Mengenal Pulau Asei Surga Lukisan Kulit Kayu di Sentani Papua
Oleh Hari Suroto
Pulau Asei, Distrik Sentani timur, Kabupaten Jayapura, Papua dikenal sebagai surganya lukisan kulit kayu, masyarakat Asei mahir melukis dengan media kulit kayu. Pengetahuan melukis ini diwariskan oleh nenek moyang mereka dan sudah ada sejak zaman prasejarah.
Kulit kayu yang dijadikan sebagai media melukis yaitu kulit pohon kombouw (ficus variagata). Kulit kayu kombouw memiliki tekstur yang bagus sebagai media melukis. Kulit kayu dilukis menggunakan warna-warna yang berasal dari pigmen tumbuhan, arang, tanah liat dan kapur sirih. Motif lukisan yang biasa dibuat yaitu fauna, flora dan lambang.
Lukisan kulit kayu ini disebut malo atau maro, turis asing yang berkunjung ke Pulau Asei menyebutnya bark painting. Pada 1960-an, beberapa malo dikirim ke Eropa. Bahkan seniman Prancis, Viot mengkoleksi malo ini. Malo koleksi Viot dipamerkan di Musee d’Ethnographie du Trocadero, Paris.
Lukisan Kulit Kayu ini dilukis dengan menggunakan tangkai buah. Penggunaan tangkai buah ini akan mempengaruhi guratan lukisan yang dibuat. Media kulit kayu dari bagian batang pohon khombouw yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, jadi mudah untuk dilukis. Proses pembuatannya, setelah dikupas, kulit kayu permukaanya diratakan dengan cara dipukul-pukul, dijemur dan dibiarkan kering, setelah kering lalu siap untuk dilukis.
Tidak hanya melukis motif asli Sentani, pelukis kulit kayu di Pulau Asei mengakui motif megalitik Tutari yang merupakan motif prasejarah telah menginspirasi pelukis kulit kayu untuk terus berkreasi. Corry Ohee, pelukis kulit kayu Pulau Asei menuturkan motif megalitik Tutari, walaupun bentuknya sederhana, namun hasil karya yang ditonjolkan menggambarkan karya seni prasejarah di Danau Sentani. Motif megalitik Tutari merupakan motif tertua karena peninggalan manusia prasejarah di Danau Sentani.
Corry menyebutkan motif Tutari merupakan motif tidak mendetail. Berbeda selama ini yang dilukis oleh pelukis kulit kayu di Pulau Asei, pada umumnya motif lukisan kulit kayu Asei lebih detail, halus, dan dikreasikan dengan perkembangan seni saat ini atau selera wisatawan. Wisatawan domestik lebih suka motif lukisan tifa, burung cenderawasih, honai, atau lebih bernuansa Papua dengan warna cerah, terang dan kekinian.
Saat ini kebanyakan pelukis kulit kayu lebih banyak membuat motif daun palem, awan, cicak, kadal, ikan, buaya, kelelawar, dan tikus air. Sedangkan wisatawan mancanegara lebih suka pada motif asli Sentani dengan warna asli yaitu hitam, merah dan putih.
Corry mengakui ia dan sejumlah pelukis kulit kayu lainnya melukis motif megalitik Tutari, untuk para kolektor seni dan turis asing. Corry yakin dengan motif yang lebih tua, akan bernilai tinggi. Nyatanya, walaupun motif Tutari kelihatan sederhana bentuknya, ketika dilukiskan pada kulit kayu membutuhkan pengamatan dan waktu yang lebih lama agar detail seperti aslinya, sehingga hasilnya lebih artistik.
Saat ini pohon kombouw sudah sulit dijumpai di sekitar Danau Sentani maupun Pegunungan Cyclops. Untuk mendapatkannya harus masuk hutan di perbatasan Kabupaten Jayapura dengan Sarmi. Masyarakat Asei menggunakan kulit pohon sukun yang kualitasnya lebih rendah sebagai pengganti. Bahkan beberapa kali bahan lukisan kulit kayu, pelukis Kampung Asei mendatangkan dari Yogyakarta, dengan harga per lembarnya 37 ribu rupiah untuk ukuran 1 x 1 meter.
Kulit kayu yang didatangkan dari Yogyakarta merupakan kulit kayu pohon deluang, ampuro, kapuo yang banyak tumbuh alami di Kalimantan. Selain itu juga kulit kayu pohon lantung yang banyak tumbuh alami di Sumatera. Sementara, penjual kulit kayu di Yogyakarta, mendatangkan kulit kayu dari Kalimantan dan Sumatera, kemudian dijual ke Papua.
Untuk itu perlu digalakkan penanaman kembali pohon kombouw di sekitar Danau Sentani dan pegunungan Cyclops. Atau dalam event Festival Danau Sentani, pengunjung diajak untuk menanam bibit pohon kombouw.
Tinggalan Megalitik di Pulau Asei
Sebuah menhir terdapat di Pulau Asei, berada di tepi Danau Sentani. Menhir ini berkaitan erat dengan sejarah leluhur dan kehidupan masyarakat Pulau Asei. Menhir ini nampak terlihat jelas, saat permukaan air Danau Sentani turun. Menhir berukuran lebar sekitar 30 cm dan panjang sekitar 50 cm. Keberadaan menhir ini sudah ada sejak masa prasejarah, ketika manusia waktu itu sudah tinggal menetap, mengenal bercocok tanam, mencari ikan, dan berburu. Berdasarkan konteks budaya yang berkembang pada masa prasejarah, maka menhir ini diperkirakan berusia sejaman dengan batu berlukis di Situs Megalitik Tutari.
Menhir ini memiliki ukiran bermotif fouw. Menurut Corry Ohee fouw adalah motif milik ondoafi berbentuk spiral. Makna dari simbol ini adalah ikatan kebersamaan dan kekeluargaan. Makna inilah yang sampai saat ini terus dipertahankan oleh masyarakat Pulau Asei. Oleh karena itu, dalam kehidupan orang Sentani secara kekeluargaan hidupnya saling mengikat antara satu dengan yang lainnya.
Ukiran fouw biasanya diukir di rumah ondoafi. Karena ondoafi adalah tempat berkumpulnya masyarakat dan musyarawah membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan persoalan yang mereka hadapi.
Motif geometris di Pulau Asei yang oleh masyarakat Asei disebut dengan fouw atau masyarakat Sentani menyebutnya yoniki. Motif ini berupa lingkaran yang berpusat pada sebuah titik. Pusat lingkaran melambangkan ondofolo yaitu pemimpin yang memegang kendali pemerintah adat. Selain itu, terdapat lingkaran-lingkaran yang melambangkan strata sosial masyarakat Sentani (kotelo, akona dan yobu yoholom). Pada intinya, fouw menjelaskan, setiap kegiatan dan keputusan adat diatur oleh ondofolo dan dilaksanakan secara bergotong royong oleh semua lapisan masyarakat.
Berdasarkan pengamatan terhadap jenis batuan pada menhir, jenis batu ini tidak dijumpai di Pulau Asei. Namun Janis batuan ini mudah didapatkan di Cyclops, jadi bisa dipastikan bahwa jenis batuan ini memang sengaja didatangkan ke Pulau Asei dari Cyclops.
Untuk mendatangkan batu ini ke Pulau Asei, pada masa lalu dilakukan oleh banyak orang, tentu saja dengan cara bergotong royong. Dalam hal ini, terdapat seorang pemimpin yang bisa mengkoordinasi masyarakatnya untuk membawa batu ini dari Cyclops.
*Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi