Piknik Itu Perlu! Tapi Harus Sehat Dulu
Oleh: Agus Dermawan T.*
Data buku
Judul buku: Piknik Itu Perlu – Bikin Sehat dan Awet Muda.
Penulis: Dr. Handrawan Nadesul.
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Tahun terbit: 2025.
Tebal buku: xxiii + 326 (352 hlm.)
ISBN: 978-623-523-562-2
———–
Buku yang mengajarkan bagaimana seseorang yang akan berpiknik harus menyiapkan kesehatan tubuhnya. Agar serangan kolik, lambung, sakit jantung sampai ayan tidak mengganggu tamasya. Ditulis oleh seorang dokter (“Spesialis Umum”) yang juga penyair.
————-
BULAN Desember tiba, berarti masa liburan ada di depan mata. Maka dokter Handrawan Nadesul pun menyiarkan bukunya yang terbaru, Piknik Itu Perlu (PIP). Inti isi buku ini adalah: sekaranglah waktunya kita memberi sesuatu kepada hidup. Dan yang kita berikan itu adalah wisata. Apalagi setelah melihat realitas bahwa ketika hidup kehilangan makna, wisata akan menemukannya. Manakala hidup terasa hampa, wisata akan bikin kita tertawa.
“Berwisata membuat semua yang kita lihat terasa semringah, yang kita dengar terasa merdu, yang kita alami terasa nyaman. Melanglanglah ke mana-mana, menyeberangi samudera, melintasi benua, menyinggahi danau dan teluk, memandang gunung dan bukit, mencari angin dan wangi bunga,” tulisnya (hlm xi).

Buku “Piknik itu Perlu”. (Sumber: Agus Dermawan T)

Suasana gembira kala berpiknik. (Sumber: Agus Dermawan T).
Namun atas semua kesenangan yang dikejar itu, Hans – begitu panggilannya – buru-buru membuat catatan penting kepada semua orang. ”Untuk selalu gembira berwisata, sebelum pergi, kita perlu sehat dulu!”
Hans lalu mengumpulkan saran-saran kesehatan pra piknik dan semasa piknik itu dalam buku setebal 326 halaman. Kitab yang enak dibaca lantaran ditulis dalam gaya jurnalistik. Sehingga seluk-beluk ilmu kedokteran yang terpersepsi rumit dan kabur (bagai resep tulisan dokter), gampang difahami oleh awam. Bahkan untuk lebih memudahkan, Hans membagi kumpulan sarannya dalam bab dan sub bab sistematik. Bagian paling akhir adalah indeks tentang nama-nama penyakit dan istilah-istilah kedokteran. Buku ini semakin “republik” ketika dihiasi ilustrasi grafis yang familiar dan jenaka.
Mengapa Hans menulis buku ini, sejumlah alasan tersebar di berbagai bab. Namun yang paling penting dibaca adalah catatannya atas realitas: “Lebih dari dua pertiga masa hidup orang sekarang dihabiskan untuk bekerja. Bahkan tidak sedikit yang terus mencari nafkah sampai menjelang ajal. Benar, aktivitas otak tidak boleh pensiun sepanjang hayat. Namun aktivitas fisik, apalagi jika berlebihan tanpa henti, beresiko bikin sel tubuh lekas aus. Jika fisik digenjot sampai uzur, maximum life potential tidak lagi terpenuhi (hlm 63).
Akibat dari semua itu adalah munculnya stres. Jika stres ini dipelihara, yang hadir kemudian adalah stres-berkepanjangan, atau malstres. Sementara diketahui bahwa malstres adalah “penyakit” yang paling merongrong tubuh. Kencing manis, jantung koroner, darah tinggi, lemak darah, termasuk kanker, diperburuk oleh stres yang dibiarkan lama hadir. “Kenyataan mutakhir, dulu usia kritis muncul setelah 50 tahun, sekarang datang jauh lebih awal. Kita melihat, kini kasus psikosomatik semakin banyak menimpa orang muda” tulis Hans (hlm. 64).

Dokter Handrawan Nadesul, dalam lukisan digital Heri S. Sudjarwo. (Sumber: Agus Dermawan T)
Kerepotan dalam tamasya
Pada suatu kali saya mendengar cerita duka tentang seorang pengusaha di Bogor. Syahdan sang pengusaha ini ditinggal mati oleh isterinya. Setelah cukup lama menduda, ia menikah lagi. Pernikahan itu dirayakan dengan kawin-tasmasya ke Malaysia. Malang, di Malaysia sang juragan terkena serangan jantung, dan wafat.
Terdengar kabar bahwa bulan madu itu menjadi miris karena pihak pengantin tidak tahu caranya melakukan cardiopulmonary resuscitation, atau pertolongan pertama kepada penderita jantung (PPKPJ). Dari sini muncul gumam: seandainya peristiwa itu terjadi pasca buku PIP terbit, maka PPKPJ bisa dipraktikkan, dan mungkin si sakit bisa diselamatkan. Dalam buku PIP ilmu penyelamatan itu memang terjelaskan.
“Serangan jantung bisa disebabkan gagal jantung, atau gangguan irama jantung. Namun yang paling sering adalah gangguan jantung koroner. Gejalanya adalah mendadak nyeri dada dalam kondisi yang khas, berkeringat dingin, sesak nafas, dan pasien tampak gelisah….. Cara penanggulangannya? Telentangkan si sakit, longgarkan pakaiannya. Lalu, agar udara mengalir lebih bebas, jangan ada yang berkerumun di sekitarnya. Dongakkan posisi kepala, sehingga kepala menengadah optimal. Satu posisi di mana saluran napas, mulut-hidung, selaras sampai paru. Apabila tersedia, dianjurkan untuk diberi oksigen botol (h. 277).
Sebagai orang yang gemar berpiknik, saya acap menemukan kasus di luar pikiran. Misalnya yang berkaitan dengan sakit mendadak, dan berpotensi jadi penghambat perjalanan. Lantaran, apabila ada satu saja yang harus dirawat, jadwal dan rute perjalanan rombongan harus dilakukan perubahan. Ini merepotkan.
Salah satu sakit mendadak yang sering terjumpai adalah diare. Sebabnya jelas: pelancong selalu ingin mencoba makanan asing dan aneh, produk suatu tempat baru yang dituju. Cocok atau tidak cocok, sikat! Yang penting nikmat. Bukankah pengalaman kuliner merupakan bagian dari kenangan perjalanan?
Menarik, ternyata kasus ini dalam buku PIP dibahas tuntas. Hans menulis bahwa orang Barat punya banyak julukan untuk kasus diare itu. Ada sebutan Delhi belly atau Hongkong dog. Ada Casablanca scud atau Katmandu quickstep. Ada juga sebutan buruk yang menyangkut makanan negeri Meksiko dan Nepal.
“Diare sewaktu berkunjung ke suatu negara bukan kejadian luar biasa… Dan tidak perlu obat, karena akan mereda sendiri. Apalagi jika dalam sehari tidak lebih dari lima kali. Meskipun untuk mereka yang balita dan yang di atas usia 50 harus berhati-hati (hlm. 163).
Beberapa tahun lalu saya berpiknik bersama para kolektor, yang notabene para pengusaha besar. Sekitar 25 kolektor itu terbang dari kotanya masing-masing untuk berkumpul di Semarang. Seterlah putar-puter di Semarang kami lantas melaju ke Magelang dan Yogyakarta dengan bus khusus. Di sepanjang perjalanan kami piknik kuliner tradisional di depot-depot terkenal sampai warung pinggir jalan.
Maka, mereka yang biasanya makan steak daging Kobe, nasi Spanyol seafood premium paelle, lobster fra dialo, sampai bebek Peking, segera menyantap pecel Bu Bojo, bakmi Polo, lele mangut, lengkap dengan es puter nangka, kuwe cucur dan sebagainya. Padahal, menurut buku PIP, makanan yang seru itu belum tentu beres formulanya. Banyak menu depot atau warung yang tidak jelas dalam soal bahan baku. Bagi perut yang tidak biasa, itu adalah ancaman di balik kenikmatan.
