Puisi-puisi Abdul Wachid B.S.

BALADA NYADRAN BANYUMAS

 

1.

Di pematang yang lembut oleh angin,

aroma kenanga menuntun langkah warga

menapaki jalan setapak menuju pemakaman desa;

bau tanah yang baru disapu embun

terasa seperti lembaran kitab

yang terbuka perlahan,

menunggu dibaca dengan hati.

 

2.

Mereka datang membawa ambeng,

kendi doa, dan bunga dari halaman rumah masing-masing.

Setiap kelopak memuat kisah yang tak diucapkan,

setiap warna memantulkan kerinduan

pada asal-usul yang sering diabaikan.

Dialek Banyumasan yang renyah dan jujur

mengalir di antara langkah, tangan, dan doa

menjadi pelataran tempat sedih dan syukur

saling merawat satu sama lain.

 

3.

Rumput disisih dengan sapu lidi

agar nisan menemukan kembali bentuknya,

seperti wajah yang disinari ingatan.

Dari bibir mereka, tahlil mengalir

serupa arus kecil, meninggalkan suara bening

di tikungan hati setiap peziarah.

 

4.

Aku melihat bagaimana tangan-tangan itu

menabur harap di atas tanah yang teduh,

seakan memulangkan beban

kepada rahasia yang lebih luas.

Setiap sujud, setiap kata yang lirih,

mengikat manusia dan leluhur dalam satu napas,

menghubungkan yang hidup dan yang telah pergi.

 

5.

Dari Nyadran, aku belajar

bahwa leluhur tidak pernah meminta apa pun

selain dijaga namanya;

bahwa manusia datang dan pergi

dalam irama yang ditentukan

oleh Yang Maha Mengembalikan;

bahwa pulang adalah perjalanan

yang tidak menuntut jawaban

kecuali ketundukan dan keikhlasan.

 

6.

Maka aku merasai

bahwa setiap tabur bunga, setiap sujud yang lirih,

adalah cara tanah mengajar cahaya:

siapa pun yang merunduk

akan ditinggikan oleh waktu,

dan siapa pun yang mendoakan

akan dibukakan jalan pulang

sebelum malam benar-benar turun

ke ladang ingatan.

 

7.

Dan ketika malam menelan alun-alun,

angin menggerakkan kenanga dan embun,

tahlil masih menari di udara,

suara manusia dan doa bergabung menjadi simfoni gelap,

menghidupkan cahaya di tempat yang tak terlihat.

 

2025

 

 

 

BALADA NYADRAN LARUNG SERAYU

 

1.

Di bawah beringin purba

yang akar-akarnya menjuntai

seperti tasbih yang tak pernah putus,

Modin Kasan berdiri.

Wajahnya diterangi cahaya pagi

yang turun lirih ke bibir Serayu,

seperti wahyu kecil

yang memilih tempatnya sendiri.

Orang-orang desa berkumpul,

membawa sesaji

beserta niat yang telah disucikan musim.

 

2.

“Nyadran ini bukan adat belaka,”

suara Modin Kasan mengalun

seperti gema dari lorong yang jauh.

“Ini ikhtiar untuk ingat,

untuk kembali kepada Yang

menciptakan aliran hidup.”

Ia membuka kitab warisan

halaman-halamannya masih menyimpan

bau tanah selepas hujan pertama

turun ke bumi.

 

3.

Ketika perahu bambu diletakkan

di permukaan Serayu,

air bergetar pelan,

seakan mengenali tamu lama

yang datang membawa syukur.

Angin dari pegunungan merunduk,

menyentuh ujung tumpeng

seperti malaikat menyentuh ubun-ubun

orang yang berserah.

 

4.

Dalam barisan tahlil,

suara-suara bertaut

menjadi jembatan tipis

antara bumi dan langit.

Arus membawa gema itu jauh,

hingga terdengar oleh ikan-ikan tua

yang menjaga dasar sungai

sejak zaman sunyi,

ketika dunia baru belajar berdenyut.

 

5.

Randi, bocah bermata jernih, berbisik:

“Ibu… mengapa sesaji itu tidak kembali?”

Ibunya tersenyum, menunduk pelan.

“Yang kembali itu ampunan, Nak.

Yang pergi — rasa memiliki.”

Modin Kasan menoleh,

dan di mata bocah itu

ia melihat riwayat manusia

dalam bentuk paling polosnya.

 

6.

Arus tiba-tiba menguat.

Perahu sesaji berguncang

hampir terbalik, hampir hilang suara.

Orang-orang menahan napas;

tahlil menjadi bisu.

Namun pada detik yang genting,

Serayu membuka jalur di antara pusaran,

membiarkan perahu itu

melaju kembali ke garis takdirnya.

 

7.

“Tanda ini baik,” gumam Modin Kasan,

mengangkat tangannya yang bergetar

bukan karena usia,

melainkan oleh haru

yang turun dari langit.

“Ya Tuhan, terimalah syukur ini.

Jangan tinggalkan orang-orang desa

yang hanya bisa menata hati

dan menawarkan ketulusan.”

 

8.

Larungan melaju ke hilir

seperti pertapa kecil

yang menembus kabut pagi.

Puncak bukit memantulkan cahaya,

burung-burung meninggalkan sarang,

dan bayang-bayang beringin memanjang

seperti kisah tua

yang menunggu generasi berikutnya

untuk membacanya kembali.

 

9.

Ketika perahu itu hilang

di tikungan tempat angin bersuluk,

orang-orang tidak pulang sebagai semula.

Ada sesuatu yang berubah

di ruang terdalam dada mereka

ruang yang diisi oleh gema tahlil,

oleh restu sungai,

oleh cahaya yang tak terlihat

kecuali oleh hati yang waspada.

 

10.

Malam itu, desa Tambek

tidak berpesta.

Hanya kedamaian yang meresap

dari tanah hingga langit,

seolah Serayu telah menyampaikan

doa mereka kepada Yang Maha Halus.

Di batas waktu yang tak bernama,

Modin Kasan menutup kitabnya

dan berbisik lirih:

“Hidup ini larungan yang panjang.

Yang kembali — hanya cahaya.”

 

2025

 

 

 

BALADA MENDOAN 

 

1.

Di dapur desa, tungku menari

panas menjalar, minyak mendesis,

tempe menunggu, tipis, setengah matang,

diamnya lembut seperti doa

yang jatuh perlahan di antara rumah-rumah tua.

 

Orang-orang berkumpul, tangan terulur,

niat, adonan, bawang, doa

semua bercampur, menembus udara,

menjadi satu aroma

yang menari di antara jiwa dan raga.

 

2.

“Iki tempe… Iki sedekah… Iki salam…”

kata sesepuh berulang, bergetar,

seperti gema yang menembus dinding waktu.

 

Seperti mendoan yang lembut,

hidup harus luwes

tidak keras, namun penuh makna.

Lunak menembus jiwa,

sederhana meneguhkan persaudaraan

yang tak terucap, tapi terasa

di denyut yang sama.

 

3.

Celup tepung, wajan panas mendesis,

anak-anak menahan napas.

 

Tunggu—tunggu—tunggu!

Hangat pertama bukan untuk dimakan,

tapi untuk hati yang menunggu sambutan.

 

Tawa merekah, aroma menyebar,

mengalir dari rumah ke halaman,

dari jalan ke lorong-lorong kecil,

mengikat yang jauh, menghangatkan yang dekat,

seperti sungai Logawa

yang menyalurkan kehidupan dari hulu ke muara.

 

4.

Tampah bambu menampung mendoan

persembahan kecil untuk tanah, tetangga, langit.

 

Gigitan pertama membuka percakapan,

rasa gurih meredakan jarak,

aroma tepung membawa tawa

yang melompat dari hati ke hati,

dari rumah ke rumah,

dari generasi ke generasi,

menjadi jembatan yang tak pernah patah.

 

5.

Mendoan lenyap di meja panjang

seperti doa yang mengalir tanpa suara,

seperti senyum yang tak terhitung.

 

Orang-orang pulang,

jiwa mereka tetap di dapur,

di aroma minyak, di suara tawa,

di tangan-tangan yang saling memberi,

meninggalkan jejak hangat

di ruang yang tak terlihat,

di ruang yang hanya bisa dirasa.

 

6.

Mendoan, setengah matang dan kenyal,

mengajar kita luwes, tegas memberi,

hangat tanpa menuntut,

lembut meninggalkan rasa

di mulut, di hati, di ingatan,

mengalir seperti sungai Serayu

yang menembus malam,

yang menyalurkan hidup

dari tangan ke tangan, dari hati ke hati.

 

7.

Malam turun di Purwokerto

tungku padam, wajan bersih,

tetapi kebersamaan tetap hidup.

 

Dalam cerita anak-anak,

dalam pelajaran tetangga,

dalam mendoan yang menunggu digoreng lagi,

dalam tawa yang mengalir tanpa lelah,

dan dalam aroma yang tak lekang oleh waktu.

 

Inilah mendoan:

sedekah, kebersamaan, dan cahaya

yang mengalir lembut di setiap rumah.

 

2025

 

 

 

 

BALADA BLAKA SUTA

 

1.

Di alun-alun desa,

suara menembus udara

canda, tegur, brecuh

mengalir tanpa tedheng aling-aling.

 

Orang-orang duduk melingkar,

mata bertemu mata,

telinga mendengar,

hati menimbang pelan,

seperti padi yang menunggu masa panen.

 

Kata-kata lahir dari jujur,

dari yang apa adanya

bening seperti air yang turun

dari hulu ke muara

tanpa menoleh.

 

2.

“Iki apa sing kudu diomong…

Iki apa sing kudu ditindakake…”

 

kata sesepuh,

pelan,

tapi menembus tulang sumsum.

 

Kalimat itu menjadi embun

yang hinggap di daun-daun pagi,

menjadi pedoman

yang menegakkan punggung.

 

Tidak ada topeng,

tidak ada pura-pura

hanya Blaka Suta,

warisan turun-temurun,

lugu, polos,

jujur semurni senggakan sungai kecil.

 

Ia mengikat kita semua

dalam satu degup persaudaraan

yang tidak meminta balasan.

 

3.

Anak-anak meniru,

tertawa, menjerit,

mengulang kata-kata yang tajam

namun hangat

sehangat pawon

yang tak pernah menolak tamu.

 

Gelegak suara

mengisi lorong-lorong rumah,

menempel di dinding bambu

seperti gema

yang menolak tidur.

 

Lalu kita mengerti:

keterusterangan adalah jembatan

yang menghubungkan hati ke hati,

bukan pedang

yang memisah.

 

4.

Bagus Mangun berdiri

di hadapan orang banyak,

mengucap niat dan tekad

tanpa ragu,

tanpa tirai

blak-blakan

sebagaimana ajaran sesepuh.

 

“Iki sing tak lakoni…

Iki sing tak tanggung…”

 

Setiap kata menjadi saksi,

melekat seperti cap

pada kayu tua.

 

Setiap jawaban

menjadi warisan

yang menyalakan keberanian baru

 

dari masa lalu

yang tersimpan dalam Babad Banyumas

hingga napas anak cucu

yang hidup hari ini.

 

5.

Malam tiba,

api tungku padam,

bayangan merayap

di dinding-dinding rumah.

 

Namun suara Blaka Suta

tetap bergema

di jalan, di pasar,

di ruang yang menampung gelisah.

 

Siapa pun yang mau mendengar

akan menemukan

cahaya yang sederhana.

 

Kejujuran mengalir,

apa adanya,

menembus gelap

menjadi dasar persaudaraan sejati:

 

yang tidak lahir

dari kata manis,

tetapi dari keberanian

membuka dada

di hadapan sesama manusia.

 

2025

 

 

 

BALADA PERLON UNGGAHAN

 

1.

Di kening hutan Pekuncen, kabut meraba daun-daun

seperti tangan arwah yang kembali mencari rumah.

Anak Putu berjalan perlahan — lirih, berat, dalam

membawa panen, jenang,

dan isyarat yang tak semuanya terlihat.

Setiap langkah seakan membangunkan tanah,

setiap helaan napas memanggil nama

yang usianya lebih tua dari sejarah.

Di balik kesunyian itu, kisah Patih pengelana

mendesir seperti bayang yang tak pernah selesai

menyertai perjalanan doa.

 

2.

Malam merapat, menutup desa

seperti tirai yang digerakkan sesuatu

yang tidak selalu tampak.

Lilin bergoyang,

rempah menguapkan mantra tak bersuara,

dan muji pecah dari dada manusia

menjadi gelombang yang memukul-mukul hati.

Pakaian hitam berisik seperti hutan bergerak,

jarit mengikat tubuh dengan

ingatan perempuan-perempuan lama.

Di antara mereka, dzikir menjelma jembatan gelap terang:

satu langkah ke bumi, satu langkah ke langit,

satu langkah ke sesuatu yang lebih jauh dari keduanya.

 

3.

Di dapur yang merah oleh bara,

api dan asap menulis perjanjian

yang tak pernah dibacakan.

Sapi, kambing, ayam: nama-nama makhluk

yang kembali pada asalnya

dengan ketenangan yang nyaris menggetarkan.

Laki-laki bekerja dengan ritme purba,

perempuan menata hidangan

seolah merajut kesunyian

menjadi bentuk yang bisa disentuh.

Setiap suapan jenang, setiap bulir yang dipilih tangan,

adalah pengakuan gelap

bahwa manusia hanya tamu

yang meminjam rahmat bumi.

 

4.

Fajar tumbuh perlahan

seperti mata yang dibuka dari mimpi panjang.

Langkah menuju makam

bergerak bagai arak-arakan tak terlihat,

tangan dibasuh untuk membersihkan sisa-sisa dunia,

kepala ditundukkan agar langit bisa melihat jiwa.

Nama Kyai Bonokeling disebut dengan getar

yang menggetarkan batu dan daging sekaligus.

Ia, penabur iman yang menyadarkan cahaya,

kini hadir sebagai gema dalam tubuh Anak Putu,

sebagai napas yang tak bisa diusir

meski dunia berganti kulit.

 

5.

Di sela nisan yang dingin,

lima ajaran hidup bersuara pelan namun tajam:

Monembah, Moguru, Mongabdi, Makaryo,

Ages manunggaling kawula Gusti.

Mereka mengalir seperti sungai hitam

menuju samudra tak bernama,

mengikat usia muda pada usia tua,

mengikat rumah pada perjalanan,

mengikat manusia pada rahasia

yang menjadikannya hidup.

Di sanalah waktu ditenun

menjadi selembar kain gelap bercahaya,

tempat jiwa menunduk dan diangkat sekaligus.

 

6.

Malam turun lagi — lebih pekat, lebih dalam

namun cahaya tak sepenuhnya padam.

Perlon Unggahan berdenyut di dada

seperti jantung yang dijaga leluhur.

Ia bukan ritual, bukan upacara,

tetapi api bening yang menyalakan kesadaran

ketika Ramadan membuka celah rahmatnya.

Di sana, warisan hidup sebagai aliran tak putus,

mengikat tanah dengan langit,

mengikat manusia dengan cahaya yang ia cari.

Anak Putu Bonokeling menghidupkannya,

dan dalam mereka ia akan terus hidup

meski malam semakin gelap.

 

2025

 

*Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur.  Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, kemudian lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Abdul Wachid B.S. menjadi Guru Besar Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Buku terbarunya : Kumpulan Sajak  Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), Kumpulan Sajak Jalan Malam (2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (2022), Kumpulan Sajak Wasilah Sejoli (2022), Kumpulan Sajak Kubah Hijau (2023), Sekumpulan Esai Sastra Hikmah (2024), Buku Puisi Balada Kisah untuk Anak Cucu (2025). Melalui buku Sastra Pencerahan, Abdul Wachid B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang tahunnya yang ke-55).