Hikayat Perupa dalam Sinema #5: Romualdo: Perempuan dan Kematian. Sudarso: Perempuan dan Perkawinan
Oleh: Agus Dermawan T.*
Apabila hubungan Romualdo dengan perempuan amat romantik sekaligus menegangkan, maka jalinan Sudarso dengan perempuan amat menggelitik dan mencengangkan. Riwayat Romualdo akan menjadikan layar sinema seperti tamasya Bali, Jawa, Eropa. Kisah Sudarso menjelma jadi komedi.
————–
Lho lho lho, Romualdo!
ROMUALDO Frederico Locatelli lahir di Bergamo, Italia pada 4 April 1905. Sejak kecil ia sudah dikondisikan mencipta seni rupa, karena ayahnya, Luigi Locatelli adalah pelukis. Pada masa remaja ia bahkan bergabung secara profesional dengan sang ayah untuk mengerjakan lukisan dinding serta elemen-elemen dekoratif ruangan besar. Bakat hebat ini mendorong ayahnya menyekolahkan Romualdo di Academia Carrara-Bergamo. Prestasinya dalam melukis realisme potretis dipuji, sehingga karyanya masuk nominasi Prince Umberto Grand Prize pada 1925. Penghargaan amat bergengsi di Italia kala itu.

Romualdo Locatelli. (Sumber: Dokumen)
Sekeluar dari akademi ia merayap ke Milan dan Roma, bermukim sebentar-sebentar di sana dan mencipta. Ketika di Afrika Utara ia menyadari bahwa dirinya adalah seniman orientalis. Pikirannya berkata, ada budaya negeri di luar Eropa yang pantas dicatat dalam kanvas, sebagai “pembanding unik” dari budaya Eropa yang selama itu ia kenal.
Pada 1938 ia melakukan pameran tunggal di Roma. Lukisan-lukisan tentang Afrika Utara ditampilkan dan mendapat pujian. Pada saat itu muncul saran agar Romualdo melakukan perjalanan orientalis ke Selatan, seperti Filipina dan Hindia Belanda. Ia sangat tertarik. Dan ia pun langsung berangkat beberapa bulan kemudian. Di Hindia Belanda Romualdo terpikat Bandung yang sejuk sekaligus hangat, dan dipredikati sebagai “Paris van Java”. Namun ia juga terpesona Batavia, yang menyimpan ragam kehidupan.
Di Batavia ia tentu saja melukis bebas. Warga kampung dan pedagang keliling acap menjadi sasaran kwasnya. Namun keahliannya dalam melukis potret menyebabkan ia banyak menerima pesanan orang. Di antaranya dari wanita bernama Grazielle Reehry, isteri seorang bangsawan. Pesanan yang tentu menyenangkan, meski ternyata juga menghadirkan kisah sungguh menyeramkan. Kisah itu demikian.
Syahdan Romualdo yang siap dengan alat-alat melukis, sudah berada di kamar Grazielle yang megah-mewah dengan dihiasi cermin di dinding dan langit-langit. Di tengah keterpesonaan itu Grazielle si cantik jelita memasuki kamar dengan gaunnya yang menawan.
Melihat Grazielle, naluri kelelakian Romualdo bangkit. Ia lalu menjumput parfum Narcisse Noir yang ada di situ, dan memercikkan sedikit ke Grazielle. Pada saat itulah Grazielle menyambut Romualdo dengan pelukan, yang kemudian berlanjut ke cerita percintaan. Setelah berlangsung beberapa kali, Grazielle bangkit dari ranjangnya, dan buru-buru memakai gaunnya. “Suamiku sudah kembali. Jangan marah, ya. Ayo turun sekarang,” katanya.
Cerita roman sudah lewat. Ketika pada tahun-tahun berikutnya Romualdo berada di Manila, Erminia menerima surat mengejutkan dari sahabatnya, penyanyi Nunu Sanchioni. Surat itu mengabarkan bahwa Grazielle Reehry mati karena ditikam di ranjangnya yang mewah. Banyak yang menduga bahwa yang menikam adalah suaminya sendiri, setelah tahu betapa Grazielle gemar bermain cinta dengan lelaki lain. Termasuk dengan Romualdo.
Romualdo hidup di Batavia dan Bandung pada 1939. Setelah menghasilkan karya-karya yang bagus, dan mendapat uang dari pameran, ia berlayar ke Bali. Di Pulau Dewata ini ia berniat hidup lama. Kepada Colin McPhee (komposer Kanada) yang memberinya tempat tinggal di Bali, Romualdo berkata, “Apabila di Roma orang berdoa untuk mencari sorga, di Bali orang-orang jauh hari sudah menemukannya.”
Di Bali ia sangat produktif. Seperti di Jawa, ia kerap melukis gadis-gadis belia di kanvasnya, dan menghasilkan sejumlah adikarya. Lukisan Tigah, Sang Dewi Bali (1940) adalah salah satu contoh.
Pada hari-hari kemudian, mungkin lantaran perasaannya diguncang situasi Perang Dunia II, Romualdo mendadak ingin meninggalkan Bali untuk sementara. Ia menuju ke Filipina pada 1940, bersama seniman Itali lain, Emilio Ambron. Ketika ingin kembali ke Bali pada 1942, ia mendengar Jepang telah menguasai Indonesia. Ia pun memilih berdiam dulu di Filipina. Sampai akhirnya kota Manila dibom Jepang, yang menyebabkan tempat tinggalnya hancur, dan 75 lukisannya menjadi abu.
Dalam kekacauan itu Romualdo menyelinap ke Rizal Forest yang lebat dan gelap, dekat Manila, pada 23 Februari 1943. Untuk kemudian tidak pernah muncul lagi. Kepergiannya yang misterius ini menyebabkan banyak orang menyebut ia meninggal. Walaupun ada beberapa orang – termasuk Erminia, isterinya – meyakini Romualdo kala itu masih hidup dan sedang berjuang di dalam hutan melawan Jepang. Mereka baru meyakini kematian itu pada 1946, ketika Romualdo tidak juga muncul, meski Perang Dunia II sudah berakhir.
Romualdo Locatelli pun jadi legenda. Sehingga lukisannya yang berjudul Wanita Remaja Bali dengan Hibiscus (1939), 116 x 96 cm, terbayar HK$ 6,2 juta, atau sekitar Rp 12,4 milyar pada lelang Christie’s Hongkong edisi Mei 2010. Sementara lukisan Merokok, 88 x 58 cm, terbeli HK$ 4,7 juta atau Rp 9,4 milyar dalam lelang Modern Art and Contemporary Southeast Asian Art Sotheby’s, Hongkong, edisi 31 Maret 2019. Sedangkan riwayat Romualdo menulis, sebelum biro lelang mengibarkan karyanya, lukisan-lukisannya sudah dikoleksi oleh Paus Santo Petrus, keluarga pemimpin Italia Benito Mussolini, serta para aristokrat di Eropa Barat.

Lukisan Romualdo Locatelli tentang bocah Bali. (Sumber: Agus Dermawan T.)

Perayaan reputasi Romualdo Locatelli di Roma. (Sumber: Dokumen)
Ada cerita menarik yang membututi riwayatnya. Alkisah Presiden Sukarno mengoleksi dua lukisan Romualdo, yakni Menggaru Sawah di Jawa (1939) dan Memotong Padi (1939). Dua lukisan itu mendadak diklaim milik keluarga Djoehri Djajanegara, yang dipinjam oleh Sukarno pada 1955. Pada tahun 2021 puteri Djoehri, Prof Dr. Soenarjati Djajanegara, menggugat lewat surat yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Kepala Sekretariat Istana Presiden Heru Budi Hartono serta kepada Megawati Soekarnoputri. Gugatan itu tidak berhasil. Sampai kemudian perkara itu diangkat ke forum diskusi terbuka di Galeri Cemara Enam, pada Juni 2025. Gugat menggugat di sidang diskusi menghidupkan kembali sosok Romualdo.
***
Buku acuan pilihan:
Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno (Lee Man Fong, Jakarta, 1964); Romualdo Locatelli – Memoirs 1938 -1946 (Erminia Locatelli Rogers, Darga Fine Arts Editions, Jakarta 1994); Romualdo Locatelli – Eternal Green Under an Eternal Sun (Gianni Orsini, Belanda, 2019); Romualdo Locatelli – An Artistic Voyage from Rome, the Eternal City, to Bali the Island of Gods (Vittorio Sgarbi, Skira, 2019).
Sudarso, menikahi isterinya sendiri
Ada mitos bahwa orang-orang berdarah Banyumas adalah patriot, karena berjiwa sangat pemberani. “Orang Banyumas itu orang Prusianya negeri Jerman,” tulis Tahi Bonar Simatupang, dalam bukunya yang berjudul Laporan dari Banaran. Namun Sudarso, kelahiran Pancasan, Ajibarang, Purwokerto (kawasan Banyumas), 21 April 1914, menolak itu. “Saya jauh dari watak Jenderal Sudirman atau Gatot Subroto, pahlawan Banyumas yang gagah berani. Saya takut melihat kesulitan,” katanya.

Pelukis Sudarso tahun 1950. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Oleh karena itu pendidikannya hanya sampai lulus sekolah rakyat, karena sekolah lanjutannya dianggap bakal merepotkan hidupnya. Maka sekeluar dari sekolah ia hanya menekuni apa yang ia sukai, menggambar. Kakeknya ikut mendorong kegemaran ini, dengan menyodorkan cerita dan gambar wayang sebagai inspirasi.
Karena suka menggambar, maka tulisannya bagus. Ia pun direkrut sebagau juri tulis di kantor Kawedanan Majenang. Oleh karena kemampuannya hanya menulis bagus, ia diberi pekerjaan tambahan, jadi sopir. Sudarso menerima dengan senang hati. Bahkan pada bulan-bulan kemudian ia lebih berminat jadi sopir ketimbang meneruskan karir sebagai juru tulis. “Kan pekerjaan sopir tidak mikir,” ujarnya.
Sebagai sopir ia sudah sanggup berjalan jauh. Bahkan sampai Garut dan Tasikmalaya. Sampai alkhirnya ia ditugasi ke Bandung yang ramai lalu-lintasnya. Di Bandung Sudarso ternyata gentar. Mobilnya lantas oleng, ngeloyor ke arah yang ngawur, dan menabrak opelet sampai ringsek. Sudarso ditahan polisi. Bonus yang lain, ia dikeluarkan dari pekerjaan. Malu pulang ke Majenang, ia memilih tinggal di Bandung.
Di “Paris van Java” ini Sudarso hidup melata. Pernah jadi pelayan toko kelontong, jadi tukang kebun, bahkan turun pangkat – jadi kenek seorang sopir. Hidupnya susah, sampai akhirnya ia dilaporkan ke polisi karena menggelapkan uang majikannya. “Cuma sedikit, kok. Untuk makan,” kisahnya.
Setelah menganggur beberapa minggu, ia ditawari pekerjaan sebagai loper susu. Sambil mengantar susu, ia juga jualan telur. Salah satu pelanggan susu itu adalah pelukis Affandi di Gang Wangsareja, Bandung. Setiap mengantar susu, ia selalu mengintip lukisan Affandi. Sepulang dari kerja meloper, ia bersepeda ke Gang Wangsareja, melihat Affandi melukis.Bakat menggambarnya muncul lagi.
“Kalau kau ingin melukis, berlatih saja di sini,” kata Affandi. Namun Turkandi, pemilik rumah di gang itu – yang tercatat sebagai sahabat pemuda pemikir nasionalisme Bung Karno – menolak. “Janganlah kau mudah memasukkan orang ke rumah ini. Berbahaya juga. Orang lugu seperti dia itu, biasanya mata-mata,” katanya.
Tapi Sudarso ngotot. Ia bahkan bersedia jadi pembantu rumah tangga di situ, asal bisa belajar melukis. Akhirnya Sudarso kerap datang kesana. Cat sisa dari Affandi dipungut. Ia melukis di atas kertas semen yang diambil dari tumpukan sampah. Hasilnya lumayan, namun tak bisa dijual. Ayal, ia pun tetap miskin. Untuk menambal hidup, Affandi menyarankan agar ia bekerja saja di perusahaan reklame yang dikelola oleh pelukis S.Toetoer di Batavia. Sudarso dengan gembira melamar, sambil membawa contoh lukisan yang menggambarkan potret dirinya. Melihat lukisan itu Toetoer merengut.
“Ah. Kau tidak bisa menggambar telinga,” kata Toetoer. Sudarso menyangkal penilaian tersebut.
“Telinga saya memang begitu, Mas. Ini buktinya,” kata Sudarso sambil menunjukkan telinganya. Beberapa saat setelah itu Toetoer mengatakan bahwa Sudarso tidak diterima bekerja. Alasannya, telinga Sudarso mengindikasi watak manusia yang kecut dalam menghadapi hidup.
Sudarso marah. Ia lalu bergabung lagi di Gang Wangsareja. “Kalau itu benar, saya harus merubah jiwa dan pikiran saya,” katanya.
Jiwa-pikir itu memang berubah ketika bergaul dengan BarliSasmitawinata, Hendra Gunawan dan Wahdi, yang bergabung di Gang Wangsareja. Mereka berlima, tentu bersama Affandi, lantas membentuk Kelompok Lima, tahun 1935.
Dari kedekatannya dengan Turkandi, dan dari “keberanian” yang mendadak muncul, Sudarso menjadi dekat dengan Bung Karno. Ia lalu diajak bergabung dalam Keimin Bunka Sidhoso, organisasi kebudayaan yang didirikan Jepang tahun 1943, untuk menggantikan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat).

Lukisan Sudarso yang selalu memotret perempuan desa. (Sumber: Agus Dermawan T).
Ketika Bung Karno menjadi presiden, Sudarso kerap diundang ke Istana Kepresidenan. Sudarso yang lugu sering membawa anaknya ke istana, dan presiden menerima dengan senang hati. Bung Karno sering memberikan coklat Windmolen kepada puteranya. “Bapakmu jangan dikasi, ya. Bapakmu makanannya ‘kan buah cerme dan kersen,” kata Presiden.
Pada suatu kali, seperti ditulis dalam buku The World of Sudarso, Sudarso pernah hampir ditembak penjaga lantaran menyelinap begitu saja ke Istana Bogor. Sukarno yang kebetulan melihat kejadian itu langsung berteriak: “Jangan tembak! Dia teman saya!” Kala itu tampilan Sudarso memang seperti maling yang clingukan.
Tak terhitung berapa kali Sudarso makan semeja dengan Sukarno dan keluarga. Sampai ada adegan ini. Pada 1954, ketika makan bersama, ada serbet yang jatuh dari meja. Sudarso yang pernah jadi pembantu rumah tangga itu sontak ingin mengambilnya. Sukarno buru-buru melarang. “Biar Mega yang ngurusi,” katanya. Megawati pun, yang kala itu berusia 7 tahun, menjumput serbet di bawah meja itu. “Ketika Megawati jadi presiden, saya selalu ingat soal serbet itu,” kata Sudarso terkekeh.
Kedekatan Presdien Sukarno dan Sudarso terus berlanjut. Pada tahun 1961, saat Jakarta mempersiapkan Asian Games, Sudarso mendapat order membuat lukisan besar bertema Arjunawiwaha untuk Hotel Indonesia.
Maka Presiden Sukarno datang ke kediamannya di Sentulrejo,Yogyakarta. Di situ presiden mendongeng tentang Arjuna yang sedang bertapa di Gunung Semeru (pengindonesiaan dari Gunung Mahameru). Untuk menguji Arjuna, para dewa mengirimkan tujuh bidadari untuk menggoda, dengan dipimpin si maha ayu Dewi Supraba dan Dewi Tilotama. Karena Arjuna tidak juga tergoda, Batara Indra turun ke lapangan. Ia menyamar sebagai brahmana tua. Arjuna tetap tak tergoyah.
“Karena begitu kuat mentalnya dan begitu khusyuk bertapanya, maka para dewa menghadiahkan tujuh bidadari yang semula menggoda itu kepada Arjuna. Seneng to?!” kata presiden.
Tentulah Sudarso menerima order itu, walaupun belum tentu dibayar. Oleh karena ukuran lukisan yang dipesan berlebar tujuh meter, maka salah satu bilah dinding rumahnya dijebol.
“Eeee, belum cukup dengan itu. Bung Karno juga memesan lukisan berjudul Pesta Rakyat berukuran sangat panjang kepada saya. Pecah ndasku. Saya masih ingat janji Bung Karno. So, kalau Pesta Rakyatjadinya bagus dan tepat waktu, tak belehke pithik.” Artinya, saya potongkan ayam.
Untuk mengerjakan lukisan Arjunawiwaha Sudarso dibantu oleh pelukis J.Soedhiono. Dan untuk penggambaran para bidadari dalam Arjunawiwahaia menggandeng tiga model perempuan muda cantik, yang kebetulan semuanya bernama depan Jum. “Saya panggil mereka Jum gede, Jum cilik, Jum duwur,” kata Sudarso sambil terkekeh.
Lukisan Arjunawiwaha berhasil diselesaikan dalam waktu yang ditentukan. Begitu juga lukisan Pesta Rakyat, yang disiapkan untuk Bandara Kemayoran (yang kemudian dipindah ke Bandara Halim Perdanakusuma).

Presiden Sukarno sedang berbincang dengan para tamu kala peresmian Hotel Indonesia, dengan latar lukisan Arjunawiwaha karya Sudarso. (Sumber: Arsip Amir Sidharta).
