Agama dan Bencana

Oleh: Gus Nas Jogja*

Narasi ini dibuka dengan gambaran puitis tentang bencana alam—bukan sekadar gejolak fisik yang dingin, melainkan manifestasi ontologis dari keretakan hubungan mesra antara manusia dan kosmos. Gempa yang menggetarkan fondasi kita, banjir bandang dan tanah longsor yang merendam dosa-dosa kita—semuanya bukan lagi takdir buta (fate) yang datang dari langit yang asing, melainkan hukuman yang dirancang secara etis (ethical consequence) atas kegagalan kita menjaga amanah Ilahi.

Di tengah gulungan bencana, agama hadir untuk menawarkan Theodicy, sebuah penjelasan purba mengapa Tuhan yang Mahakasih mengizinkan penderitaan. Namun, tesis ini harus dihadapkan pada realitas yang dingin: kemunafikan ekologi global, yang digerakkan oleh Kapitalisme Ekstraktif dan tangan-tangan oligarki, telah membuat Theodicy tradisional menjadi tidak memadai. Bencana hari ini harus diartikulasikan sebagai konsekuensi moral dari Syirik—dosa besar menyekutukan Tuhan—yang dilakukan terhadap Bumi itu sendiri.

Inti permasalahan kita terletak pada Ontologi Bumi: dari tempat suci yang penuh amanah, kini ia terdegradasi menjadi sekadar komoditas yang siap dicairkan. Dalam tradisi Ibrahimik, manusia diciptakan sebagai Khalifah, mandataris Tuhan di Bumi. Bumi atau (al-ardh) itu sendiri adalah Kitab Semesta yang terbentang, sebuah tanda atau ayat yang harus dibaca, direnungkan, dan dijaga dengan hormat, bukan dieksploitasi dengan brutal. Sastra spiritual dan ajaran suci menekankan prinsip Mizan (Timbangan atau Keseimbangan Kosmik). Firman Tuhan dalam Al-Qur’an secara eksplisit mewanti-wanti: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan (Mizan). Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman [55]: 7-8). [^1]

Maka, kehadiran agama sebelum bencana adalah Etika Preventif, sebuah pengingat abadi bahwa kehidupan harus berselaras dengan Mizan. Namun, betapa ironis dan menusuknya, di sinilah Munafik Ekologis memainkan peran utamanya. Para penguasa dan petinggi korporasi yang berpidato tentang “keseimbangan alam” di podium-podium megah, pada saat yang sama, sedang membubuhkan tanda tangan mereka pada izin ekstraksi hutan hujan terakhir. Mereka mengenakan jubah khalifah sambil memegang obor pembakar Bumi, mewujudkan Munafik Ekologis sejati. Tangan-tangan oligarki dan korporasi global telah melampaui ukuran (ghuluw) yang ditentukan. Mereka melihat Bumi bukan sebagai Khalifah Ilahi, tetapi sebagai Tambang Kapital, sebuah aset likuid yang nilai moralnya telah didefinisikan sebagai nol.

Ketika bencana datang, kita menyaksikan Epistemologi Bencana: Bahasa Theodicy yang Pincang berusaha bekerja. Theodicy Klasik buru-buru mengartikulasikan gulungan bencana sebagai Azab/Hukuman langsung atas dosa individu atau sebagai Ujian Keimanan yang dirancang untuk menguatkan kesabaran. Namun, narasi ini menjadi pincang di hadapan krisis ekologi modern yang sepenuhnya self-inflicted.

Filosof seperti Albert Camus, dalam The Plague [^2], telah menantang kerangka Theodicy ini dengan pertanyaan etis yang menusuk: bagaimana mungkin Tuhan menghukum bayi yang mati dalam tsunami akibat kerakusan deforester di hulu? Narasi yang hanya menyalahkan dosa individu kini runtuh di hadapan dosa sistemik yang terorganisir, terstruktur, dan didanai oleh tangan-tangan Kapitalisme Ekstraktif.

Oleh karena itu, diperlukan Theodicy Baru: Bencana sebagai Konsekuensi Etis. Para ulama kontemporer dan sufi kini semakin lantang menekankan bahwa bencana alam bukan lagi takdir spiritual, melainkan konsekuensi logis dan etis dari kefasadan (kerusakan moral dan material) yang ditebar di muka bumi. Sebagaimana yang diartikulasikan oleh para pemikir etika Islam, yang diilhami oleh semangat Imam Al-Ghazali: “Barangsiapa yang menanam racun, tidak dapat menuntut keadilan dari langit ketika buahnya membunuh. Penderitaan ini bukan dari kehendak-Nya yang tiba-tiba, melainkan dari tindakan tanganmu yang telah melampaui batas.”

Epistemologi Kehancuran ini mengajarkan bahwa bencana adalah pengetahuan paling keras yang disampaikan langsung oleh Bumi, bukan melalui kitab suci. Ia adalah ratapan geologis yang mengoreksi ghuluw atau ekses moral dan ekonomi manusia.

Maka, jalan keluar dari kemunafikan ini terletak pada Etika Literasi dan Pemeliharaan, didukung oleh ajaran purba. Etika ekologi telah diartikulasikan oleh Sabda Nabi Muhammad yang sangat praktis: Ajaran tentang gharsul jarh (menanam pohon) adalah tindakan spiritual yang setara dengan amal jariyah (amal yang pahalanya terus mengalir). Sabda Nabi yang puitis ini menjadi etos kita: “Jika hari kiamat datang, dan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon, maka tanamlah ia.” (HR. Bukhari). [^3] Inilah kalimat paling puitis yang menjadi kewajiban kita: bahkan di ambang kehancuran total, kewajiban kita adalah menanam harapan, menanam kehidupan.

Etika ini diperkuat oleh Filosofi Sufi. Pemikiran sufi, dengan penekanan pada kesatuan eksistensi (Wahdat al-Wujud), menegaskan bahwa kerusakan pada alam adalah kerusakan pada diri sendiri, karena segala sesuatu adalah manifestasi Ilahi. [^4] Oleh karena itu, Kemunafikan Ekologi adalah kejahatan spiritual karena ia memisahkan diri dari Kesatuan Agung, menganggap diri superior dan alam inferior untuk dieksploitasi. Ekonomi Ekstraktif adalah praktik syirik (menyekutukan Tuhan) modern, karena ia mendewakan profit dan memberhalakan uang di atas Sang Pencipta.

Akhirnya, bencana berlalu, meninggalkan puing dan abu, serta air mata dan dukacita. Kehadiran agama pada fase rekonstruksi haruslah Etika Konsekuensi. Kita harus tegas meninggalkan “Theodicy yang Pincang” dan sepenuhnya merangkul pemahaman bahwa kerusakan ini adalah hasil perbuatan kita.

Kritik Satir Penutup tak terhindarkan: setelah bencana gempa, banjir, dan tanah longsor, para oligarki segera menyumbang miliaran rupiah. Sumbangan ini hanyalah pengembalian sisa dari triliunan yang telah mereka curi dari Bumi—sebuah sedekah kemunafikan yang dicuci dengan air mata korban. [^5]

Panggilan Akhir adalah menghidupkan kembali iman secara total, yang berarti mengembalikan Martabat Ekologis Bumi. Agama harus memimpin revolusi kesadaran, menegaskan bahwa merawat Bumi bukan lagi pilihan moral yang opsional, melainkan Syarat Absolut bagi keselamatan spiritual dan fisik kita. Kehadiran agama bukan lagi sekadar memberi penjelasan tentang penderitaan, melainkan memberi kekuatan untuk menghentikan penderitaan yang kita ciptakan sendiri.

Wallahu A’lam.***

 

Catatan Kaki

[^1]: Al-Qur’an Surat Ar-Rahman (55): 7-8. Ayat ini sering dirujuk oleh para sarjana Muslim kontemporer (seperti Seyyed Hossein Nasr) sebagai landasan ontologis bagi keseimbangan ekologis (Mizan).

[^2]: Lihat Camus, A. (1947). The Plague. Gallimard. Karya ini menawarkan kritik filosofis tajam terhadap Theodicy, menunjukkan ketidakmampuan penjelasan spiritual untuk mengatasi penderitaan yang tak masuk akal diakibatkan oleh faktor-faktor manusia.

[^3]: Hadits riwayat Imam Bukhari. Hadits ini sering dikutip sebagai landasan amal jariyah (amal berkelanjutan) dalam konteks lingkungan dan penanaman harapan.

[^4]: Nasr, S. H. (1993). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Kazi Publications. Nasr membahas konsep Khalifah dan kritik Sufisme terhadap perusakan lingkungan yang didorong oleh modernitas dan pemisahan spiritual dari alam.

[^5]: Untuk analisis satir tentang “Munafik Ekologis” dan greenwashing korporat, istilah ini digunakan untuk mengkritik upaya oligarki mencuci dosa lingkungan mereka melalui filantropi pasca-bencana.

 

Daftar Rujukan

Al-Ghazali, Imam. (Karya Abad Pertengahan, seperti Ihya Ulumiddin yang relevan untuk etika tanggung jawab dan moralitas tindakan).

Al-Qur’an dan Hadits (sumber primer agama Islam).

Camus, A. (1947). The Plague. Gallimard.

Nasr, S. H. (1993). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Kazi Publications.

Plato. (c. 380 BCE). Republic.

 

—-

*Gus Nas Jogja, budayawan.