“Kita tidak tahu seperti apa minyak gorengnya, apa bumbu masaknya dan food additive-nya. Sehingga semua itu belum tentu aman bagi tubuh. Harus diingat, food safety kita masih lemah sehingga masyarakat kita tidak henti terancam oleh makanan yang belum tentu aman dikonsumsi….Kerupuk merah rhodomin-B, sirup kuning methylene yellow yang tersedia di warung-warung, harus diwaspadai (h. 80).
Apa yang ditulis Hans seperti ada benarnya. Pada hari ketiga salah satu dari rombongan kami yang sudah tua masuk klinik. Kami curiga ia sakit perut. Ternyata hanya kelelahan. Tapi, kata dokter, kelelahan pun, apalagi dengan imbuhan stres karena meninggalkan urusan kantor, mengundang bahaya untuk orang tua, yakni strok. Nah, berhubungan dengan strok itu, PIP juga menuliskan saran.
“Bagi pelancong yang pernah strok dan beresiko strok, sama-sama tidak boleh lupa minum semua obat. Termasuk tentu obat pengencer darah bila ada kekentalan darah hyperraggregation positif….. Apalagi jika pelancongan dilakukan di tempat ketinggian, seperti gunung. Ingat, di tempat ketinggian, sel darah merah akan meningkatkan polycytemia. Viskositas darah meninggi. Darah akan semakin mengental, dan meningkatkan resiko strok. Ingat pula, bagi yang pernah strok, serangan strok bisa datang berulang.” (hlm 217)

Dokter Handrawan Nadesul kala membacakan puisinya sendiri. (Sumber: Dokumentasi).
Noblesse oblige
Buku PIP tidak hanya memberi saran bagai mana seseorang secara temporer menyiapkan kesehatan yang baik, agar bisa berpiknik dengan aman dan bahagia. Tetapi juga memberikan ilmu, bagaimana seseorang bisa sehat seumur-umur sepanjang hari. Sehingga ketika sewaktu-waktu harus berangkat piknik, tubuh sudah sehat sejak lama.
“Ilmu menjadi sehat itu mudah. Yakni seberapa bagus kita memperlakukan tubuh di sepanjang hidup. Cukupkah gizi dari menu harian kita, sehingga mesin tubuh awet tahan lama. Cukupkah jeda harian kita, sehingga roda dan ban tubuh kita tidak lekas aus dan gundul. Cukup tenangkah hati dan pikiran kita, sehingga jiwa sehat senantiasa. Sekali lagi, sehat sejati itu adalah kalau kita bugar bio-psiko-sosial-spiritual. Ini merupakan satu kesatuan atau total fitness (hlm 65).
Hans adalah dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Setelah berdinas berpuluh tahun di pemerintah, pada 2007 ia pensiun. Atas dukungan isterinya, dokter Belinda Christina, Hans lantas berpraktik sebagai dokter pro-bono. Siapa pun yang sakit ditolong, tanpa biaya. Kemampuannya dalam mencipta puisi, menulis artikel, serta kecakapannya dalam berceramah, mengangkat namanya jadi dokter selebritas. Bahkan dokter spesialis ortopedi dan traumatologi Karuniawan Purwantoro menyebut bahwa Hans adalah dokter selebritas, dokter bangsawan.
Hans telah menulis sekitar 100 buku – di antaranya 9 buku kumpulan puisi – yang semuanya diterbitkan semata untuk pengabdian. Lalu kita ingat ungkapan Prancis, noblesse oblige. Orang yang dibangsawankan, diam-diam diminta memikul tanggungjawab terhormat, yakni memberi. Handrawan Nadesul, 76 tahun, menunaikan kewajiban itu dengan sepenuh hati.
Ujung kalam, selamat berpiknik, selamat liburan. Karena piknik itu menyehatkan! ***
——–
*Agus Dermawan T. Penulis buku wisata “Perjalanan Turis Siluman – 51 Cerita dari 61 Tempat di 41 Negara”.


