Mengenal Noken Sebagai Warisan Budaya UNESCO
Oleh Hari Suroto
Noken atau tas rajutan khas Papua akhirnya diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda (intangible heritage) dalam Sidang UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) di Paris, Prancis, tanggal 4 Desember 2012 (http://www.unesco.org). Noken adalah kantong atau tas yang dirajut dari kulit kayu, bunga anggrek, dan ada juga yang terbuat dari tali rami. Untuk wilayah pesisir Papua, noken berupa anyaman daun pandan.
Noken biasanya dipakai dengan cara disangkutkan di bagian kepala yang mengarah ke bagian punggung dan dada perempuan Papua. Sehari-hari mereka menggunakannya untuk kebutuhan membawa barang dagangan seperti buah, sayur, dan umbi-umbian ke pasar, atau sebaliknya yakni untuk berbelanja.
Bagi masyarakat pedalaman Papua, noken biasanya digunakan untuk membawa bayi, anak babi, ubi, sayur, dan pakaian. Sedangkan bagi intelektual Papua, noken digunakan untuk menyimpan buku atau membawa notebook ke kampus. Noken juga dipakai dalam menghadiri pesta, baik pesta kelahiran, pesta pernikahan, pesta kematian dan semua pesta-pesta adat lainnya. Bagi suku Dani yang bermukim di pegunungan tengah Papua, noken dijadikan sebagai alat tukar. Noken dengan jumlah tertentu dapat ditukar dengan seekor babi.
Berbeda dengan tas modern. Noken menjadi spesial karena nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Noken yang merupakan tas tradisional asli buatan mama-mama (ibu-ibu) Papua ini merupakan simbol dari kesuburan dan perdamaian bagi masyarakat Papua. Perempuan yang sudah bisa membuat noken dianggap sudah dewasa, sedangkan yang belum bisa membuat noken dianggap sebaliknya. Noken dipakai oleh mempelai perempuan suku Dani pada pesta pernikahannya.
Pembuatan noken sendiri dianggap sulit dan memakan proses yang panjang karena tas ini tidak menggunakan bahan tekstil apapun, hanya memanfaatkan serat tanaman. Tanaman yang bagus menghasikan serat yaitu melinjo (Gnetum gnemon), mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), dan anggrek (Diplocaulobium regale). Serat pohon ini diperoleh dengan cara kulit kayu dipukul-pukul menggunakan kayu, kemudian diangin-anginkan hingga kering, lalu dipintal dan dirajut.
Suku Ngalum di daerah Pegunungan Bintang memanfaatkan bahan baku noken dari delapan spesies tumbuhan yakni Cypholophus gjelleripii, Cypholophus vaccinioides, Ficus arfakensis, Ficus comitis, Ficus dammaropis, Goniothalamus spp., Pipturus argenteus, dan Myristica spp. (Wanma et. al., 2013:204-205). Wiriadinata (1995:89), mencatat bahwa suku Dani di Lembah Baliem memanfaatkan lima spesies tumbuhan sebagai bahan baku noken yakni Boehmeria malabarica, Boehmeria nivea, Astronia spp., Sida rhombifolia dan Wikstromia venosa.
Pewarnaan noken menggunakan bahan alami, Suku Yali menggunakan pewarna alami dari ekstrak buah Pittosporum pullifolium dan Melastoma polyanthum untuk pewarna ungu/hitam, warna hijau dari daun Phaius tankervilleae, Calanth spp. dan Spathoglottis spp., warna oranye berasal dari buah Gardenia lamingtonii, dan warna kuning dari rimpang Curcuma domestica. Serat alami berwarna pun dimanfaatkan sebagai paduan warna noken yakni serat batang Diplocaulobium regale dan serat daun Freycinetia spp. (Milliken, 1994:9).
