan ke lokasi lain. Kebanyakan penguburan dilakukan di bawah rumah pohon.
Secara tradisional, mereka hidup terisolasi dengan berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan. Batas-batas wilayah geografis setiap marga mencakup wilayah-wilayah tertentu yang terkait erat dengan roh-roh leluhur. Ritual ulat sagu, pusat kehidupan masyarakat, termasuk mempersembahkan babi, dilakukan dekat lokasi suci. Seringkali, lokasi ini didasarkan pada hubungan antara ciri-ciri khas secara geografis dan mitos asal-usul marga. Batas pemukiman Suku Korowai secara tradisional berupa bentang alam seperti jurang atau sungai.
Atap rumah pohon terbuat dari daun sagu, dinding menggunakan pelepah sagu, atau anyaman daun sagu atau kulit kayu dan lantai papan kulit kayu. Area rumah Suku Korowai dibagi berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki berada di sisi timur, perempuan harus menempati posisi barat. Sekat berupa tiang yang ditancap ke tanah. Setiap rumah pohon, memiliki beberapa tungku yang keberadaannya disesuaikan dengan jumlah keluarga. Selain untuk masak, asap pembakaran tungku tersebut juga dimanfaatkan untuk mengawetkan konstruksi kayu dari pelapukan. Tangga panjang terbuat dari batang pohon digunakan untuk menjangkau rumah.
Selain rumah pohon, Suku Korowai juga kerap membuat bangunan untuk keperluan lain. Misalnya saja rumah gill untuk area pesta ulat sagu serta rumah bagi perempuan yang hendak melahirkan. Menariknya, rumah ini hanya bisa digunakan untuk satu perempuan dan tidak dapat digunakan kembali (http://www.harnas.co).
Selama masa sebelum terjadi kontak serta untuk beberapa tahun setelahnya, sebagian besar penduduk suku Korowai menganggap setiap materi dan orang-orang dari dunia luar sebagai iblis. Sebutan ‘laleo’, iblis mati yang berjalan, diterapkan bagi semua orang asing, termasuk orang orang Papua dari daerah lain. Beras dianggap sebagai sagu milik iblis, atap logam seperti ilalang dari iblis. Selama beberapa waktu mereka menolak barang-barang yang dibawa masuk untuk pertukaran atau agar dapat menjadi teman dari suku Korowai. Mereka bahkan menolak barang-barang yang bermanfaat seperti mata kail dan kapak logam. Kemudian, berangsur-angsur, masyarakat Korowai menerima tawaran barang-barang modern yang akhirnya menjadi penting (Muller, 2011: 94), seperti korek api gas, parang logam, makanan kaleng dan mi instan.
Suku Korowai di Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi yang sebelumnya tinggal terpencar-pencar di hutan-hutan rawa antara Sungai Dairom Kabur dan Sungai Sirek, telah dimukimkan kembali oleh pemerintah setempat di Kampung Basman. Suku Korowai di Kampung Basman mulai menempati rumah relokasi secara gratis berupa rumah panggung beratap seng dan berdinding papan. Dengan program ’resetlement’ ini dikhawatirkan tradisi membangun rumah pohon Suku Korowai akan hilang.
Menurut Cunningham (2005: 12), pelestarian merupakan keseluruhan upaya untuk menjaga memori pada suatu artefak bagi generasi mendatang. Pelestarian bisa dilakukan dalam bentuk menjaga objek fisik, atau dalam bentuk mendokumentasikannya, sedangkan konservasi adalah tindakan menjaga artefak fisik.
Pelestarian rumah pohon tidak hanya mencakup fisik saja tetapi juga pengetahuan dan keahlian suku Korowai dalam membangun rumah. Kearifan membangun rumah pohon bisa menjadi kajian menarik untuk perkembangan ilmu pengetahuan modern. Tradisi rumah pohon perlu dilestarikan, salah satu hal yang utama adalah menggali dan mengangkat nilai-nilai budaya positif Suku Korowai sebagai bagian dari pengajaran kurikulum sekolah.
Arsitektur rumah pohon dapat dikelola sebagai obyek wisata budaya berkelanjutan (sustainable cultural resources) berbasis eco-culture. Suku Korowai akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan dalam melestarikan budaya. Alternatif lainnya yaitu dengan mengembangkan sebuah kawasan yang luas dalam bentuk museum terbuka sehingga arsitektur rumah pohon dapat terpelihara dengan baik selain itu juga sebagai wadah serta tempat untuk mengekspresikan budaya yang dimiliki.
*Hari Suroto peneliti arkeologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
———-
Daftar Pustaka
Cunningham, Allen. 2005. Modern Movement Heritage. London and New York: Taylor & Francis e-Library.
http://www.harnas.co/2016/03/16/suku-korowai-di-mata-arsitek diakses pada 1 Juli 2016 pukul 07.00 WIT.
Muller, Kal. 2011. Pesisir Selatan Papua. Daisy World Books.