Membaca Nalar Bangsa: Religiusitas Pemimpin, Kesalehan Ekologi, dan Brutalitas Ekonomi Ekstraktif dalam Lensa Katastropi
Oleh: Gus Nas Jogja*
Khutbah Sunyi di Atas Tanah yang Terluka
Di negeri yang dibangun dari butiran doa dan tetesan keringat para wali ini, kita sedang menyaksikan sebuah panggung teater paradoks yang menyayat hati. Kita berada di sebuah era di mana “Yang Suci” dan “Yang
Profan” bercampur aduk dalam nalar kekuasaan yang skizofrenik. Di atas mimbar-mimbar yang megah, suara doa dan mantra suci berdengung memenuhi angkasa, menciptakan ilusi seolah-olah bangsa ini sedang berjalan menuju Tuhan. Namun, di bawah altar doa itu, tanah kita sedang menjerit, meraung, terluka.
Pemimpin kita tampil dengan dahi yang seolah lekat dengan sujud, namun tangan kanan mereka dengan dingin menandatangani izin-izin konsesi yang merobek jantung hutan. Inilah “Nalar Bangsa” yang mengalami disorientasi ontologis. Kita terjebak dalam religiusitas yang bersifat kosmetik, bukan intrinsik. Agama hanya dijadikan tameng legitimasi, sementara alam semesta—yang dalam tradisi sufistik adalah Tajalli atau (penampakan) keindahan Tuhan—diperlakukan bagai bangkai yang boleh dikoyak.
Secara filosofis, kita sedang mengalami apa yang disebut Martin Heidegger sebagai Die Technik. Dalam pandangan Heidegger, teknologi dan ekonomi modern telah mengubah dunia menjadi Bestand –persediaan cadangan. Gunung tidak lagi dipandang sebagai paku bumi yang keramat, melainkan tumpukan metrik batubara yang menunggu diekstraksi. Ketika manusia kehilangan rasa takjub dan hormat terhadap alam, ia kehilangan pula kemampuannya untuk berdialog dengan Sang Pencipta [1].
Sains, Al-Qur’an, dan Keseimbangan yang Terkoyak
Krisis ini bukan sekadar kegagalan manajemen, melainkan “Pemberontakan terhadap Kosmos”. Maurice Bucaille, dalam studinya yang mendalam mengenai keselarasan kitab suci dan sains modern, menegaskan bahwa alam semesta diciptakan dalam keseimbangan (Mizan) yang sangat teliti. Bucaille mengingatkan bahwa campur tangan manusia yang serampangan terhadap hukum alam (Sunnatullah) tidak hanya merusak keseimbangan ekologis, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum Tuhan yang tertulis dalam kitab alam [2].
Senada dengan itu, filsuf perennial Syed Hossein Nasr memberikan kritik paling tajam terhadap modernitas. Bagi Nasr, krisis lingkungan adalah akibat langsung dari “Kejatuhan Manusia” yang telah kehilangan dimensi spiritualnya. Nasr berargumen bahwa ketika manusia modern menyatakan dirinya sebagai “penguasa absolut” atas alam dan memutus hubungan dengan Yang Transenden, maka alam akan dipandang sebagai objek mati yang tidak memiliki hak spiritual. Inilah yang disebut Nasr sebagai Man as a Rebel against God—manusia sebagai pemberontak yang menghancurkan rumahnya sendiri demi memuaskan nafsu materialnya [3].
Brutalitas Ekstraktif: Syahwat Qarun dalam Tubuh Birokrasi
Ekonomi ekstraktif yang kita jalankan hari ini adalah manifestasi dari “Dosa Struktural”. Ia bukan sekadar aktivitas industri, melainkan sebuah ideologi yang menuhankan akumulasi. Di sini, nalar bangsa telah diracuni oleh syahwat Qarun—sebuah obsesi untuk menimbun materi tanpa batas di dalam planet yang memiliki batas-batas bio-fisik yang nyata.
Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, mengingatkan bahwa keberhasilan ekonomi yang hanya diukur dari angka pertumbuhan PDB adalah tipu daya intelektual yang mematikan. Stiglitz menegaskan bahwa ketika sebuah negara menguras sumber daya alamnya tanpa memperhitungkan penyusutan modal alam tersebut, ia sebenarnya tidak sedang menciptakan kekayaan, melainkan sedang melikuidasi aset masa depan [4]. Brutalitas ini bekerja dengan logika “ambil dan lari”. Kita
mengeruk emas dari perut bumi Papua, menebang meranti dari rahim Kalimantan, namun meninggalkan lubang-lubang beracun yang menganga seperti luka yang tak akan pernah mengering.
Religiusitas Pemimpin: Antara Sajadah dan Penjarahan
Kita merindukan pemimpin yang memiliki “Kesalehan Ekologi”—sosok yang memahami bahwa kepemimpinan adalah mandat langit untuk merawat bumi (Khalifah fil Ardh). Namun, realitasnya, kita seringkali dipimpin oleh mereka yang terjebak dalam Mauvaise Foi (Keyakinan Buruk) ala Jean-Paul Sartre [5]. Mereka mampu berargumen secara teologis untuk membenarkan perusakan alam, seolah-olah pembangunan fisik adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan.
Religiusitas yang otentik seharusnya melahirkan resonansi antara detak jantung manusia dengan denyut nadi alam. Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ secara tajam menyatakan bahwa “krisis ekologi adalah krisis spiritual” [6]. Beliau menegaskan bahwa tidak ada pemisahan antara jeritan bumi dan jeritan kaum miskin. Pemimpin yang mengaku religius namun membiarkan oligarki menjarah ruang hidup rakyatnya sebenarnya sedang melakukan pengkhianatan transendental. Mereka menyembah Tuhan di atas sajadah, namun dalam praktiknya, mereka memberikan persembahan kepada Mammon—dewa kerakusan ekonomi.
Lensa Katastropi: Menuju Kiamat yang “Didesain”
Kita sekarang berdiri di ambang apa yang disebut para ilmuwan sebagai “Titik Tak Kembali” (Tipping Point). Krisis iklim, kepunahan massal spesies, dan polusi mikroplastik bukanlah dongeng sebelum tidur. Ini adalah hukuman alam atas nalar bangsa yang congkak. Peraih Nobel Ekonomi Elinor Ostrom telah memberikan resep bahwa sumber daya alam bersama (the commons) akan lestari jika dikelola dengan kearifan lokal dan keterlibatan komunitas, bukan diserahkan pada monopoli korporasi yang rakus [7].
Namun, nalar kita justru bergerak mundur: meminggirkan masyarakat adat, mengkriminalisasi aktivis lingkungan, dan membentangkan karpet merah bagi para predator ekologis. Filsuf Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility berpendapat bahwa etika masa kini harus mencakup tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan kelangsungan hidup planet ini [8]. Katastropi ini adalah buah dari “Kebodohan Intelektual” yang dibalut dengan jas birokrasi. Kita menghancurkan hutan bakau untuk membangun beton, padahal bakau adalah benteng Tuhan terhadap tsunami.
Sintesis:
Memulihkan Cahaya Transendensi
Membaca nalar bangsa hari ini adalah membaca sebuah buku yang penuh dengan noda darah dan lumpur tambang. Untuk memulihkannya, kita butuh transformasi radikal yang menyentuh tiga aras sekaligus:
1. Aras Intelektual: Berhenti mendewakan PDB ekstraktif dan beralih ke indikator kesejahteraan yang memperhitungkan “Modal Alam” dan keadilan sosial (Amartya Sen) [9].
2. Aras Politik: Mewujudkan kedaulatan warga atas sumber daya bersama (the commons) dan menghormati hak-hak alam sebagai subjek hukum.
3. Aras Spiritual: Menghidupkan kembali “Sains Suci” (Sacred Science) sebagaimana diajarkan Syed Hossein Nasr, di mana ilmu pengetahuan digunakan untuk memahami keterkaitan kita dengan Sang Pencipta melalui alam.
Sastrawan dan sufi besar Rabindranath Tagore pernah menulis bahwa “Tuhan menghargai kita saat kita bekerja, tapi Ia mencintai kita saat kita bernyanyi bersama alam.” Mari kita kembalikan lagu kehidupan ke tanah ini. Ekonomi harus tunduk pada etika, dan etika harus bersumber dari spiritualitas yang jernih.
Sebelum Tanah Menjadi Nisan
Hanya dengan menyatukan kembali sajadah doa dengan tanah tempat kita berpijak, kita bisa menyelamatkan bangsa ini dari katastropi. Kita butuh pemimpin yang bukan hanya fasih mengutip ayat, tapi juga fasih membaca tanda-tanda kerusakan alam sebagai tanda-tanda kemurkaan Tuhan.
Jika nalar bangsa ini tidak segera kembali kepada transendensi yang hijau, maka kita hanya akan meninggalkan sebuah peradaban puing. Mari kita kembali kepada hakikat manusia sebagai penjaga taman semesta, bukan penjarah harta karun. Sebelum seluruh doa kita hanya menjadi gema di tengah padang gurun yang tandus dan beracun, mari kita sujud kembali pada Ibu Pertiwi, memohon ampun atas segala brutalitas yang telah kita lakukan atas nama pembangunan.
Ekofilsafat Agraria: Membaca Luka di Tubuh Ibu Pertiwi
Analisis kita tidak boleh berhenti pada menara gading teori. Nalar bangsa yang terbelah itu kini menjelma menjadi mesin penghancur di desa-desa terpencil, di pesisir yang direklamasi, dan di gunung-gunung yang dipangkas. Kita sedang menyaksikan “Katastropi Agraria” yang sistematis. Pemimpin yang religius secara formalitas seringkali gagal melihat bahwa merampas tanah rakyat atas nama “Proyek Strategis Nasional” (PSN) yang ekstraktif adalah bentuk Ghashab (penyerobotan paksa) dalam terminologi fikih, sebuah dosa besar yang membatalkan kesalehan ritual apa pun.
Syed Hossein Nasr menegaskan bahwa “krisis lingkungan sebenarnya adalah krisis batin manusia yang telah kehilangan rasa hormat pada hak-hak Tuhan atas ciptaan-Nya” [10]. Ketika sebuah ekosistem dihancurkan untuk tambang, bukan hanya karbon yang dilepaskan, tetapi sebuah sistem kehidupan spiritual—tempat masyarakat adat berkomunikasi dengan leluhur dan Sang Pencipta—telah diputus paksa. Ini adalah Genosida Kultural yang berjalan beriringan dengan ekonomi ekstraktif.
Mitos Efisiensi: Gugatan Nobel terhadap Penjarahan Modern
Para pendamba ekonomi ekstraktif selalu berdalih tentang efisiensi dan kemakmuran. Namun, Joseph Stiglitz kembali mengingatkan kita pada konsep Information Asymmetry dan Market Failure [11]. Dalam banyak kasus ekstraksi di Indonesia, terjadi ketidakadilan informasi: korporasi dan birokrasi tahu nilai triliunan di bawah tanah, sementara rakyat hanya diberi janji lapangan kerja yang seringkali semu.
Elinor Ostrom telah membuktikan bahwa ketika hak kelola rakyat dicabut dan diserahkan pada “Efisiensi Perusahaan”, yang terjadi bukanlah kelestarian, melainkan The Tragedy of the Commons yang dipicu oleh keserakahan institusional [12]. Nalar bangsa kita telah dibutakan oleh apa yang disebut Amartya Sen sebagai “Kebutaan Sosial”—sebuah kondisi di mana penguasa hanya melihat deretan angka PDB namun buta terhadap penderitaan petani yang kehilangan sawahnya atau nelayan yang lautnya tercemar limbah tailing [13].
Sains yang Menghamba dan Wahyu yang Terabaikan
Di sini kita memanggil kembali Maurice Bucaille. Jika Bucaille melihat keteraturan kosmos sebagai bukti kebenaran wahyu, maka nalar bangsa kita saat ini justru sedang melakukan “Sains yang Menghamba pada Modal”. Sains digunakan bukan untuk meneliti bagaimana menyelamatkan keanekaragaman hayati, melainkan bagaimana mempercepat pengerukan.
Ini adalah bentuk Atheisme Metodologis di dalam tubuh kepemimpinan yang mengaku beragama. Mereka memuji keagungan Tuhan di dalam tempat ibadah, namun di luar itu, mereka mengabaikan hukum Mizan atau Keseimbangan yang oleh Bucaille dianggap sebagai inti dari kosmologi Al-Qur’an [14]. Menghancurkan hutan lindung demi nikel adalah tindakan terang-terangan menentang Sunnatullah yang telah mengatur hidrologi dan iklim demi keselamatan manusia.
Manifesto Kesalehan Ekologi: Jalan Menuju Pemulihan
Sebagai penutup dari analisis komprehensif ini, kita harus merumuskan kembali apa itu “Kesalehan Ekologi” bagi bangsa ini:
1. Kepemimpinan Substantif: Pemimpin harus berhenti menggunakan agama sebagai kosmetik. Kesalehan harus diukur dari keberanian melakukan moratorium terhadap industri yang merusak ruang hidup rakyat.
2. Ekonomi Generatif: Beralih dari nalar “mengambil” (ekstraktif) ke nalar “menumbuhkan” (regeneratif). Sebagaimana saran Ostrom, kembalikan mandat pengelolaan alam kepada komunitas lokal yang memiliki ikatan spiritual dengan tanahnya.
3. Sains Suci (Sacred Science): Mengintegrasikan kembali etika spiritual dalam setiap kebijakan pembangunan. Sebagaimana visi Nasr, sains harus menjadi alat untuk memuliakan ciptaan, bukan instrumen penjarahan.
Tahta di Atas Debu
Nalar bangsa kita sedang diuji oleh waktu. Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik angka pertumbuhan sementara bumi kita sekarat. Jika religiusitas pemimpin hanya menghasilkan kepasrahan rakyat di tengah perusakan alam, maka itu bukanlah agama, melainkan candu yang mematikan.
Kita diingatkan oleh jerit sejarah bahwa peradaban-peradaban besar runtuh bukan karena kurangnya harta, melainkan karena rusaknya nalar dan hancurnya alam pendukungnya. Sebelum takhta kekuasaan itu tegak di atas padang debu dan air yang beracun, mari kita pulangkan nalar bangsa ini pada kesadaran transendental yang sejati. Alam adalah sajadah besar kita. Merusaknya berarti menghancurkan tempat kita bersujud di hadapan Yang Maha Kuasa.
Wallahu A’lam.***
Daftar Referensi dan Catatan Kaki
[1] Heidegger, Martin. (1977). The Question Concerning Technology. Harper Perennial. (Analisis tentang reduksi alam menjadi cadangan energi).
[2] Bucaille, Maurice. (1976). The Bible, The Qur’an and Science. Seghers. (Membahas keseimbangan kosmik dalam perspektif teologi dan sains).
[3] Nasr, Syed Hossein. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Allen & Unwin. (Kritik spiritual terhadap kehancuran alam oleh manusia modern).
[4] Stiglitz, Joseph E. (2010). Mismeasuring Our Lives: Why GDP Doesn’t Add Up. The New Press. (Kritik Nobel terhadap indikator ekonomi yang abai lingkungan).
[5] Sartre, Jean-Paul. (1943). Being and Nothingness. Philosophical Library. (Konsep Bad Faith dalam kepemimpinan dan eksistensi).
[6] Francis, Pope. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Vatican. (Visi ekologi integral).
[7] Ostrom, Elinor. (1990). Governing the Commons. Cambridge University Press. (Nobel dalam pengelolaan sumber daya kolektif).
[8] Jonas, Hans. (1984). The Imperative of Responsibility. University of Chicago Press. (Etika kewajiban bagi generasi masa depan).
[9] Sen, Amartya. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press. (Pembangunan sebagai perluasan kapabilitas manusia dan kelestarian hidup).
[10] Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred Science. SUNY Press. (Menekankan bahwa tanpa sains yang suci, teknologi akan menjadi alat penghancur alam).
[11] Stiglitz, J. E. (2002). Globalization and Its Discontents. W. W. Norton & Company. (Analisis tentang kegagalan pasar dan ketidakadilan informasi dalam ekstraksi sumber daya).
[12] Ostrom, E. (2005). Understanding Institutional Diversity. Princeton University Press. (Bagaimana institusi lokal lebih unggul dalam menjaga ekosistem).
[13] Sen, A. (2009). The Idea of Justice. Harvard University Press. (Keadilan harus mencakup pemenuhan hak-hak dasar atas lingkungan yang sehat).
[14] Bucaille, M. (1981). The Bible, The Qur’an and Science: The Holy Scriptures Examined in the Light of Modern Knowledge. (Penekanan pada hukum keseimbangan alam sebagai perintah teologis).
————————-
*Gus Nas Jogja, budayawan.