Selain pewarna alami, noken dari beberapa suku dihiasi aksesori tambahan berupa biji-biji keras dan berwarna kontras dari tumbuhan tertentu. Selain pemanfaatan bahan dari tumbuhan, penggunaan hewan-hewan sebagai bahan baku maupun aksesoris noken kerap dijumpai. Pewarna alami berwarna putih misalnya berasal dari cangkang moluska yang telah dihaluskan. Aksesoris yang ditambahkan pada noken memanfaatkan pula cangkang moluska, maupun bulu-bulu burung nuri, kakatua dan kasuari serta bulu kuskus.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2003 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak benda. Dengan terbitnya perpres ini Indonesia dapat mengusulkan berbagai macam kekayaan budaya negeri untuk diusulkan sebagai warisan budaya dunia termasuk noken.
Pasca penetapan noken sebagai warisan budaya Dunia oleh UNESCO, maka Indonesia mendapatkan manfaat sesuai konvensi 2003 antara lain: meningkatkan citra Indonesia di forum internasional, meningkatkan kebanggaan bangsa Indonesia atas warisan budaya noken, mendorong upaya untuk melestarikan unsur budaya atau cara melestarikan budaya noken, menunjukkan kekayaan budaya masyarakat Papua, meningkatkan perhatian para peneliti, mendapatkan perhatian badan internasional dan pemerhati kebudayaan internasional, meningkatkan promosi pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri, meningkatkan kesejahteraan para pembuat kerajinan warisan budaya noken, mengajukan permohonan bantuan Dana Konvensi 2003 untuk perlindungan noken.
Melestarikan noken berarti melestarikan nilai budaya dan lingkungan. Noken tetap eksis selama pengetahuan membuat noken masih dilestarikan yaitu dengan diwariskan ke generasi muda. Pewarisan ini dapat melalui transfer pengetahuan dari orang tua ke anak atau melalui pendidikan formal yaitu dimasukkan dalam materi muatan lokal sekolah.
Lingkungan alam tetap lestari selama pohon penghasil serat tetap dipelihara, rimbunnya hutan tetap dijaga dan penanaman kembali pohon-pohon yang ditebang. Selain itu noken sangat ramah lingkungan, dengan menggunakan noken, akan mengurangi penggunaan kantung plastik. Perlu kampanye gerakan menggunakan noken dan mengurangi penggunaan kantung plastik.
Noken dapat dijadikan sebagai bentuk ungkapan selamat datang bagi pejabat pusat yang berkunjung ke Papua. Selama ini setiap pejabat pusat yang datang ke Papua begitu turun dari tangga pesawat selalu dipakaikan topi berhiaskan burung cenderawasih. Burung cenderawasih merupakan binatang langka yang diindungi, sehingga dengan digantikan noken, akan menghentikan perburuan liar burung tersebut.
Noken memiliki potensi sebagai produk ekonomi kreatif, apabila dikelola dengan baik dapat mengangkat perekonomian masyarakat Papua. Membeli noken berarti membantu kesejahteraan mama-mama Papua pembuat noken. Pemasaran noken dapat dilakukan pada event Festival Danau Sentani, Festival Budaya Lembah Baliem maupun event lainnya. Selain itu pemasaran noken juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
—————
Referensi
http://www.unesco.org/culture/ich/en/USL/noken-multifunctional-knotted-or-woven-bag- handcraft-of-the-people-of-papua-00619 diakses pada 4 Desember 2020.
Milliken, W.1994. Ethnobotany of The Yali. Edinburgh: Royal Botanic Garden.
Wanma, Alfredo O, Reinardus L Cabuy, Hans F Z Peday, Matheus Beljai, Agustina S Mori
Muzendi. 2013. Ethnobotanical aspect of Noken: Case study in the High Mountain Indigeneous community of Papua Island, Indonesia. Indian Journal of Traditional Knowledge Vol. 12 (2), April 2013. Hlm 202-208.
Wiriadinata, Harry. 1995. Ethnobotany of Economic Plants in the Baliem Valley, Jayawijaya,
Irian Jaya dalam Jurg Scheider (ed.), Indignous Knowledge in Conservation of Crop Genetic Resources. Proceedings of an International Workshop held in Cisarua, Bogor, Indonesia, January 30 – February 3, 1995. Bogor: CIP-ESEAP/CRIFC. Hlm. 87-97.
*Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua