Drama PBNU dan Kedewasaan Umat: Sebuah Eksplorasi Dialektika Syuriah dan Tanfidziah
Oleh: Gus Nas Jogja*
Esai ini mengeksplorasi dialektika kepemimpinan dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), khususnya ketegangan konstruktif antara Dewan Penasihat Spiritual (Syuriah) dan Dewan Pelaksana Teknis (Tanfidziah). Dinamika internal ini tidak hanya bersifat struktural-administratif, tetapi bergeser pada isu-isu krusial yang menyentuh ushul (prinsip) keagamaan dan siyasah (politik-ekonomi) organisasi, seperti kontroversi mengundang cendekiawan yang terafiliasi dengan Zionisme Israel dan transparansi dalam tata kelola program ekonomi (termasuk konsesi tambang dan akuntabilitas keuangan). Melalui lensa Literasi Budaya Pesantren, pergulatan ini dibaca sebagai teater etis-organisatoris yang bertujuan untuk mematangkan umat (kedewasaan umat). Analisis bertumpu pada Khittah Nahdliyah sebagai kompas akhlak, prinsip Tabayyun sebagai mekanisme resolusi, serta rujukan fundamental pada teks Kitab Kuning dan fatwa ulama.
1. Pendahuluan: Gelombang Friksi, Ujian Khittah
Sejak kelahirannya, Nahdlatul Ulama (NU) senantiasa hidup dalam ketegangan kreatif antara idealisme fiqh dan pragmatisme siyasah. Ketegangan ini diinstitusionalisasikan dalam dwitunggal kepemimpinan: Syuriah—otoritas spiritual yang bertugas menjaga kemurnian ajaran (Maqamat)—dan Tanfidziah—otoritas eksekutif yang bertugas mengelola realitas dunia (Muamalah).
Dalam dekade terakhir, khususnya hasil Muktamar Lampung, “drama” PBNU telah bergeser dari perselisihan personal atau perebutan posisi menuju konflik subtantif yang mempertaruhkan marwah organisasi dan kepercayaan umat. Friksi-friksi krusial tersebut menjadi cerminan nyata dari seberapa jauh Tanfidziah mampu menerjemahkan fatwa Syuriah tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Khittah.
1.1. Kasus-Kasus Krusial sebagai Sumber Konflik
Dinamika PBNU kian menajam ketika kebijakan Tanfidziah bersentuhan dengan isu sensitif yang melintasi batas-batas spiritual dan geo-politik, memicu reaksi keras dari Syuriah di beberapa level, aktivis, dan akar rumput.
1. Kontroversi Cendekiawan Pro-Zionis Israel: Keputusan Tanfidziah (atau lembaga di bawahnya) untuk mengundang, berdialog, atau bekerja sama dengan cendekiawan Barat yang secara eksplisit atau implisit mendukung kebijakan Zionis Israel—sebuah entitas yang secara historis ditentang oleh NU dan ulama dunia—menghadirkan gesekan ideologis yang paling keras. Ini adalah benturan langsung antara prinsip muwajahah (perlawanan terhadap kezaliman) yang berakar pada Kitab Kuning (bab Siyar dan Jihad) dengan pertimbangan pragmatisme diplomasi global atau riset akademik yang diusung Tanfidziah.
2. Tata Kelola Ekonomi dan Konsesi Tambang: Pemanfaatan sumber daya ekonomi, khususnya keputusan strategis terkait konsesi pertambangan atau proyek besar lainnya, memunculkan isu transparansi program-program ekonomi. Umat menuntut akuntabilitas menyeluruh atas sumber-sumber keuangan dan potensi benturan kepentingan. Gesekan ini menyoal apakah program ekonomi Tanfidziah didasarkan pada Mashlahah al-Ammah (kepentingan umum) murni atau terdistorsi oleh kepentingan syakhsiyyah (pribadi) dan hizbiyyah (golongan).
3. Akuntabilitas Sumber Keuangan: Kejelasan sumber dan penggunaan dana organisasi adalah ujian terhadap akhlakul karimah PBNU. Adanya ketidaktransparanan dalam pelaporan keuangan dapat merusak tsiqah (kepercayaan) umat yang telah dibangun melalui dakwah ikhlas para kiai. Syuriah wajib mengontrol agar kekayaan organisasi tidak menjadi fitnah yang merusak integritas rijalul ghaib NU.
Gesekan-gesekan ini menuntut kedewasaan umat untuk menilai, bukan hanya melihat siapa yang benar dan salah, melainkan memahami proses ijtihad jam’iy (penentuan hukum kolektif) PBNU di tengah pusaran modernitas.
2. Ontologi Struktural: Benturan Maqamat dan Siyasah
Struktur kepemimpinan NU yang memisahkan Syuriah dan Tanfidziah adalah arsitektur spiritual yang dirancang untuk mencegah organisasi menjadi alat kekuasaan. Namun, kasus-kasus krusial di atas menunjukkan bahwa batasan antara keduanya kini menjadi area konflik yang tajam.
2.1. Syuriah dan Penjagaan Ushul (Prinsip)
Syuriah, dipimpin oleh Rais ‘Aam, adalah penjaga ushul keagamaan, khususnya terkait sikap politik luar negeri dan pandangan Islam tentang keadilan global.
Kasus Cendekiawan Pro-Zionis adalah contoh sempurna dari benturan ini. Sikap NU terhadap Palestina dan Zionisme berakar pada fatwa ulama pendahulu, yang secara konsisten mendukung perjuangan rakyat tertindas (Palestina).
Syuriah berpegang pada ajaran fiqh tentang wala’ (loyalitas) dan bara’ (pelepasan diri) serta prinsip kemanusiaan universal. Ketika Tanfidziah membuka ruang bagi tokoh yang merusak konsensus ideologis ini, Syuriah wajib—secara moral dan fiqhi—mengambil sikap korektif. Keputusan Syuriah di sini adalah hukm syar’i (keputusan hukum) yang harus ditaati, bahkan jika berkonsekuensi pada hilangnya peluang diplomasi atau pendanaan eksternal yang diincar Tanfidziah.
2.2. Tanfidziah dan Risiko Siyasah Maliyah (Kebijakan Ekonomi)
Tanfidziah bertanggung jawab atas siyasah maliyah (kebijakan ekonomi dan keuangan). Dalam konteks tata kelola tambang dan akuntabilitas, Tanfidziah berhadapan dengan fiqh muamalah yang menuntut syarat sah transaksi, di mana transparansi dan keadilan menjadi pilar utama.
Dalam tradisi pesantren, uang yang diperoleh dari syubhat (diragukan kehalalannya) dilarang. Konsesi tambang, yang melibatkan kekayaan alam sebagai hak milik umum (milkiyah ‘ammah), harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Apabila Tanfidziah gagal menunjukkan transparansi dan akuntabilitas sumber-sumber keuangan (terutama yang berasal dari korporasi besar), hal itu tidak hanya melanggar Khittah, tetapi juga menempatkan Syuriah dalam posisi moral yang sulit. Syuriah harus menjadi pengawas yang memastikan Tanfidziah menerapkan kaidah fiqh bahwa tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin atas rakyat harus terikat pada kemaslahatan umum) [^1].
3. Khittah Akhlakul Karimah: Spiritualitas Transparansi
Khittah Nahdliyah berfungsi sebagai manifesto akhlakul karimah. Ia mengajarkan bahwa setiap gerak organisasi harus berorientasi pada nilai, bukan sekadar hasil pragmatis.
3.1. Akuntabilitas sebagai Bagian dari Ihsan
Dalam fiqh muamalah, transparansi dan akuntabilitas keuangan bukanlah sekadar kewajiban hukum positif, melainkan manifestasi dari ihsan (melakukan yang terbaik seolah-olah dilihat Allah). Terkait isu tata kelola tambang dan sumber dana, Khittah menuntut PBNU untuk:
1. Prinsip Izzatul Islam (Kemuliaan Islam): Menolak segala bentuk pendanaan atau kerja sama yang dapat merusak citra NU sebagai pembela kaum lemah, seperti dana yang berasal dari eksploitasi lingkungan atau konflik kepentingan.
2. Prinsip Tawassut (Jalan Tengah) dalam Ekonomi: Memastikan program ekonomi tidak terlalu kapitalistik (mengabaikan kaum dhu’afa) dan tidak terlalu idealis (tidak realistis). Transparansi menjadi jembatan antara keduanya.
Kasus penerimaan dana yang tidak transparan—atau kerja sama yang dipertanyakan integritas mitranya—secara sastrawi adalah senandung perpecahan yang merusak dzikir kolektif umat. Ia menciptakan keretakan antara niat suci para muassis dan praktik para pengurus.
3.2. Sastra Sufistik dan Muraqabah
Pergulatan PBNU ini adalah tarbiyah (pendidikan) bagi umat. Syuriah secara konsisten mengingatkan Tanfidziah untuk melakukan muraqabah (instropeksi dan merasa diawasi Tuhan) dalam setiap keputusan, khususnya yang melibatkan uang dan kekuasaan.
Jika Tanfidziah terlena dan mengundang tokoh yang merusak ushul keagamaan (seperti cendekiawan pro-Zionis), maka Syuriah bertindak sebagai Nur al-Qalb (Cahaya Hati), yang berfungsi sebagai counter-force spiritual. Inilah cara Khittah bekerja: sebagai cermin yang memantulkan kembali wajah spiritual organisasi yang nyaris tercemar.
4. Prinsip Tabayyun: Mekanisme Resolusi di Era Informasi
Ketika gesekan ideologis (seperti isu Zionis) atau administratif (seperti isu tambang) mencuat ke permukaan, Tabayyun menjadi mekanisme penyelamat untuk memulihkan tsiqah (kepercayaan) dan menghindari fitnah.
4.1. Tabayyun sebagai Fiqh Inter-Institusi
Tabayyun tidak hanya berlaku bagi individu umat, tetapi juga bagi institusi. Dalam kasus-kasus krusial di PBNU:
1. Tabayyun Ideologis (Isu Zionisme): Syuriah wajib men-tabayyun-kan Tanfidziah secara internal dan publik. Klarifikasi harus didasarkan pada fatwa dan dalil dari Kitab Kuning yang relevan (seperti Kitab I’anatut Thalibin atau Nihayatuz Zain yang membahas ghazwul fikri—invasi pemikiran). Syuriah perlu menegaskan kembali sikap fiqh NU terhadap isu geo-politik, sehingga umat mendapatkan panduan yang jelas.
2. Tabayyun Administratif (Isu Ekonomi): Tanfidziah wajib melakukan tabayyun proaktif dengan memublikasikan secara detail tata kelola dana dan keuntungan dari program ekonomi (misalnya, konsesi tambang), merujuk pada prinsip shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya) yang merupakan sifat Nabi. Akuntabilitas keuangan ini harus diverifikasi oleh tim internal Syuriah yang independen.
4.2. Merujuk Teks Kitab Kuning tentang Kepemimpinan
Banyak teks Kitab Kuning yang membahas etika kepemimpinan. Salah satunya adalah Kitab Risalatul Mu’awanah karya Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, yang menekankan pentingnya kejujuran pemimpin dan bahaya riya’ (pamer) dalam jabatan publik. Ulama-ulama NU merujuk pada teks-teks ini untuk mengingatkan bahwa kekuasaan, jika tidak diiringi zuhud (asketisme), akan menjadi racun yang memecah belah umat [^2].
Oleh karena itu, setiap kali terjadi gesekan, Bahtsul Masail NU perlu mengambil peran aktif untuk merumuskan panduan fiqh yang spesifik dan kontekstual, mengubah ghadab (kemarahan) publik menjadi hikmah (kebijaksanaan) kolektif.
