Modus Pinjam Raga Heru Kesawa Murti*
Oleh Ibed S. Yuga
Apa hubungan antara kegemaran Heru Kesawa Murti memakai celana dalam istrinya, dengan manusia-penguasa yang menyandang raga para dewa dalam Sinden? Atau, adakah relasi antara kebiasaan Heru Kesawa Murti menyimpan nama-nama tokoh yang akan ditulisnya dalam dompet, dengan manusia-rakyat-tertindas yang mengenakan raga bangsa dedemit dalam lakon Dhemit?
Ketika gelisah dengan kreativitas para dewa di Khayangan yang mandek, dengan kinerja yang “hanya bisa bekerja bila ada proyek”, Sang Dewa Guru—presiden para dewa—memutuskan untuk memboyong sinden Semi dari Marcapada. Sang sinden kondang itu diharapkan bisa mendongkrak citra dan prestasi Khayangan. Lakon Sinden—yang dari awal hingga akhir hanya bergerak sejengkal saja—menempatkan rencana pemboyongan sinden Semi sebagai pangkal pergerakan lakon—untuk tak mengatakan sumber konflik.
Saat jengkel dengan proyek perumahan yang dijalankan Rajegwesi, dengan membabat habis pepohon yang menjadi rumah para dedemit, Sawan—salah satu tokoh dari bangsa dedemit—menculik Suli si konsultan proyek. Di tengah bencana ketergusuran ruang habitat bangsa dedemit, penggondolan Suli ini adalah sebentuk unjuk kekuatan dan eksistensi—bukan sekadar protes—bangsa dedemit terhadap bangsa manusia dalam lakon Dhemit.
Dua paragraf terakhir di atas bukanlah jawaban terhadap dua pertanyaan di paragraf pertama. Dan jelas, pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan secara langsung dijawab oleh tulisan ini. Saya hanya ingin menuliskan keterceceran dan keterloncatan pemikiran saya ketika berhadapan dengan dua lakon karya swargi Mas Heru Kesawa Murti: Sinden (1986) dan Dhemit (1987)1. Dua pertanyaan di awal tulisan ini sengaja saya buat untuk menggelitik diri saya sendiri, guna mulai ngudari dua lakon ini, dan bukan untuk menjawabnya secara langsung. Saya memilih kedua lakon ini semata karena selera.2 Saya hampir selalu tertarik dengan narasi-narasi yang meminjam raga dan ruang dari “dimensi lain” untuk menyatakan keberadaan narasi manusia.
Saya beri tanda petik pada “dimensi lain” karena ia bukanlah yang mistis, bukan pula transendental, namun justru antroposentris karena merupakan hasil konstruksi sadar manusia; hasil laku penciptaan narasi dengan mengonstruksi raga dan ruang yang seolah-olah di luar manusia, seolah-olah hidup di dimensi lain, padahal referensi penciptaannya—baik fisik maupun karakternya—tetaplah raga manusia sendiri. Dunia wayang adalah salah satu ruang di mana hal ini dipraktikkan, di mana para dewa dan bangsa roh halus hadir dalam kelir yang sama, saling mafhum berdialog dengan bahasa manusia, baik antartokoh maupun dengan penonton. Bentuk fisik mereka pun dengan mudah dapat diidentifikasi bahwa referensinya adalah fisik manusia, sangat antroposentris. Hanya saja, untuk membedakannya dengan manusia, berbagai variasi dikenakan padanya. Misal, Betara Guru bertangan empat (penambahan jumlah organ), Betara Kala berkepala besar (pembesaran proporsi), Jatayu diberi sayap (penggabungan manusia dengan burung), dan sebagainya. Demikian pula karakternya yang diambil secara eklektik dari sifat-sifat manusia.
Heru dalam Sinden dan Dhemit barangkali memetik inspirasi dari dunia wayang untuk melakukan peminjaman raga yang berasal dari “dimensi lain” untuk menarasikan sifat, karakter atau fenomena manusia. Dengan berpihak pada narasi wong cilik (dalam bahasa saya selanjutnya: manusia-rakyat), Heru meminjam raga mereka dengan berbagai modus, lalu mencoba menyentuhkan kembali raga hasil pinjaman itu dengan raga manusia dalam lakon-lakonnya. Cara penyentuhan kembali dalam dua lakon ini menunjukkan ciri yang berbeda. Ruang-ruang yang menghidupi raga-raga pinjaman itu pun dibangun dengan sifat yang berbeda dalam kedua lakon. Satu hal yang menya-makan Sinden dan Dhemit adalah konflik yang dibangun selalu berpusat pada keberhadapan dan pertentangan antara manusia-penguasa dengan manusia-rakyat.
Manusia-Penguasa yang Menyandang Raga Para Dewa
Tak terlalu jelas seperti apa kemandekan kinerja para dewa Khayangan, dan penempaan apa yang akan dilakukan para dewa ketika sinden Semi berhasil diboyong oleh Narada dan Yamadipati, sehingga ia bisa mendongkrak citra Khayangan yang sedang terpuruk. Tapi yang jelas, Sang Dewa Guru khawatir Khayangan akan segera “ambruk karena sudah tak sanggup lagi menahan beban para dewa yang korupsi, manipulasi ide, sombong kedudukan, lahap pada proyek, program, yes men.” Sedang sinden yang suaranya bisa menggetarkan Khayangan itu dianggap “contoh orang yang punya prestasi besar, mencintai pekerjaannya.”
Di Marcapada, narasi memaparkan sinden Semi sebagai “hasil tempaan” sekaligus “peliharaan” Raden Lurah Tanpasembada. Motif seksual ini bergandengan erat dengan motif politis dalam narasi tentang ruang birokrasi kelurahan yang penuh dengan sogok, suap, mental ngutil, dan tradisi amplop, yang seakan jadi miniatur Khayangan yang hendak ambruk. Sedang Panjang, suami Semi dengan lima anak mereka yang masih kecil-kecil, adalah gambaran manusia-rakyat-tertindas terutama secara langsung oleh kuasa istrinya sebagai sinden kondang, sekaligus tertindas oleh kuasa Raden Lurah Tanpasembada melalui tindakan “memelihara” dan “menempa” Semi secara seksual dan politis, lalu ditambah tindasan kuasa para dewa ketika Narada dan Yamadipati datang untuk memboyong Semi.
Dalam Sinden tampak cukup jelas Heru merancang dunia para dewa sebagai representasi ruang birokrasi pemerintahan (pusat) yang menentukan segala kebijakan secara absolut. Para dewa adalah manifestasi dari para manusia-penguasa yang beroposisi dengan manusia-rakyat. Heru meminjam raga para dewa lalu menyandangkan-nya pada konsep manusia-penguasa yang dirumuskannya dari pengalaman keseharian mengamati tindak-tanduk birokrasi pemerintahan.
Sejak dalam dunia wayang, ruang para dewa adalah dunia para penguasa yang absolut—walau dalam beberapa kasus manusia-dewa sanggup membelokkan mereka. Para dewa—biasanya dipimpin Betara Guru—jadi penentu segala alur yang berjalan di dunia manusia. Dalam wayang—yang tentu saja diadaptasi dari narasi keyakinan yang bersumber di India—para dewata adalah kiblat segala nilai dan sumber segala hukum yang berlaku di dunia manusia.
Raga para dewa yang dipinjam Heru adalah raga yang antroposentris, sebagai-mana dalam wayang. Namun raga pinjaman itu dalam Sinden dipreteli terlebih dahulu sehingga jadi tidak mistis, tidak wingit, justru cenderung diprofankan, dibuat kasar sebagaimana manusia. Dialog-dialog yang diucapkannya adalah kata-kata lumrah ke-kinian tanpa tedeng aling-aling sastra atau kehalusan tembang. Lebih jauh lagi, Heru memuati raga para dewa dengan narasi kekuasaan yang tak beres, “korupsi, manipulasi ide, sombong kedudukan, lahap pada proyek, program, yes men”. Para dewa adalah pegawai kantor pemerintahan yang nganggur karena tak ada proyek. Kerjanya hanya menulis agenda di papan tulis, menumpuk map di meja, utak-atik mesin tik, bermain telepon, main catur, mengisi TTS, atau berlomba membukakan pintu mobil atasan.
Jauh lebih dalam daripada memprofankan, raga para dewa yang dipinjam untuk dipakaikan pada manusia-penguasa adalah raga yang bobrok, bahkan sangat pantas untuk dicaci-maki atau ditipikorkan. Di sini, modus pinjam raga dari Heru menjadi paradoks dengan yang terjadi dalam dunia wayang. Raga dewa yang dipinjam Heru sudah dipreteli terlebih dahulu sehingga bukan hanya kedewaannya saja yang hilang, bahkan kemanusiaan pun tak punya.
Manusia-Rakyat yang Mengenakan Raga Bangsa Dedemit
Membaca Dhemit, dengan sangat mudah menggiring wacana kita pada problem penggusuran manusia-rakyat atas nama pembangunan bangsa dan negara. Pohon-pohon habitat dedemit di lereng bukit dibabat habis karena lahannya hendak disulap jadi kompleks perumahan. Dedemit kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka kalah sangar dari buldoser. Walau sempat melawan, dengan bekal menakut-nakuti, membuat sakit para pekerja proyek dan menculik konsultan proyek, toh mereka mendekati titik menyerah. Rajegwesi, sang kontraktor, adalah manusia-penguasa yang kuat dan tak percaya dunia mistik. Di akhir lakon, ketika buldosernya tak berdaya merobohkan pohon preh—rumah Jin Pohon Preh, presiden para dedemit—Rajegwesi meledakkan dunia dedemit dengan dinamit.
Di sini, Rajegwesi sebagai manusia-penguasa dibiarkan memakai raga manusia yang tamak, serakah, totaliter, arogan, korup dan gemar nguntet proyek. Sedang pada konsep manusia-rakyat yang tertindas, Heru meminjam raga dedemit yang dihadapkan dengan manusia-penguasa yang tak disandangi raga para dewa. Sebelum memakai-kannya ke manusia-rakyat, Heru mendandani raga dedemit dengan kepolosan, takdir bodoh, tak kenal nurani dan pantang meniru sifat manusia dari jagad kasar.
Manusia-rakyat yang mengenakan raga dedemit dalam Dhemit sebenarnya adalah manusia-rakyat yang berdaya. Mereka protes, cenderung reaktif dan melakukan tindakan-tindakan agitatif saat menghadapi penggusuran. Mereka memeliki mental kritik yang kuat terhadap “manusia dari jagad kasar” yang telah mengganggu ketertiban kosmik “dhemit di jagad halus”. Mereka memunculkan narasi klasik tentang semangat juang para dedemit dalam mempertahankan eksistensi dunia mereka. Keberdayaan mereka mengingatkan kita pada berbagai gerakan yang melawan penindasan manusia-kuasa di jagad Indonesia kini.
Dengan meminjami raga dedemit pada manusia-rakyat, Heru mengarahkan berbagai kecaman, cemooh, ejekan juga protes bangsa dedemit terhadap “manusia dari dunia kasar” sebagai otokritik manusia-rakyat terhadap diri dan tatanannya sendiri. Misal, ketika Sesepuh Desa menawarkan pemugaran tempat tinggal bangsa dedemit, sebagai balasan atas dibebaskannya Suli—konsultan proyek perumahan—yang telah diculik oleh bangsa dedemit, Jin Pohon Preh sebagai panglima bangsa dedemit malah menolak. Ia tak mau manusia mengultuskan dedemit, karena dedemit tidak mengenal kultus. Kultus-mengkultus adalah produk konstruksi manusia yang berkembang jadi sebentuk kebablasen kultural.
Sebagaimana dalam modus peminjaman raga para dewa, ada yang tampak paradoks juga dalam modus peminjaman raga bangsa dedemit yang dilakukan Heru. Selain mendandaninya dengan kepolosan, raga bangsa dedemit, yang secara umum dikenal brangasan dan kasar, justru tampil santun dan lembut, bahkan sangat bijak pada raga Jin Pohon Preh. Dialog-dialog Jin Pohon Preh justru sangat filosofis, meneduhkan, semeleh, dan cenderung tidak politis walaupun posisinya sebagai pimpinan bangsa dedemit sangatlah politis.
Modus Persentuhan dan Peminjaman Lanjutan
Modus pinjam raga yang dilakukan Heru tak menyeluruh pada semua tokoh dalam kedua lakon. Manusia-penguasa yang menyandang raga para dewa berhadapan dengan manusia-rakyat yang mengenakan raga manusia dalam Sinden, demikian pula dengan manusia-rakyat yang mengenakan raga bangsa dedemit bertemu dengan manusia-penguasa yang mengenakan raga manusianya sendiri dalam Dhemit. Manusia yang meminjam raga dengan manusia yang mengenakan raganya sendiri hidup di ruang yang berbeda.
Manusia yang meminjam raga hidup di ruang yang sedikit meminjam kosmos ruang dari raga yang dipinjam, namun selebihnya narasi ruangnya dibentuk oleh narasi dari ruang-ruang hidup manusia. Maka manusia-rakyat yang meminjam raga dedemit tinggal di pohon-pohon besar, namun—rumah Jin Pohon Preh, misalnya—dinarasikan seperti rumah dinas yang dilengkapi satpam dan buku tamu. Ruang habitat manusia-penguasa yang meminjam raga para dewa bahkan digambarkan lebih mendekati kantor pemerintahan dunia manusia kini (di Indonesia), hanya namanya saja yang meminjam ruang para dewa: Khayangan, dengan posisinya tetap berada di atas dunia manusia—terlihat saat Narada dan Yamadipati datang ke Marcapada yang dinarasikan sebagai “turun”.
Untuk mempertemukan para tokoh dari dua dunia, modus penyentuhan yang dilakukan Heru terlihat berbeda pada kedua lakon. Dalam Dhemit, ruang mistik dari habitat bangsa dedemit, jagad halus, tetap dijaga dalam beberapa sisi. Tokoh-tokoh manusia tetap tidak bisa melihat bangsa dedemit. Maka modus persentuhan dua ruang yang dilakukan Heru adalah modus tradisional: shaman, yaitu tokoh Sesepuh Desa digunakan sebagai perantara komunikasi antara manusia dengan dedemit ketika memohon pengembalian Suli yang diculik Sawan. Sesepuh Desa dijadikan tokoh penghubung antara ruang mistik yang dipinjam dengan ruang manusia.
Sementara dalam Sinden, Heru tidak meminjam kualitas kudus ruang para dewa, Khayangan. Sebagaimana disinggung sebelumnya, Khayangan digambarkan sangat profan, juga sekuler. Pertemuan tokoh dewa dengan manusia terjadi tidak melalui kesakralan wangsit atau ke-wingit-an suasana; bahkan cenderung birokratis-formal. Para dewa turun ke Marcapada tak ubahnya seperti pejabat yang turun dari mobil dinasnya lalu blusukan pasang citra dan taring di depan para manusia-rakyat.
Selain itu, saya membaca ada semacam modus peminjaman lanjutan yang dilakukan Heru, guna menguatkan tegangan kedua ruang sebagai konsekuensi peminjaman raga dan ruang yang dilakukannya. Suli si konsultan proyek yang diculik Sawan dalam Dhemit adalah sebuah modus pinjaman lanjutan yang lebih menegangkan lagi hubungan oposisi raga dedemit (yang dipinjam) dengan raga manusia. Raga manusia dipinjam secara paksa untuk unjuk kekuatan dan keberdayaan dedemit terhadap represi bangsa manusia.
Dalam Sinden, modus peminjaman lanjutan ini bahkan menjadi tonggak utama pergerakan lakon. Sinden Semi yang manusia hendak diboyong ke Khayangan oleh Narada dan Yamadipati. Tegangan yang muncul dari modus peminjaman lanjutan ini justru lebih luas lagi, membuat horeg lembaga pemerintahan Raden Lurah Tanpasembada, dan menambah berat ketertindasan yang dialami oleh manusia-rakyat Panjang, suami Semi. Namun, di akhir lakon, Yamadipati justru memutuskan untuk tak kembali ke Khayangan, ingin tinggal di Marcapada yang menurutnya “lebih ragam untuk mencari kebijakan hidup dan mendewasakan diri”. Yamadipati, manusia-penguasa dengan raga yang dipinjam dari para dewa, mengikhlaskan diri untuk “dipinjam kembali” oleh ruang raga manusia.
Lalu, apakah kegemaran Heru Kesawa Murti memakai celana dalam istrinya juga sebuah modus peminjaman dan persentuhan? Apakah nama-nama tokoh yang disimpannya dalam dompet adalah modus untuk mencipta tegangan antara raga tokoh dengan raga Heru Kesawa Murti?
————
*Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Simposium dan Forum Naskah Teater, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta, 20 Oktober 2017.
1Saya merujuk pada Heru Kesawa Murti, Palaran Avant-Gandrik (Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli, 2002) untuk kedua lakon ini. Lima lakon yang terkumpul dalam buku ini disebut-sebut sebagai lakon-lakon yang belum “dijamah” oleh Teater Gandrik—yang dikenal melakukan banyak pengembangan terhadap lakon-lakon yang Heru Kesawa Murti saat proses pemanggungan—atau, dengan kata lain, masih merupakan versi awal dari Heru sebelum ditawarkan kepada Gandrik.
2Dan saya juga ingin membentangkan betapa lebarnya jarak antara saya dengan Heru Kesawa Murti (dan Teater Gandrik): tahun 1983 saya lahir di Bali, dan Teater Gandrik didirikan di Yogyakarta; tepat 20 tahun kemudian saya pindah ke Jogja, dan baru sekitar empat tahun setelahnya saya menonton Teater Gandrik untuk pertama kalinya; dan jelas saya bukan orang yang dibesarkan dalam ruang kultural di mana Heru Kesawa Murti dan Teater Gandrik hidup.
Ibed Surgana Yuga adalah sutradara dan penulis lakon Kalanari Theatre Movement, Yogyakarta, sekaligus pendiri dan editor pada Kalabuku, sebuah gerakan literasi teater dan budaya pertunjukan melalui penerbitan buku, kurasi teks, dan laboratorium penulisan.