Estetisasi dan Politisasi
Oleh. Mudji Sutrisno SJ.*
Estetisasi adalah kerja yang memperindah tampilan serta panggung pertunjukan diri. Namun, tampilan mengada-ada itu selubung yang menyembunyikan fakta sebenarnya. Apakah negara panggung, penelitian ahli budaya Geertz yang dikembangkan Umar Kayam (alm.) menjadi negara gebyar merupakan estetisasi kenyataan semu? Jawabnya, ya. Sebab, basis kenyataan material nyata nusantara berada di penjajahan VOC, yakni raja-raja Mataram Pakubuwono dan Hamengku Buwono tidak punya wilayah daratan atau teritorial lagi sebagai raja-raja. Jadi, estetisasi sesungguhnya melarikan legitimasi “gebyar” upacara sebagai kedaulatan sang raja lengkap dengan gelar simbolik Pakubumi. Tidak punya kekuasaan tanah daratan yang sudah dicaplok kolonialis. Maka, dalam analisis penafsiran poskolonialisme, sisa-sisa watak dan perilaku dari masa kolonialis terjajah dalam menggincu tampilan luar indah gemerlap dan rezim formal rapi di permukaan, tetapi di balik itu sebenarnya berantakan dan kacau salah urus adalah kelanjutan estetisasi di zaman kini.
Apakah kegemaran berfestival ria di saat-saat merayu rakyat dengan biaya mahal yang kontras dan paradoks dengan kepahitan rakyat banyak yang makin miskin dan antre dimana-mana dengan wajah meminta-minta bisa dijelaskan dengan estetisasi? Apakah program-program sinterklas pemerintah yang tidak mendidik merupakan selubung manis memperindah-indahkan? Juga apakah kepanikan manajemen reaktif menghadapi protes mahasiswa lewat program bantuan Rp 500.000 untuk mahasiswa miskin merupakan estetisasi? Ketika laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan program pendidikan atau penyejahteraan orang kecil dibuat indah di kertas laporan, tetapi berantakan di lapangan, laporan formal itu merupakan produk estetisasi. Lalu, ketika perilaku estetisasi hampir menjadi ungkapan cara-cara memberi makna dalam hidup bernegara, estetisasi berkembang menjadi budaya yang mempercantik wajah kota dengan slogan demi adipura, tetapi keadaan sejahtera masyarakat tetap bernapas dalam lumpur. Peninggalan adipura warisan Orde Baru di beberapa tempat kini didekonstruksi. Di Solo, misalnya, visi budaya dan penyejahteraan diwujudkan Wali Kota Jokowi ketika dia meminta para budayawan asli Solo dan pencinta perkembangan kota agar memberi pemikiran- pemikirannya guna melawan budaya estetisasi. Di Solo, kini dihayati pemaknaan masyarakatnya sebagai “Solo kotaku, Jawa budayaku” dan berikutnya Indonesia adalah bangsaku dan negaraku!
Proses budaya merupakan pemerdekaan orang-orangnya dari dehumanisasi untuk menjadi lebih berharkat dan beradab. Karena itu, estetisasi merupakan “musuh” dari proses semakin beradabnya manusia. Estetisasi lalu merupakan lawan dari humanisasi peradaban. Mengapa merupakan musuh peradaban? Pertama, estetisasi menampilkan kemunafikan wajah ganda, yakni di permukaan indah, sementara di balik itu busuk. Kedua, estetisasi membuat budaya retak antara yang nyata dengan yang simbolik. Antara yang benar-benar faktual ditutupi dengan karpet-karpet yang seolah-olah bagus, tetapi di baliknya jurang derita tak pernah ditangani. Ketiga, terjadi pembelahan dunia resmi formal, santun, beres di depan, sementara dunia pelaksanaan atau dunia get things done tetap dibiarkan terlantar. Lihatlah contoh, dua tahun peristiwa lumpur Lapindo yang tidak peduli dengan korban karena jaring-jaring kapital bergandeng tangan dengan penguasa. Estetisasinya menyebar dengan modal iklan, advertorialdi mana-mana, di kolom-kolom media cetak dan elektronik, tetapi fakta derita korban lumpur Lapindo tetap menyedihkan. Keempat, budaya serba memperindah-indah menjadi sumber korupsi, kebohongan publik ataupun sikap tidak mau rendah hati. Estetisasi warisan poskolonial yang sudah masuk ke bawah sadar dan kesadaran kultural petinggi-petinggi bangsa kita harus dibongkar dan dijadikan musuh budaya.
Politisasi merupakan pereduksian dimensi-dimensi kaya dari kehidupan hanya pada satu dimensi, yaitu persaingan kekuasaan untuk meraih kursi, jabatan, dan penguasaan demi tercapainya kepentingan diri atau kelompok sebagai partai. Semua sarana, dari iklan media, dana, lobi, hingga cara-cara halal maupun haram dipakai untuk memenangkan kepentingan dan kursi kekuasaan. Pemilu adalah sarana memanipulasi masyarakat untuk tangga naik. Lalu, begitu kursi jabatan sudah di tangan, rakyat sebagai anak tangganya ditendang dan tak dipedulikan lagi nasibnya. Politisasi adalah seluruh daya gerak dan kerja menguasai hidup bersama dengan politik kekuasaan dan tidak dengan politik kesejahteraan. Tanda utama politisasi adalah tagihan janji-janji selama kampanye tidak diwujudkan. Ciri berikutnya, medan politik baik eksekutif, yudikatif, apalagi legislatif dipakai untuk cari makan dan membesarkan kepentingan penguasaan aset-aset, kekayaan tanpa ingat lagi pada anak-anak tangga suara rakyat yang telah memilihnya. Bersama dengan estetisasi di ruang budaya, politisasi adalah musuh bagi peradaban demokratis berbangsa dan bernegara, sebagaimana visi konstitusional di alinea keempat pembukaan UUD 1945 untuk keIndonesiaan yang berkeadilan sosial, berketuhanan, berkeadaban, dengan musyawarah untuk politik dan demokrasi hukum yang pasti, serta menghormati kebhinekaan ragam penyusun bangsa dari beda agama, ragam suku, dan aneka subkultur yang menyatu dalam bangsa Indonesia.
Mengapa politisasi merupakan musuh humanisasi peradaban Indonesia? Pertama, karena kekuasaan menjadi tujuan yang mau diraih bukan untuk politik kesejahteraan. Kedua, karena politik dijalani tanpa etika pelayanan demi kebaikan kesejahteraan masyarakat, sehingga yang berkuasa dan hanya yang bermodal sajalah yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hanya para gajahlah yang berhak menentukan bernegara, sedang para pelanduk mati menjadi korban dan dijadikan sarana untuk mencapai kekuasaan. Ketiga, karena hidup bersama direduksi dalam hubungan kekuasaan tanpa etika dan tanpa kontrol, keramaian demokrasi menjadi semu tanpa terjadi perubahan tingkat martabat dan kesejahteraan hidup warganya. Berganti-ganti pemerintahan, tetapi tetap saja menderita dibasis kesehatan dan pendidikan. Akibatnya, terbukalah jurang amat lebar antara elite kekuasaan yang tanpa malu-malu menikmati kekuasaan dengan paradoks rakyat miskin yang susah makan, bahkan disana-sini frustrasi dan bunuh diri karena tak bisa memberi makan anak-anaknya.
——-
*Mudji Sutrisno SJ. Budayawan.