Arjunawiwaha dipajang di lobi Hotel Indonesia. Sebuah foto koleksi Hotel Indonesia Natour merekam Sukarno sedang bercakap akrab dengan para tamunya di depan lukisan tersebut. Amir Sidharta, pengamat seni dan dokumentator, menemukan kliping majalah Djaya no.70, edisi 25 Mei 1963, yang memuat foto bagian tengah lukisan itu. Foto yang dibuat Ganda Sularko tersebut disertai artikel pendek mengenai eksistensi Arjunawiwaha di lobi Hotel Indonesia. Joop Ave, budayawan dan mantan menteri, yang pada 5 Agustus 1962 menjadi master of ceremonypembukaan Hotel Indonesia, mengatakan : “Arjunawiwaha merupakan karya terpenting dari Sudarso, dan ikon untuk Hotel Indonesia.”
Yang ajaib, lukisan ikonik itu sejak tahun 1990-an sudah tidak terlihat di Hotel Indonesia. Bahkan lukisan itu tidak ada dalam daftar koleksi lembaga negara. Diduga, ada orang yang mencurinya. Banyak yang mengatakan, tanpa bantuan dari petinggi pemerintah, tak mungkin lukisan besar itu keluar dari Hotel Indonesia.
Sudarso tak cuma rame dalam seni lukis. Dalam soal isteri, ia juga seru.
Tahun 1938 Sudarso menikah dengan Asiyah binti Yahya. Sang isteri ini dikenal sebagai “Ibu para seniman revolusi”, karena pada tahun 195-anhampir tiap hari Asiyah memasak untuk sekitar 30 orang. Mereka adalah teman-teman Sudarso, seniman revolusi yang hampir tiap hari ngumpul (sambil lapar) di rumahnya yang jadi Sanggar Pelukis Rakyat. Padahal anggaran rumah tangga Sudarso sangat pas-pasan.

Sudarso dan Asiyah binti Yahya. (Sumber: Agus Dermawan T.)
Namun kesetiaan Asiyah dirundung duka ketika tahun 1979 Sudarso terpikat wanita lain, Mariani, wanita Jawa yang hidup di Bali. Sudarso menjatuhkan talak tiga kepada Asiyah di hadapan pejabat KUA (Kantor Urusan Agama), Hanafi. Anak-anak Sudarso protes. Karena, selain sayang kepada ibunya, beberapa putera Sudarso tahu siapa Mariani itu, yang suka dibawa sembarang orang di kawasan Pantai Sanur. Tapi kata pepatah, “bila cinta sudah melekat, tai kucing serasa coklat”.
Sudarso (ternyata) menderita kala hidup bersama Mariani, sampai akhirnya ia terkena serangan jantung, kala berada di Jakarta. Ia digotong ke rumah sakit oleh pelukis Men Sagan. Di rumah sakit yang sama ternyata mantan isterinya, Asiyah, juga sedang dirawat lantaran kanker payudara. Mereka tentu saling terkejut, untuk kemudian hatinya saling berkunjung.
Pertemuan tak terduga ini memunculkan gagasan istimewa delapan anaknya: Sudarso dan Asiyah dirujukkan lagi secara resmi. Sementara Mariani ditalak tiga. Dan ajaib, yang mengawinkan lagi adalah pejabat KUA yang dulu meresmikan perceraiannya, Hanafi. Pesta perkawinan ulang diadakan pada 12 Maret 1997 di kediaman putranya yang juga pelukis, Sudaryono.
Ada yang nyeletuk dalam bahasa Jawa di keramaian itu: “Teklek kecemplung kalen, timbange golek anggur balen”. Artinya, “Sendal kayu jatuh di kali, daripada cari lagi, lebih baik kembali”.
Beberapa bulan setelah perkawinan ulang, Asiyah meninggal dunia. Sudarso menyusul pada tahun 2006.
***
Buku acuan pilihan:
Pelukis dan Pematung Indonesia, Drs.Sudarmaji, Aries Lima, Jakarta 1981. The Wolrd of Sudarso, Nasjah Djamin, Sides Sudyarto, Hexart Publishing, Jakarta 2005. Modern Indonesian Art, Koes Karnadi (ed), Koes Artbooks, Bali, 2010. Agus Dermawan T, percakapan dengan Sudarso, 1980-2000.
(Bersambung)
—————–
*Agus Dermawan T. Pengamat seni. Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana-istana Presiden RI.