Kisah Perang Dunia II di Jayapura
Secara geografis Jayapura (pada masa kolonial Belanda disebut Hollandia) berada di pantai utara Papua yang menghadap langsung ke Samudra Pasifik, serta memiliki teluk terlindung dan dalam. Pada masa Perang Dunia II atau disebut juga Perang Pasifik, Hollandia bernilai penting dan strategis oleh Jepang untuk dikuasai dan dijadikan pangkalan operasional guna mendukung pasukan Jepang dalam melaksanakan serangan utama terhadap Port Moresby dan Australia.
Sebelum Perang Pasifik, perairan Papua sering dikunjungi oleh perahu-perahu penangkap ikan Jepang tanpa izin pemerintah Hindia Belanda. Perahu-perahu penangkap ikan digunakan oleh angkatan laut Jepang untuk mengumpulkan keterangan-keterangan mengenai dalamnya laut, arus air, keadaan pantai, teluk-teluk berlindung, dan keterangan-keterangan lain yang berguna bagi pergerakan angkatan laut. Keterangan yang terkumpul dicantumkan di atas peta sehingga dapat dipergunakan dalam perancangan dan pelaksanaan penyerangan (Bachtiar, 1963: 71-72). Selain itu pembuatan peta detail pantai utara Papua dilakukan dengan pemotretan udara yang menghasilkan peta detail dengan skala 1: 100.000 (Koentjaraningrat, 1963:7).
Persiapan agresi Jepang di Papua, diusahakan penempatan Nanyo Kohatsu Kabushiki, perusahaan perkembangan daerah laut selatan yang bertindak sebagai perusahaan produksi tetapi yang dalam kenyataan merupakan organisasi mata-mata Jepang. Kepada para pegawai diberi perintah untuk mengadakan penyelidikan sumber-sumber pertambangan di daerah bagian utara Papua. Dengan demikian terkumpul keterangan mengenai kemungkinan-kemungkinan sumber bahan kebutuhan kesatuan-kesatuan angkatan perang yang akan beraksi di daerah Papua (Bachtiar, 1963: 72).
Invasi atas pantai utara Papua dan Kepulauan Solomon dimulai pada 23 Januari 1942, Armada udara ke-1 Laksamana Madya Nagumo dan armada ke-4 Laksamana Inouye menjadi ujung tombak serangan ini (Smith, 2008:99). Pada waktu singkat Jepang menguasai pantai utara Papua. Pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) tidak berdaya melawannya dan mundur ke Australia. Rohaniawan Belanda dan pengusaha perkebunan Belanda di sekitar Teluk Youtefa ditawan Jepang, penduduk pribumi mengungsi ke daerah pedalaman (Sofjan, 1963:214).
Pada 19 April 1942 Kompi ke-2 dan ke-3 Pasukan Pendarat Khusus Kure didukung oleh satuan angkatan laut Jepang, melakukan pendaratan tanpa perlawanan di Kawasan Teluk Humboldt, Vim dan Abepantai. Kemudian pada bulan Agustus 1942, Jepang kembali lagi menambah pasukan infanteri sebagai tentara pendudukan, maka ditempatkan Tentara ke-17 dibawah pimpinan Letnan Jenderal Harukichi Hyakutake. Untuk selanjutnya pasukan ini digantikan oleh Tentara ke-18 dibawah pimpinan Jenderal Adachi. Hasil sadapan Sekutu terhadap komunikasi dan terbukanya kode Jepang (The Purple Code), maka diketahui terdapat 11.000 tentara Jepang yang ditempatkan di Hollandia.
Langkah yang diambil Sekutu dalam upaya mempercepat penaklukan Jepang, yaitu dari Brisbane Australia, menaklukkan Solomon, Rabaul dilumpuhkan, lalu melalui pesisir utara Papua ke Filipina, Okinawa dan akhirnya Tokyo. Indonesia dalam strategi ini dikesampingkan, karena itu untuk Indonesia pertempuran langsung dalam Perang Dunia II sebetulnya sudah berakhir dengan kapitulasi Belanda pada 8 Maret 1942. Lain halnya untuk wilayah Papua, masih menjadi medan pertempuran langsung hingga tahun 1944.
Sekutu dibawah pimpinan Mac Arthur mempersiapkan strategi untuk mendirikan suatu pangkalan militer yang luas. Pangkalan militer ini direncanakan berada di daerah teritori musuh dan dari sanalah segala pengaturan strategi penyerangan akan dipusatkan. Mac Arthur menerapkan strategi lompat katak, tanpa mengorbankan banyak jiwa pasukannya dan efisiensi waktu. Pilihannya jatuh pada Hollandia, yang pada waktu itu merupakan pangkalan utama militer Jepang (Muller, 2008:152; Ojong, 2005: 107).
Armada angkatan laut Jepang tidak berusaha menggagalkan operasi pendaratan Mac Arthur di Hollandia. Para laksamana Jepang di Markas Besar Tokyo menunggu kesempatan yang tepat untuk sekaligus memukul armada Amerika, dan kesempatan itu tidak ada di Hollandia, maka Jepang yang kekurangan banyak hal, terutama material, tapi kelebihan dalam satu hal yaitu jiwa manusia, memutuskan tidak akan mencegah pendaratan Sekutu di Hollandia dengan kapal-kapal perang besar (Ojong, 2005:113), dengan kata lain pihak Jepang mengorbankan pasukannya di Hollandia.
Bagi orang Papua di Jayapura, Perang Pasifik telah pula membuka wawasan yang sangat luas tentang adanya dunia lain. Bukan hanya orang Belanda dan orang Maluku yang ada pada waktu itu, tetapi ternyata masih ada bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Amerika, Australia yang telah mempengaruhi perilaku orang-orang Papua dalam mengikuti dan menyesuaikan diri dengan segala bentuk perubahan jaman (Numberi, 2008: 159).
Setelah pendaratan, tim survei tentara Jepang mulai menjelajahi Hollandia hingga Sentani. Tim ini menjajaki kemungkinan pembangunan lapangan udara dan fasilitas pendukung lainnya. Jepang kemudian membangun barak, jembatan, dermaga di Pantai Hamadi, APO dan Teluk Yotefa (Galis, 1953:27-28). Untuk menyiapkan lapangan terbang dan sarana militernya Jepang mengerahkan tenaga penduduk setempat. Pada zaman pendudukan Jepang, daerah sekitar Sungai Mamberamo, Nimboran, Sarmi dan lain-lain tempat di pantai utara Papua menjadi sumber bagi tentara Jepang untuk mengambil tenaga romusha, untuk membangun dan memelihara lapangan terbang dan berbagai macam objek militer Jepang di pulau-pulau sebelah utara Papua (Koentjaraningrat, 1963: 173; Adim, 1963: 191).
Pada 10 Oktober 1943, Jepang membangun dua landasan pesawat terbang di Sentani, landasan bagian barat sepanjang 4500 kaki dan landasan kedua di sebelah selatan sepanjang 6200 kaki (Dwiastoro, 2009:18). Dalam membangun lapangan terbang, Jepang menebang hutan sagu, agar dapat didarati pesawat maka tanah rawa ditimbun dan diperkeras dengan kerikil dan batu-batu dari perbukitan sekitar danau. Jepang menempatkan 300 pesawat serbu berbasis daratan tipe 1 (G3M1), di sekeliling lapangan terbang ditempatkan meriam penangkis udara. Sentani dipilih sebagai markas tentara Jepang karena permukaan tanah datar, terlindung oleh benteng alam yaitu Pegunungan Cycloop, perairan danau dapat didarati pesawat amfibi tipe O (F1M) dan di sekitar danau Sentani tersedia hutan sagu sebagai sumber bahan makanan.
Sebelum melancarkan serangan ke Hollandia, mulai 1943 tentara Sekutu melalui dinas pemetaan tentara Amerika Army Map Service (AMS) membuat potret udara dan berbagai seri peta-peta detail Hollandia (Koentjaraningrat, 1963:7). Pada musim semi tahun 1944, Panglima wilayah Pasifik Barat Daya (Commander in Chief Southwest Pacific Area), Jenderal Douglas Mac Arthur mulai dengan penyerangan untuk merebut kembali daerah-daerah yang telah diduduki Jepang. Mac Arthur mengembangkan strategi “loncat katak” (leapfrog strategy), dengan memanfaatkan kekuatan yang lebih hebat di laut maupun udara, yang selalu meloncat beberapa ratus kilometer lebih jauh menduduki satu pulau ke pulau yang lainnya, dimana di situ juga terdapat sebuah landasan pesawat terbang musuh. Dengan cara seperti itu, dia berhasil mengepung garnisun-garnisun Jepang yang besar jumlahnya, kemudian sukses mengisolasi dan mengurung pasukan Jepang (Numberi, 2008:25). Setelah menguasai Kepulauan Admiralty, maka dalam bulan April 1944, Mac Arthur dari Finschhafen, Papua New Guinea maju 500 mil dan tiba di Hollandia.
Tujuan Mac Arthur mendarat di Hollandia adalah mengasingkan dan memencilkan konsentrasi tentara Jepang yang kuat di Wewak dan Madang Papua New Guinea. Sebelum mendarat di Hollandia, Jenderal Adachi, komandan Tentara ke-18 di Papua mengira, bahwa Mac Arthur akan mendarat di Madang dan Wewak, sehingga Adachi memusatkan tentaranya di dua tempat tersebut. Ini diketahui oleh Mac Arthur, karena bocornya kode Jepang (Ojong, 2005:107).
Mac Arthur menggunakan tipu muslihat yang lazim di medan perang, ia menguatkan dugaan musuhnya itu. Angkatan udara Sekutu sekaligus membom ketiga-tiga tempat itu, Madang, Wewak dan Hollandia, sehingga dari pemboman itu Adachi tidak tahu mana yang akan menjadi sasaran sebenarnya dari Sekutu. Kemudian parasut kosong dijatuhkan di daerah Madang. Pesawat terbang Sekutu berputar-putar di wilayah itu, pura-pura untuk mengintai dan mengambil potret dari udara. Kapal pendaratan dari karet kosong dilepaskan di Madang untuk menguatkan kesan Adachi yang keliru. Penduduk pribumi sebagai mata-mata disuruh menyebarkan kabar angin. Bagi Jepang, pendaratan Sekutu di Hollandia adalah suatu hal yang sama sekali tak terduga (Ojong, 2005:108).
Pertempuran Hollandia dianggap oleh para pakar sejarah militer sebagai salah satu model manuver strategis, tidak adanya antisipasi dari pasukan Jepang membuat mereka sangat tidak siap, sehingga akhirnya tidak memberikan perlawanan tidak berarti. Dalam invasi ini, hanya 152 personil pasukan Sekutu yang gugur dan 1057 terluka. Sementara itu di pihak Jepang sejumlah 3300 prajurit tewas dan 611 lainnya menjadi tawanan Sekutu (Muller, 2008:152).
Pada tanggal 26 April 1944 lapangan terbang Sentani di Hollandia, berhasil dikuasai Sekutu. Hollandia dibangun menjadi pangkalan penting tentara Sekutu dengan kode “Base G” yang kemudian tumbuh menjadi basis tentara yang besar dari pihak Sekutu, dengan kekuatan 250.000 tentara dan personil bantuan (Numberi, 2008:26).
Setelah Sekutu mendarat di Hollandia, ribuan tentara Jepang melarikan diri ke pedalaman, disambut oleh hutan rimba yang lebat. Penderitaan serdadu Jepang adalah umum di medan Perang Pasifik di Papua, setelah dikurung antara laut dan hutan, nasib tentara Jepang hanya mati kelaparan (Ojong, 2005:109). Mereka memakan lumut danau dan sagu mentah langsung dari pohonnya tanpa dimasak terlebih dahulu (wawancara Belsazar Doyapo, 13 Maret 2013). Maka dapat dimengerti bila penduduk Hollandia kehilangan sebagian besar hasil kebunnya. Bahkan babi dan ayam piaraan diambil serdadu Jepang secara paksa.
Sejumlah 6000 pasukan Jepang mencoba menyelamatkan diri ke arah barat menuju Sarmi, yang berjarak 200 kilometer dari Hollandia. Medan yang dilewati antara Sentani hingga Sarmi adalah hutan dengan sedikit jalan tanah yang dilalui. Komunikasi di hutan sangat buruk dan perbekalan terbatas apa yang dapat dibawa secara perorangan, kekurangan-kekurangan itu ditambah lagi dengan faktor penyakit tropis yang sangat parah. Menurut Muller (2008:152) hanya 1000 pasukan Jepang yang berhasil sampai dengan selamat, sedangkan sisanya tewas akibat serangan penyakit dan kelaparan.
Sebagian pasukan Jepang lainnya menyelamatkan diri ke Kampung Puay yang dinilai letaknya yang strategis. Puay terletak di paling ujung selatan Danau Sentani, dengan perbukitan yang dapat dijadikan tempat berlindung, selain itu terdapat Sungai Jaifuri yang merupakan akses keluar Danau Sentani menuju laut. Pasukan Jepang di Puay beradaptasi dengan lingkungan sekitar, berbaur dengan penduduk, dan tinggal di rumah penduduk. Pasukan Jepang yang bersembunyi di Puay semua tewas dalam pembersihan (mopping up) oleh pasukan Sekutu (wawancara Belsazar Doyapo, 13 Maret 2013). Perlengkapan tentara Jepang yang ditemukan di Puay terdiri atas senapan kokang Arisaka model 38 kaliber 6,5 mm, senapan mesin model 92 kaliber 7,7 mm, helm baja, panci masak lapangan aluminium, botol minum aluminium dan samurai. Sementara itu, tulang-tulang tentara Jepang yang tewas ditemukan di tepian danau sepanjang Kampung Puay serta sekitar Sungai Jaifuri.
Prajurit Jepang sendiri adalah prajurit yang tabah dan pastinya memiliki beberapa pengalaman tempur. Ia gigih dan menganut prinsip “bushido” atau ksatria, yang lebih memilih mati daripada tertangkap. Karena prajurit Jepang terbiasa dengan penderitaan dan disiplin keras, musuh yang menjadi tawanan mereka jarang mendapatkan perlakuan yang baik (Mueller, 2012:14). Untuk mempertahankan hidup mereka, pasukan Jepang di Papua kadang-kadang tidak segan makan daging manusia yaitu daging serdadu Sekutu yang tertangkap (Ojong, 2005:109).
Kisah tentara Sekutu tentang tentara Jepang di Papua yang kanibal ditulis oleh Mahmood Khan Durrani (tentara Sekutu asal Pakistan) dalam buku The Sixth Column, The Heroic Personal Story of Mahmood Khan Durani terbit 1955 halaman 342 sebagai berikut:
“Pada suatu hari seorang serdadu Jepang datang di tempat tawanan perang dan menyuruh seorang tawanan yang kelihatannya agak sehat ikut dia, katanya pergi ke dokter. Tawanan perang yang tidak curiga itu menurut saja, dan dia tidak pernah kembali. Beberapa waktu kemudian seorang tawanan lain juga dipanggil begitu, dan juga dia tidak pernah kembali. Lewat beberapa waktu para tawanan menjadi sangat gelisah dan mendapat perasaan bahwa kawan-kawan mereka itu telah dibunuh dan dimakan oleh Jepang, sebab pada suatu hari kelihatan seorang serdadu Jepang membuang tulang kaki ke dalam laut. Tulang-tulang itu dikumpulkan para tawanan dan ternyata tulang itu adalah tulang manusia”.
