Nihilisme dan Sunyata, Membaca Nishitani di Kala Pandemi
Oleh Seno Joko Suyono
“…In Nietzsche, and in more contemporary figures like Heidegger, for instances, nihilism is dealt with on the horizon of the so called “ history of being.” This sort of situation does not exist in the east. Still, the east has achieved a conversion from the standpoint of nihility to the standpoint of sunyata…” (Keiji Nishitani, Religion and Nothingness)
Sebuah krisis dapat memicu nihilisme. Selama pandemi ini, Jean Tarrou sering digunakan sebagai contoh bagi sosok “nihilis yang kudus”. Tarrou adalah seorang wisatawan yang mengunjungi kota Oran dalam novel Albert Camus: Sampar. Epidemi menyerbu kota saat ia sudah lebih dari seminggu di kota itu. Oran jatuh dalam kondisi sangat darurat. Istilah kini mungkin Oran tergenang dalam zona merah akut. Oran mengalami lockdown total – dan pengucilan dari kota-kota lain. Tarrou tak bisa keluar dari kota itu .
Tarrou yang semula mungkin ingin melancong – menikmati hal-hal yang indah dan syahdu di kota kecil koloni Perancis di Aljazair tersebut – kini sebaliknya menyaksikan korban berjatuhan terus. Tarrou terlibat keras dalam usaha penyelamatan. Tarrou melihat mayat-mayat di setiap penjuru Oran. Bahkan anak-anak. Ia kehilangan kepercayaan. Ia tak lagi melihat adanya makna dalam kehidupan apalagi makna kematian. Ia menganggap Tuhan tak ada. Betapapun demikian – ia tetap membantu sebisa mungkin – menyelamatkan warga Oran sebagai buah tanggung jawab kemanusiannya.
Sejak awal ia terpanggil untuk menyingsingkan lengannya. Ia adalah orang pertama yang menggagas terbentuknya relawan di kota itu untuk mempersempit korban wabah – sebelum pemerintah Oran menurunkan kebijakan darurat “wajib militer” yang mengharuskan banyak warga menjadi sukarelawan. Tarrou mengkritik kebijaksanaan pemerintah daerah Oran yang berencana membebaskan narapidana – untuk dilibatkan dalam penyelamatan. Bagi Tarrou setiap orang secara moral harus bertanggung jawab.
Sikap Tarrou berbeda dengan sikap seorang pastor bernama Paneloux dan seorang dokter bernama Bernard Rieux . Paneloux dan Rieux adalah orang yang dalam keputusasaan masing-masing merasa tak berdaya. Mereka limbung menyaksikan kenyataan bahwa manusia ternyata demikian penuh keterbatasan-keterbatasan saat dihadapkan epidemi. Sebagai seorang romo, Peneloux batinnya guyah – karena tidak mampu memahami mengapa Tuhan mengirimkan wabah yang menyebabkan anak-anak tak berdosa mati.
Mengapa Tuhan memberikan hukuman penderitaan kepada warga Oran yang tak bersalah? Mengapa Tuhan menjatuhkan wabah yang tanpa bisa diprediksi kapan berakhirnya? Mengapa Tuhan sampai tega menyebabkan anak-anak tewas? Apakah makna dari hukuman Tuhan? Peneloux berusaha menghindari solilokui tentang Tuhan dan hukuman yang bergolak dalam batinnya dan kemudian hanya memilih pasrah menyaksikan malaikat maut muncul dimana-mana.
Sementara sebagai seorang dokter, Rieux tidak terlalu melakukan pertanyaan-pertanyaan kepada Tuhan – apalagi pengharapan-pengharapan untuk mengenyahkan wabah. Ia juga seorang ateis . Walaupun demikian Rieux tak seperti Tarrou yang dalam sikap ateisnya – banyak melakukan “pemberontakan filsafat” terhadap kehadiran Tuhan. Rieux nampak sebagai sosok dokter yang tersentuh –dengan meningkatnya banyak korban – dan kemudian lewat langkah-langkah medis kongkrit ia berjuang keras mencegah sebanyak mungkin orang meninggal.
Dalam novel Camus tak ada kisah mengenai vaksin atau tes swab bagi penduduk Oran seperti sekarang ini – tapi esensinya sama. Dunia medis adalah dunia yang awalnya dianggap dunia dengan ukuran objektif dan selanjutnya akan menjadi pahlawan yang menyelamatkan warga. Dengan dingin Rieux mendiagnosa dan berusaha menyembuhkan warga kota. Ia juga memilih-milih warga kota mana – dalam istilah sekarang yang harus melakukan isolasi. Tapi Rieux akhirnya juga menyadari kenyataan bahwa upaya-upaya medis pun banyak mengalami kegagalan. Ia menyerah.
Sosok Tarrou adalah seorang yang gelisah semenjak awal . Ayahnya adalah seorang pengacara yang banyak menjatuhkan hukuman mati. Dan sepanjang hidup Tarrou dihantui itu. Tarrou amatlah anti dengan hukuman mati. Sosok Tarrou dimata para pengamat adalah sosok nihilis semenjak awal – dan makin menjadi-jadi sebagai nihilis saat pandemi tiba. Betapapun demikian bagi seorang Camus Tarrou adalah perwujudan seorang Santo tanpa Tuhan. Sikap Tarrou ini–dan juga percikan permenungan-permenungan nihilis dalam diri dokter seperti Rieux atau bahkan romo alim seperti Paneloux bila kita baca dalam perspektif pemikiran seorang filsuf Jepang Keiji Nishitani mungkin menampilkan suatu jenis nihilisme – yang disebut Nishitani: nihilisme pesimistik.
***
Nishitani adalah seorang tokoh pemikir yang banyak mendiskusikan nihilisme, agama dan kekosongan di barat dan membandingkannya dengan timur. Ia sering disebut sebagai pemikir yang memadukan antara gagasan eksistensialisme dan mistisisme. Namun memang namanya jarang dikenal di sini. Nishitami adalah seorang penganut Zen Buddhisme. Ia dikenal tekun berlatih meditasi Zen di Kuil Shokokuji di utara Kyoto. Dan yang menarik ia adalah murid langsung Martin Heiddeger. Setelah meraih doktor di Universitas Imperial Kyoto pada tahun 1924 dengan disertasi yang membandingkan pemikiran Schelling dan Bergson, pada tahun 1937 Nishitani berangkat ke Jerman. Dan dari tahun 1937-1939 ia belajar kepada Heiddeger di Freiburg.
Dari Heidegger, Nishitani banyak mempelajari bagaimana lintasan pemikiran barat memahami being (ada) dalam sejarah dan waktu. Dan bagaimana filsuf-filsuf barat menghadapi dilema yang muncul antar being dan nihilisme. Selama belajar kepada Heidegger, Nishitani juga melakukan studi intens atas pemikiran mistikus Kristiani abad pertengahan Meister Eckhart. Nishitani berusaha menyelami metafisika barat, melihat sisi-sisi kelemahannya dan melengkapi dengan metafisika Zen dan konsep-konsep Budhis Mahayana mengenai perputaran waktu, sejarah yang berbeda dengan alam pikiran Kristiani atau agama-agama samawi. Kajian Nishitani yang subtil atas ontologi barat dan timur ini membuat Nishitani menghasilkan pemikiran unik dan orisinil. Ia disebut menyajikan suatu refleksi yang menghasilkan sintesis antara “Heideggerian dan Budhisme.”
Dan di kala pandemi ini – salah satu buku Nishitami yang saya baca adalah: Religion and Nothingness. Pasasi yang saya kutip di awal tulisan di atas adalah sebuah pasasi yang menunjukkan kegelisahan Nishitani atas metafisika barat – yang menurutnya selalu dibayang-bayangi atau dikejar-kejar oleh suatu jenis pemahaman nihilisme yang negatif. Buku Religion and Nothingness, pada dasarnya adalah suatu pergumulan Nishitani untuk menjelaskan bahwa tradisi Mahayana atau Budhisme memiliki – pemahaman mengenai kekosongan atau nothingness yang sama sekali berbeda dengan pemahaman barat. Budhisme memiliki sebuah pengertian ontologis dan kosmis mengenai kekosongan yang tak menyebabkan jatuh atau tergelincir dalam suatu nihilisme. Dalam konteks itulah ia berbicara tentang: sunyata.
Sunyata adalah sesuatu istilah yang tak mudah diterjemahkan dalam terminologi metafisika barat. Sunyata menurut Nishitani dalam tradisi Budhisme Mahayana adalah sebuah kekosongan absolut. Sunyata dalam dirinya sendiri adalah suatu self-emptying. Kekosongan dalam sunyata bukanlah sebuah kekosongan yang direpresentasikan sebagai sesuatu yang di luar being atau hal yang lain dengan being. Kekosongan dalam sunyata adalah kekosongan itu sendiri. Menurut Nishita sebagai kekosongan absolut – sunyata juga mengelak dari segala bentuk representasi kekosongan.
Kalimat Nishitani berikut yang saya kutipkan mungkin bisa menjelaskan inti pendapatnya: ”The foundation of the standpoint of sunyata : not that the self is empty , but that emptiness is the self, not that things are empty but that emptiness is things.” Nihilisme dalam tradisi eksistensialisme barat menurut Nishitani selalu dimaknai sebagai sesuatu bentuk ke-tanpa-dasaran eksistensi. Nihilisme dalam khazanah eksistensialisme barat selalu dikaitkan dengan persoalan being. Nishitani melihat gagasan mengenai being merupakan gagasan sentral atau titik Archimedes (titik tumpu) dalam pemikiran barat. Tidak hanya teologi atau filsafat namun seluruh pemikiran kebudayaan barat bertumpu pada pemahaman mengenai being.
Menurut Nishitani, tradisi pemikiran barat tak biasa membicarakan kekosongan (nothingness). Sementara sebaliknya tradisi timur (tentu saja Nishitani tak membicarakan ontologi Jawa, yang setidaknya dalam suluk-suluk sering mengumandangkan konsep Tan Kena Kinaya Ngapa, kasunyatan dan alam Awang Uwung) terdapat tradisi membicarakan nothingness. Nishitani melihat – kultur pemikiran di barat adalah kultur yang berpijak pada being sementara kultur pemikiran Budhisme Mahayana atau Budhisme esoterik adalah kultur yang berpijak pada pemikiran mengenai nothingness atau kekosongan. West as a cultures of being, and the East as a cultures of nothingness. Menurut Nishitani akibat akar pemikiran barat tak biasa memahami gagasan mengenai kekosongan- kekosongan akhirnya selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang di luar being. Kekosongan implikasinya sering dimaknai sebagai sesuatu yang negatif. Nothingness selalu dianggap bentuk negasi dari being. Dan ini menurutnya suatu bias ontologis yang sangat dasar.
Dengan pemikiran dasar seperti di atas – Nishitani lalu mengevaluasi –atau tepatnya memperbarui banyak pandangan para filsuf barat. Misalnya pandangan tersohor Nietzsche mengenai Eternal Recurrence. Nietzsche mempercayai sejarah berjalan dengan prinsip Eternal Reccurence atau Kembalinya Yang Sama secara Abadi. Bagi Nietzsche – tak sebagaimana para teolog Kristiani – dunia ini tak memiliki tujuan eskatologis. Dunia ini bagi Nietzsche tak berjalan di atas garis lurus menuju suatu titik omega tertu atau titik penyelamatan tertentu. Nietzsche yang terinspirasi pemikir Yunani kuno Heraiklitos percaya sejarah ini akan selalu berulang secara terus menerus. Dunia – dengan segala kebaikan dan keburukannya, kemuliaan dan kenistaan, keagungan dan kejijikannya – suatu waktu akan hancur – tapi tak akan musnah selamanya- dan akan muncul lagi persis sama berkali-kali hingga tak berhingga. Bagi Nietzsche tak ada sesuatu transenden yang bisa menyelamatkan ini semua- atau menghentikan ini semua. Semua itu akan berlangsung – mengalir terus tak henti-hentinya.
Secara kontemplatif dalam buku Religion and Nothingness, Nishitani membandingkan pemikiran Nietzsche ini dengan pandangan waktu Budhisme mengenai sebab musasab yang saling ketergantungan (pratitya samutpadha). Budhisme tidak membicarakan Tuhan sebagaimana Tuhan dalam pemahaman agama-agama samawi. Budhisme tidak membicarakan Tuhan dalam pemahaman antropomorfis yang menilai dosa dan pahala bagi, yang menentukan azab bagi setiap manusia ketika dunia ini tiba pada ujungnya. Tapi Budhisme memahami sejarah waktu dari sebab hukum–sebab akibat karma. Buku Nishitani pada intinya adalah perjuangan Nishitani untuk mengatasi nihilism-nihilisme pesimistik sebagaimana Nietzsche dengan menyodorkan suatu nihilisme lain yang secara radikal positif
Pada titik ini dapat dimengerti mengapa Nishitani sangat mengagumi pemikiran Meister Eckhart. Dalam buku itu ia menulis bahwa Meister Eckhart memiliki cara berpikir lain tentang Tuhan dengan kebayakan teolog-agamawan Kristiani ataupun para Jemaah Kristiani. Eckhart menurut Nishitani berani menawarkan suatu jenis teologi Katolik yang radikal. Eckhart menurut Nishitani mendistingsikan antara Tuhan dan esensi Tuhan (Gottheit). Dengan pembagiannya ini menurut Nishitami –tidak berarti dalam pemikiran Eckhart terdapat dua jenis Tuhan. Gottheit dalam perspektif Eckhart adalah Tuhan dalam dirinya sendiri. Dan dalam konteks pembacaan Nisithami, Eckhart membicarakan Tuhan sebagai suatu kekosongan absolut atau sepadan dengan sunyata dalam Budhisme.
Dalam artikelnya berjudul: God and Nothingness, Robert E.Carter berusaha menganalisa mengapa pemikiran Eckhart demikian memukau Nishitani. Menurut Robert E. Carter sebab pemikiran Eckhart tentang Tuhan adalah pemikiran yang paling bisa didekati dengan pemikiran-pemikiran mengenai kekosongan dalam Zen. Pemikiran Echart tentang esensi Tuhan (Gottheit) sesungguhnya sejajar dengan konsep Zen mengenai kekosongan total. Dalam pemikiran Eckhart – Tuhan sebagai pencipta yang dipahami seluruh umat Kristiani sesungguhnya hanyalah Tuhan dalam pandangan manusia dan bukan Tuhan dalam esensinya sendiri. Itu menurut Robert E.carter sebanding dengan istilah teolog modern Paul Tillich: God beyond God.
Sementara Hosoya Masashi dalam artikel panjangnya berjudul: Sensation and Image in Nishitani’s Philosophy yang melacak perkembangan pemikiran nihilisme dan kekosongan Nishitani dari artikel-artikel yang ditulis oleh Nishitani mengatakan bahwa Nishitani mulai secara intens merenungkan nihilisme dimulai dari artikel What is religion? yang ditulis Nishitani tahun 1961. Dan semakin hari dalam artikel-artikelnya Nishitani semakin ingin menunjukan suatu jenis nihilisme yang bukan pesimis untuk memberi tandingan (atau mengobati) nihilisme pesimis ala barat. Menurut Masashi, Nishitani tertarik dengan gagasan Nietzsche: creative nihilism. Namun Nishitani ingin mengatasi gagasan Nietzsche tersebut. Tidak seperti Nietzsche, Nishitani ingin menegaskan bahwa nihilisme timur merupakan sebuah jenis metafisika yang positif.
***
Adalah menarik bila di tengah-tengah membaca Religion and Nothingness –kita sedikit menelusuri tentang sejarah perdebatan konsep sunyata dalam tradisi pemikiran India sendiri agar apa yang dikatakan Nishitani dapat kita ketahui duduk persoalan konteksnya. Sebab bila kita baca buku Religion and Nothingness sendiri kurang gamblang menjelaskan sejarah perdebatan –bahkan sama sekali tak menyebutnya. Nishitani –agaknya bukan pemikir Buddhis seperti Daisaku Ikeda atau D.T Suzuki –yang tatkala menulis Budhisme selalu memberi konteks sejarahnya .Tulisan Nishitani dalam Religion and Nothingness lebih sebagai suatu essay permenungan sebagaimana Camus – tanpa tergoda sama sekali untuk menjadikan traktat yang rigid. Nishitani agaknya memang menghindari cara berpikir filsafat yang sistematis.
Sesungguhnya gagasan tentang sunyata pun dalam khazanah pemikiran filsafat Buddhisme tak lepas dari debat dan polemik-polemik. Gagasan sunyata bukan gagasan yang statis, sekali muncul dalam sejarah dan kemudian diterima semua kalangan intelektual Budhisme – diwariskan dari generasi ke generasi tanpa suatu perselisihan pendapat. Gagasan itu ternyata didiskusikan, diperselisihkan, diperluas visi-visinya dan memicu lahirnya mazhab-mazhab pemikiran dalam aliran filsafat Budhisme.
Dan debat mengenai sunyata dan kekosongan dalam tradisi Budhisme sendiri ternyata sudah jauh muncul yaitu pada sekitar abad 2-3 Masehi. Para peneliti Budhisme menenggarai di paruh pertama masehi itu telah terjadi debat mengenai kekosongan yang kemudian berlanjut generasi demi generasi antara mazhab Madhyamika dan mazhab Yogacara. Jay L Garfield dalam pengantar buku: Madhyamaka and Yogacara Allies or Rivals? mengatakan baik Madhyamaka dan Yogacara sesungguhnya adalah dua mazhab filsafat Budhisme yang sama-sama membicarakan konsep kekosongan, hanya saja cara mereka menggunakan vokabuler serta konsep yang dipakai sangat berlainan. Hal senada juga dikemukakan oleh pakar Budhisme G.M Nagao dalam buku: Madhayamika and Yogacara: A Study of Mahayana Philosophies.
Untuk mengetahui awal munculnya filsafat sunyata atau filsafat kekosongan dalam Budhisme kita harus mulai dari Nagarjuna. Nagarjuna adalah pemikir Buddhis yang sekitar abad 2 masehi mendirikan mazhab Madhayamika. Awal munculnya pemikiran mengenai sunyata dikarenakan pembelaan Nagarjuna atas pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam sutra-sutra Mahayana yang menyajikan tema kesempurnaan kebijaksanaan atau Prajnaparamita dari sanggahan aliran pemikiran Sarvastivada. Dua sutra Prajnaparamita yang terkenal: Heart Sutra (dalam bahasa Sansekerta: Prajnaparamitahrdaya Sutra) dan Diamond Sutra (dalam bahasa Sansekerta: Vajracchedika Prajnaparamita Sutra) yang dibela Nagarjuna misalnya membicarakan konsep kekosongan.
Inti pemikiran yang terkandung dalam kedua sutra itu adalah tidak ada eksistensi diri dalam apapun termasuk nirvana. Salah satu pasasi yang terkenal dalam Heart Sutra mengenai kekosongan misalnya berbunyi: “Bentuk adalah kekosongan, kekosongan adalah bentuk, bentuk tidak berbeda dengan kekosongan, kekosongan tidak berbeda dengan bentuk. Hal yang sama berlaku untuk perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, pembentukan mental dan kesadaran.”
Pemikiran dalam teks-teks Prajnaparamita ini ditolak oleh para pemikir mazhab Sarvastivada. Sarvastivada adalah aliran pemikiran besar yang di India muncul sudah sejak abad 1 M dan bertahan kuat sampai abad-abad berikutnya. Pokok keyakinan kaum Sarvastivada adalah eksistensi-eksistensi tertinggi (dharma) adalah hal yang memiliki realitas sendiri (svabhava) atau bersifat riil dalam dirinya dan dari dirinya sendiri. Serta memiliki esensi dan identitas sendiri (svalaksana). Buddha berpandangan bahwa apa yang disebut self atau diri itu sesungguhnya tidak ada. Sarvastivada dalam tafsirnya berpendirian self memang adalah sesuatu yang tidak riil karena self merupakan konstruksi-konstruksi. Akan tetapi Sarvastivada berpendapat unit-unit tertinggi yang mengkonstruksikan self yaitu dharma bersifat riil dan tidak bergantung pada atau tidak dapat direduksikan kepada sesuatu yang lain.
Pokok pokok pemikiran Sarvastivada ini yang ditentang balik secara keras oleh Nagarjuna karena dianggap menyalahi doktrin dasar Budhisme bahwa: proses munculnya eksistensi selalu dalam ketergantungan satu sama lain yang senantiasa berubah (pratitya samutpada). Eksistensi menurut teks-teks Prajnaparamita tidak memiliki kodrat dalam dirinya sendiri tapi keberadaannya ditentukan hubungan satu sama lain. Nagarjuna selanjutnya untuk menghantam pemikiran Sarvastivada mengeksplorasi lebih dalam gagasan tentang pratitya samutpada dan kekosongan yang menjadi prinsip sutra Prajnaparamita.
Menurut Jan Westerhoff penulis buku: Nagarjuna’s Madhyamaka ada 6 buku yang ditulis oleh Nagarjuna antara lain: Mulamadhyamakakarika, Yuktisastika, Sunyatasaptati, Vihagravyavartani, Vaidalyaprakarana dan Ratnavali. Keenam teks ini sering disebut sebagai corpus Yukti. Westerhoff mengatakan selama ratusan tahun muncul begitu banyak kitab komentar yang membedah dan menguraikan teks-teks Nagajurna ini di India, Cina, Tibet. Dan sering kitab-kitab komentar ini mampu menyajikan informasi yang sangat berharga mengenai terminologi dan isi filsafat Nagarjuna. Tak jarang kitab-kitab komentar ini bahkan mampu mengungkit dan menjelaskan apa yang tampak “diam” dalam teks-teks Nagarjuna . Bahkan kitab-kitab komentar ini mampu memberi alternatif tafsiran.
Dalam buku-bukunya Nagarjuna berusaha menunjukkan kelemahan interpretasi kaum subtansialis dan esensialis (yang dalam hal ini bagi Nagarjuna bukan hanya pemikiran kaum Sarvastivada melainkankan juga pandangan Hindu). Bagi Nagarjuna eksistensi bukanlah sesuatu yang swa ada. Itulah yang ditekankan dalam buku utamanya Mulamadhyamakakarika. Buku ini terdiri dari 27 bab. Tiap bab menyajikan ulasan dan analisa terhadap topik-topik seperti gerak dan non gerak (Gatagata-pariksa), self (Atma-pariksa),waktu (Kala-pariksa),tindakan dan agensi (Samskara-pariksa), kebebasan (Nirvana-pariksa), persepsi (Drsti-pariksa),penderitaan (Dukha-pariksa) dan lain sebagainya. Di setiap topik itu Nagarjuna menyerang bahwa pandangan para subtansialis dan esensialis tentang realitas adalah pandangan yang keliru dan penuh kontradiksi.
Nagarjuna melihat sebab-sebab dapat menghasilkan akibat-akibat hanya karena sebab-sebab itu kosong dan tidak memiliki kekuatan kausal yang ada dalam dirinya sendiri. Menurut Nagarjuna segala sesuatu lahir dan mati bukan karena segala sesuatu itu memiliki entitas yang independen dan swa-ada namun karena ketergantungannya satu sama lain. Dan kekosongan adalah landasan bagi lahirnya eksistensi yang saling bergantungan. Segala sesuatu pandangan bahkan pandangan tentang Buddha, Nirvana dan Empat kebenaran Mulia dan hal-hal tertinggi lainya bagi Nagarjuna haruslah dimengerti bersifat kosong karena kalau tidak akan jatuh pada konstruksi konseptual belaka. Bahkan Nagarjuna berpendapat kekosongan sendiri adalah juga kosong.
Pemikiran Nagarjuna ini menancapkan pengaruh yang kuat dan Besar. Sampai kemudian muncullah mazhab Yogacara yang mengritik pemahaman Nagarjuna mengenai sunyata atau kekosongan ini. Menurut G.M Nagao dalam buku: Madhayamika and Yogacara: A Study of Mahayana Philosophies di atas para pemikir Yogacara sadar bahaya terbesar bagi doktrin kekosongan yang dikemukakan Madhayamaka adalah bahaya jatuhnya pemikiran ke dalam suatu nihilisme. Sebab nihilisme adalah sesuatu yang inheren dalam kekosongan.
Mazhab Yogacara adalah mazhab yang menitikberatkan pada praktek meditasi. Para pemikir Yogacara menurut Nagao dalam praktek itu percaya kepada doktrin kekosongan namun berusaha membersihkan konsep kekosongan yang mereka anggap salah (durgrhita-sunyata) dan berusaha memberikan pemahaman tentang kekosongan yang benar (surgrhita-sunyata). Para pemikir Yogacara awal lebih jauh menurut Nagao memandang Yogacara adalah kompelemen dan perkembangan lebih lanjut dari Madhayamika.
Seperti dikatakan di atas pandangan Nagarjuna tentang kekosongan ini oleh kaum Yogacara dianggap rentan tergelincir ke arah nihilisme (nastikadrsti) ekstrem. Paham Yogacara setuju dengan doktrin mengenai kekosongan akan tetapi melihat kaum Madhyamaka tidak memiliki eksplanasi yang ade kuat mengenai apa itu kekosongan dan bagaimana hubungannya dengan kesadaran manusia. Madhyamika menurut Yogacara mengerahkan seluruh energinya untuk menolak dan memperlihatkan kontradiksi pandangan para substansialis tapi sayangnya Madhyamaka menurut Yogacara tidak memiliki teori pengetahuan sendiri. Kaum Madhyamaka di mata kaum Yogacara bila ditanya mengenai apa pandangannya selalu berujung jawaban segala sesuatu adalah kosong. Madhyamaka maka dipandang Yogacara adalah suatu kritisisme murni yang meyakini kritisisme sendiri adalah suatu bentuk filsafat. Hal ini yang dinilai Yogacara terlalu spekultif. Kekosongan oleh Madhyamaka tidak pernah dijelaskan secara memadai.
Mazhab Yogacara sendiri didirikan oleh Asanga dan Vasubandu pada sekitar abad 4 M. Bila Madhyamaka bertolak dari sutra Prajnaparamita maka Yogacara melandaskan diri pada sutra Samdhinirmocana. Yogacara dianggap memberi sumbangan besar karena berusaha menjelaskan tahap-tahap kesadaran dan hubungannya dengan kekosongan. Sebagaimana Madhyamaka yang melahirkan banyak filsuf setelah Nagarjuna meninggal, aliran ini melahirkan pemikir-pemikir produktif setelah era Asanga dan Vasubandu. Yogacara membangun sebuah teori pengetahuan yang menurut klaim mereka membuat kekosongan bisa dipahami dan tidak hanya dijelaskan melalui penyangkalan-penyangkalan sebagaimana Madhayamaka. Yogacara terkenal dengan pendapatnya mengenai Trisvabaha. Yaitu pandangan yang mengatakan segala sesuatu dapat dikenali dalam tiga aspek. Menurut Yogacara, sebuah benda dapat dicerap dalam tiga cara. Pertama, sebagai sesuatu yang dapat dikonstruksi secara konseptual. Dua, sebagai sesuatu yang dikondisikan oleh benda-benda lain. Ketiga, sebagai sesuatu sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri yang bebas dari konstruksi konseptual atau istilahnya tathata. Sebagai sebuah aliran yang menitik beratkan laku praktek meditasi dan yoga, kaum Yogacara menekankan pengetahuan dalam tingkat tathata ini.
Dalam kaitannya dengan Trisvabaha di atas Yogacara memahami adanya dua strata atau tingkat kesadaran. Strata pertama, adalah tingkat kesadaran yang dalam mengenali sesuatu masih bersifat dualistis antara subyek dan obyek. Strata kedua, adalah kesadaran yang sudah berada dalam fase mampu mengatasi dualisme subyek-obyek atau kesadaran non-dualistis. Dalam taraf non-dualistis, pengetahuan yang diterima kesadaran bersifat segera dan langsung dengan tak melibatkan representasi subyek dan obyek. Pada kesadaran jenis ini Yogacara terkenal karena melontarkan pandangan bahwa dalam diri manusia ada kesadaran fundamental yang disebut Alayavijnana. Alayavijnana adalah lapisan kesadaran yang sangat dalam,yang demikian halus yang mendasari kesadaran biasa. Dalam Alayavijnana disimpan benih-benih pengalaman masa lampau dan benih-benih ini bisa menjadi potensi pengalaman masa depan manusia. Karena adanya benih-benih masa lalu dan masa depan inilah Yogacara memberikan eksplanasi mengapa subyek (manusia) sesungguhnya kosong dari realitas pribadi dan obyek adalah kosong dari realitas benda.
Ashook Kumar Chatterjee penulis buku The Yogacara Idealism lebih jauh menjelaskan bahwa kaum Yogacara lah yang pertama memperkenalkan sebuah sistem metafisika yang bertumpu pada prinsip Tathagata. Tathagata adalah prinsip ultimate reality. Tathagata bersifat kosmis. Menurut Chatterjee , Thatagata dalam pemahaman Yogacara akan tetapi tidak bisa disamakan secara sederhana dengan konsep adi kodrati pada sistem teistik agama-agama. Juga tidak bisa diparalelkan semata-mata dengan konsep absolut tertinggi . Thatagata tidak bisa dicitrakan apapun sebagai person. Thatagata tidak bisa dikatakan memiliki eksistensi atau tidak memiliki eksistensi. Tathagata mengelak dan tidak bisa dideskripsikan dalam seluruh kategori pemikiran. Thatagata adalah prinsip non-dualistik. Thatagata adalah sumber semua dharma yang tidak bisa diteminologikan dalam sebuah sistem dharma tertentu. Thatagata transenden terhadap semuanya. Para pengikut Yogacara menurut Chateerjee meyakini kesadaran yang kreatif mampu menjangkau prinsip non-dualistik ini. Para meditator Yogacara artinya memfokuskan orientasi laku yoganya kepada sistem metafisika Tathagata ini.
Awal munculnya Yogacara sesungguhnya tidak langsung melahirkan pertentangan diametral dengan Madhyamaka. Para pioner Yogacara bahkan menulis kitab komentar terhadap teks-teks Madhyamaka. Menurut Jay L. Garfield di atas Asanga, Sthiramati dan Gunamati misalnya menulis kitab komentar atas karya pokok Nagarjuna: Mulamadhyamakakarika. Sementara Dharmapala, penganut Yogacara yang menjadi rahib di biara Nalanda menulis traktat yang mengomentari buku : Catuhsakata dan Satasastra yang merupakan karya Aryadeva murid Nagarjuna. Para peneliti Buddhis masa kini berusaha melacak di titik sejarah mana kemudian awal terjadi polemik dan debat berkepanjangan antara para pemikir Madhayamaka dan Yogacara. Beberapa akademisi bahkan berusaha memahami kemungkinan-kemungkinan kesalah pahaman yang terjadi antara para pemikir Madhyamaka dan Yogacara.
Pendapat menarik misalnya datang dari K.Venkata Ramanan penulis buku Nagarjuna Philosophy. Ramanan berpendapat bahwa kesalahan memahami Madhayamaka karena dalam membaca Mulamadhyamakakarika karya Nagarjuna, kebanyakan “para musuh” Madhayamaka tidak memahami teks Mulamadhyamakakarika dalam satu kesatuan sistem dengan teks-teks Nagarjuna lain. Sehingga menurut Ramanan cara pemahamannya parsial dan tidak mendapat gambaran pemahaman yang utuh dari filsafat Nagarjuna. Bila hanya membaca Mulamadhyamakakarika tanpa membaca teks Nagarjuna lain maka menurut Ramana seseorang akan jatuh terjebak dengan gambaran penalaran Nagarjuna yang cenderung “negatif”. Seperti dikatakan di atas seluruh isi kitab Mulamadhamakakarika berisi argumentasi Nagarjuna untuk menjatuhkan pandangan para substansialis terhadap berbagai konsep. Caranya dengan menelanjangi kontradiksi-kontradiksi pemikiran para substansialis sampai akhirnya menunjukkan bahwa pandangan para esensialis itu tak masuk akal alias absurd.
Strategi berdebat demikian ini menurut Ramanan merupakan taktik beragumentasi menggunakan metode reductio ad absurdum. Reductio ad absurdum atau argumentum ad absurdum adalah suatu cara argumen logika yang memperhadapkan asumsi-asumsi lawan diskusi kepada implikasi kontradiksi yang tidak dapat disangkal oleh lawan sekaligus tidak diinginkanya. Yang pada akhirnya, secara logis membuat lawan diskusi harus menerima bahwa klaimnya tidak benar atau tidak masuk akal. Menurut Ramanan, banyak para “musuh” Madhyamaka gagal menangkap poin-poin utama yang ingin disampaikan Nagarjuna dalam Mulamadhyamakakarika lantaran terjebak untuk lebih memperhatikan gaya argumentasi Nagarjuna daripada menyelami gagasan inti Nagarjuna yang memiliki kesinambungan dengan gagasan pokoknya di teks-teksnya lain.
Pendapat menarik lain yang menunjukkan bahwa pemikiran Nagarjuna dalam Mulamadhyamakakarika sering salah dipahami misal adalah pendapat David J.Kalupahana penulis buku Mulamadhyamakakakarika of Nagarjuna:The Philosophy of Middle Way. Pendapat Kalupahana malahan menurut saya cukup mengejutkan. Dia berpendapat, selama ini para peneliti cenderung mengasumsikan sebagai pendiri Madhayamaka, Nagarjuna pasti menolak rujukan-rujukan kitab yang menjadi referensi utama kaum Sarvastivada.
Dari penelitian yang bertumpu pada pandangan A.K Warder, Kalupahana memberikan petunjuk bahwa bila membaca dengan teliti Mulamadhayamakakarika, kita tidak akan menemukan secara eksplisit rujukan Nagarjuna terhadap teks Prajnaparamita sebagaimana yang banyak disangka melainkan justru rujukan kepada kitab Sarvastivada bernama Katyayanavavada, sebuah teks yang menurut Kalupahana dalam Kanon Tripitaka Theravada berbahasa Pali dikenal bernama Kaccayanagotta-Sutta. Kaccayanagotta-Sutta berisi uraian mengenai inti eksistensi dan non eksistensi. Dalam Tripitaka Pali, teks ini menjadi bagian Samyutta-Nikaya Kaccayagotta-Sutta menurut Kalupahana sangat memiliki pengaruh bagi pemeluk Theravada. Kalupahana berpendapat sesungguhnya pemisahan Mahayana dan Theravada tidak perlu dilebih-lebihkan apabila orang mengingat bahwa adanya persamaan fundamental antara Mulamadhyamakakarika dengan Kaccayanagotta-Sutta.
Lepas dari adanya kemungkinan-kemungkinan baru itu, para akademisi dan sejarawan Budhisme agaknya sepakat bahwa pertikaian pemikiran antara Madhayama dan Yogacara secara sengit dimulai dari serangan intelektual Madhayamaka bernama Bhavaviveka ( 490-570 M) terhadap teks-teks Yogacara. Bhavaviveka menulis buku-buku seperti Prajnapradipa dan Madhyamakahhrdaya Tarkajvala yang dianggap merupakan komentar sistematik utama bagi buku Nagarjuna Mulamadhayamakakarika. Pada bab 5 buku Madhyamakahhrdaya Tarkajvala yang bertema Yogacarattvaviniscayavattara (Analisis Realitas Yogacara) menurut Malcolm David Eckel dalam sebuah artikel berjudul: Bhavaviveka On The Dispute Between Madhyamaka and Yogacara, Bhavaviveka menyerang tiga buku Yogacara: Yogacarabumi, Madhyatavibhaga dan Alambanapariksa.
Tak hanya berhenti menyerang dalam bentuk tulisan. Bhavaviveka sampai mendatangi Dharmapala (530-561 M), ahli Yogacara yang mengajar di biara Nalanda. Dharmapala menulis buku yang mengomentari kitab Sataka karya Aryadeva. Dalam komentarnya itu Dharmapala mengulas superioritas pemahaman kekosongan (sunyata) Yogacara dibanding Madhayamaka. Buku Dharmapala itu oleh para ahli disebut sebagai buku pertama dari pemikir Yogacara yang secara eksplisit mengritik pandangan Madhayamaka. Buku itu kemungkinan juga merupakan respon Dharmapala atas buku Bhavaviveka Madhyamakahhrdaya Tarkajvala.
Dalam kitab itu Dharmapala menguraikan bagaimana posisi bahasa dalam menjelaskan kekosongan – sesuatu yang dianggap mustahil oleh Madhayamaka. John P Keenan dalam studinya berjudul: Dharmapala’s Yogacara Critique of Bhavaviveka’s Madhyamika Explanation of Emptiness menjelaskan secara rinci perdebatan ini. Bhavaviveka menurut Keenan gerah mendengar kabar Dharmapala mengajar di Nalanda dan ajaran-ajarannya yang menyerang Madhayamaka menarik banyak para rahib. Hsuan Tsang , peziarah Cina abad 7 M menurut Eckel menyatakan Bhavaviveka yang tinggal di kota Andhara, India Selatan datang ke Nalanda menantang debat Dharmapala. Namun Dharmapala tak mau melayani tantangan konfrontasi Bhavaviveka.
