Film, Bencana Alam dan Kita di Years of Living Dangerously
Oleh: Purnawan Andra*
Ketika potongan wawancara Harrison Ford dengan Zulkifli Hasan kembali berseliweran di lini masa, publik seakan menyaksikan kembali sebuah fragmen kecil dari sejarah yang enggan benar-benar hilang. Cuplikan dari seri dokumenter Years of Living Dangerously (YOLD) Episode 102: End of The Woods yang direkam lebih dari satu dekade lalu, tiba-tiba terasa segar—bahkan relevan—di tengah rangkaian banjir dan longsor yang melanda Sumatera beberapa hari terakhir.
Yang menarik darinya adalah bahwa yang mengemuka bukan sekadar substansi ekologis dalam dokumenter tersebut. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana sebuah film mampu menjadi bagian dari kehidupan sosial yang memengaruhi cara kita mengingat, menafsirkan, dan merasakan kenyataan yang hari ini sedang berlangsung di hadapan kita.
Produk Kebudayaan
Dalam konteks itu, YOLD bekerja bukan hanya sebagai karya jurnalistik. Ia tampil sebagai produk kebudayaan yang memiliki daya jelajah panjang dengan menembus batas waktu, ruang, dan politik. Adegan Ford yang mewawancarai Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan kala itu mungkin tampak sebagai momen konfrontatif antara bintang Hollywood dan pejabat negara.
Namun ketika cuplikan itu beredar kembali hari ini, ia menjelma menjadi semacam “ruang gema” tempat masyarakat menilai ulang relasi antara negara, hutan, dan bencana ekologis yang kini menghantam warga biasa. Dengan kata lain, yang kembali viral bukan hanya gambarnya, melainkan makna budaya yang dikandungnya.
Film, dalam situasi seperti ini, memperlihatkan kekuatannya sebagai medium yang bukan sekadar memotret kenyataan, tetapi mengorganisasi cara kita memahaminya. Ia menggabungkan fakta, emosi, dan narasi menjadi satu kesatuan yang lebih mudah dikenali ketimbang laporan teknis atau riset akademik.
Itulah sebabnya, saat Sumatera menghadapi bencana yang terkait langsung dengan kerusakan ekologis, dari deforestasi hingga hilangnya daerah resapan air, potongan YOLD seolah muncul sebagai ironi sosial—sesuatu yang “sudah ada sejak lama, tapi pura-pura tak kita dengar.”
Yang menarik, publik tidak hanya membagikan cuplikan itu sebagai nostalgia atau kemarahan spontan. Ia diperlakukan sebagai dokumen kultural yang memberi konteks atas apa yang sedang terjadi hari ini. Ford bertanya, dengan nada yang tegas tetapi sebenarnya sederhana: jika taman nasional saja tidak terlindungi, bagaimana dengan hutan-hutan lain?
Pertanyaan itu, ketika dihadapkan pada banjir bandang dan longsor hari ini, berubah menjadi semacam cermin sosial. Ia bukan hanya menunjuk pada kegagalan negara, tetapi pada sistem produksi dan konsumsi yang lebih luas—yang kita semua terlibat di dalamnya.
Di sinilah film bekerja sebagai artikulasi budaya. Ia bukan lagi sekadar produk tontonan, tetapi menjadi ruang tempat masyarakat memperdebatkan apa yang dianggap masuk akal, apa yang dianggap wajar, dan apa yang dianggap sebagai kegagalan kolektif.
Kekuatan YOLD bukan pada dramatisasinya, melainkan pada kemampuan film itu untuk merangkum sebuah pola, yaitu bahwa kerusakan ekologis tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berjalin dengan ekonomi politik, dengan perebutan izin, dengan definisi “pembangunan” yang sering kali tidak menyertakan keberlanjutan ekologis sebagai unsur inti.
Ketika bencana Sumatera terjadi, publik tidak lantas mencari penjelasan yang lebih luas dari laporan resmi atau pidato pejabat. Yang dicari justru jejak-jejak kultural yang memungkinkan mereka memahami peristiwa ini sebagai bagian dari alur besar yang sudah lama berlangsung.
YOLD menyediakan itu. Ia memberikan bahasa visual bagi sebuah kenyataan yang kadang sulit dijabarkan. Yaitu bahwa hubungan antara manusia dan hutan bukan hanya soal teknis, tetapi soal struktur kekuasaan, ekonomi ekstraktif, dan pilihan-pilihan politik yang kita warisi selama bertahun-tahun.
Percakapan Baru
Namun fokus pada film sebagai medium kultural bukan berarti menempatkan YOLD sebagai “kebenaran mutlak.” Justru yang penting adalah bagaimana ia memicu percakapan baru.
Publik yang menonton ulang cuplikan itu tidak hanya melihat Ford dan Zulhas, tetapi seluruh sistem yang berada di belakang mereka. Kepadatan sawit, fragmentasi lahan, perizinan yang longgar, praktik korporasi yang sering kali lebih kuat daripada kebijakan konservasi—semua itu bukan digambarkan secara lengkap dalam film, tetapi diaktifkan kembali oleh film lewat narasi yang kuat.
Film bekerja dengan memproduksi ingatan kolektif. Ia membuat kita kembali pada suatu posisi tertentu dalam sejarah, lalu memaksa kita membandingkannya dengan posisi kita hari ini.
Maka, ketika bencana menimpa Sumatera, ingatan yang muncul bukan hanya tentang hujan ekstrem atau longsor akibat lereng yang melemah. Ingatan yang muncul adalah tentang peringatan-peringatan lama yang diabaikan dan tentang pilihan yang dibuat atau dibiarkan terjadi.
Di sinilah film menjadi medium kebudayaan yang politis. Ia tidak harus berpihak secara eksplisit untuk menampilkan struktur kekuasaan. Ia cukup memberi ruang bagi penonton untuk menyadari bahwa yang tampak di layar bukan sekadar adegan, tetapi representasi dari relasi sosial yang nyata.
Ia merangkai hal-hal yang semula berjarak, seperti kajian ilmiah tentang deforestasi, ingatan warga tentang perubahan hutan, keputusan politik yang diambil bertahun-tahun lalu, serta perasaan tak berdaya ketika rumah dihantam banjir bandang.
Semua itu dipertemukan di satu ruang visual yang membuat publik bisa berkata, “Ah, ini hubungan sebab-akibatnya.” Dan justru ketika hubungan itu menjadi gamblang, kita melihat betapa rapuhnya cara kita mengelola alam.
Dengan demikian, viralnya YOLD hari ini bukan semata karena kualitas dokumenternya, melainkan karena ia menyediakan bahasa yang relevan bagi masyarakat untuk mengartikulasikan ketidakpuasan, kegelisahan, dan rasa kehilangan atas bencana ekologis yang berulang.
Membaca Film
Dari YOLD kita bisa membaca bahwa film bekerja sebagai jembatan antara pengetahuan dan pengalaman. Film lebih dari sekadar dokumenter yang mengkritik kebijakan tertentu. Ia berubah menjadi medium untuk memahami bagaimana masyarakat memaknai relasi antara bencana, kekuasaan, dan kebudayaan.
YOLD menjadi contoh bagaimana film dapat bekerja sebagai arsip moral. Bukan dalam arti menggurui, melainkan dengan menunjukkan pola yang terus berulang dan menantang kita untuk memutusnya. Ia tidak memberikan jawaban, tapi ia membuka ruang tanya.
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat film ini tetap relevan: apakah kita hanya akan mengingatnya ketika bencana datang? Ataukah film seperti ini dapat menjadi bagian dari upaya yang lebih luas untuk menumbuhkan kesadaran ekologis yang konsisten, sehingga kita tidak lagi menunggu bencana berikutnya agar dapat melihat gambaran besarnya? Pertanyaan semacam itu sering kali lebih bernilai daripada jawaban yang tergesa-gesa, karena ia memaksa kita meninjau ulang kebiasaan memandang alam hanya ketika bencana terjadi.
Dalam situasi seperti di Sumatera hari ini, barangkali film tidak memberi solusi, tetapi ia memberi sesuatu yang tak kalah penting berupa kemampuan untuk melihat bencana bukan sebagai rutinitas tahunan, melainkan sebagai hasil dari pilihan yang masih dapat kita ubah. ***
—-
*Purnawan Andra, pegiat Kelompok Kajian Kebudayaan “Wanyabala” Jakarta, penerima fellowship Humanities & Social Science di Universiti Sains Malaysia.