5. Kedewasaan Umat: Belajar dari Al-Ikhtilaf Rahmatun
Puncak dari “drama” PBNU adalah proses pematangan bagi umat. Syuriah dan Tanfidziah adalah dua sayap burung Garuda yang harus mengepak secara harmonis. Jika salah satu sayap terlalu kuat atau lemah, penerbangan organisasi akan terganggu.
5.1. Filosofi Membaca Konflik
Gesekan internal NU mengajarkan umat untuk:
1. Kritik yang Konstruktif (Kritik sebagai Amar Ma’ruf): Umat dididik untuk tidak hanya menerima otoritas secara buta (taqlid buta), tetapi juga memiliki keberanian intelektual untuk mengkritik pemimpin yang dianggap menyimpang dari Khittah. Kritik ini harus didasarkan pada adab al-ikhtilaf (etika perbedaan pendapat) yang mencontohkan debat para ulama di masa lalu—keras dalam argumen, tetapi santun dalam penyampaian.
2. Memelihara Jati Diri (Isu Zionisme): Dalam kasus ideologis sensitif, kedewasaan umat diuji untuk membedakan antara toleransi (menghormati keyakinan lain) dan kompromi prinsip (menerima ideologi yang bertentangan dengan ushul keagamaan). Umat belajar bahwa ada garis merah (had) yang tidak boleh dilewati demi keuntungan politik atau ekonomi.
5.2. Narasi Filosofis: Al-Qalb dan Al-Aql
Secara filosofis, Syuriah adalah Al-Qalb (Hati), yang menjaga niat, keikhlasan, dan nilai-nilai luhur. Tanfidziah adalah Al-Aql (Akal), yang berfungsi merencanakan, menghitung, dan beradaptasi secara rasional.
Konflik seperti tata kelola tambang dan transparansi keuangan terjadi ketika Al-Aql bekerja tanpa mendengarkan Al-Qalb, mengutamakan hitungan untung-rugi duniawi tanpa mempertimbangkan barakah (keberkahan) dan izzah (kemuliaan) [^3]. Umat yang dewasa akan mampu melihat dan menuntut integrasi sempurna antara hati dan akal dalam kepemimpinan mereka.
6. Penutup: Fatwa Muassis dan Rekonsiliasi Tiga Pilar
Drama PBNU adalah ijtihad abadi untuk menyeimbangkan marwah (kehormatan) para ulama dan mashlahah (kepentingan) umat. Isu-isu sensitif seperti Zionisme dan transparansi ekonomi adalah penanda bahwa organisasi ini kini berhadapan dengan tantangan transnasional dan struktural yang jauh lebih kompleks daripada masa lampau.
Rekonsiliasi antara Syuriah dan Tanfidziah pasca-gesekan tidak boleh bersifat politis belaka, melainkan harus mengakar pada fatwa dan spirit Hadratusyekh K.H. Hasyim Asy’ari. Muassis (pendiri) NU ini telah meletakkan tiga pilar yang menjadi kunci pemulihan organisasi dan penentu kedewasaan umat:
1. Keadilan (Al-‘Adalah): Dalam Kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Hadratusyekh Hasyim Asy’ari menekankan bahwa ilmu harus melahirkan adab dan keadilan. Rekonsiliasi menuntut Tanfidziah untuk bersikap adil dalam distribusi manfaat (isu ekonomi) dan adil dalam sikap ideologis (isu Zionisme). Keadilan berarti menolak kerja sama yang merugikan pihak lain atau melanggar hak asasi manusia, sekalipun atas nama keuntungan. Syuriah berfungsi sebagai penjamin keadilan ini, menimbang setiap kebijakan dengan timbangan fiqh yang ketat.
2. Kemaslahatan (Al-Mashlahah al-Ammah): Hasyim Asy’ari menekankan bahwa setiap tindakan ulama dan pemimpin harus berorientasi pada mashlahah umat. Dalam konteks modern, mashlahah berarti memastikan bahwa program ekonomi seperti tata kelola tambang harus sustainable (berkelanjutan), tidak merusak lingkungan, dan benar-benar meningkatkan kesejahteraan mayoritas. Fatwa kontemporer PBNU harus merefleksikan prinsip ini, mewajibkan transparansi penuh (shiddiq) sebagai prasyarat maslahah.
Kemanfaatan Umat (Naf’ul Ummah): Kemanfaatan yang dicita-citakan bukan hanya keuntungan sesaat, melainkan naf’ul ummah yang bersifat abadi (akhirat) dan duniawi. Ini menuntut Syuriah untuk aktif membimbing Tanfidziah menjauhi ambisi yang berbau syubhat atau yang berpotensi memecah belah umat. Penguatan kembali sanad keilmuan dan penolakan terhadap ideologi yang merusak (seperti Zionisme) adalah bentuk kemanfaatan tertinggi, karena ia menjaga keutuhan akidah dan ideologi Aswaja.
Dengan menjadikan fatwa muassis sebagai kompas ishlah (pemulihan), gesekan internal PBNU dapat diakhiri dengan martabat. Syuriah harus diperkuat otoritasnya sebagai penentu Khittah dan pengawas moral, sementara Tanfidziah harus didorong untuk menjalankan program dengan akuntabilitas yang mutlak. Hanya dengan demikian, “drama” NU berubah menjadi madrasah besar, yang mengajarkan kepada bangsa tentang rekonsiliasi berbasis keadilan, kemaslahatan, dan kemanfaatan sejati. Ini adalah warisan abadi dari peradaban pesantren.
Wallahu A’lam. ***
Catatan Kaki
[^1]: Kaidah Fiqhiyyah yang termasyhur ini sering digunakan dalam diskursus fiqh siyasah untuk menilai kebijakan publik. Prinsipnya menuntut pemimpin untuk mendahulukan kemaslahatan publik di atas segalanya.
[^2]: Al-Haddad, Habib Abdullah bin Alawi. (Abad ke-17). Risalatul Mu’awanah wal Muzaharah wal Muwazarah. Kitab ini membahas secara mendalam etika sosial dan spiritual, termasuk kepemimpinan dan bahaya ketergantungan pada harta duniawi.
[^3]: Konsep Barakah dan Izzah (keberkahan dan kemuliaan) dalam pengambilan keputusan adalah nilai-nilai fundamental dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah. Para ulama senantiasa mengingatkan bahwa kekayaan tanpa barakah adalah musibah, dan kemuliaan harus dipertahankan di atas segala ambisi.
Rujukan Ilmiah
Asy’ari, K. H. Hasyim. (1915). Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Jombang: Maktabah Tebuireng. (Teks etika klasik pesantren, sumber utama prinsip keadilan dan adab kepemimpinan).
Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. (Fondasi budaya kiai dan Syuriah).
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. (Abad ke-11). Ihya’ Ulumiddin. Beirut: Dar al-Fikr. (Rujukan Tasawuf dan Tazkiyatun Nafs).
Said, Nur. (2020). Politik Transparansi dan Etika Organisasi Islam. Yogyakarta: LKiS. (Analisis modern mengenai Khittah dan akuntabilitas dalam organisasi keagamaan).
Syarqawi, K. H. Abdurrahman. (2017). Fiqh Siyasah Nahdliyah: Membaca Kitab Kuning dalam Konteks Kontemporer. Kediri: Pustaka Pesantren. (Pendekatan fiqh NU terhadap isu-isu politik dan ekonomi).
Yusuf, M. Taufiq. (2019). Dari Fiqh Klasik ke Fiqh Kontemporer: Perkembangan Metodologi Bahtsul Masail NU. Surabaya: Pustaka Pelajar. (Mekanisme istinbath hukum NU).
—-
*Gus Nas Jogja, santri – budayawan.