Hasil penting yang dicapai Amerika dalam Perang Pasifik adalah Hollandia itu sendiri. Hollandia kemudian berkembang menjadi salah satu pangkalan garis depan Angkatan Darat dan Udara Sekutu terbesar di wilayah Pasifik. Pada tanggal 8 September 1944, Jenderal Douglas Mac Arthur memindahkan markas besarnya dari Brisbane Australia ke Ifar Gunung Sentani. Markas besar tersebut tetap berada di Sentani sampai dipindahkannya ke Filipina pada bulan Maret 1945 (Numberi, 2008:30). Amerika menjadikan lapangan terbang Sentani sebagai markas Skuadron 418th Night Fighter yang terdiri atas pesawat Northrop P-61B Black Window Night Fighter dan pesawat terbang pengebom berbadan besar Boeing B29 Superfortress.
Perang Pasifik yang banyak menyebabkan kehancuran itu juga telah membawa akibat yang konstruktif terhadap aktivitas pembangunan Hollandia. Dengan penggunaan Teluk Humboldt, sebagai benteng pertahanan yang paling ujung di sebelah timur terhadap serangan tentara Sekutu, tentara Jepang membangun lapangan terbang, basis-basis logistik, serta suatu jaringan jalan sekeliling Teluk Humboldt.
Sekutu melanjutkan apa yang sudah dikerjakan tentara Jepang di Hollandia. Dalam upaya memperkuat markasnya di Sentani, landasan terbang peninggalan Jepang diperluas dan jalan yang menghubungkan Jayapura hingga Sentani diperlebar, hasil kerja mereka itu saat ini masih tetap dipergunakan.
Berbeda halnya dengan penduduk Indonesia bagian barat yang mendukung propaganda Jepang tentang “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”, propaganda ini tidak masuk di hati rakyat Papua. Justru rakyat Papua mendukung Sekutu Amerika, baik sebagai informan maupun pemimpin milisi yang turut dalam pembersihan sisa-sisa tentara Jepang yang bersembunyi di hutan-hutan. Diantaranya Nicolaas Youwe dan Simon Sibi dari Kayu Pulau, serta Marthen Indey dari Depapre.
—–
Referensi
Adim, Tuti Wardhini. 1963. Penduduk Daerah Nimboran dalam dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (eds.), Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Hlm.175-192.
Bachtiar, Harsja W. 1963. Sejarah Irian Barat dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (eds.), Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Hlm. 55-94.
Galis, K.W. 1953. ‘Geschiedenis’, dalam W.C. Klein (ed.), Nieuw Guinea; De ontwikkeling op economisch, social en cultureel gebied, in Nederlands en Australisch Nieuw Guinea, Jilid 1. ‘s-Gravenhage: Staatsdrukkerij. Hlm. 1-65.
Koentjaraningrat. 1963. Lingkungan Alam Irian Barat dalam Koentjaraningrat dan Harsja W.
Bachtiar (eds.), Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Hlmn. 1-17.
Koentjaraningrat. 1963. Penduduk Pedalaman Sarmi dalam Koentjaraningrat dan Harsja W.
Bachtiar (eds.), Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Hlmn. 159-174 Mueller, Joseph N. 2012. Guadalcanal 1942 Jepang vs Amerika di Ujung Pasifik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books.
Numberi, Freddy. 2008. Keajaiban Pulau Owi Mutiara Terpendam di Wilayah Tanah Papua. Jakarta: Gibon Books.
Ojong, P. K. 2005. Perang Pasifik. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Smith, Carl. 2008. Pearl Harbor 1941: Hari Laknat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Sofjan, Aurini. 1963. Penduduk Teluk Humboldt dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (eds.), Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT Penerbitan Universitas. Hlmn. 193-215.
*Hari Suroto. Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN