Film, Gajah, dan Ironi Logika Ekologi Kita

Oleh: Purnawan Andra*

 

Pemandangan gajah Sumatera yang dipaksa menarik gelondongan kayu pasca banjir bandang di Sumatera beberapa waktu lalu menimbulkan ironi yang tak habis. Di satu sisi, masyarakat membutuhkan bantuan cepat untuk membuka jalan dan membersihkan puing.

Di sisi lain, gajah yang membantu pekerjaan itu adalah makhluk yang habitatnya rusak oleh deforestasi, ekspansi kebun sawit, dan pembalakan. Mereka menjadi “tenaga bantuan” dalam bencana yang justru dipicu oleh hilangnya rumah mereka sendiri.

Kita bisa membaca ironi ini melalui banyak disiplin, tetapi sinema menawarkan salah satu kunci penting. Film dapat menjadi arsip ekologis, pembongkar makna, dan ruang kritik terhadap relasi manusia–satwa. Dengan melihat bagaimana film-film Indonesia menggambarkan binatang, terutama gajah, kita dapat memahami lebih jauh bagaimana budaya kita memproduksi cara pandang tertentu terhadap alam dan satwa liar.

 

Arsip Ekologis

Dalam kajian film, ada gagasan bahwa sinema bekerja sebagai arsip pengalaman ekologis. Ia menyimpan gambar-gambar lanskap, hewan, dan perubahan lingkungan lebih jujur dibanding laporan teks.

Beberapa dokumenter tentang gajah di Indonesia—baik produksi lembaga konservasi, komunitas lingkungan, maupun jurnalis independen—sering memperlihatkan migrasi gajah yang terhenti, jalur jelajah yang terpotong, serta hutan yang berubah menjadi blok-blok monokultur.

Rekaman seperti ini memberi kita kesadaran bahwa bencana ekologis tidak muncul tiba-tiba. Ia tercipta perlahan, seiring hilangnya pohon, turunnya kualitas tanah, dan menyempitnya ruang hidup satwa besar seperti gajah.

Film, dalam hal ini, bukan sekadar alat dokumentasi. Ia menunjukkan fakta lapangan yang membikin sedih. Tatapan gajah yang bingung ketika memasuki desa, tubuhnya yang kurus ketika pakan alami makin sedikit, dan suara hutan yang semakin sepi, menjadi penanda keruntuhan ruang hidup yang tidak mudah diterjemahkan oleh data statistik. Melalui visual, film sebagai arsip ekologis membuat kita menyaksikan apa yang sebelumnya tidak terlihat.

Namun film tidak hanya mengarsipkan. Ia juga membentuk cara kita memandang satwa. Dalam sinema Indonesia, hewan sering muncul sebagai simbol moral atau perangkat empati, bukan sebagai subjek ekologis yang punya posisi dalam alur kerusakan lingkungan. Dokumenter seperti Krisis Habitat: Gajah dan Manusia dalam Pertarungan di Sumatra (National Geographic Indonesia, 2023) atau Para Pemburu Gajah (2014) menunjukkan bagaimana gajah direpresentasikan sebagai korban kehilangan habitat sekaligus indikator krisis ekologis.

Film-film dokumentar produksi Balai Taman Nasional dan BKSDA juga menegaskan dilema itu. Gajah tampil sebagai makhluk yang terdesak, bukan sebagai aktor ekologis yang ruang hidupnya direkayasa oleh kebijakan. Representasi dalam film-film ini tidak salah, tetapi memperlihatkan bahwa hewan masih jarang ditempatkan sebagai subjek politik ekologis, sebagai makhluk yang keberadaannya menyingkap struktur kekuasaan yang merusak lanskap hidupnya.

Dalam perspektif cultural studies, pilihan representasi ini penting karena membentuk pola pikir publik. Ketika hewan hanya muncul sebagai metafora atau hiburan, maka relasi manusia–alam pun dilihat secara instrumental yaitu dengan menilai hewan ada sejauh mereka bermanfaat bagi cerita manusia.

Gajah yang diperlakukan sebagai alat dalam bencana Sumatera hari ini mencerminkan pola pikir tersebut. Gajah bukan subjek dengan hak ruang hidup, tetapi “tenaga kerja besar” yang bisa diturunkan ketika dibutuhkan.

Film yang lebih kritis biasanya mencoba memutus pola itu. Beberapa dokumenter lingkungan produksi Watchdoc, WALHI, atau narasi visual yang dirilis lembaga konservasi internasional misalnya, menempatkan satwa liar sebagai pihak yang terdesak oleh politik ruang.

Mereka menampilkan konflik lahan, perburuan, dan persinggungan antara satwa dengan industri ekstraktif. Dalam film-film semacam ini, gajah tidak lagi menjadi ornamen, melainkan indikator krisis ekologis. Kehilangan seekor gajah berarti hilangnya satu paket keutuhan ekosistem yaitu pohon, air, jalur migrasi, dan jaringan kehidupan hutan.

 

Diskursus Film

Dalam diskursus film kontemporer, ada pula gagasan bahwa film dapat berfungsi sebagai diplomasi ekologis. Artinya, film membuka percakapan lintas kelompok seperti warga desa, akademisi, pembuat kebijakan, dan penonton umum.

Di Indonesia, beberapa dokumenter hutan sering menjadi medium dialog antara masyarakat adat dengan publik yang tinggal di kota-kota besar. Film inilah yang akhirnya memperlihatkan ketimpangan relasi ekologis berupa ruang yang rusak di hulu akan menimbulkan bencana di hilir, dan satwa adalah pihak pertama yang merasakan dampaknya.

Jika kita memakai kacamata itu, maka citra gajah yang menarik gelondongan kayu pascabencana tidak boleh dilihat sebagai adegan heroik semata. Scene tersebut adalah gambaran politik ruang yang kacau.

Gelondongan kayu yang ditarik gajah adalah jejak dari hutan yang hilang. Puing-puing kayu yang memenuhi jalan adalah potongan dari rumah satwa liar. Ketika gajah membantu “membersihkan” bencana, ia sesungguhnya sedang menata ulang kerusakan yang berakar dari hilangnya tempat tinggalnya sendiri.

Dengannya, film bisa menjadi alat untuk mengoreksi narasi resmi yang sering menyederhanakan bencana sebagai “kemarahan alam”. Dalam beberapa karya dokumenter ekologi, selalu muncul pola yang sama berupa ketika industri ekstraktif masuk, jalur air berubah, tanah kehilangan daya serap, dan daerah hilir menjadi rentan banjir besar. Film membantu menjahit rangkaian sebab-akibat itu dengan jelas, mulai dari hilangnya tutupan hutan hingga tewasnya satwa liar.

Karena itu, sinema dapat bekerja sebagai alat klarifikasi publik. Ia memperlihatkan bahwa gajah bukan sekadar korban sampingan. Mereka adalah bagian dari sistem ekologis yang runtuh. Dan keruntuhan itu pada akhirnya berbalik menimpa manusia.

Dalam konteks etika sinema, ada konsep “estetika empati”, di mana kamera memberi ruang bagi subjek non-manusia untuk hadir tanpa paksaan naratif. Dalam pendekatan seperti ini, film tidak perlu memberikan moralitas berlebihan.

Cukup dengan merekam suara napas gajah, cara ia menyentuh tanah, atau langkahnya yang pelan ketika melewati puing bencana, penonton dapat melihat ironi yang sulit dibahasakan. Yaitu makhluk yang seharusnya hidup dalam hutan kini mengerjakan tugas manusia di ruang yang dulu menjadi jalurnya.

Sinema dengan pendekatan ini dapat menumbuhkan pemahaman bahwa gajah bukan ornamen, tetapi makhluk yang punya dimensi ekologis, historis, dan emosional. Ia hidup dalam ekosistem yang terkait langsung dengan kehidupan manusia.

 

Representasi

Karena itu, persoalan yang muncul bukan hanya soal representasi, tetapi soal politik. Bencana Sumatera memperlihatkan bahwa kita masih memandang satwa sebagai alat. Ketika bencana datang, kita memanggil gajah. Tetapi ketika hutan dibuka untuk sawit, gajah tidak dilibatkan dalam keputusan apa pun. Mereka hanya menanggung akibatnya.

Film, dengan segala kekuatannya, dapat memperlihatkan kontradiksi itu. Ia dapat menjadi cermin yang memaksa kita melihat apa yang selama ini kita abaikan. Tetapi cermin itu tak akan berarti jika masyarakat dan pembuat kebijakan memilih tidak melihatnya.

Pada akhirnya, pertanyaan yang muncul sederhana: jika film dapat merekam dengan jelas bagaimana gajah kehilangan rumahnya, mengapa kita masih gagal melindungi ruang hidup mereka?

Jawabannya mungkin berada di luar layar, tetapi film setidaknya menunjukkan bahwa kebenaran itu sudah ada di depan mata kita sejak lama. ***

 

——

*Purnawan Andra, pegiat Kelompok Kajian Kebudayaan “Wanyabala” Jakarta, penerima fellowship Humanities & Social Science di Universiti Sains Malaysia.