Pameran Seni ‘Descending’ di Artsphere, Dharmawangsa Square: Agnes dan Tali-Temali Primitif Yang Kontemporer 

Oleh Bambang Asrini Widjanarko*

Seorang seniman muda, Agnes Hansella, 33 tahun membawa seni tali-rajut kuno, warisan bangsa Moor klasik, menjadi karya seni kontemporer terkiwari. Yang mengejutkan, karya-karya ‘separuh ekspresif-nya’, di masa lalu itu mempesona brand-brand luxurious seperti Hotel Marriott, Louis Vuitton (LV), sampai Hermès. 

Kali ini, galeri seni Artsphere, milik pecinta seni sejati, Maya Sudjatmiko di kompleks Dhamawangsa Square, Jakarta mendapat ‘durian runtuh’ memamerkan karya-karya potensial Agnes yang jenial dalam tajuk “Descending” dari 22 November-22 Desember ini. 

Semenjak lebih dari satu setengah dekade ini, cara kita memahami seni memang menjadi sangat revolusioner berubah. Saat sama, kebutuhan ekspresi karya-karya yang fresh, dekat dengan dunia yang sangat privat dan dijunjung tuntas oleh maraknya algoritma media-sosial menggoda pemilik galeri, rumah-lelang sampai butik-butik fashion mewah dan generasi muda kolektor-kolektor seni kita. 

Click bait, video-stories, status dan segala istilah di dunia siber membantu talenta-talenta anyar dengan imej-imej provokatif ala gen-Zi dan millennial yang segera instrumen media-sosial yang progresif menjadikan gerbang baru tentang ‘yang sakral untuk kuil-kuil suci’ di seni kontemporer. 

Yang bahkan, seperti pengakuan Agnes dengan penulis, “ya saya diajak mereka, orang-orang agency untuk brand-brand komersil dan life-style itu untuk menciptakan karya komisi khusus komposisi tali-temali-rajutan pun tenunan yang sangat khas dalam skala gigantik di interior mewah butik-butik khusus atau ruang-ruang berspasial luas di hotel”, ujar Agnes. 

Fenomena Agnes tak seberapa aneh, meski penulis terkaget-kaget, betapa cepat waktu berlari, saat satu dekade lebih, sekitar 15 tahun lalu, brand LV sempat mengundang sejumlah seniman muda seperti Eko Nugroho. Atau yang lebih senior, seperti Heri Dono dan sejumlah seniman lain yang muda bertandang di markas LV di Paris untuk berpameran secara spesial. 

Eko, dikenal lebih segar dengan karya-karya tekstil yang digambar di scarf- khususnya; dan sejumlah karya-karya seniman street art, mendapatkan pesanan khusus dari majalah Bazaar pusat di USA, atau beberapa tahun berselang brand mobil BMW pernah ‘dipercantik” parasnya dengan coretan warna-warni oleh seniman lokal di sebuah ajang art fair. 

Hari-hari ini, lebih cepat lagi talenta-talenta baru menggebrak. Memancing rasa penasaran bagaimana seorang berlatar sound-egineering digital dengan gelar masternya di Kanada serta diploma awalnya dari jurusan filem di perguruan tinggi seni di Jakarta; layaknya Agnes Hansella hadir? 

Seni Kontemporer dan Kemungkinan Anyar 

Jika Agus Pandega dengan seni instalasi kinetiknya menyapa White Cube, London yang sensasional bagi para gallerist itu, meski lebih senior di usia sekitar 40-an tahun, seniman dan film maker kontemporer Timoteus Anggawan Kusno memulai debutnya di art fair bergensi, Art Basel yang kemudian mungkin saja menyusul Agnes Hansella kelak. 

Tak ada yang lebih berbeda dibawah matahari yang sama, baik Agnes maupun Eko Nugroho sebelum akhirnya dirayu brand komersial dunia, mereka bersandar pada bagaimana seni-seni media baru muncul semenjak Nam Jum Paik di era 1970-an lalu dengan fenomena gerakan Dada merangsek dan mempesona dunia. 

Yang membedakan mungkin, bagaimana diskursus seni tentang Indonesia bisa diekspor secara masif di ‘situs-situs komersil global’ selain di ajang Biennale Dunia Sao-Paulo, misalnya sejak Affandi atau Venice Biennale, hiruk-pikuk di Kassel dengan Documenta-nya Ruang Rupa, serta sesekali mengintip di Guggenheim Museum dengan karya Arin Dwi Hartono atau karya yang dipesan khusus melintas seperti Entang Wiharso kala Covid 19 merebak dunia? 

Pencetak rekor tertinggi harga di rumah lelang dunia, seperti seniman muda Roby Dwi Antono selain yang lebih senior Ay Tjoe Christine, telah digaet sebagai “ikon” oleh ArtJog tahun 2026. Agnes Hansella, seturut amatan penulis memiliki kesempatan dua arah sekaligus: pewacanaan yang kuat, saat sama bisa menembus art fair pun galeri manca negara raksasa dunia kelak. Kebutuhan akan hadirnya paras baru dari dunia fashion dan life-style—ingat, tali-temali kuno dan keistimewaan karya tekstil dengan cara pendekatan membeda ‘embroidery yang khas” dibalut dengan kawat, kabel-kabel, lighting dan ‘suara-suara mistis’ hasil racikan sound-digital Agnes tentunya menarik minat baik pewacanaan pun industri. 

Ada bayangkan, seluruh-perempuan dari kelas-menengah atas dalam ambang bawah-sadarnya tentunya mengingat atas kekuatan kemandirian perempuan yang individual, kokoh di wilayah-wilayah sangat privat dan menjaga keberbedaan dengan kelas menengah lain. 

Mereka, para lady, sang aristocrat-aristokrat modern, memiliki rasa bangga yang flamboyan yang bisa ditemui dalam sejarah ratusan tahun karya-karya kepemilikan perhiasan—jewellery, dari koin mungil keemasan imej Cleopatra sampai rajutan sutra milik selir favorit para Emir Arab tentunya terpikat pada benda-dan obyek-pakai privat, mewah, membeda, unik lagi istimewa. 

Permadani Persia, perabot indah milik Pharaoh, isteri bangsa Moor kelas atas, para aristokrat Baron dari Eropa yang menyukai rajutan dan sulaman sutra istimewa dari Tiongkok Dinasti tertentu; mendadak dibenturkan setengah ekspresif dengan gaya kontemporer Agnes yang mengejutkan. 

Pengalaman-pengalaman Agnes yang absurd, menjelajah ragam dan pola serta corak Nusantara, seperti hamparan tali-temali menyerupai binatang, membentuk pengalaman-pengalaman yang dalam seni ada istilah: biomorph, seperti belalang atau sarang-lebah, organisme hidup, yang menggantung, yang dipamerkan di atap galeri Artsphere itu. 

Galeri juga dibiarkan temaram sinar lampunya, diganti dengan istrumen lampu khusus yang membuat karya Agnes ‘Glowing In the Dark’, mendadak ada kunang-kunang di dalam galeri seni, ada semangat pencarian eksperimentasi eksistensial, ruang separuh gelap namun tak henti dipendar cahaya lembut separuh bercahaya, berkedip di antara obyek-obyek seni Agnes, yang tentunya menginspirasi kaum hawa, tentang pernak-pernik kepemilikan yang privat pun yang dianggap sensasional, layaknya para agency dari brand komersil itu mendatangi Agnes. 

Seni kontemporer membuka pintu lebar-lebar atas segala kemungkinan, ‘artefak-privat-kaum Hawa’ kuno dari seni aplikatif; kemudian bertransformasi revolusioner ungkapan ekspresif individual Agnes, ke medium seni kontemporer media anyar dengan sentuhan khas meramu energi feminitas dan teknologi aplikatif. 

Selamat menikmati yang terkini di Artsphere dan rasakan sensasi yang membeda di Jakarta Selatan, tentunya sebelum Desember menyapa kita semua. 

 

*Bambang Asrini Widjanarko, kerani seni dan penulis