Bhavaviveka juga terlibat dalam polemik sesama pemikir Madhyamaka. Bhavaviveka misalnya menyerang pemikiran Buddhapalita (470-550). Mereka berdua hidup sezaman namun para ahli memperkirakan keduanya tidak pernah bertemu. Budhapalita adalah biku lulusan Nalanda yang kemudian menetap dan mengajar di biara Dantapuri, India Selatan. Ia dikenal sebagai pendiri aliran cabang Mahadyamika yang disebut Prasangika. Prasangika mengembangkan metode reduction ad absurdum Nagarjuna. Sementara Bhavaviveka dikenal mengikuti aliran cabang Mahadyamaka bernama Svatantrika. Aliran ini didirikan oleh Dignaga dan Dharmakitri yang mendepankan argumentasi logico-epistemologis dalam mengeksplanasi sesuatu. Bhavaviveka mengritik uraian Buddhapalita dalam Buddhapalitavrti yang menurutnya hanya mengulang metode Nagarjuna tanpa menggunakan silogisme yang jernih.
Bhavaviveka berpendapat bahwa logika mampu membantu membawa pembaca ke suatu kesimpulan otomatik tentang kekosongan. Menurut Bhavaviveka tugas seorang komentator adalah membuat pemikiran Nagarjuna bisa dipahami lebih terang dengan logika. Kitab komentator adalah kitab perantara yang bisa menangkap makna dan menjelaskan apa yang masih samar-samar dan kabur dalam kitab Nagarjuna. Kitab komentator memiliki peran secondary text yang mampu menambah pengertian atas kitab Nagarjuna. Di mata Bhavaviveka buku Buddhapalita hanya menduplikat metode Nagarjuna dan hanya berstatus verbatim- mengulang kata demi kata Nagarjuna tanpa mempertimbangkan dan menguraikannya sama sekali.
Chandarakirti (600-650 M) yang meneruskan metode Prasangika Buddhapalita kemudian membela pemikiran Buddhapalita dari kritik Bhavaviveka. Chandrakirti lahir saat baik Bhavaviveka dan Buddhapalita telah wafat. Chandrakirti sendiri dikenal adalah biku biara Nalanda. Di Nalanda dia termasuk belajar kepada ahli tata bahasa (grammar) Sansekerta Chandragomin. Kisah-kisah seputar Chandrakirti mengatakan di Nalanda Chandrakirti mampu melakukan mukjizat. Chandrakirti misalnya dikatakan bisa memerah susu dari gambar sapi dan membagikan susu itu untuk dikonsumsi para biku Nalanda. Melalui buku Prasannada Chandrakirti balik menyerang pemikiran Bhavaviveka. Chandrakirti menolak pendapat Bhavaviveka bahwa logika bisa membawa ke sebuah kesimpulan otomatik. Buku Bhavaviveka dianggapnya hanya penuh pameran pengetahuan Bhavaviveka tentang uraian-uraian logika. Chandrakirti lebh jauh menolak tradisi logico-epistemologis Dignaga yang digunakan oleh Bhavaviveka. Bagi Chandarakirti kecenderungan menggunakan logico-epistemologis dalam menguraikan pemikiran Nagarjuna adalah suatu intelektualisasi yang justru menyimpang dari pemahaman fundamental Madhayamaka. Nagarjuna sendiri menurut Chandrakirti tak pernah menggunakan argumen pembuktian semacam itu.
Dari uraian di atas dapat dilihat perdebatan Madhayamaka-Yogacara bahkan tetap berjalan walaupun eksponen-eksponen pemikir yang berpolemik telah wafat. Dialektika intelektual dalam Budhisme Mahayana tetap berlangsung melalui pertarungan pemikiran dalam buku-buku bukan perjumpaan-perjumpaan face to face langsung. Seperti dikatakan oleh Richard H Jones perdebatan Madhayamaka dan Yogacara akan tetapi harap dimengerti tidak sampai menjadi skisma yang menimbulkan perpecahan dalam Mahayana sebagaimana terjadi di agama Katolik yang melahirkan Protestan. Di Tibet, Yogacara dan Madhyamaka bahkan kemudian mengalami hibridisasi atau bercampur menjadi satu. Teks pemikiran Madhayamaka yang pertama kali diperkenalkan dan diterjemahkan pada abad 8 M di Tibet adalah teks Madhayamakalankara karya Shantarakshita. Shantarakshita adalah biku dari Nalanda pada abad 8 M. Shantarakshita dikenal mendirikan mazhab pemikiran Yogacara-Svatantrika-Madhyamaka yang menggabungkan pemikiran Nagarjuna-Asanga dan epistemologi Dharmakitri.
Sebagaimana ditulis dalam buku: The Adornment of the Middle Way: Shantarakshita’s Madhyamakalankara, Shantarakshita datang ke Tibet atas undangan Raja Trisongdetsen. Abad pertama menyebarnya agama Buddha di Tibet, pemikiran Shantarakshita yang dilanjutkan muridnya Kamalashila dikenal luas. Para biku Tibet juga mengenal perdebatan-perdebatan Bhavaviveka karena Bhavaviveka dianggap sama dengan Shantarakshita merujuk ketrampilan bernalar kepada ahli logika Dharmakitri . Akan halnya nama Chandrakirti sudah dikenal di Tibet sejak dari abad 8 namun kitab Chandrakirti Prasannada terlambat masuk ke Tibet sampai kurang lebih 4 abad. Kitab itu baru diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet pada abad 12 M. Yang menarik pemikiran Chandrakirti ini kemudian tertanam dalam arus utama pemikiran di Tibet dan menjadi dasar bagi skolastisme pemikiran Buddhis Tibet. Pendekatan Prasangika yang diperkenalkan Chandrakirti mendapat sokongan penuh oleh Tsongkhapa (1357-1419) pendiri aliran Gelugpa, yang sampai kini masih menjadi mazhab besar Vajrayana di Tibet. Uraian-uraian dan pandangan-pandangan Chandrakirti dalam mendekati kekosongan oleh Tsongkapha dianggap lebih superior daripada usaha penjelasan logik dan epistemologis Bhavavika, Shantarakshita dan Kamalashila.
