Romo Kuntara, Arjuna dan Yoga
Oleh: Seno Joko Suyono
Romo Kuntara Wiryamartana wafat tahun 2013. Dia dikebumikan di Seminari Girisonta. Romo Kuntara meninggalkan magnum opus buku: Arjunawiwaha (Duta Wacana University Press 1990). Buku luar biasa ini –sebuah studi akademis yang sangat cemerlang dan teliti mengenai transformasi teks Kakawin Arjunawiwaha. Dengan prinsip-prinsip studi filologi yang ketat dan dingin – tanpa berusaha menghubung-hubungan dengan konteks kekuasaan dan politik Romo Kuntara berusaha melacak “mata rantai spiritualitas yang hilang”.
“Mata rantai spiritualitas” yang menghubungkan dua teks dari kraton Surakarta yang bertema kisah pertapaan dan jalan yoga Arjuna dengan teks Arjuna Wiwaha yang ditulis rsi-rsi di lereng Gunung Merapi-Merbabu. Kedua teks keraton itu adalah: Serat Wiwaha Jarwa (Serat Mintaraga) gubahan Pakubuwana III di tahun 1778 yang bercerita keteguhan Arjuna bertapa yang berhasil menaklukkan Niwatakawaca dan memperoleh pahala di kahyangan dan Serat Wiwaha Jarwa gubahan C.F Winter di tahun 1848 yang berkisah mengenai kesaktian Arjuna. Kedua teks produk istana itu oleh Romo Kuntara dibandingkan dan dilacak asal usulnya kepada Kakawin Arjunawiwaha dari masa Jawa kuno – versi para wiku di padepokan-padepokan lereng Merapi-Merbabu .
Telah jamak diketahui bagi seorang Mpu penyair Jawa kuno – membuat sebuah puisi panjang (kakawin) bagaikan membuat sebuah candi – sebuah candi, namun bukan candi dari batu tapi dari bahasa. Romo Kuntara – dalam sebuah artikelnya pernah menulis seorang Mpu Jawa Kuno dalam menciptakan karyanya bagaikan menempuh tahapan-tahapan yoga. Tahap pertama, tahap konsentrasi (dhyana) dimana jiwa sang kawi (penyair) terpusat pada obyek (alam fenomenal). Tahap kedua tahap meditasi (dharana) jiwa sang kawi terpenuhi “bayangan’ dewa sehingga aneka ragam rupa obyek fenomena lenyap. Dan tahapan ketiga – di mana kesadaran diri sang kawi lenyap – tenggelam dalam penyatuan dengan yang mutlak.
Studi Romo Kuntara – ingin menunjukkan menunjukkan perjalanan “content” teks Arjunawiwaha masa Jawa kuno yang ditulis di lontar-lontar yang ditemukan di lereng Merapi-Merbabu menjadi dua karya gubahan Pakubuwono III dan C.F Winter. Termasuk bagaimana soal deskripsi meditasi dan yoga Arjuna dalam ketiga teks itu. Pakubuwono III seperti kita ketahui memerintah Kraton Surakarta antara tahun 1749-1788. Sementara C.F Winter adalah seorang linguis Hindia Belanda yang melakukan penelitian sastra Jawa pada masa Paku Buwono VII berkuasa di Kraton Surakarta antara tahun 1830-1858. Dalam bekerja C.F Winter selalu mendapat bantuan dari pujangga Ronggawarsito. Termasuk saat membuat kamus Kawi-Jawa yang kemudian terbit pada 1879. Serat Wiwaha Jarwa karya C.F Winter menurut Romo Kuntara dbuat Winter untuk menanggapi Serat Wiwaha Jarwa karya Pakubuwono III. Sebab Serat Wiwaha Jarwa karya Pakubuwono III dianggap Winter “terlau jauh” dari sumber Jawa kunonya.
Menurut Romo Kuntara saat menggubah Serat Wiwaha Jarwa, baik Pakubuwono III dan C.F Winter menggunakan sumber-sumber teks yang tersimpan di perpustakaan Kraton Surakarta. Romo Kuntara berpendapat perpustakaan Kraton Surakarta saat itu memiliki koleksi teks-teks Kakawin Arjunawiwaha yang ditulis di skriptorum-skriptorum lereng Merapi-Merbabu di masa Jawa Kuno. Dengan caranya masing-masing baik Pakubuwono III dan Winter menggunakan teks-teks Arjuna Wiwaha asal Merapi-Merbabu itu untuk membuat Serat Wiwaha Jarwa dari saat masih berupa naskah sampai bentuk cetakan tatkala menjadi buku.
Di zaman Jawa kuno lereng Merapi-Merbabu menjadi tempat-tempat pertapaan di mana para rsi melakukan kegiatan penyalinan lontar. Romo Kuntara memperkirakan padepokan-padepokan itu telah ada sejak zaman Mataram kuno masih berada di Jawa Tengah dan tetap bertahan saat pemerintahan Medang dibawa Mpu Sindok pindah ke Jawa Timur. Kita tidak tahu apakah Kakawin Arjuna Wiwaha yang ditulis di skriptorum-skriptorum Merapi Merbabu itu asal muasalnya sezaman atau baru ditulis abad-abad sesudah Arjuna Wiwaha ditulis Mpu Kanwa pada masa pemerintahan raja Airlangga (1019- 1042) antara tahun 1028 dan 1035 Masehi.
Perpustakaan Nasional (Jakarta) misalnya seperti sudah banyak diketahui kalangan pemerhati Jawa kuno – menyimpan sekitar 400 an lontar dari lereng Merapi-Merbabu. Aksara yang ada di lontar-lontar tersebut memiliki corak yang berbeda dengan aksara Jawa kuno klasik tua atau klasik muda. Lontar-lontar ini ditemukan pada tahun 1822 oleh sebuah ekspedisi Belanda di desa Kedakan lereng barat Gunung Merbabu. Pemilik lontar tersebut bernama Windusasana yang saat ekspedisi itu tiba di Merbabu sudah meninggal lama.
Lontar-lontar tersebut diwariskan ke cicitnya bernama Pak Kojo. Menurut sang cicit mulanya Windusasana menyingkir ke lereng Merbabu membawa 1000 an lontar. Tatkala Bataviaasch Genootschap di tahun 1852 menerima lontar-lontar jumlah naskah yang diterima sekitar 400-an naskah. Sebagaian besar naskah ini sampai kini tetap berada di Perpusnas tetapi beberapa “tercecer” di perpustakaan dunia seperti Paris, Berlin dan Leiden karena di zaman kolonial dibawa oleh para peneliti Bataviaasch Genootschap pulang ke negaranya.
Untuk melacak tema dan gagasan yang ada dalam Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III dan Serat Wiwaha Jarwa gubahan C.F Winter, Romo Kuntara secara luar biasa menggunakan 12 lontar Arjunawiwaha yang ditemukan dari lereng Merapi-Merbabu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Dan satu lontar Arjunawiwaha dari lereng Merapi-Merbabu yang kini disimpan di Perpustakaan Nasional Paris (Bibliotheque Nationale Paris). Naskah yang disimpan di Paris ini di sana diberi no kode: MP (Malayo-Polynesie) 165.
***
Untuk menelusuri adanya kesinambungan atau jalur tematik antara naskah-naskah Merapi-Merbabu dengan Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwono III dan C.F Winter pertama-tama yang dilakukan Romo Kuntara adalah menerjemahkan salah satu lontar Kakawin Arjunawiwaha dari Merapi Merbabu. Yang dipilih Romo Kuntara adalah naskah MP 165 yang tersimpan di Paris. Menurut Romo Kuntara di lingkungan sastra Merapi-Merbabu terdapat dua tradisi Kakawin Arjunawiwaha. Yaitu tradisi Merbabu sebelah barat dan tradisi timur laut Merapi.Lontar MP 165 tergolong naskah trdisi Merbabu sebelah barat.
Dalam menerjemahkan MP 165 Romo Kuntara mengenakan metode diplomatik. Metode diplomatik sebagaimana diuraikan Stuart Robson dalam buku: Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, berusaha menyajikan teks seperti teks aslinya. Unsur interpretasi diperbolehkan masuk .Betapapun demikian metode diplomatik hanya boleh melibatkan sediikit mungkin campur tangan editorial. Penyunting harus menyatakan dan mempertanggung jawabkan segala jenis perubahan yang diperbuat, apabila tidak, berarti ia memalsukan sumber-sumber.
Menurut Romo Kuntara dalam membaca dan kemudian menerjemahkan Kakawin Arjunawiwaha dengan kode MP 165 itu, ia sedapat mungkin melakukan terjemahan kata demi kata .Romo melihat dalam naskah lontar MP 165 terdapat aneka ragam “salah salin” .Salah salin itu meliputi: kekurangan tanda bunyi wulu, suku, layar dsb), kehilangan pasangan, kekurangan suku kata , suku kata yang sama semestinya harus diulang atau direduplikasi tetapi hanya ditulis satu kali (haplografi) ,pengulangan suku kata yang tidak seharusnya terjadi (dittografi), salin loncat sehinga ada bagian teks yang hilang (saut du meme au meme) dan sebagainya. .Untuk itu sebagai penerjemah Romo Kuntara melakukan perbaikan bacaan. Artinya ada campur tangan peneliti (dalam hal ini dirinya) untuk menghilangkan hambatan pemahaman teks. Perbaikan salah baca artinya juga dilakukan kata per kata.
Dalam melakukan perbaikan bacaan ini tidak terhindari penafsiran Romo Kuntara pribadi sebagai filolog atas sistem aksara dan sistem ejaan dalam lontar MP 165. Peneliti lain diakui Romo Kuntara mungkin memiliki penafsiran lain yang berbeda dengan dirinya. Untuk pertanggung jawaban perbaikan bacaan berdasarkan penafsirannya itu, Romo Kuntara menggunakan tanda-tanda (….) :ditambahkan pada bacaan,{…}:dihapus pada bacaan, <….>: konsonan atau vocal diubah dalam bacaann.
Menurut Romo Kuntara dalam menerjemahkan kata-kata yang ada dalam lontar MP 165, dia berpegang kepada kata-kata Jawa Kuno yang telah distandarsasi berdasar Kamus Jawa Kuno-Inggris yang dibuat oleh Romo Zoetmulder SJ. Pada bagian lontar yang sobek atau berlubang diberi catatan: lontar rusak. Pada bagian lontar yang berceruk karena dimakan ngengat , diberi catatan: lontar cacat. Pemisahan kata dilakukan menurut bunyi teks dan disesuaikan dengan ejaan. Kata ulang dan kata gabung dengan sandhi ditulis bersambung.
Penerjemahan teks MP 165 juga oleh Romo Kuntara dikembalikan kepada bentuk kakawin yang memperhatikan kaidah-kaidah metrum seperti hal panjang-pendek vokal maupun jumlah suku kata pada setiap larik. Menurut room Kuntara, teks MP 165 adalah teks yang tidak lagii memperhatikan kaidah metrum. Peenerjemahan teks yang lebih berdasar kaidah metrum, diakui Romo Kuntara menghapus salah satu ciri teks MP 165.
***
Setelah secara seksama dan ketat, melakukan penerjemahan naskah Arjunawiwaha dari kereng Merapi Merbabu yang berkode MP 165 dan kini disimpan di Paris itu , Romo Kuntara lalu melakukan kajian isi naskah MP 165. Kajian isi itu kemudian yang dia bandingkan dengan isi Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwana III dan Serat Wiwaha Jarwa gubahan C.F Winter.
Menurut Romo Kuntara, substansi estetik Kakawin Arjunawiwaha berpusat pada rasa dan yoga. Rasa yang dominan adalah virarasa, rasa kepahlawanan yang dibayangi oleh santarasa atau rasa damai. Arjuna adalah seorang ksatria sekaligus seorang yogi. Sebagai seorang yogi Arjuna telah mencapai samadi sempurna. Pada pengalaman puncak ekstasisnya Arjuna mengalami kelenyapan, bertubuh halus dan berwuju baka. Arjuna adalah seorang ksatria yang menghayati kesuwungan. Arjuna adalah sosok yang telah mencapai pencerahan rohani yang kebahagiannya melampau kenikmatan sanggama. Oleh karena itu menghadai godaan bidadari apapun Arjuna tetap tergoyahkan. Sebagai seorang yogi, ia tak tercemari oleh indera.Sebagai seorang yogi , ia mengalami damai bahagia dalam persatuan dengan Tuhannya, namun demi menunaikan dharmanya sebagai ksatria ia rela tetap tersekat kelir dengan sang pencipta dunia.
Rujukan Serat Wiwaha Jarwa kepada Arjunawiwaha versi Merapi Merbabu membuat adanya pergeseran titik dalam menyajikan Arjunawiwaha. Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwono III dalam penelitian Romo Kuntara lebih menekankan Arjuna sebagai sosok h manungsa sakti atapa – manusia sakti yang bertapa. Pakubuwono III menekankan Arjuna sebagai ksatria yang telah mencapai fase askese, fase menaklukan panca indra. Akan halnya Serat Wiwaha Jarwa gubahan C.F Winter menekankan tapa Arjuna diarahkan pada kemenangan di medan perang. Cita-cita kemenangan dalam perang tidak terlepas dari cita-cita ke arah moksa
Naskah Kakawin Arjunawiwaha versi lereng Merapi-Merbabu menurut Romo Kuntara memberi tekanan yang kuat kepada Arjuna sebagai pertapa. Pandangan ini yang diambil alih oleh Serat Wiwaha Jarwa gubahan Pakubuwono III dan Serat Wiwaha Jarwa gubahan C.F Winter. Pada titik ini Romo Kuntara berusaha menunjukkan adanya jalur transmisi antara lontar Arjunawiwaha versi Lereng Merapi Merbabu ke lontar-lontar mengenai Arjunawiwaha yang digubah oleh para sastrawan Jawa di istana Kartasura dan kemudian kraton Surakarta. Prof Achadiati Ikram menilai penelitian yang dilakukan Romo Kuntara ini berhasil membuktikan bahwa pengalihan genre dari betuk Kakawin ke dalam bentuk gancaran (prosa) dan tembang macapat (puisi) masing-masing secara estetik memilki nilainya tersendiri.
Romo Kuntara berpendapat lontar-lontar dari Lereng Merapi Merbabu merupakan missing link yang menghubungkan sastrawan-sastrawan di era Kartasura dan Surakarta dengan Jawa kuno termasuk dalam hal ini Kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa yang ditulis antara tahun 1028-1035 pada masa pemerintahan Raja Erlangga . Romo Kuntara menduga ada kemungkinan lontar-lontar yang ditulis para rsi di lereng Merapi-Merbabu menjadikan sumber acuan bagi sastrawan-sastrawan istana di kraton Surakarta. Ronggowarsito misalnya menurut Romo Kuntara pernah mengatakan: Punika haksara Buda hingkang kahangge para hajar-jajar hing redi (ini adalah aksara Buda yang digunakan para agamawan di gunung). Aksara Buda adalah istilah untuk menyebut aksara yang digunakan oleh para rsi di skriptorum-skriptorum Merapi-Merbabu yang berbeda dengan aksara Jawa kuno biasa.
Penelitian tetang soal mata rantai atau-jalur kesinambungan antara sastra Jawa Pertengahan dan sastra Jawa kuno menurut Romo Kuntara belum selesai. Masih terbuka kemungkinan-kemungkinan. Misalnya menurut Romo Kuntara masih belum terlacak mata rantai yang menjelaskan percabangan Kakawin Arjunawiwaha tradisi Bali dan tradisi Jawa.
Penelitian tentang naskah Kakawin Arjunawiwaha sendiri masih terus berlangsung. Willem Van Der Mollen misalnya dalam simposium di Borobudur Wriers and Cultural Festival 2019 alam makalahnya berjudul: Two Views: Arjuna in Old Javanese Literature sudah dua generai peneliti Jawa kuno tertarik untuk melakukan penelitian atas aspek-aspek yang berbeda dari Arjunawiwaha. Sementara dalam seminar Sancaya Sari untuk menghormati Stuart Robson di Malang duan tahun lalu Dr Anak Agung Gde alit Geria mengatakan bahasa Jawa kuno tetap eksis di Bali. Di Bali lontar-lontar seperti Arjunawiwaha tetap hidup sehari-hari karena adanya tradisi mabebasan dalam komunuitas sekaa yang mengkaji kakawin Jawa kuno dan Bali kuno. Tradisi ini bisa dianggap sebagai ajang kritik sastra. Sebab melalu mabebasan karya Jawa kuno ini tetap dibaca, ,diterjemahkan, diulas dan didiskusikan bersama.
Menurut Anak Agung Gde Alit Geria , kakawin-kakawin Jawa kuno tidak hanya dibaca, dilantunkan, didiskusikan. Tapi di Bali kakawin-kakawin baru tetap diciptakan olep para rakawi Bali di zaman ini .Di awal abad 20 misalnya pengarang ada sastrawan dan pandita Bali seperti Ida Pedanda Made Sidemen dari Griya Delod Pasar Intaran Sanur yang tetap menulis kakawin-kakawin Jawa kuno . Beliau meninggal 1984 dalam usianya 126 tahun. Bahkan di era globalisasi sekarang masih banyak penulis-penulis Bali yang menulis kakawin-kakawin. Hal demikian juga disampaikan oleh Raechelle Rubinstein dalam bukunya: Beyond The Realm of Senses (The Balinese Ritual of Kakawin Composition). Menurutnya Bali bukan hanya museum yang mengawetkan kakawin-kakawin Jawa kuno tapi di Bali sendiri secara terus menerus terjadi penciptaan kakawin-kakawin.
Pada titik ini menarik membaca tulisan Ida Made Windya dari Sekolah Tinggi Agama Hindu Negri Mpu Kuturan, Bali. Dalam tulisannya berjudul: Kakawin Arjuna Wiwaha: Kajian Teologi Hindu ia menjelaskan Kakawin Arjuna Wiwaha termasuk karya yang kerap dibaca dalam perkumpulan mabebasan. Satu bait atau lebih dari Kakawin digunakan pada upacara keagamaan yang berhubungan dengan Dewa Yañya dan Pitra yajña . Teks Arjuna Wiwaha yang digunakan di Bali adalah teks Arjuna Wiwaha versi Bali yang bersumber dari teks Mpu Kanwa . Menurut Windya, Kakawin Arjuna Wiwaha terjemahan Bali menghadirkan Arjuna sebagai seorang yogi, yang telah berhasil dalam tapanya. Arjuna adalah orang yang memiliki kelanggengan pikiran dalam memuja Śiwa, sesuatu yang menjadi sebab ia mendapat anugerah Hyang Śiwa .
Windya menulis, Arjuna dalam teks Arjuna Wiwaha yang diterjemahkan di Bali , Arjuna dipahami betul sebagai seorang yogi yang mengerti makna pasu, pati dan pasa. Pasu tiada lain adalah manusia sendiri, pati adalah Hyang Śiwa, sedangkan pasa adalah dunia maya yang mengikat manusia. Sebagai seorang yogi, Arjuna dapat membebaskan dirinya dari ikatan pasa sehingga ia mampu menyatu dengan Hyang Śiwa. Menurut Windya, dalam teks itu kuat sekali dideskripsikan yoga adalah suatu jalan kesucian. Sebuah pasasi dikutip Windya untuk menunjuukan hal ini : “Śaśi wimba haneng gaţa mesi bañu/ ndan asing śuci nirmala mesi wulan/ iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ ringangambêki yoga kiteng sakala//” (Bayangan bulan terlihat dalam tempayan berisi air, setiap yang (berisi air yang) suci hening berisi bulan, demikianlah Engkau Tuhan berada dalam setiap mahluk, pada orang yang melakukan yoga Engkau menampakkan diri)
Dalam teologi Hindu Bali – Arjuna sebagai seorang yogi, tampak mencapai alam samadhi. Pada pengalaman puncak samadhi itu menurut Windya, Arjuna lelap (lina), bertubuh halus (suksma sarira) dan berwujud sunya (niskala). Di situlah Arjuna memperoleh pencapaian spiritualitas tertinggi. Di situlah menurut Windya, Arjuna mengalami kebahagiaan tertinggi yang mustahil dibayangkan. Di situlah Arjuna tak lagi mengalami pemisahan antara dirinya sebagai subyek dan obyek. Batinnya tenang. Yoganya telah matang . Itu yang menyebabkan Śiwa turun datang – menyatu dengan diri Arjuna.
Romo Kuntara sendiri dalam menganalis isi Arjunawiwaha berpegang pada teori rasa dari India. Dia menganalis teks berdasar pembagian teori rasa dari India. Yaitu: sringara (asmara), hasya (komik), karuna (belas kasihan), raudra (ganas), vira (kepahlawanan), bhayanaka ( khawatir) bibhatsa (ngeri), adbhuta (takjub). Dari klasifikasi teori rasa India itu, Romo Kuntara melihat Arjunawiwaha didomuinasi oleh suasana vira (kepahlawanan).
Adalah menarik dalam ceramahnya di Malang, Stuart Robson – dua tahun lalu mengatakan bahwa menurutnya kakawin-kakawin Jawa Kuno tidak mengambil kaidah estetika berdasar teori rasa dari India tapi mengembangkan suatu jenis estetika sendiri. Para Mpu penulis kakawin menurut Stuart Robson selalu berusaha mencapai sebuah kondisi yang disebut lango. Lango dalam bahasa Jawa kuno bermakna keindahan, keindahan puisi. Dan itu menurut Stuart Robson tidak bisa dianalogikan begitu saja dengan estetika teori rasa dari India. ”Konsep lango –keindahan puitik ini adalah murni dan asli Jawa kuno sama sekali tidak mengambil dari teori rasa yang menjadi dasar estetika puisi-puisi dan drama-drama Sansekerta di India,” tegas Robson. Pada titik ini suatu saat mungkin menarik membandingkan yoga yang dilakukan Arjuna dalam berbagai versi Arjuna Wiwaha – dari perspektif yang digunakan Romo Kuntara, Stuart Robson sampai perspektif Hindu Bali. Mungkin dari situ terdapat akar-akar sebuah yoga nusantara – yoga yang sekali waktu pernah muncul dan berkembang di Jawa-Bali – yang tidak begitu saja dapat disamakan dengan yoga yang berasal dari India.
*Penulis adalah kerani biasa. Tinggal di Bekasi.