***
Bila kita ikuti riwayat singkat sejarah mengenai perdebatan mengenai sunya di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Nishitani mengikuti jalur mazhab Madhayamaka. Nishitani secara terbuka mengolah gagasan tentang nihilisme – sesuatu yang dituduhkan mazhab Yogacara kepada Nagarjuna dan mazhab Madhayamaka. Proyek filosofis Nishitani bahkan ingin menunjukkan bahwa nihilisme dan kekosongan absolut dalam tradisi pemikiran Budhisme haruslah dipahami sebagai sesuatu yang secara positif radikal.
Nishitani tentunya tahu mengenai sejarah panjang perdebatan itu di masa kuno. Betapapun demikian dalam buku: Religion and Nothingness ia terasa tidak ingin terjun dalam polemik abad-abad lalu yang tak pernah ada kata putus itu. Tak ada penjelasan Nishitani dalam buku itu mengenai polemik tersebut. Apalagi ikut turut campur menilai pandangan-pandangan mazhab Yogacara.
Perhatian Nishitani memang bukan pada sanggah menyanggah persoalan kekosongan itu . Sebagaimana diuraikan oleh Robert E. Carter dalam pengantar buku Nishitani yang lain: On Buddhism, perhatian utama Nishitani sebetulnya adalah krisis-krisis modernitas baik di barat maupun di timur di zaman sekarang. Dia melihat tradisi barat secara internal di masa kini dibayang-bayangi bahaya jatuh ke dalam suatu bentuk nihilisme yang negatif. Demikian juga masyarakat sekuler Jepang dewasa ini . Masyarakat modern dan post industri dalam hal ini menurut dia di manapun cenderung rentan. Nishitani hendak mengingatkan bahwa akar-akar Budhisme Mahayana memiliki tradisi memahami sunyata dan nihilism secara positif yang mampu digunakan sebagai pijakan untuk memaknai segala hal yang absurd dalam realitas ini (termasuk mungkin pandemi dalam konteks sekarang) sehingga tidak mudah jatuh dalam sikap-sikap fatalistik.
Dalam hal ini sesungguhnya Nishitani sebagaimana banyak filsuf barat lainnya seperti Herbert Marcuse tergolong filsuf yang memiliki atensi terhadap krisis-krisis masyarakat post-industri. Banyak filsuf yang berusaha mensitesakan antara nilai-nilai barat dan timur untuk merenungkan problem ini. Saya ingat pada tahun 80-an pernah terbit terjemahan buku yang dikarang seorang penulis Amerika keturunan Vietnam To Thi Anh berjudul: Nilai Budaya Timur atau Barat Konflik atau Harmoni? Buku ini menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara kultur barat dan timur. Barat sangat mengagungkan kultus persona, tradisi humanistik, petualangan teknik dan nilai-nilai yang berasal dari penghargaan martabat manusia seperti: Demokrasi, kesejahteraan ekonomi, kebebasan dan impian-impian utopia. Sementara timur lebih memprioritaskan kultus harmoni dan suatu etik situasional yang mempertimbangkan individu untuk mengabdi kepada masyarakat.
To Thi Anh menyadari, namun untuk kebutuhan masyarakat modern memegang prinsip-prinsip itu sebagaimana sesuatu yang salang berhadapan tidaklah cukup. Buku To Thi Anh ditulis tahun 1975 – saat era internet belum muncul secara global. Tapi dia sudah memperingatkan perkembangan komunikasi dalam masyarakat modern akan makin membuat jarak apa yang disebut timur dan barat itu terhapus. Menurutnya masyarakat modern (saat itu) adalah era untuk saling memperkaya dan melengkapi. Era dimana pertukaran kebudayaan harus makin sering terjadi. Jauh-jauh hari To Thi Anh teah memperingatkan kita akan masuk sebuah era dimana fase individualisasi telah lenyap –dan kita harus mau tak mau memasuki fase partisipasi.
Nishitani termasuk penulis seperti To Thi anh yang mempelajari karakter-karakter dasar filsafat barat dan timur. Namun Nishitani lebih dalam. Ia ingin masuk ke lapis yang paling dasar dari krisis – yaitu nihilisme. Sebuah jalur pemikiran yang mungkin tergolong berat dan yang susah dicerna bila orang menginginkan kepraktisan berpikir. Namun pemikiran Nishitani ini cukup mendapat perhatian di barat. Banyak para penulis kemudian menyadari perlunya membandingkan pemikiran Nishitani ini dengan pemikiran-pemikiran teolog barat kontemporer yang secara radikal memaknai Tuhan dengan perspektif yang berbeda.
Di atas telah disebut bagaimana Paul Tillich mengemukakan konsep: God Beyond God. Sebuah artikel berjudul: Keiji Nishitani and Karl Rahner: A Response to Nihility yang ditulis Heidi An Russel misalnya melihat adanya paralelitas antara pemikiran Nishitani dan pemikiran rohaniawan Jesuit, Karl Rahner. Menurut Heidi, Karl Rahner berpendapat perjuangan melawan ateisme pada dasarnya adalah juga perjuangan untuk melawan pemahaman atas Tuhan yang diperlakukan sebagai idol. Bagi Rahner, Tuhan adalah suatu incomprehensible mystery – suatu misteri yang tak bisa didekati.
Rahner melihat Tuhan adalah suatu misteri absolut (absolute mystery). Pewahyuan menurut Rahner tidak menyelesaikan misteri Tuhan malah meningkatkan kemisterian atau inkomprehensibilitas -sifat Tuhan yang tidak dimengerti. Pada titik ini menurut Heidi terdapat paralelitas antara pemikiran Nishitani tentang sunyata dan pemikiran Karl Rahner. Demikianlah, dialog-dialog antar pemikir Kristiani dan Nishitani – sebagaimana dilakukan Heidi An Russel akan terus berlanjut. Pemikiran Nishitani tentang kekosongan – pada akhirnya mampu menjadi sebuah jembatan pemikiran bagi pemikiran-pemikiran timur dan barat.
Dan di sinilah nihilisme yang dimiliki Jean Tarrou – “Sang Santo tanpa Tuhan” menarik untuk dimaknai ulang.
*Penulis adalah seorang kerani biasa. Tinggal di Bekasi.